Sementara Zavier baru bangun dan menikmati nasi goreng yang mungkin selama ini tidak pernah dia hargai. Dengan sebuah pesan yang dibubuhi emoji senyum. Nayla memang memiliki kebiasaan yang unik dalam memberikan catatan kecil. Emoji senyum itu membuat sebuah untaian bibir pada wajah Zavier. Pria itu tersenyum kecil sambil menikmati nasi goreng yang rasanya pas di lidah. Namun, sebuah deringan ponsel menganggu keadaan yang sedang dia nikmati. Suara Sefia terdengar manja pada saat Zavier menekan tombol penghubung panggilan video call jarak jauh. "Kamu lagi di mana, Sayang?" tanya Sefia dengan penuh kecurigaan. "Bogor," sahut Zavier dengan singkat dan ketus sambil tetap menikmati nasi gorengnya. "Itu rumah siapa? Bukankah kamu mengatakan lembur semalam untuk membahas proyek?" Zavier menghentikan gerakannya untuk menyuap nasi ke mulutnya lalu menatap tajam ke arah Sefia, "sejak kapan kamu mengurus keberadaan dan kesibukanku?" Menyadari reaksi tidak nyaman dari Zavier, Sefia segera m
"Mandikan dia, berikan gaun merah yang biasa dipakai gadis sebelumnya dan siapkan dia untuk acara nanti malam. Om akan membayar mahal kali ini karena dia cantik sekali walaupun bukan seorang gadis polos," perintah wanita itu kepada pelayan yang mengikutinya. Wanita pelayan itu mengangguk dan mulai mendekati Nayla untuk membuka ikatannya. Nayla merasa kebingungan, tetapi dia melihat kesempatan saat wanita suruhannya mulai membuka ikatan pada kursi. Tanpa ragu lagi, dia memanfaatkan momen itu. Dengan cepat, dia melompat dari kursi, melepaskan diri dari ikatan yang mengikatnya, melayangkan tendangan kaku kepada pelayan itu dan berlari menuju pintu. "Hei, keterlaluan! Pengawal!" teriak wanita itu mulai panik. Wanita itu berteriak, mencoba menahannya, tetapi Nayla sudah terlalu dekat dengan kebebasan. Dengan gerakan gesit, Nayla mendorong tubuh wanita yang lebih pendek perawakannya iu lalu menyelinap keluar dari ruangan tersebut dan berlari secepat mungkin menjauh dari ancaman yang men
"Hufft!" Nayla bernapas lega setelah bayangan mereka menghilang di balik mobil hitam yang mereka naiki. Nayla lalu menoleh ke arah pria petugas keamanan itu dan berterimakasih. "Apakah mereka ingin mencelakaimu, Nyonya?" tanya petugas keamanan itu sesaat kemudian. Nayla menoleh ke arah pria tersebut, matanya memandang kekosongan sejenak seolah mencerna pertanyaan itu, lalu dengan cepat, dia mengedipkan matanya berulang kali seolah-olah menyadari sesuatu. "Sudah jam berapa?" tanyanya panik. "Pukul dua belas," jawab petugas keamanan dengan serius, menunjukkan jam tangannya. "Astaga, aku terlambat interview," gumam Nayla, kepanikannya semakin bertambah. Dia meraba-raba tas jinjingnya, mencari ponsel lalu membaca pesan yang masuk. "Maaf, saya harus pergi sekarang juga!" ucap Nayla sambil berlari keluar dari tempat itu, tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut kepada petugas keamanan itu. Petugas itu hanya bisa memandang Nayla yang berlari pergi dengan kebingungan. Dia bingung denga
Tak ada keraguan bahwa Zavier adalah gambaran nyata dari keindahan yang luar biasa, bahkan dalam keadaan yang paling rentan sekalipun. Dan walaupun dia terikat oleh alat-alat medis, kehadirannya masih menghadirkan aura yang tak terlupakan, menandai kehadiran pria yang kuat dan penuh pesona dalam setiap detak jantungnya. Nayla tetap tertidur di dalam bus tersebut dan menikmati alam mimpinya sementara bus berjalan melewati halte demi halte. Di sisi lain, Zavier tidak bisa berhenti bersin. Cuaca di kota Bogor lebih dingin daripada Jakarta. Sesudah mandi tadi pagi, pria itu merasakan gejala flu yang mulai mengganggunya. Setiap kali dia berusaha fokus pada pekerjaannya, bersin-bersin terus mengganggunya. Dengan berat hati, Zavier memutuskan untuk bekerja secara online dari rumah. Meskipun dia sebelumnya telah berencana pergi ke Jakarta untuk menyelesaikan beberapa urusan dan menghadiri rapat, tapi dengan kondisinya yang kurang fit, dia tidak bisa mengambil risiko. Tubuhnya terasa lelah
"Hei, Nona cantik! Kita sudah sampai di terminal terakhir! Apakah Anda berencana tidur di sini?" tanya seorang pria paruh baya berseragam supir sambil mengguncang bahu Nayla untuk membangunkannya. Nayla mengerjapkan kedua matanya berkali-kali. Terkejut bahwa dia tertidur dengan kenangan lama yang dialaminya selama dua tahun terakhir. Kepahitan yang ingin dia buang jauh-jauh malah membuat dirinya tersesat karena bus tersebut ternyata sudah berada di terminal terakhir. "Astaga! aku tertidur!" pekik Nayla dengan panik. Ketika dia akhirnya tersadar, Nayla merasa serba salah. Dia melihat ke jam tangannya dan melihat bahwa waktunya sudah hampir habis untuk wawancara kerja yang penting. "Maafkan saya, terima kasih, Pak!" seru Nayla dengan canggung. Dengan hati yang berdebar-debar, dia buru-buru turun dari bus, berusaha mengumpulkan pikirannya dan merencanakan langkah selanjutnya. Tanpa ragu, Nayla bergegas mencari taksi di terminal bus. Dia tahu bahwa dia tidak punya waktu untuk kehila
Di gedung yang sama, sebuah kebetulan yang tidak disengajai. Michael tengah sibuk membahas sebuah proyek bersama rekan kerjanya. Mereka tengah dalam diskusi yang intens ketika, tanpa sengaja, matanya tersirat pada sosok yang dikenalnya. "Nayla?" desis Michael pelan, mencoba memperhatikan lebih dekat sosok yang dia lihat. Dia hampir hendak memanggilnya, namun, sebelum dia sempat bertindak, Nayla sudah melangkah masuk ke dalam lift bersama Ethan. Sebuah kekecewaan melewati wajah Michael saat pintu lift tertutup di depan matanya. Dia merasa seperti ada sesuatu yang hilang, kesempatan untuk menyapa dan berbicara dengan Nayla. Rekan kerja Michael melihat ekspresi yang berubah di wajahnya. "Apa yang salah?" tanyanya. Michael menggelengkan kepala dengan cepat. "Tidak apa-apa. Saya hanya pikir saya melihat seseorang yang saya kenal." Namun, dalam hatinya, Michael merasa penasaran. Dia bertanya-tanya mengapa Nayla ada di gedung tersebut dan siapa pria yang menemaninya. Sebuah keinginan yan
"Kurang ajar! Perusahaan kecil seperti ini hanya sampah di mata kami, perempuan yang tidak bersedia menjual harga diri!" Nayla menginjak kaki David lalu manarik dan memutar tangan pria itu ke belakang. "Tolong!! Lepaskan! Wanita gila!" teriak David dengan suara melengking karena kesakitan. "Ini sakit sekali!" "Tolong!" jeritnya. Nayla tertawa puas karena giliran pria itu yang berteriak dengan keras. Pada saat yang sama, petugas keamanan di gedung itu masuk ke dalam ruangan akibat laporan terjadinya keributan di dalam kamar interview tersebut. Beberapa pria itu terlihat bingung karena yang terlihat oleh mereka adalah David yang sedang dipukul habis-habisan oleh Nayla. Melihat beberapa petugas keamanan yang tentu saja dia kenal dan untuk melindungi namanya sendiri, David segera melontarkan fitnah kepada Nayla. "Dia wanita gila, mengandalkan kecantikannya untuk merayu saya agar saya memberikan pekerjaan kepadanya." David berkata-kata sambil berlindung di balik tubuh salah seoran
Bagaimana tidak? Wanita itu terlihat begitu mengagumkan dengan kecantikan yang alami. Nayla membalas tatapan dari Michael sambil memiringkan kepalanya sedikit lalu melihat dirinya sendiri. "Ada yang aneh pada diriku? Hum, kemejanya terlalu besar ya?" tanya Nayla dengan wajah lugu dan merasa canggung. "Oh, tidak." Michael segera memalingkan wajahnya yang sudah memerah sebagian. "Gila, dia terlihat masih cantik seperti dulu," gumam Michael dalam hati. Nayla mengikuti langkah pria itu sampai menuju ke ruang tengah dengan maksud ingin duduk di sofa. Namun, tiba-tiba Michael berbalik dan tanpa sadar, Nayla tidak sempat menghentikan langkahnya sehingga tubuhnya menabrak dada bidang milik pria itu."Eh, maaf!" "Aduh," pekik Nayla. Wanita itu hanya setinggi bahu Michael sehingga kepalanya menabrak keras dan hampir terjungkal ke belakang karena berusaha menghindar. Untung saja Michael buru-buru meraih pinggang ramping miliknya agar Nayla tidak terjatuh. "Eh ..." Suara Nayla tersangkut
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu