Natasha pun bergegas keluar. Sampai di depan gedung pengacara kondang itu. Natasha membuka membuka map di tangannya. Natasha pun mengambil selembar kertas kecil yang disatukan denga kertas-kertas lainnya. Sementara sisa berkas itu ia buang di tong sampah. Saat Natasha hendak memasukkan kertas cek itu ke dalam kantong bajunya tiba-tiba sebuah angin berhembus kencang lalu menerbangkan kertas kecil yang sangat berharga bagi Natasha itu.
"Cek gue!!" pekik Natasha. Tanpa pikir panjang wanita itu pun segera mengejar kemana arah angin membawa kertas itu pergi. Hingga akhirnya kertas itu terjatuh di sebuah helm yang ada di lengan seorang pengendara bermotor. Natasha pun tersenyum melihat motor itu yang sedang menunggu lampu merah berganti. Namun, saat ia hendak mendekat. Sebuah bunyi sirine dari motor polisi terdengar cukup dekat. Si pengendara pun menoleh. Kemudian entah apa yang terjadi. Ia pun seg
"Ini keluarga dari saudara Jonathan, Ndan," ujar Polisi yang menyeret Natasha masuk ke dalam ruangan itu. Seketika semua orang yang ada di ruangan itu pun menoleh. Tak terkecuali Jo. Keningnya pun berkerut sempurna menatap wanita yang sama sekali tidak dikenalnya itu. 'Siapa nih cewek? Apa mungkin sekretaris, Papa? Tumben bentuknya amburadul kayak gini,' batin Jo sambil terus mengamati Natasha dari ujung kaki sampai ujung rambutnya."Benar dia keluarga kamu?" tanya Polisi yang sedang mengintrogasi Jo."Iya.""Bukan." Jo dan Natasha pun menjawab bersamaan."Kenapa jawaban kalian berbeda? Coba jelaskan sebenar-benarnya!" kata Polisi di depan Jo."Dia me
Dengan langkah gontai Natasha berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Air matanya pun kini tak dapat mengalir lagi. Seakan sudah habis karena ia gunakan untuk menangis sepanjang jalan. Sampai di ruang ICU yang merawat Karen senyumannya pun mengembang. Melihat kondisi Karen yang kini sudah lebih baik dari saat ia meninggalkannya tadi."Karen. Kamu sudah baikan, Nak?" ujarnya sambil berlari ke arah anak perempuan berumur lima tahun yang sedang makan sate lontong kesukaannya itu. Shelin yang sedang menyuapi Karen pun segera beranjak dari tempat duduknya."Kondisinya membaik sekitar satu jam yang lalu. Karena dia lapar dan minta sate Madura. Aku beliin deh. Untung di depan ada. Habisnya loe lama banget? Kemana aja sih? Malem gini baru sampai?" brondong Shelin dengan wajah khawatir."Ceritanya panjang Shel," balas Nat
"Loe yakin ini sekolahan yang elo maksud?" tanya Natasha dengan kening yang berkerut sempurna. Matanya pun menatap lurus bangunan megah yang berada di depannya."Kenapa? Loe mulai deg-degan karena mau interview?" tanya Shelin sambil melepas sabuk pengaman yang melilit tubuhnya."Ish. Bukan gitu juga. Gue cuma nggak nyangka sekolahan sebagus ini. Butuhin orang asal-asalan dengan persyaratan nggak jelas untuk jadi bagian dari mereka. Apa itu nggak aneh, Shel?" tanya Natasha dengan kening yang berkerut sempurna. Natasha pun menatap sahabat di sampingnya. Shelin pun mengangkat kedua pundaknya bersamaan."Mana gue tau. Pasti mereka punya alasan tersendiri kenapa ngelakuin hal nggak wajar kayak gitu?" balas Shelin. "Dan sekarang, apa elo bener-bener pengen tau jawabannya?" tanya S
Pagi-pagi sekali Natasha sudah bangun. Ia pun menyetrika baju, celana dan blazer pemberian Shelin. Sungguh, Natasha benar-benar sangat beruntung memiliki teman seperti dia. Sudah dibantu untuk mendapatkan pekerjaan yang pantas. Masih diberi beberapa stel pakaian kerja lagi. Makanya, Natasha pun bertekad tidak akan pernah mengecewakan sahabatnya itu."Baju udah rapi. Sepatu udah siap. Tas juga siap. Tinggal mandi lalu dandan yang rapi," gumam Natasha sambil menatap benda-benda yang disebutkan ya tadi berada di atas kasurnya. Kecuali sepatu tentunya. Natasha pun berjalan menuju kamar mandi yang berada di dalam kontrakannya. Belum sempat membuka pintu kamar mandi. Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu kontrakan itu.Tok. Tok. Tok. Bunyi pintu kayu yang masih tertutup rapat itu. Natasha pun mengurungkan niatnya. Langkahnya berbelok ke arah sumber suara. Cekrek! Pin
Natasha masih syok dengan kenyataan bahwa anak bandel itu adalah anak dari pemilik sekolahan ini. Otaknya seketika membeku menjadi batu. Dadanya terasa sesak, sementara badannya terasa sangat lemas. 'Kali ini. Kali ini dia bisa minta bokapnya untuk memecat gue. Di hari pertama gue kerja,' batin Natasha berulang-ulang. Harapannya pun terasa hancur lebur bak debu jalanan yang terhempas angin kencang."Bu. Bu Natasha. Bu Natasha baik-baik saja, kan?" tanya Bu Elena sambil menabok pipi Natasha dengan pelan. Namun, Natasha benar-benar tidak merespon sama sekali. "Bu Delima, Bu Airin. Tolong bawa dia ke ruangannya. Biar saya ambilkan minuman di kantin," perintah Bu Elena kepada kedua stafnya."Baik, Bu," jawab mereka kompak.Dengan sigap mereka pun membawa tubuh lemas Natasha ke ruangannya yang memang sengaja dip
Natasha berjalan tegap menuju ruangan yang merawat Karen. Di tangannya sudah membawa kantong plastik yang berisi buah anggur kesukaan putrinya itu. Natasha pun terus tersenyum membayangkan ekspresi Karen saat melihat buah kesukaannya. Namun, belum sempat langkahnya sampat di depan ruangan Karen. Tiba-tiba seseorang memanggilnya dari belakang."Bu. Bu Natasha," panggil seorang perawat. Natasha pun langsung menoleh dan menatap wanita yang terlihat lima tahun lebih muda darinya itu berjalan ke arahnya."Iya, Sus. Ada apa ya?" tanya Natasha bingung."Bu Natasha ditunggu di ruang administrasi sekarang," jawabnya yang langsung membuat senyum Natasha memudar. 'Pasti masalah biaya,' ujar Natasha dalam hati. Ia pun berusaha menarik kedua ujung bibirnya bersamaan.
Mereka kembali mengawal Natasha menuju sebuah unit yang berada di lantai sebelas. Perasaan Natasha pun tak menentu, pikirannya melayang-layang dan jantungnya berdetak tak karuan. Lift pun terbuka lalu mereka melanjutkan perjalanan menuju salah satu unit di lantai itu. Sampai di depan salah satu pintu si rambut ikal pun membuka pintu itu dengan menempelkan sebuah smart card di tempat yang sudah disediakan. Cekrek! Pintu pun otomatis terbuka."Silahkan, Bu. Anda sudah ditunggu di dalam," kata lelaki tadi. Dengan ragu Natasha pun masuk ke dalam ruangan mewah itu."Selamat datang, Bu Natasha," ujar seorang laki-laki yang langsung membuat Natasha menoleh."Anda?" tanya Natasha dengan pandangan yang membulat seketika. "Siapa?" tambahnya dengan kening yang kembali berkerut.
Malam ini Jo dan teman-temannya sedang asyik nongkrong di One Night Club. Klub malam mewah yang menjadi tempat Jo dan teman-temannya berkumpul sambilmenikmati beberapa botol wine. Namun, diantara sekumpulan remaja itu. Jo lah satu-satunya orang yang sudah menghabiskan beberapa botol sendirian. Sementara teman-temannya yang lain hanya menatapnya dengan heran. Tiba-tiba seorang wanita penghibur datang dan langsung memeluk pinggang Jo dari belakang."Malam, Sayang. Tumben nggak manggil gue. Nggak kangen apa sama gue?" tanya wanita itu dengan nada genitnya. Bukannya membalas perlakuan hangat wanita itu. Jo malah melepas pelukan cewek itu dengan kasar."Jangan gangguin gue. Gue lagi nggak mau diganggu," balas Jo dingin. Tangan kirinya pun menuangkan botol wine ke dalam gelas di tangan kanannya untuk kesekian kalinya.
Pagi itu Natasha masuk ke dalam ruang makan untuk mengambil jatah makanannya. Namun, mendadak langkahnya terhenti saat melihat Jo tengah melahap sarapannya dengan begitu nikmat. Natasha yang teringat akan kejadian semalam jadi merasa canggung. Makanya ia memilih memutar badannya untuk segera meninggalkan tempat itu."Natasha," panggil Jo yang sudah melihat wanita itu duluan sebelum badannya berhasil pergi. Natasha pun tak punya pilihan lain selain menoleh."Ada apa?" tanya Natasha dengan suara bergetar."Bukannya loe selalu sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Kenapa loe malah pergi?" sindir Jo."Ehms…. Gue… gue cuma mau liat Eriko. Kayaknya dia udah jemput gue di luar. Jadi, gue mau langsung be
"Heh. Gue nggak mau! Kalau dia udah nggak kuat punya murid kayak gue. Ngundurin diri aja. Gampang kan?" Jo kembali berjalan ke arah yang sama. Dan pada detik itu pula, Natasha kembali menarik kerah baju Jo dengan cukup kuat. Saking kesalnya.Jo pun melangkah mundur beberapa langkah. Dan tanpa disadari kakinya sudah melewati batas kolam renang. Sedetik kemudian….Byur!!! Tak bisa dielakkan lagi. Jo pun terjatuh ke dalam kolam renang itu."To… tolong!!! Tolong!!! Gue nggak bisa berenang!!" teriak Jo sambil berusaha mengangkat kepalanya ke permukaan air."Heh. Loe pikir gue bodoh. Loe punya kolam renang, tapi nggak bisa berenang. Ck. Ck. Ck. Kali ini loe bener-bener pinter ngeles." Natasha membalikkan badannya lalu berniat pergi. Tetapi, langk
Pulang dari sekolah Natasha tak langsung pulang. Ia menyempatkan diri untuk menjenguk Karen di rumah sakit khusus jantung yang baru beberapa minggu ini merawat Karen. Natasha merasa senang melihat kondisi Karen yang jauh lebih baik dari pertemuan terakhir mereka beberapa hari lalu."Gimana enak?" tanya Natasha saat melihat sang anak memakan sate lontong Madura yang dibawanya. Karen langsung mengangguk mantap."Enak banget Bunda. Karen suka," balasnya dengan mulut penuh. Senyum Natasha semakin mengembang. Tangan kanannyanya terulur untuk mengacak rambut putri semata wayangnya itu."Kalau lagi makan, jangan sambil ngomong ya sayang. Nanti kamu tersedak." Natasha mengingatkan dengan pelan. Karen pun segera mengunyah lalu menelannya dengan cepat.
Jo berdiri tegap di tengah-tengah lapangan basket. Kedua tangannya melipat di depan dadanya yang bidang dan terlihat kokoh. Wajahnya yang putih bersih dan berkharisma, menunjukkan raut wajah siap mengalahkan lawan tandingnya. Sedangkan mata elangnya, menatap lurus sosok wanita berbusana formal dengan blazer dan celana katun yang berwarna sama dengan guru-guru di sekolahan ini.Di seberang sana Natasha berdiri dengan raut wajah tak kalah serius. Matanya yang bening menatap Jo dari balik kacamata tebal. Sementara kedua tangannya juga terlipat di depan dada."Bu. Bu Natasha yakin, beneran bisa main basket?" tanya Bu Elena tepat di depan telinga Natasha. Wanita yang terlihat anggun dengan rambutnya yang digelung itu pun menoleh."Bu Elena nggak usah khawatir. Saya sudah berlatih cukup keras," balas Natasha sambil men
Pagi ini Jo mengemas dirinya dengan begitu rapi. Entah mengapa ia ingin sekali tampil maksimal di pertandingannya dengan Natasha nanti. Saat sedang menyisir rambutnya sambil bersiul-siul riang. Tiba-tiba di benaknya terlintas sesuatu."Ehms…. Apa nanti gue pura-pura kalah aja ya sama Natasha?" gumamnya sambil mengetuk-ngetukkan sisir ke dagunya yang terbelah. Senyumnya pun mengembang saat ia teringat kejadian semalam.Tin…. Tin….Senyuman Jo pun menghilang saat mendengar sebuah klakson mobil berada tak jauh dari rumahnya. Segera Jo pun mendekati jendela. Disibaknya tirai yang masih menghalangi sinar mentari masuk ke dalam kamarnya."Mobil siapa itu?" tanya Jo pada dirinya sendiri. Matanya pun me
Tepat pukul sebelas malam Natasha baru saja sampai di rumah Jo. Badannya terasa sangat letih sekali. Sampai-sampai jalannya pun sempoyongan tak tentu arah. Untung saja ia membawa kunci sendiri. Jadi, dia bisa pulang sewaktu-waktu. Krek! Krek! Krek! Natasha memutar kunci itu di dalam lubangnya. Hingga tak butuh waktu lama pintu pun langsung terbuka lebar dan menampakkan kegelapan ruangan karena semua lampu sudah dimatikan.Sejenak Natasha menahan langkahnya. Tiba-tiba saja rasa takut menggelayuti wanita berparas cantik itu. Bahkan, bulu kuduknya berdiri seketika. Dan reflek tangan kanannya pun mengusap tengkuknya begitu saja. 'Aduh. Kok gelap banget ya,' batinnya sambil mengedarkan pandangannya ke dalam ruangan. Huft. Ia pun menghembuskan nafas beratnya."Nggak ada papa, Natasha. Jangan takut! Nggak punya uang itu hal yang lebih
"Huhuhu…. Gimana dong Shel kalau gue kalah. Huhuhu…. Gue bakal kehilangan gaji dan jaminan pengobatan Karen. Huhuhu…." Natasha pun menangis sesenggukan sambil menenggelamkan wajahnya di atas meja restoran yang sedang didatanginya untuk menemui Shelin."Ck. Elo juga sih, Nat. Udah tau kalau loe nggak bisa main basket. Kenapa langsung iyain aja permintaan aneh tuh anak songong," cibir Shelin yang langsung membuat Natasha mengangkat kepalanya."Terus gue harus gimana dong?" tanyanya nelangsa. Sambil menunjukkan tampangnya yang amburadul.Huft. Shelin pun menghembuskan nafas beratnya. Lalu ia meraih pundak Natasha agar masuk ke dalam pelukan."Loe juga sih. Kenapa sih nggak bilang aja sama gue. Kala
"Aaarghh…," teriak Natasha. Para siswi pun berteriak histeris. Sedangkan hampir semua Guru menutup matanya dengan takut. Hanya ada satu orang yang berani berlari. Lalu segera menangkap tubuh Natasha sebelum terjatuh ke lantai. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Pak Guru itu dengan suara bass-nya yang sangat khas. Merasa badannya tidak jadi jatuh ke atas tatanan paving yang keras. Natasha pun perlahan membuka matanya satu per satu. Matanya pun langsung terpaku menatap sosok laki-laki berwajah tampan dengan hiasan alis tebal, hidung mancung, lesung pipi, rahang tegas serta jambang halus yang membuatnya semakin terlihat maskulin. "Kamu tidak apa-apa?" ulang lelaki itu yang lang
Hari ini Jo berniat bolos sekolah. Dia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi teman-temannya melihat Natasha tidak jadi mengundurkan diri. Ditambah lagi, sekarang dia juga menjadi pengasuhnya di rumah."Huh. Ini semua gara-gara bokap sialan itu," gerutunya lalu menggebrak setir mobilnya sendiri. Ia yang sedang berada di pertigaan menuju SMA Bunga Bangsa pun memutuskan berhenti di pinggir jalan. Bisikan setan pun mengajaknya bolos sekolah daripada harus menanggung malu pada semua anak-anak di sekolah. 'Tapi, sampai kapan gue mau lari dari kenyataan ini. Besok-besok juga tuh Guru nggak akan pergi dari hidup gue. Jadi, walaupun gue bolos hari ini. Besok gue tetap jadi bahan tertawaan di sekolahan. Apa bedanya? Cuma menunda penderitaan yang tidak mungkin terlewatkan,' cibir Jo dalam hati.Huft. Jo pun menghembuskan nafas beratnya.