Tadi malam, hujan turun begitu deras. Bahkan bersama halilintar yang bersahut-sahutan. Tubuh lunglai Pak Raden seperti sudah tidak kuasa untuk bangkit lagi. Sedangkan, Ibu Medina masih sibuk menangis. Ayya Diandra Pratama—anak tunggal alias semata wayang mereka berdua—tengah menatap langit biru yang sudah cerah kembali, seolah tidak bersedia turut larut ke dalam penderitaan yang mereka semua alami.
"Pa, kita mau tinggal di mana lagi?" Suara serak bersama isakan tangis terdengar dari bibir tipis dari Ibu Medina.
"Papa belum tahu, Ma," jawab Pak Raden di detik berikutnya. Sedih dalam hatinya, apalagi saat melihat anak dan istri ikut menderita. Pak Raden merasa sangat terpukul sekaligus tidak berguna.
Ya, mereka bertiga saat ini tengah berada di bawah kolong jembatan yang kumuh. Jika berjalan lebih ke lima ratus meter ke depan, sisa-sisa dari kericuhan kemarin masih banyak. Pembakaran akibat amukan dari massa. Lalu, mengapa mereka bertiga terkena dampaknya? Para pendemo sejatinya adalah karyawan dari perusahaan yang Pak Raden pimpin. Ratusan, bahkan ribuan, entah dari perkantoran atau lingkup karyawan bawah di bagian pabrik.
Entah apa sebabnya, mereka berbondong-bondong mencari keadilan. Dengan alasan gaji tidak pernah diterima semenjak tiga bulan yang lalu. Pak Raden yang sudah menyerahkan pada divisi berwenang, sejujurnya tidak tahu apa pun mengapa sampai separah ini. Tidak hanya itu saja, perusahaan miliknya baru saja diakusisi. Bangkrut dalam sekejam mata. Rumah tinggal yang didiami pun menjadi incaran massa. Para aparat keamanan sudah sangat kewalahan. Sampai akhirnya, Pak Ruddy membawa Ibu Medina beserta Ayya untuk melarikan diri dan sampai di kolong jembatan ini.
'Apa yang salah? Dimana aku berbuat kesalahan?' Hanya itu pertanyaan mengenai semua yang telah terjadi dibdalam benak Pak Raden.
Hatinya bingung, terlebih harus membawa anak dan istri untuk luntang-lantung seperti ini. Wajah Ayya benar-benar tidak cantik seperti biasanya, ia pucat pasi. Julukan sebagai Nona Kaya nan cantik jelita yang tersemat, kini hilang seketika. Gadis yang masih duduk di bangku SMA ini benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Sama seperti sang ibu, yang hanya bisa menangis. Merasa tidak terima dan bahkan sangat kecewa.
Namun masih ada satu keyakinan yang tersisa, Ayya sangat mempercayai Pak Raden. Ia sangat mengenal siapa sang ayah, ia tahu ini bukan akibat dari ulah Pak Raden.
Ya! Pasti ada yang menjebak Papa. Aku yakin, mana ada pendemo sampai ke rumah. Gila apa? Ada provokator di balik ini semua. Tapi siapa? Batin Ayya.
Ayya menatap kembali ke arah kedua orang tuanya. Sang ibu yang sudah pasrah dan lemah, sama halnya dengan Pak Raden—ayahnya. Jantung, hati, bahkan batin milik Ayya terasa sedang ditusuk-tusuk jarum yang teramat tajam. Kehidupannya hancur dalam waktu yang singkat, berbagai macam ancaman mereka dapatkan. Bahkan, sampai menjadi seperti gelandangan. Oh ... atau memang sudah menjadi gelandangan?
"Pa, sebenarnya apa yang telah terjadi?" Ayya masih berusaha meminta penjelasan secara pasti pada Pak Raden. Itu wajar, selama ini tugasnya hanya belajar dan sekolah. Di luar itu, ia sering main-main dan shopping. Tak sedikit pun ikut mengurus bisnis.
Pak Raden mencoba menegakkan punggungnya. Ia menghela napas dalam-dalam dan kembali mengembuskannya. Bahkan, sebelum menjawab pertanyaan dari Ayya, ia tampak menelan saliva. "Papa, bangkrut," jawab Pak Raden kemudian.
"Iya, tapi apa sebabnya? Kenapa para karyawan menjadi pendemo? Dan kita diincar?"
"Apa kamu masih percaya dengan Papa, Nak?"
