"Dengar, Nayla," ucap Michael dengan suara yang hangat, "Aku tahu kamu sedang dalam situasi yang sulit. Mengapa kamu tidak mau aku mengantarmu pulang? Aku yakin kita bisa mengobrol sepanjang perjalanan."
Nayla terkejut dengan tawaran tersebut, namun juga merasa terharu dengan kebaikan hati Michael. Meskipun hatinya terbagi antara rasa gugup dan rasa terima kasih, dia akhirnya mengangguk dengan lembut.
"Terima kasih, Michael. Aku menghargainya," ucap Nayla dengan suara yang penuh rasa syukur.
"Kamu tunggu aku di luar. Tiga orang lagi dan audisi akan selesai," ucap Michael sambil berlalu pergi sementara Nayla kembali ke ruang tunggu bersama dengan para audisi yang menyambutnya dengan wajah kesal.
"Kok lama sekali, huh!" Seorang peserta audisi melayangkan wajah tidak suka kepada Nayla lalu masuk ke dalam ruang audisi sesuai antriannya.
Nayla sedikit bingung karena mengingat pesan yang disampaikan Michael tadi. Apakah dia harus menunggu?
Namun, bayangan Zavier selalu memenuhi pikirannya saat ini. Dia duduk termenung di sudut ruangan dan menatap kosong ke arah jalan dari jendela kaca di depannya.
Hujan masih deras dan dia harus berlari sejauh satu kilometer untuk sampai ke terminal pemberhentian bus.
Tidak terasa lima belas menit berlalu dan Nayla yang kecapekan pun tertidur.
"Nayla adalah wanita yang akan memiliki hatiku," ucap Michael dengan suara lembut.
Tiba-tiba Nayla terbangun dan melihat wajah Michael yang begitu dekat dengannya. Sebuah kesadaran membuat dia panik dan bergerak mundur ke belakang sehingga hampir jatuh.
Dengan singgap Michael meraih pinggang Nayla dan menahan tubuh ramping milik wanita itu. Nayla mengedipkan matanya beberapa kali dan memperbaiki cara duduknya.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Michael dengan suara lembut.
Nayla menggelengkan kepala dan sebelah tangannya memegang leher kemejanya dengan canggung.
Nayla masih tidak dapat mempercayai apakah dia bermimpi atau memang Michael mengatakan sesuatu kepadanya.
"Hum, kamu tadi bicara apa?" tanya Nayla untuk memastikan.
Michael menatap wanita itu dalam-dalam lalu memberikan senyuman hangat, "tidak ada, aku baru datang dan hendak membangunkanmu, kenapa? Apakah kamu memimpikanku?"
Nayla menundukkan kepalanya dengan malu karena setengah jam sebelumnya, dia ingat sedang duduk di ruang tunggu untuk menunggu kedatangan Michael.
Waktu berlalu dengan perlahan, dan rasa lelah akibat perasaan tegang dan emosional yang dia rasakan dalam audisi membuatnya semakin terasa mengantuk. Meskipun dia berusaha untuk tetap terjaga, namun akhirnya kelopak matanya terasa begitu berat.
Tanpa disadarinya, Nayla pun tertidur di kursi ruang tunggu. Dia terlelap dalam tidurnya, dipenuhi oleh mimpi-mimpi yang tak jelas.
Dalam mimpinya, Nayla merasa seperti sedang berada di dunia yang berbeda. Dia dan Michael berjalan-jalan di sepanjang tepi pantai yang indah, cahaya matahari terbenam menyinari wajah mereka yang penuh tawa. Mereka tertawa, bercanda, dan berbagi cerita tentang masa lalu mereka.
Saat matahari semakin merunduk, Michael tiba-tiba berhenti di depan Nayla. Dia menatap Nayla dengan penuh kasih sayang, tangannya dengan lembut memegang tangan Nayla.
"Nayla," ucap Michael dengan suara yang lembut, "Aku selalu ada di sini untukmu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sendirian."
Nayla tersenyum bahagia, merasa hangat dan terlindungi di dekat Michael. Mereka saling mendekat, bibir mereka hampir bersentuhan, ketika tiba-tiba...
"Nayla? ternyata ini kelakuanmu?"
Suara Zavier membuat Nayla panik!
