Selama ini, Nayla memang mencurigai kedekatan Zavier dengan Sefia. Penemuan ini membuat Nayla tenggelam dalam amarahnya karena mengetahui bahwa hubungan mereka sudah bergerak 'terlalu jauh'.
Kedua tangan Nayla gemetar, memegang struk hotel yang sudah setengah basah itu. Nayla terduduk lemas dan merenungi apa yang harus dia lakukan.
Tatapannya kosong ke arah cucian yang masih menumpuk di depannya. Setiap hari, dia harus mengerjakan semua pekerjaan rumah yang tentunya sangat melelahkan, tetapi Zavier tidak pernah menghargainya sama sekali.
Apakah aku hanya dianggap sebagai pembantu baginya?
Nayla tidak mampu berhenti bertanya kepada dirinya sendiri karena keberadaannya yang tidak jelas di rumah mewah ini. Dia merasa benar-benar terkurung di dalam rumah mewah ini semenjak menikah dengan Zavier.
Hari-harinya hanya diisi dengan semua pekerjaan Rumah Tangga yang tidak pernah selesai.
Dengan wajah sendu, Nayla berdiri lalu berjalan pelan menuju ke kamarnya. Mulai mengeluarkan koper dan menarik beberapa pakaian miliknya yang ada di lemari.
Dia sudah mencoba bertahan selama dua tahun terakhir karena tidak bisa berbuat banyak.
Dia harus melunasi hutang restoran orang tuanya yang menumpuk akibat investasi penipuan yang salah serta biaya pengobatan sang adik yang sangat besar. Bagaimana tidak? Sampai saat ini, adiknya masih perlu dirawat karena penyakit leukimia yang dideritanya.
Mengingat tentang adiknya yang masih tetap membutuhkan banyak biaya, Nayla terduduk di tepi ranjang dan merenung tindakan yang harus dia ambil.
Nayla melirik jam yang terpaku di dinding kamarnya yang mewah, pukul dua belas siang.
Tepat saat itu, terdengar deru suara mobil memasuki halaman rumah mewah tersebut.
Zavier pulang? Tanya Nayla dalam hati, dia segera menghapus air mata yang membasahi pipinya dengan punggung tangan, lalu berdiri dan hendak menyambut kedatangan sang suami seperti yang biasa dilakukan olehnya, tetapi sesaat kemudian, langkahnya terhenti.
'Bukankah aku akan pergi?' Nayla membatalkan niatnya untuk menyambut Zavier, dia lalu memutar tubuhnya kembali mendekati lemari, mempercepat gerakannya untuk menyusun pakaian ke dalam koper.
Pintu kamar terbuka sesaat kemudian, Zavier melangkah masuk ke dalam dengan tatapan dingin sambil melonggarkan dasinya.
Melihat Nayla sedang menyusun pakaian ke dalam koper, mau tak mau pria itu mengeluarkan suara untuk bertanya.
Zavier menghentikan langkahnya menuju ke kamar mandi.
"Apa yang sedang kau lakukan?"
Nayla menarik napas dalam-dalam sambil tetap melipat pakaiannya. Dia berusaha mengatur detak jantungnya yang tidak bergerak stabil pada saat ini.
"Katakan! Apa yang sedang kau lakukan!" Zavier maju dan menarik tangannya untuk menghentikan Nayla.
"Lepaskan! Aku mau pergi! Aku mau bercerai darimu!" seru Nayla, menatap balik dengan tatapan tajam.
"Berani kamu mengucapkan itu! Huh!" Zavier malah tertawa lalu melepaskan tangan Nayla dengan sekali hempas.
"Ambilkan tuxedo!" perintah Zavier sambil membuka kemejanya. Awalnya, pria itu pulang untuk mandi dan menukar pakaiannya.
Tubuh kekar dan atletis milik Zavier terpampang jelas di hadapan Nayla, wanita itu cepat menoleh ke arah lain. Dia berusaha tidak menanggapi permintaan Zavier.
Terlihat Zavier mulai terasa gusar dan wajah pria itu semakin dingin. Aura kemarahan mulai membungkus dirinya. Tatapan tajam dilayangkan olehnya.
"Mana Tuxedo-ku!" serunya dengan suara lantang, membuat Nayla tersentak karena terkejut.
"A-aku tidak akan melayanimu lagi! Kita bercerai saja!" Nayla memberanikan diri dan mempercepat gerakannya mengunci koper yang sudah penuh.
"Oh, jadi kamu mau mengambil barang yang bukan menjadi milikmu dan meninggalkanku di sini?"
Mendengar kalimat dari Zavier, Nayla menghentikan gerakannya dan melihat ke arah koper miliknya. "A-aku hanya mengambil pakaian. Tidak ada barang berharga di dalamnya."
Zavier menoleh ke arah Nayla dengan tatapan tajam selayaknya elang yang hendak membunuh mangsanya.
"Nayla, apakah kamu yakin bisa hidup tanpaku? Tanpa status Abraham yang sedang kau miliki saat ini?"
Pertanyaan Zavier menoreh rasa nyeri di dalam dada Nayla, tetapi Nayla mengacuhkannya lalu menarik koper dengan langkah mantap, dia memilih diam dan tidak menjawab pertanyaan Zavier.
Namun, tangannya ditahan Zavier pada saat mereka berhadapan. "Lepaskan!" seru Zavier dengan suara dingin saat menyadari bahwa Nayla benar-benar serius dalam tindakannya.
"Apa yang harus kulepaskan?" Nayla menatap Zavier dengan bingung.
Zavier menarik koper yang dipegang Nayla lalu membuangnya ke lantai yang agak jauh. "Semua yang kamu ambil adalah milikku, bahkan pakaian yang saat ini melekat di tubuhmu juga milikku! Kamu datang tanpa membawa apa pun. Apakah kamu melupakan hal itu?"
Nayla menelan salivanya yang terasa pahit. Hatinya terasa sakit dan dia tidak sanggup menjawab selain mematung di tempat. Air mata berkumpul kembali di kedua kelopak mata Nayla.
Zavier bergerak dan duduk di sofa samping sambil melipat kedua tangannya di bawah dada, menatap Nayla dengan tatapan dingin dan merendahkan.
"Lepaskan!"
Nayla merasa kehancuran dan penghinaan yang sangat besar pada saat itu. Dia tahu, memang pada saat dia datang, dia hanya membawa sebuah pakaian yang melekat di tubuhnya. Perintah Zavier hanya untuk memperburuk dan merendahkan keberadaannya.
Dengan amarah yang sudah menguasai kepala, Nayla bergerak ke lemari dan mengeluarkan sebuah dress selutut yang dipakainya saat datang dua tahun yang lalu.
Nayla membuka pakaiannya di depan Zavier lalu hendak memakai dress tersebut. Tidak ada percakapan yang terjadi dan kedua pipi Nayla sudah basah oleh air mata yang mengalir deras.
Zavier menaikkan sudut bibirnya, melihat tubuh Nayla yang hampir polos. Dia mengeratkan rahangnya dan merasa semakin marah karena wanita itu masih juga bersikeras untuk meninggalkannya.
"Jadi kamu sudah yakin dengan keputusanmu? Apakah kamu lupa dengan biaya pengobatan adikmu? Dan hutang Ayahmu yang masih banyak itu? Saya memperingatkan konsekuensi atas keputusanmu! Tidak mudah mencari pekerjaan di negara yang dikuasai Keluarga Abraham!"
Mendengar perkataan sinis dari Zavier, Nayla menghentikkan gerakannya dalam memakai dress. Berpikir sejenak.
Postur Nayla yang sedang mematung itu malah membuat wanita itu terlihat sangat menarik bagi Zavier, ditambah dengan pantulan sinar matahari yang menyelinap melalui kaca jendela pada saat itu.
Zavier tidak dapat menahan gairah yang terbentuk dalam dirinya lagi. Dengan langkah kasar, dia mendekati Nayla lalu mengoyak dress yang hampir selesai dipakainya.
"Z-Zavier! Jangan!"
"Sudah cukup! L-lepaskan aku!" teriak Nayla berusaha membalas dengan melakukan perlawanan.
Pria itu bertindak kasar walau Nayla berusaha menolak dan meronta. Dengan kasar, Zavier mendorong dan menghempaskan tubuh berkulit putih itu ke atas ranjang lalu sekali lagi menuntaskan kehendaknya dalam menguasai Nayla.
"Ugh!" rintih Nayla.
Nayla menutup kedua matanya, menarik sprei di samping ranjang dengan marah dan menegaskan dirinya bahwa ini adalah terakhir kalinya bagi pria itu dalam menguasai tubuhnya.
'Sesudah ini, semua akan berakhir!' Nayla hanya bisa bersabar dan mencoba bertahan.
Berselang beberapa saat kemudian, Nayla mendengar suara dengkuran halus yang menandakan bahwa Zavier sudah tertidur dengan pulas.
Nayla menoleh dan menatap pria yang sangat dicintainya itu sekali lagi lalu mengelus pipinya dengan lembut.
Nayla menuliskan sebuah catatan kecil untuk menandakan perpisahan mereka. Usai memakai dress yang lain, Nayla memutuskan untuk tidak mengambil koper yang sudah disusunnya tadi.
Dia teringat perkataan Zavier yang menyakitkan. Nayla pergi hanya dengan sebuah dress dan tas jinjing usang yang dibawanya pertama kali, saat masuk ke dalam rumah Zavier.
Nayla sama sekali tidak tahu bahwa Zavier dekat kepada Sefia-mantan kekasihnya, hanya karena merasa hutang budi. Kecelakaan tragis yang membuatnya koma, tidak bisa membuatnya mengingat mengapa kecelakaan itu terjadi. Dia hanya berpikir bahwa itu hanya kecelakaan biasa dalam bermain speedboat di danau.
Dua tahun yang lalu, Zavier melajukan speedboatnya dengan kecepatan tinggi karena dia mengetahui kabar bahwa Sefia sedang bersama selingkuhannya di atas sebuah kapal mewah.
Menyadari kedatangan Zavier dengan speed boat dalam amarah, Sefia merasa panik dan segera melarikan diri dengan menggunakan speedboat lain bersama selingkuhannya.
Tidak ada yang bisa menyangka, bagaimana Zavier yang berada dalam amarahnya menabrak kapal mewah mereka lalu terlempar jauh ke danau. Kepala Zavier terbentur dengan keras dan mengakibatkan pendarahan. Zavier koma selama berbulan-bulan setelah operasi.
Xander Abraham, melihat putra satu-satunya dalam keadaan seperti itu, merasa simpati terhadap masa depan sang pewaris.
Kebetulan pada saat yang sama, di dalam Rumah Sakit itu, Xander menemukan Nayla. Kesepakatan pun dibuat dengan baik dan disetujui oleh kedua belah pihak tanpa paksaan.
Walaupun Nayla terlihat sangat berbeban berat, Namun, demi sang adik yang sedang membutuhkan perawatan, dia akan mengambil semua resiko untuk melakukan sesuatu.
Semua kesempatan!
"Kamu menjadi menantuku dan saya akan mengurus semua biaya pengobatan adikmu serta membantumu melunasi hutang Ayahmu," ucap Xander dengan suara tegas.
"Nayla! Siapkan makan siangku! Aku lapar!" teriak Zavier sambil memeluk bantal empuk dan masih enggan membuka matanya.Hening ... Tidak ada sahutan, membuat pria tampan itu terpaksa membuka mata dan mengernyitkan alis.Dengan malas, Zavier bangun dan terduduk di samping ranjang. Kedua matanya melirik koper yang berdiri kokoh di dekat pintu keluar. Dalam hatinya, Zavier tersenyum, berpikir bahwa Nayla tidak jadi pergi karena masih ada koper di sana."Nayla!" panggil Zavier sambil membuka pintu dan melihat ke luar kamar, mencari keberadaan Nayla, tetapi suasana di rumah itu tetap hening."Cuih! Selalu membuat marah!" Zavier masuk kembali ke kamar mandi dengan enggan dan menarik handuk lalu melangkah ke kamar mandi.Setelah selesai mandi, Zavier tidak bisa menemukan pakaiannya di atas ranjang. Biasanya, Nayla sudah menyiapkan pakaiannya untuk ke pesta."Apakah dia sedang memasak? Sungguh lamban sekali!" gerutu Zavier sambil membuka lemari dan mengeluarkan Tuxedo lalu memakainya."Mana das
"Sial!" teriak Zavier dengan marah. Dilemparnya telepon genggam ke atas ranjang."Wanita sial itu bahkan tidak menghidupkan ponselnya!" Dengan gusar, Zavier menghempaskan pantatnya ke atas kasur yang dingin itu.Perasaannya galau dan kedua matanya penuh sklera merah, menandakan pria itu sangat gusar dan tidak tahu harus berbuat apa.Sesaat kemudian, dia meraih kunci mobil lalu melangkah keluar dari rumah dengan tujuan ingin mencari Nayla.Sementara Nayla sudah sampai di depan rumah kecilnya. Rumah yang dibeli oleh Xander, mertuanya yang baik hati.Rumah kecil itu hanya memiliki dua kamar kecil dengan masing-masing ranjang single bed dan salah satu kamar ditempati oleh sang adik yang merawat dirinya sendiri."Kakak?" Nadira menyambut sang kakak yang terlihat sedikit pucat dan lelah.Nayla hanya tersenyum lalu memeluk sang adik. Air mata kembali mengalir membasahi pipinya."A-apa yang terjadi? Mengapa tidak menelepon?"Nadira sangat gusar dengan keadaan Nayla yang terlihat seperti sedang
Pagi yang mendung dan Zavier masih terlelap dalam tidurnya walau alarm pada ponselnya sudah berdering semenjak tadi."Nayla, suruh diam dulu alarmnya! Lagu tadi sungguh indah di telingaku!" teriak Zavier dalam tidurnya.Zavier bermimpi sedang mendengarkan lagu yang disenandungkan dengan melodi indah di telinganya, suara seorang gadis yang sangat lembut dan membuainya. Lagu yang sama dan lagu yang sudah menemani dirinya saat masih koma."Tidak kah letih kakimu berlari. Ada hal yang tak mereka mengerti. Beri waktu tuk bersandar sebentar, selama ini kau hebat ... Hanya kau tak didengar"Zavier tersenyum puas dalam tidurnya, dia sangat menyukai lagu itu. Tapi deringan alarm pada ponselnya mulai terasa menganggu."Nayla! Kubilang matikan alarmnya!" Zavier terduduk di atas ranjang dan merasa marah karena istrinya masih juga tidak bergerak.Pelan-pelan, Zavier kembali ke kondisi sadar. Nayla memang sudah meninggalkannya.Dengan kesal, Zavier meraih ponsel yang terus berdering itu lalu mematik
Nayla menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum memulai. Dia memandang mikrofon di depannya, merasa tegang namun juga penuh semangat untuk memberikan yang terbaik.Dia harus melakukan semua ini, dia tahu akan susah mendapatkan pekerjaan di negara yang dikuasai oleh keluarga Abraham. Tapi, itu bukan alasan baginya untuk mengemis dan melayani Zavier lagi.Dia membutuhkan biaya hidup yang sungguh besar, sehingga ini akan menjadi langkah pertama baginya untuk berkarir.Dengan kualifikasi dan pengalaman bekerja di kantor yang hanya sedikit, tidak mungkin dia akan diterima oleh perusahaan untuk bekerja di dalam kantor.Tapi, dia memiliki suara yang merdu, sebelum mengenal Zavier, dia sering tampil di panggung-panggung untuk menyanyi di acara pernikahan ataupun pesta ulang tahun.Dengan hati-hati, dia memilih lagu yang akan dia nyanyikan, sebuah lagu yang memenuhi hatinya dengan emosi yang rumit.Ketika Nayla mulai menyanyi, dia berusaha melihat ke arah juri yang dibatasi