Ayya terdiam bimbang. Ia memang sempat mempercayai Pak Raden, tetapi tiba-tiba saja datang keraguan dari dalam hatinya. Meski begitu, ia tidak ingin membuat sang ayah kecewa. Ya, Ayya hanya bisa menganggukkan kepala dengan pelan sembari mengusap sisa-sisa air mata di pipinya.
"Terima kasih, Nak. Sejauh ini kamu telah mempercayai Papa. Tapi, sumpah! Papa tidak tahu. Papa sudah memberikan wewenang pada divisi terkait untuk membayarkan gaji karyawan. Hanya saja, sepertinya ada kesalahan."
"Lalu, kenapa harus sampai ke rumah kita, Pa? Kita juga dalam keadaan sedang diteror!" Ibu Medina marah. Ia merasa tidak terima dengan pengakuan dari Pak Raden—suaminya. Memang benar, bahkan Ayya merasa tidak wajar tentang masalah ini. Mengapa masalah pekerjaan bisa sampai ke rumah mereka?
"Mereka semacam pasukan yang dikirim. Supaya berbaur dengan karyawan pendemo. Seperti sebuah geng dari seorang mafia." Suara itu, penjelasan dari seseorang yang tiba-tiba datang ke kolong jembatan tersebut. Suara yang tidak asing bagi keluarga Pak Raden.
"Anwar! Bagaimana kamu bisa ada di sini?" tanya Pak Raden pada Anwar yang notabene-nya adalah tangan kanan kepercayaannya.
"Selamat pagi, Tuan. Saya bisa melacak keberadaan Tuan Raden dan keluarga melalu ponsel Nona Muda." Anwar menjelaskan tentang keberadaannya di tempat tersebut. Hal itu bisa dimaklumi oleh Pak Raden. Karena sejak dulu, di dalam ponsel Ayya terpasang sebuah GPS yang terhubung dengan miliknya. Untuk apa? Untuk melihat tingkah polah Ayya, sampai mana ia akan bermain dan membuat huru-hara.
Kemudian, Ayya meraih ponsel dari dalam saku celana jeans-nya. Dan benar adanya bahwa ponsel tersebut ada di kantong pakaian bawah itu. Gadis itu mencoba mengingat kejadian di hari kemarin, saat ia baru pulang dari hangout bersama teman-temannya. Tanpa berucap apa pun, Pak Raden sudah menarik tangannya untuk melarikan diri lewat pintu belakang rumahnya.
"Apa yang terjadi, Paman Anwar?" tanya Ayya.
"Hal ini perlu saya sampaikan pada Tuan Raden, Nona," jawab Anwar.
"Bicara saja, kita sudah tidak memerlukan privasi. Ayya dan istriku perlu tahu," sela Pak Raden.
"Baik, Tuan. Namun izinkan saya untuk membawa kalian ke rumah saya. Kondisi sudah cukup aman, rasanya tidak etis jika berbicara di tempat seperti ini. Karena banyak macam hal dan pertimbangan yang perlu Tuan putuskan dalam masalah ini."
"Baiklah, aku ikut apa yang kamu katakan, Anwar."
Selepas itu, Pak Raden mengajak anak dan istrinya untuk mengikuti saran dari Anwar. Ayya dan Ibu Medina mencoba bangkit dari duduknya. Lantas, mereka berjalan mengikuti arah langkah Anwar yang hendak menuju mobilnya sendiri.
Setelah dirasa siap dan semua sudah masuk ke dalam mobil milik Anwar, sang pemilik pun segera melajunya. Kota Surabaya yang elok dan indah, jalan aspal yang membentang memanjang. Beberapa tempat yang sering Ayya kunjungi terlihat dari dalam mobil itu. Semacam bar, mall atau pun restoran mewah yang terkenal. Nona muda dari salah seorang pengusaha besar di kota ini sudah hampir mengunjungi banyak tempat yang menawan hatinya.
Namun takdir dari Tuhan berkata lain. Hari kemarin menjadi hari terakhir untuk Ayya berfoya-foya. Ketika ia mengingat itu, hanya tetesan air mata yang membasahi pipinya. Bahkan, raut wajahnya sangat datar, ia frustasi dan syok. Bukan hanya Ayya saja, tetapi juga pada kedua orang tuanya.
Sebenarnya siapa yang membuat keluarga itu mengalami nasib malang se-demikian menyakitkan? Bukan hanya itu, bahkan teror di rumah pribadi membuat mereka harus melarikan diri. Para aparat sudah tidak kuasa menghindari massa yang bertebaran di setiap gedung milik Pak Raden. Oh ... apakah oknum dari aparat itu juga terlibat? Dalam artian dibayar atau disuap oleh dalang di balik ini semua?
