Di sebuah ruang kerja berisi dengan berbagai berkas, Ayya tengah duduk di sebuah kursi yang berhadapan dengan meja kerja milik Wawan. Sebenarnya, ia cukup bingung akan melakukan apa, karena sejak tadi Wawan justru hanya diam sembari menatapnya. Sifat Ayya yang sudah semakin dingin, kini hanya berekspresi datar dan ketus, daripada memilih menanyakan maksud tatapan dari pria yang berada di hadapannya.Sampai akhirnya, terdengar Wawan sedang berdeham. “Jadi, kamu ingin sekali mendapatkan pekerjaan?” tanyanya pada gadis cantik di hadapannya itu.“Kalau tidak ingin, saya juga tidak mau ikut sama Om!” Dengan ekspresi yang masih datar, Ayya memberikan jawaban.Wawan menggelengkan kepala. Ia tidak habis pikir dengan sikap Ayya yang sekenanya saja, sama sekali tidak mencerminkan rasa sopan santun, meski situasi dirinya saat ini adalah sedang melamar pekerjaan. Apa karena usia Ayya yang masih terlalu muda? Sehingga belum paham tentang tata krama?Namun, bagaimana tenta
Setelah subuh berlalu, Ayya sudah berkutat dengan sebuah cermin kecil yang dulu kerap ia bawa ke sekolah, juga sisa alat make-up telah ia siapkan di samping letak tubuhnya. Gadis cantik itu tampak sibuk bersolek, mempercantik wajahnya dengan beberapa pulas riasan bermerek mahal yang masih tersisa.Kesibukan Ayya di pagi-pagi buta seperti saat ini tentu saja bukan tanpa sebab, melainkan karena kabar dari Wawan yang ia dapatkan tadi malam. Yang mana pria itu memintanya hadir ke kafe untuk uji suara dan akan dinilai secara langsung oleh owner sekaligus CEO kafe tersebut.“Untungnya aku tidak sok jual mahal, pas Om itu minta nomorku,” ucap Ayya kemudian tersenyum dan menatap wajahnya di pantulan cermin kecil di tangannya tersebut.Detik berikutnya, gadis itu menghela napas lalu menurunkan cermin yang kemudian ia geletakkan di atas ranjang. “Setelah ini, aku akan bekerja dengan keras demi membantu Papa dalam membangkitkan ekonomi keluarga. Tak masal
Tadi malam, hujan turun begitu deras. Bahkan bersama halilintar yang bersahut-sahutan. Tubuh lunglai Pak Raden seperti sudah tidak kuasa untuk bangkit lagi. Sedangkan, Ibu Medina masih sibuk menangis. Ayya Diandra Pratama—anak tunggal alias semata wayang mereka berdua—tengah menatap langit biru yang sudah cerah kembali, seolah tidak bersedia turut larut ke dalam penderitaan yang mereka semua alami."Pa, kita mau tinggal di mana lagi?" Suara serak bersama isakan tangis terdengar dari bibir tipis dari Ibu Medina."Papa belum tahu, Ma," jawab Pak Raden di detik berikutnya. Sedih dalam hatinya, apalagi saat melihat anak dan istri ikut menderita. Pak Raden merasa sangat terpukul sekaligus tidak berguna.Ya, mereka bertiga saat ini tengah berada di bawah kolong jembatan yang kumuh. Jika berjalan lebih ke lima ratus meter ke depan, sisa-sisa dari kericuhan kemarin masih banyak. Pembakaran akibat amukan dari massa. Lalu, mengapa mereka bertiga terkena dampaknya? Para pende
Selang satu minggu kemudian, setelah semua yang terjadi pada keluarga Pak Raden, mereka sudah berada di kota besar bernama Jakarta. Entah apa yang menyebabkan Anwar—orang kepercayaan Pak Raden—memutuskan untuk mengirim keluarga atasannya itu ke kota itu. Bukan perkara mudah untuk hidup di kota besar. Tidak ada sanak saudara, bahkan sebatas kenalan pun tidak ada.Di dalam rumah kontrakan sempit, Pak Raden beserta anak dan istrinya kini tinggal. Sesuatu yang sangat ia takuti, bahkan sedari muda, kini terjadi. Bangkrut! Impiannya hanya satu; ingin membuat keluarganya selalu diliputi bahagia, tanpa adanya kekurangan apa pun. Namun kini, momok menakutkan malah terjadi. Meskipun ia begitu keras dalam membangun usaha, terus berbuat kebaikan, tetap ada saja orang yang berlalu curang.Pak Raden hanya bisa berpasrah pada keadaan. Bahkan, ia belum memiliki rencana apa pun. Tidak banyak harta yang ia miliki, hanya uang sisa pemberian Anwar. Yang tentunya akan habis, jika ia tidak be
