Di gedung yang sama, sebuah kebetulan yang tidak disengajai. Michael tengah sibuk membahas sebuah proyek bersama rekan kerjanya. Mereka tengah dalam diskusi yang intens ketika, tanpa sengaja, matanya tersirat pada sosok yang dikenalnya. "Nayla?" desis Michael pelan, mencoba memperhatikan lebih dekat sosok yang dia lihat. Dia hampir hendak memanggilnya, namun, sebelum dia sempat bertindak, Nayla sudah melangkah masuk ke dalam lift bersama Ethan. Sebuah kekecewaan melewati wajah Michael saat pintu lift tertutup di depan matanya. Dia merasa seperti ada sesuatu yang hilang, kesempatan untuk menyapa dan berbicara dengan Nayla. Rekan kerja Michael melihat ekspresi yang berubah di wajahnya. "Apa yang salah?" tanyanya. Michael menggelengkan kepala dengan cepat. "Tidak apa-apa. Saya hanya pikir saya melihat seseorang yang saya kenal." Namun, dalam hatinya, Michael merasa penasaran. Dia bertanya-tanya mengapa Nayla ada di gedung tersebut dan siapa pria yang menemaninya. Sebuah keinginan yan
"Kurang ajar! Perusahaan kecil seperti ini hanya sampah di mata kami, perempuan yang tidak bersedia menjual harga diri!" Nayla menginjak kaki David lalu manarik dan memutar tangan pria itu ke belakang. "Tolong!! Lepaskan! Wanita gila!" teriak David dengan suara melengking karena kesakitan. "Ini sakit sekali!" "Tolong!" jeritnya. Nayla tertawa puas karena giliran pria itu yang berteriak dengan keras. Pada saat yang sama, petugas keamanan di gedung itu masuk ke dalam ruangan akibat laporan terjadinya keributan di dalam kamar interview tersebut. Beberapa pria itu terlihat bingung karena yang terlihat oleh mereka adalah David yang sedang dipukul habis-habisan oleh Nayla. Melihat beberapa petugas keamanan yang tentu saja dia kenal dan untuk melindungi namanya sendiri, David segera melontarkan fitnah kepada Nayla. "Dia wanita gila, mengandalkan kecantikannya untuk merayu saya agar saya memberikan pekerjaan kepadanya." David berkata-kata sambil berlindung di balik tubuh salah seoran
Bagaimana tidak? Wanita itu terlihat begitu mengagumkan dengan kecantikan yang alami. Nayla membalas tatapan dari Michael sambil memiringkan kepalanya sedikit lalu melihat dirinya sendiri. "Ada yang aneh pada diriku? Hum, kemejanya terlalu besar ya?" tanya Nayla dengan wajah lugu dan merasa canggung. "Oh, tidak." Michael segera memalingkan wajahnya yang sudah memerah sebagian. "Gila, dia terlihat masih cantik seperti dulu," gumam Michael dalam hati. Nayla mengikuti langkah pria itu sampai menuju ke ruang tengah dengan maksud ingin duduk di sofa. Namun, tiba-tiba Michael berbalik dan tanpa sadar, Nayla tidak sempat menghentikan langkahnya sehingga tubuhnya menabrak dada bidang milik pria itu."Eh, maaf!" "Aduh," pekik Nayla. Wanita itu hanya setinggi bahu Michael sehingga kepalanya menabrak keras dan hampir terjungkal ke belakang karena berusaha menghindar. Untung saja Michael buru-buru meraih pinggang ramping miliknya agar Nayla tidak terjatuh. "Eh ..." Suara Nayla tersangkut
Nayla menghela nafas dalam-dalam, merasa tegang saat dia menghadapi Zavier. "Dia Zavier?" tanya Michael. Suami Nayla tidak menyebut nama sama sekali pada pertemuan awal mereka. Michael baru tahu bahwa pria tampan itu bernama Zavier. Nayla mengangguk dengan rasa gelisah yang terpancar jelas di wajahnya. Michael turun dari mobil dan memberikan senyum kecil kepada Nayla, memberi isyarat kepadanya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, dia juga agak ragu untuk menghadapi Zavier. Dengan hati-hati, Nayla berjalan mendekati Zavier, mencoba menyapa dengan suara yang tenang. "Zavier. Mengapa kamu masih di sini?" Zavier membalas dengan senyuman tipis, "jadi, ini yang kamu lakukan sejak tiba di sini?" "Memangnya apa yang sudah kulakukan?" Nayla balik menantang perkataan yang terdengar seperti sedang menuduhnya melakukan sesuatu yang tidak baik. Zavier memang sudah tampak marah mulai dari saat melihat Nayla turun dari mobil, ekspresinya tidak dapat ditebak, dan bibirnya menyeringai dala
