Bab 57Perempuan itu meraih tas besar, memasukkan beberapa baju dan perlengkapan pribadinya. Sementara dompet, ponsel dan barang-barang yang sangat penting dia masukkan di dalam tas selempang yang selalu ia bawa kemanapun.Hari ini juga ia memutuskan untuk pergi. Pergi sejauh-jauhnya meninggalkan kota ini. Kota yang sudah memberinya banyak kenangan manis. Perbincangan dengan ustadz Hafiz dan ummi Azizah membuatnya semakin sadar, dialah yang salah di sini.Ustadz Hafiz dan ummi Azizah tetap berusaha memperlakukannya sebaik mungkin, tetapi kebaikan yang mereka tampakkan seolah semakin membuka kesalahan yang telah dia lakukan selama ini."Tidak seharusnya kemarin aku menerima lamaranmu, Bang," Dia menangkup kasar wajahnya.Salahnya yang mau menikah dengan suami orang. Salahnya menjadi istri rahasia ustadz Zaki. Tetapi bukan salah cinta yang hadir. Cinta tidak pernah hadir di tempat yang salah. Demi apapun, seorang ustadz Zaki layak dicintai, meskipun Dania hanya sanggup mencintai dalam d
Bab 58Hafiz baru bisa bernapas lega setelah beberapa hari kemudian. Akhirnya kakak iparnya menjemput Marwiah dan anak-anaknya di rumah abah. Semoga saja tidak ada drama lagi di dalam rumah tangga kakaknya. Aman dan tentram selamanya.Urusan hati memang tidak bisa dipaksakan. Namun, mereka bisa menjalankan rumah tangga seperti biasanya pun, Hafiz sudah sangat bersyukur. Itu sudah lebih dari cukup. Setidaknya ini demi anak-anak.Bukannya dia takut dengan sebuah perceraian, tetapi perceraian di kalangan keluarga besar kiai itu sangat sensitif. Dia hanya takut dampak kedepannya. Opini yang berkembang di masyarakat bahwa keluarga kiai Anu gagal dalam membina rumah tangga seperti orang yang tidak berilmu saja. Kira-kira begitulah isi pikiran orang.Dia masih beruntung ketika perceraiannya dengan Yasmin tempo hari tidak berdampak buruk terhadap nama baiknya, karena perceraian itu dirahasiakan dan pada kenyataannya mereka rujuk kembali. Jadi tidak akan banyak orang yang tahu kalau sebenarny
Bab 59"Benar, kamu memang cantik, Nak," ucap Bibi Rahmah."Ini bukan sekedar pujian, tapi memang kenyataan," imbuhnya lagi."Terima kasih, Bibi." Azizah hanya menanggapi sekedarnya.Bibi Rahmah pun mulai menceritakan pengalamannya saat mendampingi suaminya yang bekerja di kantor kedutaan besar Indonesia di Riyadh. "Sekarang Bibi sudah menetap kembali di sini, walaupun mungkin tempat tinggal kita berjauhan, kamu di Martapura sedangkan Bibi masih tinggal di Banjarmasin," ujarnya seraya menatap lekat istri keponakannya itu. Dia baru menyadari jika ia terlalu banyak bicara dan Azizah hanya mendengarkan."Kalau sekarang Paman bekerja di mana? Apakah masih di kedutaan juga?" tanya Azizah."Tidak, Nak. Beliau sudah meninggal, wafat sekitar 6 bulan yang lalu.""Maaf, Bi." Azizah merasa tidak enak karena tanpa sengaja mengungkap cerita pahit wanita paruh baya itu."Tidak apa-apa, Azizah. Namanya juga umur. Kalau sudah sampai, ya sudah. Habis." Kata-kata bibir Rahmah terdengar menenangkan."