Dering ponsel yang tiba-tiba berbunyi, membuat Ayya terpaksa terbangun dari tidurnya. Dengan gerak malas dan mata yang masih sembab, ia berusaha meraih ponselnya di samping kepalanya. Dikerjap-kerjapkannya matanya lagi, supaya pandangannya menjadi jelas. Setelah itu, ia terbangun, tepatnya saat mendapati nama sang kekasih muncul di layar ponsel tersebut."Halo, Randy," sapa Ayya pada pria itu."Hai, Ayy. Selamat pagi," balas Randy dari kota nun jauh sana.Sejenak, Ayya terdiam. Lalu, setelah beberapa saat ia kembali berkata, "Kamu apa kabar, Randy?""Baik, Ayy. Kamu sehat, 'kan?""Ya, aku sehat."Ayya menghela napas. "Aku pikir kamu kenapa-napa.""Tidak, Ayy.""Ya, syukur Alhamdulillah. Ada apa? Kenapa kamu baru menghubungi aku?""Ayy?""Ya?""Kita ... kita berpisah saja."Berpisah? Sebuah permintaan yang sebenarnya sangat berat untuk dikabulkan. Tentu saja, membuat hati Ayya yang sudah lara akan semakin pilu. P
Setelah subuh berlalu, Ayya sudah berkutat dengan sebuah cermin kecil yang dulu kerap ia bawa ke sekolah, juga sisa alat make-up telah ia siapkan di samping letak tubuhnya. Gadis cantik itu tampak sibuk bersolek, mempercantik wajahnya dengan beberapa pulas riasan bermerek mahal yang masih tersisa.Kesibukan Ayya di pagi-pagi buta seperti saat ini tentu saja bukan tanpa sebab, melainkan karena kabar dari Wawan yang ia dapatkan tadi malam. Yang mana pria itu memintanya hadir ke kafe untuk uji suara dan akan dinilai secara langsung oleh owner sekaligus CEO kafe tersebut.“Untungnya aku tidak sok jual mahal, pas Om itu minta nomorku,” ucap Ayya kemudian tersenyum dan menatap wajahnya di pantulan cermin kecil di tangannya tersebut.Detik berikutnya, gadis itu menghela napas lalu menurunkan cermin yang kemudian ia geletakkan di atas ranjang. “Setelah ini, aku akan bekerja dengan keras demi membantu Papa dalam membangkitkan ekonomi keluarga. Tak masal
Di sebuah ruang kerja berisi dengan berbagai berkas, Ayya tengah duduk di sebuah kursi yang berhadapan dengan meja kerja milik Wawan. Sebenarnya, ia cukup bingung akan melakukan apa, karena sejak tadi Wawan justru hanya diam sembari menatapnya. Sifat Ayya yang sudah semakin dingin, kini hanya berekspresi datar dan ketus, daripada memilih menanyakan maksud tatapan dari pria yang berada di hadapannya.Sampai akhirnya, terdengar Wawan sedang berdeham. “Jadi, kamu ingin sekali mendapatkan pekerjaan?” tanyanya pada gadis cantik di hadapannya itu.“Kalau tidak ingin, saya juga tidak mau ikut sama Om!” Dengan ekspresi yang masih datar, Ayya memberikan jawaban.Wawan menggelengkan kepala. Ia tidak habis pikir dengan sikap Ayya yang sekenanya saja, sama sekali tidak mencerminkan rasa sopan santun, meski situasi dirinya saat ini adalah sedang melamar pekerjaan. Apa karena usia Ayya yang masih terlalu muda? Sehingga belum paham tentang tata krama?Namun, bagaimana tenta
Ayya berdiam diri di suatu tempat bernama halte bus. Meski bus sudah datang, bahkan beberapa kali, ia sama sekali tidak mau naik. Pikirannya sedang kacau, dan tidak ingin pulang terlebih dahulu. Penyebab kerisauan hati Ayya bukan karena kenangan buruk tentang kebangkrutan saja, tetapi dalam hal mendapatkan sumber penghasilan.Ternyata, mencari pekerjaan bukanlah sesuatu yang mudah bagi Ayya. Sebagai anak yang bahkan belum lulus dari bangku SMA, tentu saja akan membuat para bos enggan menerima tenaganya. Dengan kenyataan se-demikian buruk itu, lantas, harus ke mana lagi ia mencari sumber penghasilan?Sudah terhitung tiga hari, Ayya kebingungan. Ia pun masih saja menolak mentah-mentah perihal sekolah. Ayya sudah terlanjur malas. Lagi pula uang dari mana? Ia bukan termasuk siswi yang pintar, beasiswa tidak akan bisa ia dapatkan.Di titik itu, Ayya baru merasa menyesal, tentang bagaimana sikapnya di masa lalu. Sering bermain
Dering ponsel yang tiba-tiba berbunyi, membuat Ayya terpaksa terbangun dari tidurnya. Dengan gerak malas dan mata yang masih sembab, ia berusaha meraih ponselnya di samping kepalanya. Dikerjap-kerjapkannya matanya lagi, supaya pandangannya menjadi jelas. Setelah itu, ia terbangun, tepatnya saat mendapati nama sang kekasih muncul di layar ponsel tersebut."Halo, Randy," sapa Ayya pada pria itu."Hai, Ayy. Selamat pagi," balas Randy dari kota nun jauh sana.Sejenak, Ayya terdiam. Lalu, setelah beberapa saat ia kembali berkata, "Kamu apa kabar, Randy?""Baik, Ayy. Kamu sehat, 'kan?""Ya, aku sehat."Ayya menghela napas. "Aku pikir kamu kenapa-napa.""Tidak, Ayy.""Ya, syukur Alhamdulillah. Ada apa? Kenapa kamu baru menghubungi aku?""Ayy?""Ya?""Kita ... kita berpisah saja."Berpisah? Sebuah permintaan yang sebenarnya sangat berat untuk dikabulkan. Tentu saja, membuat hati Ayya yang sudah lara akan semakin pilu. P
Selang satu minggu kemudian, setelah semua yang terjadi pada keluarga Pak Raden, mereka sudah berada di kota besar bernama Jakarta. Entah apa yang menyebabkan Anwar—orang kepercayaan Pak Raden—memutuskan untuk mengirim keluarga atasannya itu ke kota itu. Bukan perkara mudah untuk hidup di kota besar. Tidak ada sanak saudara, bahkan sebatas kenalan pun tidak ada.Di dalam rumah kontrakan sempit, Pak Raden beserta anak dan istrinya kini tinggal. Sesuatu yang sangat ia takuti, bahkan sedari muda, kini terjadi. Bangkrut! Impiannya hanya satu; ingin membuat keluarganya selalu diliputi bahagia, tanpa adanya kekurangan apa pun. Namun kini, momok menakutkan malah terjadi. Meskipun ia begitu keras dalam membangun usaha, terus berbuat kebaikan, tetap ada saja orang yang berlalu curang.Pak Raden hanya bisa berpasrah pada keadaan. Bahkan, ia belum memiliki rencana apa pun. Tidak banyak harta yang ia miliki, hanya uang sisa pemberian Anwar. Yang tentunya akan habis, jika ia tidak be
Tadi malam, hujan turun begitu deras. Bahkan bersama halilintar yang bersahut-sahutan. Tubuh lunglai Pak Raden seperti sudah tidak kuasa untuk bangkit lagi. Sedangkan, Ibu Medina masih sibuk menangis. Ayya Diandra Pratama—anak tunggal alias semata wayang mereka berdua—tengah menatap langit biru yang sudah cerah kembali, seolah tidak bersedia turut larut ke dalam penderitaan yang mereka semua alami."Pa, kita mau tinggal di mana lagi?" Suara serak bersama isakan tangis terdengar dari bibir tipis dari Ibu Medina."Papa belum tahu, Ma," jawab Pak Raden di detik berikutnya. Sedih dalam hatinya, apalagi saat melihat anak dan istri ikut menderita. Pak Raden merasa sangat terpukul sekaligus tidak berguna.Ya, mereka bertiga saat ini tengah berada di bawah kolong jembatan yang kumuh. Jika berjalan lebih ke lima ratus meter ke depan, sisa-sisa dari kericuhan kemarin masih banyak. Pembakaran akibat amukan dari massa. Lalu, mengapa mereka bertiga terkena dampaknya? Para pende