Namun, sebuah suara lain membalas suara Zavier dan itu adalah suara Michael.
"Nayla adalah wanita yang akan memiliki hatiku."
Suara itu juga membuat Nayla terbangun dari mimpinya dengan kaget. Dia melihat Michael duduk di depannya dengan senyum hangat. Meskipun kehilangan dunia indah dalam mimpinya, namun senyum Michael yang nyata memberinya semangat dan kelegaan yang sama. Dia masih ingin menjaga statusnya yang belum selelsai dalam proses perceraiannya dengan Zavier.
Nayla masih terdiam dan melirik Michael sesekali.
"Nayla, kelihatannya kamu sangat capek, sebenarnya aku ingin mengajakmu makan malam, tapi kurasa lebih baik aku mengantarmu pulang sekarang," kata Michael dengan suara lembut.
"Kamu terlihat sedikit pucat," lanjutnya.
Nayla merasa sedikit kecewa bahwa mimpinya harus terganggu, namun dia juga merasa lega mendengar tawaran Michael untuk mengantarnya pulang.
Dalam hatinya, dia masih teringat mimpi singkat yang terasa indah, tetapi dia ingin menjaga batas diri dan tidak ingin terlibat terlalu jauh kepada Michael.
Dan kehadiran Zavier dalam mimpi yang singkat itu sungguh tidak dibutuhkan.
"Michael, aku... aku tidak sengaja tertidur," ucap Nayla dengan suara gemetar, rasa malu mulai menghampirinya.
Michael hanya tersenyum, lalu berdiri dan mengulurkan tangannya untuk membantu Nayla bangkit dari kursi. "Tidak apa-apa, Nayla. Ayo, aku akan mengantarmu pulang sekarang."
Nayla merasa lega mendengar kata-kata itu, merasa bersyukur atas kesabaran dan pengertian Michael.
Michael mengandeng tangannya dengan lembut lalu menuntunnya sampai di mobil. Nayla merasa hangat oleh sentuhan itu, merasa seperti dia sedang berada di pelukan keamanan. Namun, dia menarik tangannya dengan gusar karena dia tahu statusnya masih sebagai istri Zavier.
Menanggapi hal itu, Michael hanya membalas dengan senyuman hangat. Mereka lalu masuk ke dalam mobil dan Michael memulai perjalanan pulang.
"Bagaimana audisimu tadi?" tanya Michael dengan penuh perhatian, memulai percakapan.
Nayla tersenyum dan menjawab, "Agak gugup, tapi aku berusaha yang terbaik."
"Aku yakin kamu luar biasa," kata Michael dengan tulus, "Kamu memiliki bakat yang luar biasa."
"Kamu tahu? Aku memberikan nilai sepuluh untukmu," ucap Michael sambil memberikan senyuman hangat dan sesekali melirik ke arah wanita di sebelahnya.
Nayla tersenyum dan merasa bersyukur. "Terima kasih, Michael."
"Kamu tidak usah khawatir, aku akan membantumu sehingga audisi kali ini, kamulah pemenangnya."
Nayla melihat ke arah Michael, memang tidak ada kebohongan dari raut wajah pria yang menjadi teman masa kecilnya itu.