Bab 60"Pamanmu itu laki-laki paling baik yang pernah Bibi kenal. Dia tetap tak bergeming, meskipun orang-orang di sekelilingnya menyuruhnya untuk mengambil istri kedua, karena Bibi sendiri tidak bisa memberikannya keturunan." Perempuan setengah tua itu mulai bercerita. Dia mengenang kembali masa lalunya.Kini mereka tengah duduk di ruang tamu rumah bibi Rahmah.Rumah bibi Rahmah tidak mewah, tetapi tidak pula boleh dibilang sederhana. Beliau hanya tinggal disini sendiri dengan seorang asisten rumah tangga yang menemaninya di saat siang saja.Azizah mengamati seisi ruangan. Hiasan dinding bergambar Ka'bah yang mengingatkan semua yang memandangnya akan kewajiban rukun Islam kelima, meskipun bagi Bibi Rahmah lebih dari sekedar itu, karena beliau sangat lama tinggal di negara dimana Ka'bah itu berada.Sembari memangku Baim yang kini telah tertidur lelap, Azizah terus mendengarkan cerita Bibi Rahmah."Padahal kami sendiri berada di lingkungan yang sangat mendukung seorang laki-laki berpol
Bab 61Keesokan paginya, mereka kembali ke Martapura. Azizah merasa lucu. Baru saja kemarin dia dan Hafiz mengantar bibi Rahmah, tetapi sekarang justru bibi Rahmah yang ikut mereka pulang.Mobil meluncur membelah jalanan dengan kecepatan sedang. Hafiz diam dan fokus dengan kemudinya. Sementara Bibi Rahmah tengah memangku Ibrahim. Azizah memainkan ponsel, mengecek email yang dikirimkan oleh Zahwa yang berisi laporan transaksi harian di toko mereka."Baim suka ya, sama Nenek Rahmah?" goda Azizah. Dia baru saja selesai dengan pekerjaannya."Iya, Mama. Baim suka sama Nenek Rahmah, karena Nenek Rahmah itu orangnya baik." Azizah menjawab pertanyaannya sendiri dengan menirukan suara anak kecilBibi Rahmah tertawa terpingkal-pingkal. "Tuh, Baim lihat mamamu!" tunjuknya.Anak itu semakin melonjak-lonjak. Azizah mengambil alih putranya dan mendudukkan Baim ke dalam pangkuannya."Kamu sudah selesai main ponsel, Nak?" tanyanya. Sejak tadi dia melihat Azizah begitu serius menatap layar ponsel."I
Bab 62"Jadi kamu sebenarnya adalah putri syekh Ali Al-Maliki ...?""Syekh Ali Al-Maliki?" Hafiz mengerutkan kening. Sepintas ia pernah mendengar nama itu di kalangan para pengusaha travel, biro haji dan umrah. Nama itu seringkali dia dengar karena beliau adalah seorang ulama terkenal di kota Riyadh, Mekah dan Madinah. Beliau memang selalu menunjukkan simpati kepada warga negara Indonesia. Beliau bahkan fasih berbahasa Indonesia. "Sepintas Hafiz pernah mendengar nama itu, Bibi. Tetapi kenapa Bibi menyebut Azizah sebagai putri syekh Ali Al-Maliki? Apa hubungannya?" Laki-laki itu tak habis pikir.Hafiz benar-benar tak percaya. Dia menganggap sang Bibi hanya sekedar berhalusinasi saja. Bagaimana mungkin seorang Azizah diklaim bibinya sebagai putri seorang ulama terkenal, syekh Ali Al-Maliki?"Ah, mungkin hanya sekedar kemiripan rupa saja," batin Hafiz."Hafiz, almarhum pamanmu itu kenal baik dengan beliau, bahkan seperti orang kepercayaannya saja. Beliau pernah bercerita bahwa beliau m
Bab 63Azizah merasakan tubuhnya seperti melayang ke angkasa. Hatinya bak di penuhi ribuan kuntum bunga dengan wangi yang semerbak. Pengakuan dari syekh Ali al-Maliki membuatnya seakan terlahir kembali. Masya Allah... ternyata dia masih memiliki seorang ayah. Bukan sekedar ayah biasa tetapi seorang ayah yang luar biasa. Bibi Sarah masih saja memeluknya. Perempuan setengah baya itu menangis. Air mata yang mengalir dari pelupuk tuanya seolah membuktikan bahwa beliau begitu terharu. Akhirnya keponakan yang sekian lama di anggap tak berayah ini menemukan ayah kandungnya.Masih segar dalam ingatannya, bagaimana hinaan orang-orang saat kakaknya, Fatimah pulang ke kampung seorang diri dalam keadaan mengandung.Masih terasa sesak di dadanya saat Azizah kecil di anggap sebagai anak ibunya alias anak haram. Apalagi Fatimah sebelumnya bekerja sebagai tenaga kerja wanita. Sebuah pekerjaan yang rentan terhadap kekerasan fisik dan seksual.Hal yang paling menyesakkan adalah saat Azizah menikah d
Bab 64"Fatimah, almarhum ibunya Azizah memiliki perhiasan itu dan itu sudah jelas menunjukkan bahwa dia adalah istri sah Syekh Ali Al-Maliki dan Azizah adalah putrinya." "Tapi, tapi bagaimana mungkin perempuan itu bisa menikah dengan syekh Ali? Syekh Ali itu tokoh terkenal loh!" Ibunya bertanya dengan suara terbata-bata. Dia terduduk lemas di sofa ruang tengah. Ini sungguh di luar dugaan."Ibu Fatimah itu pernah merantau ke Riyadh dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Jadi kemungkinan menurut Bibi Sarah, beliau bekerja di rumah Syekh Ibrahim Al Maliki dan di sanalah ibu Fatimah bertemu dengan syekh Ali" sahut Hafiz."Syekh Ali menikahi pembantunya sendiri?" Perempuan itu tak percaya dengan pendengarannya sendiri."Memangnya ada apa, Ma? Ada yang salah?" Hafiz mengerutkan kening."Ya nggak sepadan dong! Bukankah itu memalukan? Masa iya orang seperti syekh Ali yang mulia, ulama, pengusaha malah menikahi pembantunya sendiri?" Ibunya terus membantah."Lho, kok Mama bilang begitu? K