***
Selang satu minggu kemudian, setelah semua yang terjadi pada keluarga Pak Raden, mereka sudah berada di kota besar bernama Jakarta. Entah apa yang menyebabkan Anwar—orang kepercayaan Pak Raden—memutuskan untuk mengirim keluarga atasannya itu ke kota itu. Bukan perkara mudah untuk hidup di kota besar. Tidak ada sanak saudara, bahkan sebatas kenalan pun tidak ada.Di dalam rumah kontrakan sempit, Pak Raden beserta anak dan istrinya kini tinggal. Sesuatu yang sangat ia takuti, bahkan sedari muda, kini terjadi. Bangkrut! Impiannya hanya satu; ingin membuat keluarganya selalu diliputi bahagia, tanpa adanya kekurangan apa pun. Namun kini, momok menakutkan malah terjadi. Meskipun ia begitu keras dalam membangun usaha, terus berbuat kebaikan, tetap ada saja orang yang berlalu curang.Pak Raden hanya bisa berpasrah pada keadaan. Bahkan, ia belum memiliki rencana apa pun. Tidak banyak harta yang ia miliki, hanya uang sisa pemberian Anwar. Yang tentunya akan habis, jika ia tidak be
Dering ponsel yang tiba-tiba berbunyi, membuat Ayya terpaksa terbangun dari tidurnya. Dengan gerak malas dan mata yang masih sembab, ia berusaha meraih ponselnya di samping kepalanya. Dikerjap-kerjapkannya matanya lagi, supaya pandangannya menjadi jelas. Setelah itu, ia terbangun, tepatnya saat mendapati nama sang kekasih muncul di layar ponsel tersebut."Halo, Randy," sapa Ayya pada pria itu."Hai, Ayy. Selamat pagi," balas Randy dari kota nun jauh sana.Sejenak, Ayya terdiam. Lalu, setelah beberapa saat ia kembali berkata, "Kamu apa kabar, Randy?""Baik, Ayy. Kamu sehat, 'kan?""Ya, aku sehat."Ayya menghela napas. "Aku pikir kamu kenapa-napa.""Tidak, Ayy.""Ya, syukur Alhamdulillah. Ada apa? Kenapa kamu baru menghubungi aku?""Ayy?""Ya?""Kita ... kita berpisah saja."Berpisah? Sebuah permintaan yang sebenarnya sangat berat untuk dikabulkan. Tentu saja, membuat hati Ayya yang sudah lara akan semakin pilu. P
Ayya berdiam diri di suatu tempat bernama halte bus. Meski bus sudah datang, bahkan beberapa kali, ia sama sekali tidak mau naik. Pikirannya sedang kacau, dan tidak ingin pulang terlebih dahulu. Penyebab kerisauan hati Ayya bukan karena kenangan buruk tentang kebangkrutan saja, tetapi dalam hal mendapatkan sumber penghasilan.Ternyata, mencari pekerjaan bukanlah sesuatu yang mudah bagi Ayya. Sebagai anak yang bahkan belum lulus dari bangku SMA, tentu saja akan membuat para bos enggan menerima tenaganya. Dengan kenyataan se-demikian buruk itu, lantas, harus ke mana lagi ia mencari sumber penghasilan?Sudah terhitung tiga hari, Ayya kebingungan. Ia pun masih saja menolak mentah-mentah perihal sekolah. Ayya sudah terlanjur malas. Lagi pula uang dari mana? Ia bukan termasuk siswi yang pintar, beasiswa tidak akan bisa ia dapatkan.Di titik itu, Ayya baru merasa menyesal, tentang bagaimana sikapnya di masa lalu. Sering bermain
Di sebuah ruang kerja berisi dengan berbagai berkas, Ayya tengah duduk di sebuah kursi yang berhadapan dengan meja kerja milik Wawan. Sebenarnya, ia cukup bingung akan melakukan apa, karena sejak tadi Wawan justru hanya diam sembari menatapnya. Sifat Ayya yang sudah semakin dingin, kini hanya berekspresi datar dan ketus, daripada memilih menanyakan maksud tatapan dari pria yang berada di hadapannya.Sampai akhirnya, terdengar Wawan sedang berdeham. “Jadi, kamu ingin sekali mendapatkan pekerjaan?” tanyanya pada gadis cantik di hadapannya itu.“Kalau tidak ingin, saya juga tidak mau ikut sama Om!” Dengan ekspresi yang masih datar, Ayya memberikan jawaban.Wawan menggelengkan kepala. Ia tidak habis pikir dengan sikap Ayya yang sekenanya saja, sama sekali tidak mencerminkan rasa sopan santun, meski situasi dirinya saat ini adalah sedang melamar pekerjaan. Apa karena usia Ayya yang masih terlalu muda? Sehingga belum paham tentang tata krama?Namun, bagaimana tenta
Setelah subuh berlalu, Ayya sudah berkutat dengan sebuah cermin kecil yang dulu kerap ia bawa ke sekolah, juga sisa alat make-up telah ia siapkan di samping letak tubuhnya. Gadis cantik itu tampak sibuk bersolek, mempercantik wajahnya dengan beberapa pulas riasan bermerek mahal yang masih tersisa.Kesibukan Ayya di pagi-pagi buta seperti saat ini tentu saja bukan tanpa sebab, melainkan karena kabar dari Wawan yang ia dapatkan tadi malam. Yang mana pria itu memintanya hadir ke kafe untuk uji suara dan akan dinilai secara langsung oleh owner sekaligus CEO kafe tersebut.“Untungnya aku tidak sok jual mahal, pas Om itu minta nomorku,” ucap Ayya kemudian tersenyum dan menatap wajahnya di pantulan cermin kecil di tangannya tersebut.Detik berikutnya, gadis itu menghela napas lalu menurunkan cermin yang kemudian ia geletakkan di atas ranjang. “Setelah ini, aku akan bekerja dengan keras demi membantu Papa dalam membangkitkan ekonomi keluarga. Tak masal
Setelah subuh berlalu, Ayya sudah berkutat dengan sebuah cermin kecil yang dulu kerap ia bawa ke sekolah, juga sisa alat make-up telah ia siapkan di samping letak tubuhnya. Gadis cantik itu tampak sibuk bersolek, mempercantik wajahnya dengan beberapa pulas riasan bermerek mahal yang masih tersisa.Kesibukan Ayya di pagi-pagi buta seperti saat ini tentu saja bukan tanpa sebab, melainkan karena kabar dari Wawan yang ia dapatkan tadi malam. Yang mana pria itu memintanya hadir ke kafe untuk uji suara dan akan dinilai secara langsung oleh owner sekaligus CEO kafe tersebut.“Untungnya aku tidak sok jual mahal, pas Om itu minta nomorku,” ucap Ayya kemudian tersenyum dan menatap wajahnya di pantulan cermin kecil di tangannya tersebut.Detik berikutnya, gadis itu menghela napas lalu menurunkan cermin yang kemudian ia geletakkan di atas ranjang. “Setelah ini, aku akan bekerja dengan keras demi membantu Papa dalam membangkitkan ekonomi keluarga. Tak masal
Di sebuah ruang kerja berisi dengan berbagai berkas, Ayya tengah duduk di sebuah kursi yang berhadapan dengan meja kerja milik Wawan. Sebenarnya, ia cukup bingung akan melakukan apa, karena sejak tadi Wawan justru hanya diam sembari menatapnya. Sifat Ayya yang sudah semakin dingin, kini hanya berekspresi datar dan ketus, daripada memilih menanyakan maksud tatapan dari pria yang berada di hadapannya.Sampai akhirnya, terdengar Wawan sedang berdeham. “Jadi, kamu ingin sekali mendapatkan pekerjaan?” tanyanya pada gadis cantik di hadapannya itu.“Kalau tidak ingin, saya juga tidak mau ikut sama Om!” Dengan ekspresi yang masih datar, Ayya memberikan jawaban.Wawan menggelengkan kepala. Ia tidak habis pikir dengan sikap Ayya yang sekenanya saja, sama sekali tidak mencerminkan rasa sopan santun, meski situasi dirinya saat ini adalah sedang melamar pekerjaan. Apa karena usia Ayya yang masih terlalu muda? Sehingga belum paham tentang tata krama?Namun, bagaimana tenta
Ayya berdiam diri di suatu tempat bernama halte bus. Meski bus sudah datang, bahkan beberapa kali, ia sama sekali tidak mau naik. Pikirannya sedang kacau, dan tidak ingin pulang terlebih dahulu. Penyebab kerisauan hati Ayya bukan karena kenangan buruk tentang kebangkrutan saja, tetapi dalam hal mendapatkan sumber penghasilan.Ternyata, mencari pekerjaan bukanlah sesuatu yang mudah bagi Ayya. Sebagai anak yang bahkan belum lulus dari bangku SMA, tentu saja akan membuat para bos enggan menerima tenaganya. Dengan kenyataan se-demikian buruk itu, lantas, harus ke mana lagi ia mencari sumber penghasilan?Sudah terhitung tiga hari, Ayya kebingungan. Ia pun masih saja menolak mentah-mentah perihal sekolah. Ayya sudah terlanjur malas. Lagi pula uang dari mana? Ia bukan termasuk siswi yang pintar, beasiswa tidak akan bisa ia dapatkan.Di titik itu, Ayya baru merasa menyesal, tentang bagaimana sikapnya di masa lalu. Sering bermain
Dering ponsel yang tiba-tiba berbunyi, membuat Ayya terpaksa terbangun dari tidurnya. Dengan gerak malas dan mata yang masih sembab, ia berusaha meraih ponselnya di samping kepalanya. Dikerjap-kerjapkannya matanya lagi, supaya pandangannya menjadi jelas. Setelah itu, ia terbangun, tepatnya saat mendapati nama sang kekasih muncul di layar ponsel tersebut."Halo, Randy," sapa Ayya pada pria itu."Hai, Ayy. Selamat pagi," balas Randy dari kota nun jauh sana.Sejenak, Ayya terdiam. Lalu, setelah beberapa saat ia kembali berkata, "Kamu apa kabar, Randy?""Baik, Ayy. Kamu sehat, 'kan?""Ya, aku sehat."Ayya menghela napas. "Aku pikir kamu kenapa-napa.""Tidak, Ayy.""Ya, syukur Alhamdulillah. Ada apa? Kenapa kamu baru menghubungi aku?""Ayy?""Ya?""Kita ... kita berpisah saja."Berpisah? Sebuah permintaan yang sebenarnya sangat berat untuk dikabulkan. Tentu saja, membuat hati Ayya yang sudah lara akan semakin pilu. P
Selang satu minggu kemudian, setelah semua yang terjadi pada keluarga Pak Raden, mereka sudah berada di kota besar bernama Jakarta. Entah apa yang menyebabkan Anwar—orang kepercayaan Pak Raden—memutuskan untuk mengirim keluarga atasannya itu ke kota itu. Bukan perkara mudah untuk hidup di kota besar. Tidak ada sanak saudara, bahkan sebatas kenalan pun tidak ada.Di dalam rumah kontrakan sempit, Pak Raden beserta anak dan istrinya kini tinggal. Sesuatu yang sangat ia takuti, bahkan sedari muda, kini terjadi. Bangkrut! Impiannya hanya satu; ingin membuat keluarganya selalu diliputi bahagia, tanpa adanya kekurangan apa pun. Namun kini, momok menakutkan malah terjadi. Meskipun ia begitu keras dalam membangun usaha, terus berbuat kebaikan, tetap ada saja orang yang berlalu curang.Pak Raden hanya bisa berpasrah pada keadaan. Bahkan, ia belum memiliki rencana apa pun. Tidak banyak harta yang ia miliki, hanya uang sisa pemberian Anwar. Yang tentunya akan habis, jika ia tidak be
Tadi malam, hujan turun begitu deras. Bahkan bersama halilintar yang bersahut-sahutan. Tubuh lunglai Pak Raden seperti sudah tidak kuasa untuk bangkit lagi. Sedangkan, Ibu Medina masih sibuk menangis. Ayya Diandra Pratama—anak tunggal alias semata wayang mereka berdua—tengah menatap langit biru yang sudah cerah kembali, seolah tidak bersedia turut larut ke dalam penderitaan yang mereka semua alami."Pa, kita mau tinggal di mana lagi?" Suara serak bersama isakan tangis terdengar dari bibir tipis dari Ibu Medina."Papa belum tahu, Ma," jawab Pak Raden di detik berikutnya. Sedih dalam hatinya, apalagi saat melihat anak dan istri ikut menderita. Pak Raden merasa sangat terpukul sekaligus tidak berguna.Ya, mereka bertiga saat ini tengah berada di bawah kolong jembatan yang kumuh. Jika berjalan lebih ke lima ratus meter ke depan, sisa-sisa dari kericuhan kemarin masih banyak. Pembakaran akibat amukan dari massa. Lalu, mengapa mereka bertiga terkena dampaknya? Para pende