Di sisi lain, Nayla merasa ingin sekali berusaha sendiri dan membuktikan kemampuan dari bakat yang dimilikinya.Mereka melanjutkan percakapan mereka dengan nyaman, berbagi cerita dan kenangan tentang masa lalu mereka. Tertawa dan bercanda, mereka seakan melupakan semua masalah yang sedang mereka hadapi di dunia luar.Sesaat kemudian, suasana itu berubah ketika Michael bertanya tentang suami Nayla. "Bagaimana keadaan suamimu?" tanya Michael dengan suara yang sedikit berat.Nayla merasa sedikit kikuk dengan pertanyaan itu. Dia merasa tidak nyaman membicarakan masalah pribadinya dengan Michael, meskipun dia menghargai kebaikan hati dan perhatian Michael."Oh, dia sedang sibuk dengan pekerjaannya," jawab Nayla dengan canggung, mencoba untuk menghindari topik tersebut.Michael merasakan ketidaknyamanan Nayla, tapi dia tidak ingin menekannya. "Maaf, jika aku bertanya terlalu jauh," katanya dengan suara lembut, mencoba untuk memperbaiki suasana.Nayla tersenyum tipis, merasa lega dengan pemah
Nayla mencoba mengingat-ingat apakah dia telah memberi tahu adiknya tentang rencananya, tetapi dia tidak yakin. Rasa curiga mulai menggerogoti hatinya. Dia merasa terkhianati oleh seseorang yang seharusnya dia percayai. Namun, dia juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa situasinya dengan Zavier sudah rumit sebelumnya, dan mungkin saja Zavier telah melakukan segala cara untuk melacaknya. Dengan perasaan campur aduk yang sulit dipahami, Nayla merasa semakin terjepit dalam labirin masalah yang rumit. Dia tidak tahu harus berbuat apa selanjutnya, namun satu hal yang pasti: dia harus menemukan cara untuk mengatasi semua ini dan menemukan jalan keluar dari situasi yang semakin memburuk. Zavier, setelah menutup pintu dan menguncinya dari dalam, merasa kesal karena tidak menemukan keberadaan Nayla di dalam kamar. Matanya menyapu ruangan dengan gerak yang cepat, mencari-cari jejak kehadiran istrinya. Namun, saat dia mendengar suara air yang mengalir dari arah kamar mandi, dia menyadari bahw
Zavier menatap Nayla dengan tatapan yang intens, mencoba memahami maksud di balik kata-katanya. Namun, dalam kebimbangan dan kebingungannya sendiri, dia tidak bisa menahan perasaan marah dan frustrasinya. "Apa yang kamu inginkan, Nayla? Apa yang harus aku lakukan agar kamu kembali padaku?" desak Zavier dengan suara yang memaksa, kebingungan dan ketidakmengertian mencuat dalam setiap kata. Nayla merasa tercekik oleh tekanan yang semakin meningkat. Dia tahu bahwa dia harus berpikir dengan jernih dan membuat keputusan yang tepat, tetapi di dalam hatinya, dia merasa terjebak di antara perasaan cinta yang masih terasa, dan realitas yang semakin rumit dan menyakitkan. Dengan napas yang terengah-engah dan hati yang berat, Nayla mencoba menemukan keberanian dan kekuatan untuk menjawab pertanyaan Zavier. Nayla menegaskan keputusannya dengan suara yang gemetar, "Tinggalkan Sefia!" Mendengar kata-kata itu, tatapan lembut milik Zavier langsung berubah. Pria itu langsung melepaskan kedua tang
Nayla tidak menyadari kehadiran Zavier di dalam kamar. Dia terlalu tenggelam dalam rasa sakit dan keputusasaan yang menghantamnya. Setiap isakan dan rintihan yang keluar dari bibirnya terasa seperti pukulan yang menyakitkan, mencerminkan kehancuran emosional yang dia rasakan di dalam dirinya. Zavier berdiri di ambang pintu, terdiam oleh pemandangan yang menyedihkan di depan matanya. Hatinya terasa hancur melihat istrinya yang sedang mengalami kesedihan yang mendalam, namun dia merasa tak berdaya untuk memberikan dukungan atau kenyamanan kepada Nayla. Meskipun hatinya penuh dengan ketidakpastian dan kebingungan, Zavier mendekati Nayla dengan langkah gontai. Dia merasakan getaran emosional yang kuat di dalam dirinya saat dia melihat istrinya yang terpukul oleh kesedihan yang mendalam. Tanpa sepatah kata pun, dia mendekap Nayla dalam pelukannya, membiarkan kehangatan tubuh mereka saling bersentuhan. Nayla terkejut oleh tindakan Zavier, merasakan kelembutan dalam pelukan suaminya. Dia m
Nadira mematung di depan pintu dan memegang daun pintu di sisi berlawanan seolah-olah ingin memberi kekuatan kepada sang kakak, tetapi melihat sang kakak baik-baik saja, gadis itu memilih patuh lalu kembali ke kamar tidurnya. "Besok pagi harus cuci darah," gumamnya lalu berusaha tidur. Sementara Nayla memilih untuk tidur di ruang tamu dengan mengambil sebuah bantal tambahan dan mengandalkan selimut untuk melawan dinginnya malam hari di Bogor. Tubuh Zavier berperawakan tinggi 185 cm. Ranjang kecil hanya bisa memuat dirinya sendiri, itu pun kakinya akan berada di luar ranjang. Suara nyamuk yang berdenging di telinga Nayla memaksa wanita itu tidak bisa mengerjapkan mata sampai matahari menyinari tirai yang menutupi jendela kaca rumah sederhana itu. Nayla terduduk di atas kursi sofa dengan mata seperti panda. Menguap berkali-kali sebelum akhirnya memutuskan untuk membuat nasi goreng agar Nadira tidak kelaparan sebelum berangkat ke Rumah Sakit. Zavier terbangun karena wangi nasi goren
"Kita tidak mungkin bersama lagi. Aku sudah memutuskan dengan baik," lanjutnya. Dengan langkah perlahan, Nayla meninggalkan kamar setelah berpakaian lengkap dan sopan, menutup pintu dengan hati-hati. Meskipun dia pergi dengan rasa cemas yang mengganggu di hatinya, dia berharap bahwa Zavier akan mendapatkan istirahat yang baik dan mereka akan berbicara lagi setelah semua mendapatkan waktu yang tepat. Nayla bersiap-siap untuk pergi melamar pekerjaan di tempat lain, merasa bahwa dia perlu mencari peluang baru untuk mendukung dirinya sendiri dan meringankan beban finansial keluarga. Sebelum dia meninggalkan rumah, dia menuliskan secarik kertas memo untuk Zavier, meletakkannya di atas meja makan. Pesan singkat tersebut menyatakan dengan sederhana bahwa Nayla pergi mencari kerja baru. Dia juga menambahkan bahwa makanan sudah ada di atas meja, agar Zavier makan sedikit sebelum kembali ke Jakarta, juga menyisipkan tulisan kecil bahwa tidak usah takut karena Nayla tidak akan menghitung harga
Wanita paruh baya itu tersenyum lalu berkata, "kamu berpakaian formal dan terlihat kaku dengan penampilanmu yang terlalu rapi itu. Kemudian dokumen yang sedang kamu pegang, saya bisa menebak, itu adalah surat lamaran kerja, bukan?" Nayla melihat pakaiannya sendiri dan dokumen yang dibawanya. Pandangan dari ibu adalah benar adanya. Nayla kembali memperhatikan wanita itu dengan lebih teliti. Namun, wanita itu kembali berkata-kata. "Hari yang cerah untuk melamar pekerjaan, bukan?" Nayla tersenyum sopan. "Ya, sungguh cerah. Anda juga berangkat ke tempat kerja?" Wanita itu mengangguk. "Sebenarnya, saya punya bisnis kecil yang membutuhkan bantuan. Dan saya berpikir, Anda bisa menjadi orang yang tepat untuk pekerjaan itu." Nayla terkejut dan merasa bersemangat. "Oh, begitu? Apa pekerjaannya?" "Sebuah pekerjaan kecil dengan gaji lumayan menarik, di bagian penjualan dan sekaligus mengurus administrasi," jawab wanita itu sambil menatap serius ke arah Nayla. "Sepertinya kamu orang yang te
Sementara Zavier baru bangun dan menikmati nasi goreng yang mungkin selama ini tidak pernah dia hargai. Dengan sebuah pesan yang dibubuhi emoji senyum. Nayla memang memiliki kebiasaan yang unik dalam memberikan catatan kecil. Emoji senyum itu membuat sebuah untaian bibir pada wajah Zavier. Pria itu tersenyum kecil sambil menikmati nasi goreng yang rasanya pas di lidah. Namun, sebuah deringan ponsel menganggu keadaan yang sedang dia nikmati. Suara Sefia terdengar manja pada saat Zavier menekan tombol penghubung panggilan video call jarak jauh. "Kamu lagi di mana, Sayang?" tanya Sefia dengan penuh kecurigaan. "Bogor," sahut Zavier dengan singkat dan ketus sambil tetap menikmati nasi gorengnya. "Itu rumah siapa? Bukankah kamu mengatakan lembur semalam untuk membahas proyek?" Zavier menghentikan gerakannya untuk menyuap nasi ke mulutnya lalu menatap tajam ke arah Sefia, "sejak kapan kamu mengurus keberadaan dan kesibukanku?" Menyadari reaksi tidak nyaman dari Zavier, Sefia segera m
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu