Pagi-pagi sekali Natasha sudah bangun. Ia pun menyetrika baju, celana dan blazer pemberian Shelin. Sungguh, Natasha benar-benar sangat beruntung memiliki teman seperti dia. Sudah dibantu untuk mendapatkan pekerjaan yang pantas. Masih diberi beberapa stel pakaian kerja lagi. Makanya, Natasha pun bertekad tidak akan pernah mengecewakan sahabatnya itu.
"Baju udah rapi. Sepatu udah siap. Tas juga siap. Tinggal mandi lalu dandan yang rapi," gumam Natasha sambil menatap benda-benda yang disebutkan ya tadi berada di atas kasurnya. Kecuali sepatu tentunya. Natasha pun berjalan menuju kamar mandi yang berada di dalam kontrakannya. Belum sempat membuka pintu kamar mandi. Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu kontrakan itu.
Tok. Tok. Tok. Bunyi pintu kayu yang masih tertutup rapat itu. Natasha pun mengurungkan niatnya. Langkahnya berbelok ke arah sumber suara. Cekrek! Pin
Natasha masih syok dengan kenyataan bahwa anak bandel itu adalah anak dari pemilik sekolahan ini. Otaknya seketika membeku menjadi batu. Dadanya terasa sesak, sementara badannya terasa sangat lemas. 'Kali ini. Kali ini dia bisa minta bokapnya untuk memecat gue. Di hari pertama gue kerja,' batin Natasha berulang-ulang. Harapannya pun terasa hancur lebur bak debu jalanan yang terhempas angin kencang."Bu. Bu Natasha. Bu Natasha baik-baik saja, kan?" tanya Bu Elena sambil menabok pipi Natasha dengan pelan. Namun, Natasha benar-benar tidak merespon sama sekali. "Bu Delima, Bu Airin. Tolong bawa dia ke ruangannya. Biar saya ambilkan minuman di kantin," perintah Bu Elena kepada kedua stafnya."Baik, Bu," jawab mereka kompak.Dengan sigap mereka pun membawa tubuh lemas Natasha ke ruangannya yang memang sengaja dip
Natasha berjalan tegap menuju ruangan yang merawat Karen. Di tangannya sudah membawa kantong plastik yang berisi buah anggur kesukaan putrinya itu. Natasha pun terus tersenyum membayangkan ekspresi Karen saat melihat buah kesukaannya. Namun, belum sempat langkahnya sampat di depan ruangan Karen. Tiba-tiba seseorang memanggilnya dari belakang."Bu. Bu Natasha," panggil seorang perawat. Natasha pun langsung menoleh dan menatap wanita yang terlihat lima tahun lebih muda darinya itu berjalan ke arahnya."Iya, Sus. Ada apa ya?" tanya Natasha bingung."Bu Natasha ditunggu di ruang administrasi sekarang," jawabnya yang langsung membuat senyum Natasha memudar. 'Pasti masalah biaya,' ujar Natasha dalam hati. Ia pun berusaha menarik kedua ujung bibirnya bersamaan.
Mereka kembali mengawal Natasha menuju sebuah unit yang berada di lantai sebelas. Perasaan Natasha pun tak menentu, pikirannya melayang-layang dan jantungnya berdetak tak karuan. Lift pun terbuka lalu mereka melanjutkan perjalanan menuju salah satu unit di lantai itu. Sampai di depan salah satu pintu si rambut ikal pun membuka pintu itu dengan menempelkan sebuah smart card di tempat yang sudah disediakan. Cekrek! Pintu pun otomatis terbuka."Silahkan, Bu. Anda sudah ditunggu di dalam," kata lelaki tadi. Dengan ragu Natasha pun masuk ke dalam ruangan mewah itu."Selamat datang, Bu Natasha," ujar seorang laki-laki yang langsung membuat Natasha menoleh."Anda?" tanya Natasha dengan pandangan yang membulat seketika. "Siapa?" tambahnya dengan kening yang kembali berkerut.