"Dengar, Nayla," ucap Michael dengan suara yang hangat, "Aku tahu kamu sedang dalam situasi yang sulit. Mengapa kamu tidak mau aku mengantarmu pulang? Aku yakin kita bisa mengobrol sepanjang perjalanan."Nayla terkejut dengan tawaran tersebut, namun juga merasa terharu dengan kebaikan hati Michael. Meskipun hatinya terbagi antara rasa gugup dan rasa terima kasih, dia akhirnya mengangguk dengan lembut."Terima kasih, Michael. Aku menghargainya," ucap Nayla dengan suara yang penuh rasa syukur."Kamu tunggu aku di luar. Tiga orang lagi dan audisi akan selesai," ucap Michael sambil berlalu pergi sementara Nayla kembali ke ruang tunggu bersama dengan para audisi yang menyambutnya dengan wajah kesal."Kok lama sekali, huh!" Seorang peserta audisi melayangkan wajah tidak suka kepada Nayla lalu masuk ke dalam ruang audisi sesuai antriannya.Nayla sedikit bingung karena mengingat pesan yang disampaikan Michael tadi. Apakah dia harus menunggu?Namun, bayangan Zavier selalu memenuhi pikirannya sa
Di sisi lain, Nayla merasa ingin sekali berusaha sendiri dan membuktikan kemampuan dari bakat yang dimilikinya.Mereka melanjutkan percakapan mereka dengan nyaman, berbagi cerita dan kenangan tentang masa lalu mereka. Tertawa dan bercanda, mereka seakan melupakan semua masalah yang sedang mereka hadapi di dunia luar.Sesaat kemudian, suasana itu berubah ketika Michael bertanya tentang suami Nayla. "Bagaimana keadaan suamimu?" tanya Michael dengan suara yang sedikit berat.Nayla merasa sedikit kikuk dengan pertanyaan itu. Dia merasa tidak nyaman membicarakan masalah pribadinya dengan Michael, meskipun dia menghargai kebaikan hati dan perhatian Michael."Oh, dia sedang sibuk dengan pekerjaannya," jawab Nayla dengan canggung, mencoba untuk menghindari topik tersebut.Michael merasakan ketidaknyamanan Nayla, tapi dia tidak ingin menekannya. "Maaf, jika aku bertanya terlalu jauh," katanya dengan suara lembut, mencoba untuk memperbaiki suasana.Nayla tersenyum tipis, merasa lega dengan pemah
Nayla mencoba mengingat-ingat apakah dia telah memberi tahu adiknya tentang rencananya, tetapi dia tidak yakin. Rasa curiga mulai menggerogoti hatinya. Dia merasa terkhianati oleh seseorang yang seharusnya dia percayai. Namun, dia juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa situasinya dengan Zavier sudah rumit sebelumnya, dan mungkin saja Zavier telah melakukan segala cara untuk melacaknya. Dengan perasaan campur aduk yang sulit dipahami, Nayla merasa semakin terjepit dalam labirin masalah yang rumit. Dia tidak tahu harus berbuat apa selanjutnya, namun satu hal yang pasti: dia harus menemukan cara untuk mengatasi semua ini dan menemukan jalan keluar dari situasi yang semakin memburuk. Zavier, setelah menutup pintu dan menguncinya dari dalam, merasa kesal karena tidak menemukan keberadaan Nayla di dalam kamar. Matanya menyapu ruangan dengan gerak yang cepat, mencari-cari jejak kehadiran istrinya. Namun, saat dia mendengar suara air yang mengalir dari arah kamar mandi, dia menyadari bahw
Zavier menatap Nayla dengan tatapan yang intens, mencoba memahami maksud di balik kata-katanya. Namun, dalam kebimbangan dan kebingungannya sendiri, dia tidak bisa menahan perasaan marah dan frustrasinya. "Apa yang kamu inginkan, Nayla? Apa yang harus aku lakukan agar kamu kembali padaku?" desak Zavier dengan suara yang memaksa, kebingungan dan ketidakmengertian mencuat dalam setiap kata. Nayla merasa tercekik oleh tekanan yang semakin meningkat. Dia tahu bahwa dia harus berpikir dengan jernih dan membuat keputusan yang tepat, tetapi di dalam hatinya, dia merasa terjebak di antara perasaan cinta yang masih terasa, dan realitas yang semakin rumit dan menyakitkan. Dengan napas yang terengah-engah dan hati yang berat, Nayla mencoba menemukan keberanian dan kekuatan untuk menjawab pertanyaan Zavier. Nayla menegaskan keputusannya dengan suara yang gemetar, "Tinggalkan Sefia!" Mendengar kata-kata itu, tatapan lembut milik Zavier langsung berubah. Pria itu langsung melepaskan kedua tang
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu