Selang satu minggu kemudian, setelah semua yang terjadi pada keluarga Pak Raden, mereka sudah berada di kota besar bernama Jakarta. Entah apa yang menyebabkan Anwar—orang kepercayaan Pak Raden—memutuskan untuk mengirim keluarga atasannya itu ke kota itu. Bukan perkara mudah untuk hidup di kota besar. Tidak ada sanak saudara, bahkan sebatas kenalan pun tidak ada.
Di dalam rumah kontrakan sempit, Pak Raden beserta anak dan istrinya kini tinggal. Sesuatu yang sangat ia takuti, bahkan sedari muda, kini terjadi. Bangkrut! Impiannya hanya satu; ingin membuat keluarganya selalu diliputi bahagia, tanpa adanya kekurangan apa pun. Namun kini, momok menakutkan malah terjadi. Meskipun ia begitu keras dalam membangun usaha, terus berbuat kebaikan, tetap ada saja orang yang berlalu curang.
Pak Raden hanya bisa berpasrah pada keadaan. Bahkan, ia belum memiliki rencana apa pun. Tidak banyak harta yang ia miliki, hanya uang sisa pemberian Anwar. Yang tentunya akan habis, jika ia tidak bergerak cepat untuk mencari sumber penghasilan.
Saat ini, Pak Raden hanya bisa menyesap kopi murah dari warung setempat sembari melamun. Kopi yang sangat ia gemari sudah mustahil untuk dirasa oleh lidahnya lagi. Hidupnya sudah hancur, hartanya habis!
"Kenapa Tuhan menghukumku seperti ini? Seingatku, aku nyaris tidak pernah berbuat salah," gumam Pak Raden sesaat setelah menyesap kopi hambar dari gelas belimbing, bukan lagi cangkir mewah yang senilai ratusan bahkan jutaan rupiah.
Sementara itu, Ibu Medina hanya bisa menghela napas dari ambang pintu utama rumah sempit tersebut. Pandangannya terlempar jauh ke arah depan, dan pikirannya melayang entah ke mana. Gaya sosialita kini tidak lagi membalut setiap jengkal bagian tubuhnya. Perhiasan mewah sudah habis dijual, kecuali satu cincin pernikahan. Tidak ada lagi kumpul-kumpul ceria bersama geng sosialita-nya.
Kemudian, Ibu Medina mendengkus kesal. "Aku tidak bisa hidup begini, Pa," ujarnya kepada Pak Raden yang posisinya tidak jauh darinya.
"Lalu, bagaimana, Ma?" Pak Raden menjawab ucapan sang istri tanpa menatap sedikit pun. Ia memilih untuk menunduk, melainkan rasa malu yang sudah menumpuk di dalam dasar hati.
Tidak ada lagi pembicaraan selepas Pak Raden melemparkan kalimat tanya. Sepasang suami istri yang sudah menikah selama hampir dua puluh tahun itu, masih meratapi nasib yang bagaikan mimpi buruk.
Roda berputar dengan sangat cepat, bahkan nyaris melebihi rotasi bumi. Hembusan napas yang sempat mereka hela pun, terdengar sangat menyesakkan. Rasa malu, tidak terbiasa, aneh sekaligus syok masih bercampur menjadi satu, menciptakan bait-bait rintih yang sangat memilukan.
Sedangkan Ayya, ia baru saja bangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Rambut yang selalu rapi dan halus, kini mendadak berantakan tak terurus. Jika sebelumnya, ia gemar ke salon, kini untuk makan saja sangat sulit. Hitungan uang milik Pak Raden kian menipis. Meskipun pernah menyandang gelar 'Nona Kaya nan Menawan' tidak lantas membuatnya kehilangan akal sehat. Ia sangat mengerti kondisi keluarganya sekarang, meski belum bisa menerima semuanya dengan ikhlas.
Ayya berdeham, sampai membuyarkan lamunan kedua orang tuanya. "Malam ini kita makan apa, Ma, Pa?" tanyanya sembari menunduk.
"Batu!" jawab Ibu Medina dengan tegas.
"Jangan begitu sama anak, Ma. Nanti malam kita beli pecel ayam saja ya, Nak?" Pak Raden tersenyum di balik kepiluan yang mendera hatinya. Ia merasa sedikit tersinggung dengan jawaban sang istri, satu kata tegas yang baginya seperti jarum tajam yang sanggup menembus jantung.
Ayya terdiam. Ia memilih kembali ke kamarnya yang kini terasa panas. Tidak ada lagi AC ataupun televisi ber-inch besar. Almari yang tersedia saja sudah rusak, bahkan nyaris tidak bisa dipakai lagi. Pintunya telah lepas satu, sehingga tumpukan pakaian milik Ayya terlihat sangat jelas. Apa ini? Pertanyaan yang kerap kali muncul di hati dan benak Ayya. Namun mau mengeluh pun bagaimana, tidak akan bisa merubah segala sesuatu yang sudah terjadi.
Sembari merebahkan diri di kasur busa yang sudah kempes, Ayya menarik ponselnya dari dalam tas ransel yang berada di sampingnya. Ia memainkan benda pintar itu untuk mencari keberadaan nomor ponsel milik salah seorang sahabatnya. Ia menekan tombol hijau dan melakukan panggilan suara pada sahabatnya bernama Abella.
"Hai, Abel." Dengan suara penuh ragu, Ayya menyapa sahabatnya itu setelah panggilan darinya diterima.
"Hai juga Non-- ... sorry, hai Ayy. Bagaimana kabar kamu di sana?" tanya Abella kembali. Tampaknya ia hampir salah memanggil, dan pasti hatinya sedang merasa tidak enak karena hal itu.
Ayya terenyak pilu. Rasanya ingin menangis, tetapi sudah terlalu sungkan. Betapa ia ingin gelar 'Nona Kaya nan Menawan' itu kembali melekat pada dirinya. Namun semua justru sudah menjadi suatu kemustahilan semata. "Aku baik-baik saja, Bel. Kamu di sana, bagaimana?"
"Aku baik. Tapi, ...." Suara Abella melemah. Ia ingin menjelaskan sesuatu yang mungkin akan membuat Ayya sakit hati. Namun ia tidak bisa setega itu pada Ayya. Terlebih, Ayya kerap memberikan barang-barang cantik dan mahal kala belum ada kebangkrutan.
"Tapi apa, Bel?"
"Emm, ... Randy—"
"Randy? Randy kenapa?"
"Emm ....”
"Kenapa, Abel? Dia mencari aku? Dia beberapa hari ini tidak bisa dihubungi. Dia ke mana? Kamu tahu bagaimana kabarnya, tidak?"
Abella terdiam. Lidahnya mungkin terasa sangat kelu. Bagaimana tidak, hal yang hendak ia sampaikan adalah berkenaan dengan Randy—kekasih Ayya.
Sedangkan Ayya kini telah dirundung rasa bingung. Ia cemas, takut jika Randy ikut dilibatkan dalam masalah keluarganya. Bisa saja orang licik yang menghancurkan keluarganya tengah mengincar siapa pun, yang memiliki kedekatan dengan keluarga Pak Raden. Tidak luput, bahkan sahabatnya juga, Abella dan Dina.
Mengingat semua kemungkinan itu, mendadak jantung Ayya berdegup kencang. Tubuh Ayya gemetar luar biasa. Terlebih ketika Abella memutus panggilan secara sepihak. Kian kalut perasaan Ayya. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula, meski ia belum mengetahui kebenarannya yang terjadi. Namun justru karena itu, pikiran Ayya melayang tidak jelas. Ia sudah sangat mencintai Randy, juga menyayangi kedua sahabatnya itu. Bagaimana jika mereka bertiga merasa jijik padanya yanh sudah jatuh miskin?
Ayya menghela napas sampai beberapa kali. "Ah! Semoga Randy, Abella dan Dina tetap baik-baik saja."
Ayya melenguh, kemudian berangsur mengubah posisi tidur. Ia berusaha membuang segala kegusaran yang ada. Semua yang terjadi masih sukar dipercaya. Meski sudah berjalan satu minggu lamanya. Terlepas dari permasalahan mengenai Randy, ia pun kini harus diterpa dilema, akan melanjutkan sekolah atau tidak. Tentu tidak ada biaya, tetapi haruskah ia tidak lulus SMA? Jika tidak melanjutkan, ia akan melakukan apa? Uang sang ayah menipis, ibundanya uring-uringan.
"Sulit! Menjadi orang miskin itu sulit!" Pada akhirnya dan kesekian kalinya, Ayya kembali meratapi nasib. Menangis menjadi andalan pada saat terbayang semua kejadian itu.
Sementara itu, Pak Raden hanya bisa terduduk lesu di balik pintu kamar Ayya. Ruang kamar yang tidak kedap suara, membuat telinganya tak sengaja mendengar keluhan anak semata wayangnya tersebut. Hati Pak Raden kembali hancur, rasa bersalah-lah yang paling mendominasi ruang hati, bahkan seluruh tubuhnya.
***
Dering ponsel yang tiba-tiba berbunyi, membuat Ayya terpaksa terbangun dari tidurnya. Dengan gerak malas dan mata yang masih sembab, ia berusaha meraih ponselnya di samping kepalanya. Dikerjap-kerjapkannya matanya lagi, supaya pandangannya menjadi jelas. Setelah itu, ia terbangun, tepatnya saat mendapati nama sang kekasih muncul di layar ponsel tersebut."Halo, Randy," sapa Ayya pada pria itu."Hai, Ayy. Selamat pagi," balas Randy dari kota nun jauh sana.Sejenak, Ayya terdiam. Lalu, setelah beberapa saat ia kembali berkata, "Kamu apa kabar, Randy?""Baik, Ayy. Kamu sehat, 'kan?""Ya, aku sehat."Ayya menghela napas. "Aku pikir kamu kenapa-napa.""Tidak, Ayy.""Ya, syukur Alhamdulillah. Ada apa? Kenapa kamu baru menghubungi aku?""Ayy?""Ya?""Kita ... kita berpisah saja."Berpisah? Sebuah permintaan yang sebenarnya sangat berat untuk dikabulkan. Tentu saja, membuat hati Ayya yang sudah lara akan semakin pilu. P
Ayya berdiam diri di suatu tempat bernama halte bus. Meski bus sudah datang, bahkan beberapa kali, ia sama sekali tidak mau naik. Pikirannya sedang kacau, dan tidak ingin pulang terlebih dahulu. Penyebab kerisauan hati Ayya bukan karena kenangan buruk tentang kebangkrutan saja, tetapi dalam hal mendapatkan sumber penghasilan.Ternyata, mencari pekerjaan bukanlah sesuatu yang mudah bagi Ayya. Sebagai anak yang bahkan belum lulus dari bangku SMA, tentu saja akan membuat para bos enggan menerima tenaganya. Dengan kenyataan se-demikian buruk itu, lantas, harus ke mana lagi ia mencari sumber penghasilan?Sudah terhitung tiga hari, Ayya kebingungan. Ia pun masih saja menolak mentah-mentah perihal sekolah. Ayya sudah terlanjur malas. Lagi pula uang dari mana? Ia bukan termasuk siswi yang pintar, beasiswa tidak akan bisa ia dapatkan.Di titik itu, Ayya baru merasa menyesal, tentang bagaimana sikapnya di masa lalu. Sering bermain
Di sebuah ruang kerja berisi dengan berbagai berkas, Ayya tengah duduk di sebuah kursi yang berhadapan dengan meja kerja milik Wawan. Sebenarnya, ia cukup bingung akan melakukan apa, karena sejak tadi Wawan justru hanya diam sembari menatapnya. Sifat Ayya yang sudah semakin dingin, kini hanya berekspresi datar dan ketus, daripada memilih menanyakan maksud tatapan dari pria yang berada di hadapannya.Sampai akhirnya, terdengar Wawan sedang berdeham. “Jadi, kamu ingin sekali mendapatkan pekerjaan?” tanyanya pada gadis cantik di hadapannya itu.“Kalau tidak ingin, saya juga tidak mau ikut sama Om!” Dengan ekspresi yang masih datar, Ayya memberikan jawaban.Wawan menggelengkan kepala. Ia tidak habis pikir dengan sikap Ayya yang sekenanya saja, sama sekali tidak mencerminkan rasa sopan santun, meski situasi dirinya saat ini adalah sedang melamar pekerjaan. Apa karena usia Ayya yang masih terlalu muda? Sehingga belum paham tentang tata krama?Namun, bagaimana tenta
Setelah subuh berlalu, Ayya sudah berkutat dengan sebuah cermin kecil yang dulu kerap ia bawa ke sekolah, juga sisa alat make-up telah ia siapkan di samping letak tubuhnya. Gadis cantik itu tampak sibuk bersolek, mempercantik wajahnya dengan beberapa pulas riasan bermerek mahal yang masih tersisa.Kesibukan Ayya di pagi-pagi buta seperti saat ini tentu saja bukan tanpa sebab, melainkan karena kabar dari Wawan yang ia dapatkan tadi malam. Yang mana pria itu memintanya hadir ke kafe untuk uji suara dan akan dinilai secara langsung oleh owner sekaligus CEO kafe tersebut.“Untungnya aku tidak sok jual mahal, pas Om itu minta nomorku,” ucap Ayya kemudian tersenyum dan menatap wajahnya di pantulan cermin kecil di tangannya tersebut.Detik berikutnya, gadis itu menghela napas lalu menurunkan cermin yang kemudian ia geletakkan di atas ranjang. “Setelah ini, aku akan bekerja dengan keras demi membantu Papa dalam membangkitkan ekonomi keluarga. Tak masal
Tadi malam, hujan turun begitu deras. Bahkan bersama halilintar yang bersahut-sahutan. Tubuh lunglai Pak Raden seperti sudah tidak kuasa untuk bangkit lagi. Sedangkan, Ibu Medina masih sibuk menangis. Ayya Diandra Pratama—anak tunggal alias semata wayang mereka berdua—tengah menatap langit biru yang sudah cerah kembali, seolah tidak bersedia turut larut ke dalam penderitaan yang mereka semua alami."Pa, kita mau tinggal di mana lagi?" Suara serak bersama isakan tangis terdengar dari bibir tipis dari Ibu Medina."Papa belum tahu, Ma," jawab Pak Raden di detik berikutnya. Sedih dalam hatinya, apalagi saat melihat anak dan istri ikut menderita. Pak Raden merasa sangat terpukul sekaligus tidak berguna.Ya, mereka bertiga saat ini tengah berada di bawah kolong jembatan yang kumuh. Jika berjalan lebih ke lima ratus meter ke depan, sisa-sisa dari kericuhan kemarin masih banyak. Pembakaran akibat amukan dari massa. Lalu, mengapa mereka bertiga terkena dampaknya? Para pende
Setelah subuh berlalu, Ayya sudah berkutat dengan sebuah cermin kecil yang dulu kerap ia bawa ke sekolah, juga sisa alat make-up telah ia siapkan di samping letak tubuhnya. Gadis cantik itu tampak sibuk bersolek, mempercantik wajahnya dengan beberapa pulas riasan bermerek mahal yang masih tersisa.Kesibukan Ayya di pagi-pagi buta seperti saat ini tentu saja bukan tanpa sebab, melainkan karena kabar dari Wawan yang ia dapatkan tadi malam. Yang mana pria itu memintanya hadir ke kafe untuk uji suara dan akan dinilai secara langsung oleh owner sekaligus CEO kafe tersebut.“Untungnya aku tidak sok jual mahal, pas Om itu minta nomorku,” ucap Ayya kemudian tersenyum dan menatap wajahnya di pantulan cermin kecil di tangannya tersebut.Detik berikutnya, gadis itu menghela napas lalu menurunkan cermin yang kemudian ia geletakkan di atas ranjang. “Setelah ini, aku akan bekerja dengan keras demi membantu Papa dalam membangkitkan ekonomi keluarga. Tak masal
Di sebuah ruang kerja berisi dengan berbagai berkas, Ayya tengah duduk di sebuah kursi yang berhadapan dengan meja kerja milik Wawan. Sebenarnya, ia cukup bingung akan melakukan apa, karena sejak tadi Wawan justru hanya diam sembari menatapnya. Sifat Ayya yang sudah semakin dingin, kini hanya berekspresi datar dan ketus, daripada memilih menanyakan maksud tatapan dari pria yang berada di hadapannya.Sampai akhirnya, terdengar Wawan sedang berdeham. “Jadi, kamu ingin sekali mendapatkan pekerjaan?” tanyanya pada gadis cantik di hadapannya itu.“Kalau tidak ingin, saya juga tidak mau ikut sama Om!” Dengan ekspresi yang masih datar, Ayya memberikan jawaban.Wawan menggelengkan kepala. Ia tidak habis pikir dengan sikap Ayya yang sekenanya saja, sama sekali tidak mencerminkan rasa sopan santun, meski situasi dirinya saat ini adalah sedang melamar pekerjaan. Apa karena usia Ayya yang masih terlalu muda? Sehingga belum paham tentang tata krama?Namun, bagaimana tenta
Ayya berdiam diri di suatu tempat bernama halte bus. Meski bus sudah datang, bahkan beberapa kali, ia sama sekali tidak mau naik. Pikirannya sedang kacau, dan tidak ingin pulang terlebih dahulu. Penyebab kerisauan hati Ayya bukan karena kenangan buruk tentang kebangkrutan saja, tetapi dalam hal mendapatkan sumber penghasilan.Ternyata, mencari pekerjaan bukanlah sesuatu yang mudah bagi Ayya. Sebagai anak yang bahkan belum lulus dari bangku SMA, tentu saja akan membuat para bos enggan menerima tenaganya. Dengan kenyataan se-demikian buruk itu, lantas, harus ke mana lagi ia mencari sumber penghasilan?Sudah terhitung tiga hari, Ayya kebingungan. Ia pun masih saja menolak mentah-mentah perihal sekolah. Ayya sudah terlanjur malas. Lagi pula uang dari mana? Ia bukan termasuk siswi yang pintar, beasiswa tidak akan bisa ia dapatkan.Di titik itu, Ayya baru merasa menyesal, tentang bagaimana sikapnya di masa lalu. Sering bermain
Dering ponsel yang tiba-tiba berbunyi, membuat Ayya terpaksa terbangun dari tidurnya. Dengan gerak malas dan mata yang masih sembab, ia berusaha meraih ponselnya di samping kepalanya. Dikerjap-kerjapkannya matanya lagi, supaya pandangannya menjadi jelas. Setelah itu, ia terbangun, tepatnya saat mendapati nama sang kekasih muncul di layar ponsel tersebut."Halo, Randy," sapa Ayya pada pria itu."Hai, Ayy. Selamat pagi," balas Randy dari kota nun jauh sana.Sejenak, Ayya terdiam. Lalu, setelah beberapa saat ia kembali berkata, "Kamu apa kabar, Randy?""Baik, Ayy. Kamu sehat, 'kan?""Ya, aku sehat."Ayya menghela napas. "Aku pikir kamu kenapa-napa.""Tidak, Ayy.""Ya, syukur Alhamdulillah. Ada apa? Kenapa kamu baru menghubungi aku?""Ayy?""Ya?""Kita ... kita berpisah saja."Berpisah? Sebuah permintaan yang sebenarnya sangat berat untuk dikabulkan. Tentu saja, membuat hati Ayya yang sudah lara akan semakin pilu. P
Selang satu minggu kemudian, setelah semua yang terjadi pada keluarga Pak Raden, mereka sudah berada di kota besar bernama Jakarta. Entah apa yang menyebabkan Anwar—orang kepercayaan Pak Raden—memutuskan untuk mengirim keluarga atasannya itu ke kota itu. Bukan perkara mudah untuk hidup di kota besar. Tidak ada sanak saudara, bahkan sebatas kenalan pun tidak ada.Di dalam rumah kontrakan sempit, Pak Raden beserta anak dan istrinya kini tinggal. Sesuatu yang sangat ia takuti, bahkan sedari muda, kini terjadi. Bangkrut! Impiannya hanya satu; ingin membuat keluarganya selalu diliputi bahagia, tanpa adanya kekurangan apa pun. Namun kini, momok menakutkan malah terjadi. Meskipun ia begitu keras dalam membangun usaha, terus berbuat kebaikan, tetap ada saja orang yang berlalu curang.Pak Raden hanya bisa berpasrah pada keadaan. Bahkan, ia belum memiliki rencana apa pun. Tidak banyak harta yang ia miliki, hanya uang sisa pemberian Anwar. Yang tentunya akan habis, jika ia tidak be
Tadi malam, hujan turun begitu deras. Bahkan bersama halilintar yang bersahut-sahutan. Tubuh lunglai Pak Raden seperti sudah tidak kuasa untuk bangkit lagi. Sedangkan, Ibu Medina masih sibuk menangis. Ayya Diandra Pratama—anak tunggal alias semata wayang mereka berdua—tengah menatap langit biru yang sudah cerah kembali, seolah tidak bersedia turut larut ke dalam penderitaan yang mereka semua alami."Pa, kita mau tinggal di mana lagi?" Suara serak bersama isakan tangis terdengar dari bibir tipis dari Ibu Medina."Papa belum tahu, Ma," jawab Pak Raden di detik berikutnya. Sedih dalam hatinya, apalagi saat melihat anak dan istri ikut menderita. Pak Raden merasa sangat terpukul sekaligus tidak berguna.Ya, mereka bertiga saat ini tengah berada di bawah kolong jembatan yang kumuh. Jika berjalan lebih ke lima ratus meter ke depan, sisa-sisa dari kericuhan kemarin masih banyak. Pembakaran akibat amukan dari massa. Lalu, mengapa mereka bertiga terkena dampaknya? Para pende