"Apa maksudmu?" Nayla membulatkan kedua matanya. Belum sempat Zavier menjawab sesuatu, ponsel di kantongnya berdering. Zavier menatap dingin layar ponsel tersebut dan Nayla bisa melihat nama yang tertera adalah Sefia. "Angkatlah, aku pergi mandi dulu." Nayla segera bangkit dari tempat duduknya, tetapi Zavier menahan tangannya. "Diam di sini," ujarnya dengan ketus. Nayla duduk kembali dengan enggan sementara Zavier mengangkat panggilan. "Sayang, di mana kamu?" Suara Sefia di seberang panggilan terdengar manja dan membuat Nayla merasa tidak nyaman mendengarnya. Nayla segera membuka layar ponselnya sendiri dan memainkan permainan online. Zavier melirik Nayla dengan tatapan dingin lalu menjawab Sefia dengan suara ketus. "Sedang bekerja. Aku akan mencarimu besok." Klik! Panggilan ditutup secara sepihak dan Zavier mematikan rokok dengan menekannya ke asbak rokok yang berada di atas meja. "Kamu ikut saya kembali besok pagi," ujar Zavier dengan suara datar. Nayla menggelengkan kepala
Nayla memijit kepalanya yang terasa berat, memikirkan apa yang harus dia katakan kepada Zavier nantinya pada saat makanan diantar ke depan rumahnya? Hanya butuh lima belas menit dan pintu depan diketuk oleh seseorang yang mungkin adalah sang pengantar makanan yang dipesan Michael. Nayla buru-buru keluar untuk membuka pintu dan menerima pesanan. Sekotak makanan dan bungkusan plastik dan sebuah buket bunga yang dipegang oleh Michael sendiri dengan senyuman ramah di wajahnya membuat Nayla terpaku di tempatnya berdiri. Sementara itu, di dalam kamar, Zavier juga mendengar suara ketukan pintu depan. Dengan langkah yang cepat, dia keluar dari kamar dan bergegas menuju pintu depan. Namun, ketika dia melihat siapa yang berada di depan pintu, ekspresi wajahnya berubah menjadi campuran antara keheranan dan ketidakpuasan. Ada Michael, berdiri di depan pintu dengan senyuman ramah di wajahnya, memegang sebuah bungkusan makanan dan sebuah buket bunga. Ekspresi wajah Zavier menjadi tegang saat di
Baru selesai makan, dering ponsel Zavier kembali menganggu pria itu. Zavier mengangkatnya sambil melangkah menuju ke kamar. Samar-samar, Nayla tahu bahwa yang menghubungi Zavier sudah pasti Sefia. "Itu 'temanmu' dan kamu boleh 'berteman' sampai sayang-sayangan!" gerutu Nayla sambil membereskan sisa makanan dan bersiap membuang sampah ke luar rumah karena dia memang mempunyai kebiasaan membuang ke samping pintu depan. Melihat buket bunga yang ditinggalkan di depan rumah, Nayla buru-buru mengambil ponselnya dan mencari nomor telepon Michael. Dengan hati yang berdebar-debar, dia mengetik pesan singkat untuknya, menyampaikan permintaan maaf atas insiden tadi dan menyatakan rasa terima kasih atas bantuan dan perhatiannya serta untuk buket bunga yang indah. Nayla mengambil buket tersebut dan mencium wangi bunga mawar yang indah. Zavier tidak pernah memberikan bunga untuknya. Kedua mata Nayla kembali berkaca-kaca. Dia sungguh tidak mengerti, apa yang ada dalam tanggapan Michael dan bagai
Entah berapa lama mereka terlelap, namun dalam dunia mimpi mereka, tidak ada beban, tidak ada ketegangan, hanya ada kedamaian dan ketenangan yang membawa mereka jauh dari kenyataan yang penuh dengan kekacauan. Di dalam pelukan malam yang sunyi dan musik yang mengalun indah, Nayla dan Zavier menemukan ketenangan yang mereka cari, meskipun hanya untuk sesaat. Keesokan paginya, ketegangan masih terasa di udara. Nayla dan Zavier bahkan tidak sempat untuk sarapan. Dengan diam-diam, mereka bersiap-siap untuk pergi, menyiapkan segala perlengkapan yang diperlukan untuk perjalanan ke Jakarta. Setiap gerakan mereka dipenuhi dengan ketegangan yang tegang, seolah-olah keheningan di dalam rumah itu mampu menyembunyikan segala ketidaksepakatan yang terpendam. Tanpa banyak bicara, mereka berdua bergegas menuju mobil, menyelipkan diri ke dalam kesunyian yang memenuhi ruang mobil. Meskipun mereka duduk berdampingan, namun jarak di antara mereka terasa jauh. Tatapan mereka saling menghindar, dan suasa
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu