Share

Suara yang Merdu

Penulis: VhyDheavy
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-03 13:07:07

Ayya berdiam diri di suatu tempat bernama halte bus. Meski bus sudah datang, bahkan beberapa kali, ia sama sekali tidak mau naik. Pikirannya sedang kacau, dan tidak ingin pulang terlebih dahulu. Penyebab kerisauan hati Ayya bukan karena kenangan buruk tentang kebangkrutan saja, tetapi dalam hal mendapatkan sumber penghasilan.

Ternyata, mencari pekerjaan bukanlah sesuatu yang mudah bagi Ayya. Sebagai anak yang bahkan belum lulus dari bangku SMA, tentu saja akan membuat para bos enggan menerima tenaganya. Dengan kenyataan se-demikian buruk itu, lantas, harus ke mana lagi ia mencari sumber penghasilan?

Sudah terhitung tiga hari, Ayya kebingungan. Ia pun masih saja menolak mentah-mentah perihal sekolah. Ayya sudah terlanjur malas. Lagi pula uang dari mana? Ia bukan termasuk siswi yang pintar, beasiswa tidak akan bisa ia dapatkan.

Di titik itu, Ayya baru merasa menyesal, tentang bagaimana sikapnya di masa lalu. Sering bermain keluar, bertemu pacar, shopping dan juga ke tempat-tempat hiburan. Kala itu, ia sama sekali tidak pernah memikirkan kemungkinan tentang kebangkrutan, sehingga berpikir bahwa uang ayahnya bisa menutupi segala kekurangan otaknya yang tumpul.

Ayya telah membuang kesempatan emas di masa kemewahan masih melekat dalam hidupnya. Seandainya, ia belajar dengan giat meski kala itu uang bukanlah sesuatu yang sulit bagi Pak Raden, mungkin keadaan tidak menjadi runyam. Seandainya ia lebih pintar, mungkin ia akan mendapatkan beasiswa dengan mudah dalam kondisi sekarang ketika kemiskinan datang pasca kebangkrutan melanda perusahaan ayahnya itu. Namun apa boleh buat, penyesalan tinggal penyesalan, yang sudah terjadi tidak dapat diulangi lagi.

Rintik hujan tiba-tiba turun membasahi bumi, seolah langit tengah menangis karena cukup mengerti apa isi hati gadis itu. Keadaan sudah sangat sepi. Sementara Ayya tidak membawa payung sama sekali, padahal sudah musim penghujan seperti ini. Lalu, demi menghilangkan rasa sepi, ia melantunkan sebuah lagu. Nadanya yang lembut dinyanyikan dengan suara merdu miliknya. Indah sekali, untuk siapa pun yang mendengar pasti akan lantas memuji.

Bernyanyi dan bermusik adalah dua hal yang sangat Ayya sukai. Didukung dengan suaranya yang merdu dan kepiawaiannya memainkan alat musik, tidak jarang, pihak sekolah memintanya untuk mengisi suatu acara. Hal itu pula yang membuatnya sangat populer. Sudah cantik, pintar menyanyi pula. Namun itu dulu, ketika dirinya masih menjadi sang nona kaya dan cantik jelita.

Di akhir syairnya, Ayya menyelesaikan lirik dengan diiringi setitik air mata. Lagunya habis bersama rasa sedih yang kembali mencuat dari dalam dirinya.

"Wow! Suara kamu sangat bagus," ujar seseorang mengejutkan Ayya.

Ayya menatap orang itu. Seorang pria berpenampilan rapi dengan dasi dan kemeja, juga celana hitam yang panjang. Sejujurnya, Ayya merasa malu, tetapi ia berusaha mengabaikannya.

"Nama kamu siapa?" tanya pria itu lagi. Tidak ada rasa canggung, bahkan rasa khawatir tentang ketakutan yang mendera diri Ayya.

"Memangnya, Anda siapa dan apa pentingnya mengetahui nama saya?" balas Ayya, setelah itu memutuskan untuk berlagak acuh tak acuh.

Pria itu mengulurkan tangannya. "Kenalkan saya Wawan, manager dari kafe samping." Telunjuknya diarahkan pada sebuah kafe tidak jauh dari halte itu.

"Oh, ya sudah."

"Nama kamu siapa?"

"Ayya."

"Masih sekolah, ya?"

"Tidak."

"Hmm?"

"Bisa tidak kalau Anda diam saja? Kita kan tidak saling mengenal!"

"Wow! Gadis yang galak ya rupanya." Wawan tertawa kecil. "Saya suka warna suara kamu. Andai bisa merekrutmu menjadi penyanyi di kafe saya."

"Eh?!" Kali ini, Ayya memberikan respon yang berbeda. "Apa ada bayarannya?" tanyanya tanpa basa-basi lagi.

Wawan terkesiap. Belum apa-apa, sudah menanyakan tentang bayaran. Gadis itu lebih berani daripada yang ia kira. Cukup menarik, tetapi ia tidak bisa sembarangan dalam merekrut seseorang, bukan? Terlebih lagi, kafe tersebut bukan miliknya.

Mata Ayya berbinar penuh dengan harapan. Setelah tiga hari terakhir kesulitan dalam mencari pekerjaan, dan hasilnya selalu nihil, kini setitik harapan telah hadir. Ucapan Wawan seperti sebuah keajaiban dan cahaya terang. Ayya sangat berharap jika pemikirannya benar. Tampil di hadapan orang banyak, bukanlah perkara sulit baginya. Tidak peduli jika pekerjaan itu cukup rendah, ia hanya ingin uang.

"Om? Jadi bagaimana?" tanya Ayya lagi.

"Om kata kamu? Apa saya sudah setua itu?" Wawan menelan saliva karena panggilan yang terlontar dari bibir Ayya. Bagaimana mungkin seorang gadis memanggilnya dengan kata 'om'? Padahal selama ini, ia cukup digandrungi banyak kalangan. Parasnya memang tampan, tetapi bagi Ayya biasa saja, Wawan tidak lebih tampan dari mantan kekasihnya.

"Usia saya masih enam belas tahun, Om. Mau ke tujuh belas sih, tapi masih beberapa bulan lagi."

Wawan berpikir sejenak. "Memangnya kamu tidak sekolah?"

"Dulu iya, sekarang tidak."

Dahi Wawan berkerut samar. "Memangnya kenapa?"

"Apa penting menanyakan itu?" balas Ayya dengan suara cukup ketus.

"Penting, saya butuh data diri kamu. Anggap saja ini sesi wawancara."

"Memangnya kalau mau jadi penyanyi juga butuh wawancara? Bukannya, yang penting punya suara bagus?"

Wawan agak tercengang. "Kamu kata siapa? Penyanyi kafe juga karyawan kami. Harus ada wawancara."

"Ya, maaf. Saya tidak tahu. Saya kan baru jadi orang miskin belum lama ini."

Baru jadi orang miskin? Apa maksudnya? Batin Wawan. Pengakuan Ayya memang cukup aneh. Seakan ia pernah menjadi orang kaya saja. Bagi Wawan, hal itu seperti sebuah canda belaka. Ia menganggap gadis itu hanya sembarang bicara. Namun, sepertinya akan menarik jika ditelusuri jauh lebih dalam. Dan selain itu, suara merdu Ayya membuatnya ingin memiliki gadis itu, dalam batasan sebagai penyanyi kafe. Apalagi jika dilihat-lihat, wajah Ayya sangat cantik. Dalam segi bisnis, cukup menguntungkan, bukan?

Melihat Wawan yang tersenyum-senyum sendiri, Ayya menjadi ragu. Harapan di hatinya sepertinya akan sia-sia. Lagi pula, mana ada seorang manager pintar yang asal ambil orang asing untuk bekerja. Saat ia menyandang status nona kaya pun, ia tidak sembarangan dalam memilih pelayan pribadi untuk dirinya sendiri.

"Ya sudah, Om. Ayya mau pulang deh. Busnya sudah datang tuh," ujar Ayya saat ia melihat laju bus terakhir yang mungkin bisa mengantarkannya untuk pulang.

"Tunggu!" Secara spontan, Wawan menarik tangan Ayya yang sudah berdiri. "Mari bicara di kafe, saya harus interview kamu lebih detail lagi."

Satu alis Ayya meninggi. "Om, tidak ada maksud macam-macam, 'kan?"

Wawab tergelak mendengar pertanyaan itu. "Mana ada saya begitu. Lagi pula, kamu masih terlalu kecil untuk dikerjai."

"Apa?"

"Pft ... ada-ada saja. Tenang saja, saya serius. Di kafe masih ada beberapa karyawan yang bekerja untuk shift dua.”

Ayya menunduk bimbang. Ia menggigit bibir bawahnya. Benarkah apa yang diucapkan oleh Wawan? Rasa takut sedikit tumbuh di hatinya, tetapi di sisi lain ia juga merasa sayang untuk melewatkan kesempatan yang ada. Kini, untuk bergegas pulang pun, ia tidak bisa karena bus sudah melaju cepat.

"Ayo, Ayya."

Ayya memandang wajah Wawan dengan seksama. Memang, tidak ada tampang orang jahat di wajah pria itu. Namun, ia juga tidak bisa menilai seseorang hanya pada tampilan fisik saja. Bagaimana jika pria di hadapannya itu tengah berbohong? Ia melirik ke arah kafe. Seingatnya, kafe tersebut cukup megah dan besar.

"Iya sudah, Om. Ayya ikut." Akhirnya Ayya membuat keputusan dalam balutan rasa ragu yang masih tetap ada. Namun, jika tidak mencoba, bagaimana ia bisa tahu. Kesempatan tidak datang dua kali. Siapa tahu, Wawan memang benar-benar membutuhkan seorang penyanyi.

Sementara itu, Wawan membalas persetujuan Ayya dengan senyuman. Kemudian, ia meminta gadis itu untuk berjalan menuju kafe dengan cara mengikutinya. Ia membutuhkan banyak data dan informasi seputar hidup Ayya, terlebih gadis itu masih di bawah umur. Ia cukup menginginkan suara Ayya, tetapi tidak bisa gegabah begitu saja. Syukur-syukur CEO yang sekaligus menjadi pemilik kafe bisa menyetujui kedatangan Ayya. Anggap saja, mereka sedang memberikan pekerjaan paruh waktu.

Lantas, apakah Ayya akan diterima di sana? Oleh sang CEO dan juga karyawan lain?

****

Bab terkait

  • Cinta Terbalut Benci   Interview

    Di sebuah ruang kerja berisi dengan berbagai berkas, Ayya tengah duduk di sebuah kursi yang berhadapan dengan meja kerja milik Wawan. Sebenarnya, ia cukup bingung akan melakukan apa, karena sejak tadi Wawan justru hanya diam sembari menatapnya. Sifat Ayya yang sudah semakin dingin, kini hanya berekspresi datar dan ketus, daripada memilih menanyakan maksud tatapan dari pria yang berada di hadapannya.Sampai akhirnya, terdengar Wawan sedang berdeham. “Jadi, kamu ingin sekali mendapatkan pekerjaan?” tanyanya pada gadis cantik di hadapannya itu.“Kalau tidak ingin, saya juga tidak mau ikut sama Om!” Dengan ekspresi yang masih datar, Ayya memberikan jawaban.Wawan menggelengkan kepala. Ia tidak habis pikir dengan sikap Ayya yang sekenanya saja, sama sekali tidak mencerminkan rasa sopan santun, meski situasi dirinya saat ini adalah sedang melamar pekerjaan. Apa karena usia Ayya yang masih terlalu muda? Sehingga belum paham tentang tata krama?Namun, bagaimana tenta

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-03
  • Cinta Terbalut Benci   Pertengkaran Orang Tua

    Setelah subuh berlalu, Ayya sudah berkutat dengan sebuah cermin kecil yang dulu kerap ia bawa ke sekolah, juga sisa alat make-up telah ia siapkan di samping letak tubuhnya. Gadis cantik itu tampak sibuk bersolek, mempercantik wajahnya dengan beberapa pulas riasan bermerek mahal yang masih tersisa.Kesibukan Ayya di pagi-pagi buta seperti saat ini tentu saja bukan tanpa sebab, melainkan karena kabar dari Wawan yang ia dapatkan tadi malam. Yang mana pria itu memintanya hadir ke kafe untuk uji suara dan akan dinilai secara langsung oleh owner sekaligus CEO kafe tersebut.“Untungnya aku tidak sok jual mahal, pas Om itu minta nomorku,” ucap Ayya kemudian tersenyum dan menatap wajahnya di pantulan cermin kecil di tangannya tersebut.Detik berikutnya, gadis itu menghela napas lalu menurunkan cermin yang kemudian ia geletakkan di atas ranjang. “Setelah ini, aku akan bekerja dengan keras demi membantu Papa dalam membangkitkan ekonomi keluarga. Tak masal

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-05
  • Cinta Terbalut Benci   Berubah Dalam Sekejap

    Tadi malam, hujan turun begitu deras. Bahkan bersama halilintar yang bersahut-sahutan. Tubuh lunglai Pak Raden seperti sudah tidak kuasa untuk bangkit lagi. Sedangkan, Ibu Medina masih sibuk menangis. Ayya Diandra Pratama—anak tunggal alias semata wayang mereka berdua—tengah menatap langit biru yang sudah cerah kembali, seolah tidak bersedia turut larut ke dalam penderitaan yang mereka semua alami."Pa, kita mau tinggal di mana lagi?" Suara serak bersama isakan tangis terdengar dari bibir tipis dari Ibu Medina."Papa belum tahu, Ma," jawab Pak Raden di detik berikutnya. Sedih dalam hatinya, apalagi saat melihat anak dan istri ikut menderita. Pak Raden merasa sangat terpukul sekaligus tidak berguna.Ya, mereka bertiga saat ini tengah berada di bawah kolong jembatan yang kumuh. Jika berjalan lebih ke lima ratus meter ke depan, sisa-sisa dari kericuhan kemarin masih banyak. Pembakaran akibat amukan dari massa. Lalu, mengapa mereka bertiga terkena dampaknya? Para pende

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-26
  • Cinta Terbalut Benci   Lara Hati Ayya

    Selang satu minggu kemudian, setelah semua yang terjadi pada keluarga Pak Raden, mereka sudah berada di kota besar bernama Jakarta. Entah apa yang menyebabkan Anwar—orang kepercayaan Pak Raden—memutuskan untuk mengirim keluarga atasannya itu ke kota itu. Bukan perkara mudah untuk hidup di kota besar. Tidak ada sanak saudara, bahkan sebatas kenalan pun tidak ada.Di dalam rumah kontrakan sempit, Pak Raden beserta anak dan istrinya kini tinggal. Sesuatu yang sangat ia takuti, bahkan sedari muda, kini terjadi. Bangkrut! Impiannya hanya satu; ingin membuat keluarganya selalu diliputi bahagia, tanpa adanya kekurangan apa pun. Namun kini, momok menakutkan malah terjadi. Meskipun ia begitu keras dalam membangun usaha, terus berbuat kebaikan, tetap ada saja orang yang berlalu curang.Pak Raden hanya bisa berpasrah pada keadaan. Bahkan, ia belum memiliki rencana apa pun. Tidak banyak harta yang ia miliki, hanya uang sisa pemberian Anwar. Yang tentunya akan habis, jika ia tidak be

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-26
  • Cinta Terbalut Benci   Diputuskan Pacar

    Dering ponsel yang tiba-tiba berbunyi, membuat Ayya terpaksa terbangun dari tidurnya. Dengan gerak malas dan mata yang masih sembab, ia berusaha meraih ponselnya di samping kepalanya. Dikerjap-kerjapkannya matanya lagi, supaya pandangannya menjadi jelas. Setelah itu, ia terbangun, tepatnya saat mendapati nama sang kekasih muncul di layar ponsel tersebut."Halo, Randy," sapa Ayya pada pria itu."Hai, Ayy. Selamat pagi," balas Randy dari kota nun jauh sana.Sejenak, Ayya terdiam. Lalu, setelah beberapa saat ia kembali berkata, "Kamu apa kabar, Randy?""Baik, Ayy. Kamu sehat, 'kan?""Ya, aku sehat."Ayya menghela napas. "Aku pikir kamu kenapa-napa.""Tidak, Ayy.""Ya, syukur Alhamdulillah. Ada apa? Kenapa kamu baru menghubungi aku?""Ayy?""Ya?""Kita ... kita berpisah saja."Berpisah? Sebuah permintaan yang sebenarnya sangat berat untuk dikabulkan. Tentu saja, membuat hati Ayya yang sudah lara akan semakin pilu. P

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-02

Bab terbaru

  • Cinta Terbalut Benci   Pertengkaran Orang Tua

    Setelah subuh berlalu, Ayya sudah berkutat dengan sebuah cermin kecil yang dulu kerap ia bawa ke sekolah, juga sisa alat make-up telah ia siapkan di samping letak tubuhnya. Gadis cantik itu tampak sibuk bersolek, mempercantik wajahnya dengan beberapa pulas riasan bermerek mahal yang masih tersisa.Kesibukan Ayya di pagi-pagi buta seperti saat ini tentu saja bukan tanpa sebab, melainkan karena kabar dari Wawan yang ia dapatkan tadi malam. Yang mana pria itu memintanya hadir ke kafe untuk uji suara dan akan dinilai secara langsung oleh owner sekaligus CEO kafe tersebut.“Untungnya aku tidak sok jual mahal, pas Om itu minta nomorku,” ucap Ayya kemudian tersenyum dan menatap wajahnya di pantulan cermin kecil di tangannya tersebut.Detik berikutnya, gadis itu menghela napas lalu menurunkan cermin yang kemudian ia geletakkan di atas ranjang. “Setelah ini, aku akan bekerja dengan keras demi membantu Papa dalam membangkitkan ekonomi keluarga. Tak masal

  • Cinta Terbalut Benci   Interview

    Di sebuah ruang kerja berisi dengan berbagai berkas, Ayya tengah duduk di sebuah kursi yang berhadapan dengan meja kerja milik Wawan. Sebenarnya, ia cukup bingung akan melakukan apa, karena sejak tadi Wawan justru hanya diam sembari menatapnya. Sifat Ayya yang sudah semakin dingin, kini hanya berekspresi datar dan ketus, daripada memilih menanyakan maksud tatapan dari pria yang berada di hadapannya.Sampai akhirnya, terdengar Wawan sedang berdeham. “Jadi, kamu ingin sekali mendapatkan pekerjaan?” tanyanya pada gadis cantik di hadapannya itu.“Kalau tidak ingin, saya juga tidak mau ikut sama Om!” Dengan ekspresi yang masih datar, Ayya memberikan jawaban.Wawan menggelengkan kepala. Ia tidak habis pikir dengan sikap Ayya yang sekenanya saja, sama sekali tidak mencerminkan rasa sopan santun, meski situasi dirinya saat ini adalah sedang melamar pekerjaan. Apa karena usia Ayya yang masih terlalu muda? Sehingga belum paham tentang tata krama?Namun, bagaimana tenta

  • Cinta Terbalut Benci   Suara yang Merdu

    Ayya berdiam diri di suatu tempat bernama halte bus. Meski bus sudah datang, bahkan beberapa kali, ia sama sekali tidak mau naik. Pikirannya sedang kacau, dan tidak ingin pulang terlebih dahulu. Penyebab kerisauan hati Ayya bukan karena kenangan buruk tentang kebangkrutan saja, tetapi dalam hal mendapatkan sumber penghasilan.Ternyata, mencari pekerjaan bukanlah sesuatu yang mudah bagi Ayya. Sebagai anak yang bahkan belum lulus dari bangku SMA, tentu saja akan membuat para bos enggan menerima tenaganya. Dengan kenyataan se-demikian buruk itu, lantas, harus ke mana lagi ia mencari sumber penghasilan?Sudah terhitung tiga hari, Ayya kebingungan. Ia pun masih saja menolak mentah-mentah perihal sekolah. Ayya sudah terlanjur malas. Lagi pula uang dari mana? Ia bukan termasuk siswi yang pintar, beasiswa tidak akan bisa ia dapatkan.Di titik itu, Ayya baru merasa menyesal, tentang bagaimana sikapnya di masa lalu. Sering bermain

  • Cinta Terbalut Benci   Diputuskan Pacar

    Dering ponsel yang tiba-tiba berbunyi, membuat Ayya terpaksa terbangun dari tidurnya. Dengan gerak malas dan mata yang masih sembab, ia berusaha meraih ponselnya di samping kepalanya. Dikerjap-kerjapkannya matanya lagi, supaya pandangannya menjadi jelas. Setelah itu, ia terbangun, tepatnya saat mendapati nama sang kekasih muncul di layar ponsel tersebut."Halo, Randy," sapa Ayya pada pria itu."Hai, Ayy. Selamat pagi," balas Randy dari kota nun jauh sana.Sejenak, Ayya terdiam. Lalu, setelah beberapa saat ia kembali berkata, "Kamu apa kabar, Randy?""Baik, Ayy. Kamu sehat, 'kan?""Ya, aku sehat."Ayya menghela napas. "Aku pikir kamu kenapa-napa.""Tidak, Ayy.""Ya, syukur Alhamdulillah. Ada apa? Kenapa kamu baru menghubungi aku?""Ayy?""Ya?""Kita ... kita berpisah saja."Berpisah? Sebuah permintaan yang sebenarnya sangat berat untuk dikabulkan. Tentu saja, membuat hati Ayya yang sudah lara akan semakin pilu. P

  • Cinta Terbalut Benci   Lara Hati Ayya

    Selang satu minggu kemudian, setelah semua yang terjadi pada keluarga Pak Raden, mereka sudah berada di kota besar bernama Jakarta. Entah apa yang menyebabkan Anwar—orang kepercayaan Pak Raden—memutuskan untuk mengirim keluarga atasannya itu ke kota itu. Bukan perkara mudah untuk hidup di kota besar. Tidak ada sanak saudara, bahkan sebatas kenalan pun tidak ada.Di dalam rumah kontrakan sempit, Pak Raden beserta anak dan istrinya kini tinggal. Sesuatu yang sangat ia takuti, bahkan sedari muda, kini terjadi. Bangkrut! Impiannya hanya satu; ingin membuat keluarganya selalu diliputi bahagia, tanpa adanya kekurangan apa pun. Namun kini, momok menakutkan malah terjadi. Meskipun ia begitu keras dalam membangun usaha, terus berbuat kebaikan, tetap ada saja orang yang berlalu curang.Pak Raden hanya bisa berpasrah pada keadaan. Bahkan, ia belum memiliki rencana apa pun. Tidak banyak harta yang ia miliki, hanya uang sisa pemberian Anwar. Yang tentunya akan habis, jika ia tidak be

  • Cinta Terbalut Benci   Berubah Dalam Sekejap

    Tadi malam, hujan turun begitu deras. Bahkan bersama halilintar yang bersahut-sahutan. Tubuh lunglai Pak Raden seperti sudah tidak kuasa untuk bangkit lagi. Sedangkan, Ibu Medina masih sibuk menangis. Ayya Diandra Pratama—anak tunggal alias semata wayang mereka berdua—tengah menatap langit biru yang sudah cerah kembali, seolah tidak bersedia turut larut ke dalam penderitaan yang mereka semua alami."Pa, kita mau tinggal di mana lagi?" Suara serak bersama isakan tangis terdengar dari bibir tipis dari Ibu Medina."Papa belum tahu, Ma," jawab Pak Raden di detik berikutnya. Sedih dalam hatinya, apalagi saat melihat anak dan istri ikut menderita. Pak Raden merasa sangat terpukul sekaligus tidak berguna.Ya, mereka bertiga saat ini tengah berada di bawah kolong jembatan yang kumuh. Jika berjalan lebih ke lima ratus meter ke depan, sisa-sisa dari kericuhan kemarin masih banyak. Pembakaran akibat amukan dari massa. Lalu, mengapa mereka bertiga terkena dampaknya? Para pende

DMCA.com Protection Status