Malam ini Jo dan teman-temannya sedang asyik nongkrong di One Night Club. Klub malam mewah yang menjadi tempat Jo dan teman-temannya berkumpul sambilmenikmati beberapa botol wine. Namun, diantara sekumpulan remaja itu. Jo lah satu-satunya orang yang sudah menghabiskan beberapa botol sendirian. Sementara teman-temannya yang lain hanya menatapnya dengan heran. Tiba-tiba seorang wanita penghibur datang dan langsung memeluk pinggang Jo dari belakang."Malam, Sayang. Tumben nggak manggil gue. Nggak kangen apa sama gue?" tanya wanita itu dengan nada genitnya. Bukannya membalas perlakuan hangat wanita itu. Jo malah melepas pelukan cewek itu dengan kasar."Jangan gangguin gue. Gue lagi nggak mau diganggu," balas Jo dingin. Tangan kirinya pun menuangkan botol wine ke dalam gelas di tangan kanannya untuk kesekian kalinya.
Jo mengerjakan matanya beberapa kali saat secercah cahaya menembus kedua kelopak matanya. Ia pun berusaha mengingat-ingat apa yang sudah terjadi semalam. Tiba-tiba kepalanya pun terasa sakit saat ia berusaha mengangkatnya."Aw," rintihnya sambil mengusap belakang kepalanya yang sudah diplester. "Kepala gue beneran luka? Kalau gitu kejadian semalam nggak mimpi dong," gumamnya lagi."Siapa bilang kalau kejadian semalem cuma mimpi?" ujar seseorang dari ambang pintu kamar Jo. Sontak Jo langsung mengangkat badannya. Seketika matanya membulat saat melihat Natasha sedang berdiri di ambang pintu dengan menggunakan daster putih seperti apa yang dilihatnya semalam."Jadi, elo kuntilanak yang gue lihat semalem?" respon Jo reflek. Sambil menunjuk ke arah wanita itu. Natasha pun melempar seragam OSIS yang baru saja ia cuci ke
Hari ini Jo berniat bolos sekolah. Dia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi teman-temannya melihat Natasha tidak jadi mengundurkan diri. Ditambah lagi, sekarang dia juga menjadi pengasuhnya di rumah."Huh. Ini semua gara-gara bokap sialan itu," gerutunya lalu menggebrak setir mobilnya sendiri. Ia yang sedang berada di pertigaan menuju SMA Bunga Bangsa pun memutuskan berhenti di pinggir jalan. Bisikan setan pun mengajaknya bolos sekolah daripada harus menanggung malu pada semua anak-anak di sekolah. 'Tapi, sampai kapan gue mau lari dari kenyataan ini. Besok-besok juga tuh Guru nggak akan pergi dari hidup gue. Jadi, walaupun gue bolos hari ini. Besok gue tetap jadi bahan tertawaan di sekolahan. Apa bedanya? Cuma menunda penderitaan yang tidak mungkin terlewatkan,' cibir Jo dalam hati.Huft. Jo pun menghembuskan nafas beratnya. 
"Aaarghh…," teriak Natasha. Para siswi pun berteriak histeris. Sedangkan hampir semua Guru menutup matanya dengan takut. Hanya ada satu orang yang berani berlari. Lalu segera menangkap tubuh Natasha sebelum terjatuh ke lantai. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Pak Guru itu dengan suara bass-nya yang sangat khas. Merasa badannya tidak jadi jatuh ke atas tatanan paving yang keras. Natasha pun perlahan membuka matanya satu per satu. Matanya pun langsung terpaku menatap sosok laki-laki berwajah tampan dengan hiasan alis tebal, hidung mancung, lesung pipi, rahang tegas serta jambang halus yang membuatnya semakin terlihat maskulin. "Kamu tidak apa-apa?" ulang lelaki itu yang lang
"Huhuhu…. Gimana dong Shel kalau gue kalah. Huhuhu…. Gue bakal kehilangan gaji dan jaminan pengobatan Karen. Huhuhu…." Natasha pun menangis sesenggukan sambil menenggelamkan wajahnya di atas meja restoran yang sedang didatanginya untuk menemui Shelin."Ck. Elo juga sih, Nat. Udah tau kalau loe nggak bisa main basket. Kenapa langsung iyain aja permintaan aneh tuh anak songong," cibir Shelin yang langsung membuat Natasha mengangkat kepalanya."Terus gue harus gimana dong?" tanyanya nelangsa. Sambil menunjukkan tampangnya yang amburadul.Huft. Shelin pun menghembuskan nafas beratnya. Lalu ia meraih pundak Natasha agar masuk ke dalam pelukan."Loe juga sih. Kenapa sih nggak bilang aja sama gue. Kala