Entah berapa lama mereka terlelap, namun dalam dunia mimpi mereka, tidak ada beban, tidak ada ketegangan, hanya ada kedamaian dan ketenangan yang membawa mereka jauh dari kenyataan yang penuh dengan kekacauan. Di dalam pelukan malam yang sunyi dan musik yang mengalun indah, Nayla dan Zavier menemukan ketenangan yang mereka cari, meskipun hanya untuk sesaat. Keesokan paginya, ketegangan masih terasa di udara. Nayla dan Zavier bahkan tidak sempat untuk sarapan. Dengan diam-diam, mereka bersiap-siap untuk pergi, menyiapkan segala perlengkapan yang diperlukan untuk perjalanan ke Jakarta. Setiap gerakan mereka dipenuhi dengan ketegangan yang tegang, seolah-olah keheningan di dalam rumah itu mampu menyembunyikan segala ketidaksepakatan yang terpendam. Tanpa banyak bicara, mereka berdua bergegas menuju mobil, menyelipkan diri ke dalam kesunyian yang memenuhi ruang mobil. Meskipun mereka duduk berdampingan, namun jarak di antara mereka terasa jauh. Tatapan mereka saling menghindar, dan suasa
Nayla merasa keputusannya sudah bulat. Dia tidak ingin menunda lagi, tetapi dia harus mengunjungi Xander terlebih dahulu. Mereka tiba di ruangan Xander Abraham, dan pemandangan di dalamnya membuat atmosfer semakin tegang. Xander terlihat pucat dan lemah, duduk di kursi roda dengan tatapan kosong ke arah jendela. Di sebelahnya, Kayla, istri keduanya, duduk dengan sikap yang penuh semangat. Saat Sefia memasuki ruangan, Kayla menyambutnya dengan senyum hangat dan pelukan, seakan-akan mereka memiliki hubungan yang sangat dekat. "Sefia, Ibu sangat merindukanmu, Nak. Ahh, kamu bertambah cantik, Sayang," sapa Kayla. Nayla merasa ketidaknyamanan merambat di dalam dirinya ketika Kayla melayangkan tatapan tidak suka ke arahnya. Dia merasakan sentuhan dingin dari pandangan itu, seolah-olah dikelilingi oleh kehadiran yang merendahkan. Tetapi dia memilih untuk tetap tegar di tengah-tengah semua itu, mencoba untuk tidak terpengaruh oleh sikap Kayla yang jelas-jelas tidak menyukainya. Sementar
Mereka sudah sampai di tempat dokter, duduk di depan meja dengan ketegangan yang terasa di udara. Nayla merasa detak jantungnya semakin cepat, khawatir dengan kondisi kesehatan Xander. Zavier mengenggam tangan Nayla tetapi wanita itu berkali-kali menepis tangannya karena dia benar-benar ingin melepaskan dirinya dari pria itu. Nayla memilih duduk agak menjauh dari Zavier sehingga membuat mimik pria itu berubah semakin dingin. Dokter mengangkat kepalanya dari berkas medis Xander, wajahnya serius saat dia memberikan vonisnya. "Maaf, tetapi kondisi jantung pasien atas nama Xander Abraham adalah cukup serius. Ini adalah penyakit jantung koroner yang memerlukan perawatan yang cermat dan konsisten. Saya akan merekomendasikan beberapa tindakan yang perlu dilakukan segera." Nayla tersentak mendengar diagnosis dokter. Ingatannya seketika terbawa ke masa lalu, di mana ayahnya pergi meninggalkan mereka karena penyakit jantung yang serupa. Rasa takut dan kecemasan menyergapnya, membuatnya mera
"Kamu ikut aku pulang ke rumah," ucap Zavier dengan tatapan dingin. Di luar dugaan, Nadira menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Zavier, aku harus pulang ke Bogor," ujar Nayla dengan tegas. "A-aku tidak akan kembali ke sana lagi," ucap Nayla dengan suara parau. Zavier, meskipun agak terkejut dengan keputusan Nayla, mencoba untuk memahaminya. "Tapi, Nayla, tidakkah lebih baik kamu tinggal di Jakarta saja? Kamu tidak memiliki siapa-siapa di Jakarta dan perjalanan ke Bogor butuh waktu." "Aku juga belum menyetujui perceraian," lanjut Zavier sambil menoleh ke arah lain. Pria itu menyimpan tangannya ke dalam kantong dan terlihat dingin tanpa ekpresi. Nayla menggelengkan kepala dengan mantap. "Aku perlu waktu untuk diriku sendiri, Zavier. Aku butuh kesendirian dan ruang untuk merenung." Zavier menoleh dan menatap Nayla dengan wajah tegang, terkejut dengan reaksi tajam yang dilontarkan oleh Nayla. Meskipun begitu, ia mencoba meredakan ketegangan yang menggelayuti mereka. "Nayla, aku t
Beberapa saat kemudian, Xander menyuruh mereka pulang agar dia bisa beristirahat. Sebelum Zavier pergi, Xander membisikkan kepada Zavier supaya segera membuat anak. Zavier tersenyum dan memberi kode jempol untuk membuat sang ayah gembira sementara wajah Nayla memerah karena malu. Dia juga mendengar bisikan dan kode jempol yang diberikan oleh Xander dan tentu saja dia mengerti hal itu. Setelah pertemuan yang penuh emosi di ruang Xander, Nayla dan Zavier berjalan keluar dari rumah sakit, masih terhanyut dalam kesan dari percakapan dengan ayah mereka. Mereka sama sekali tidak bergandengan tangan. Nayla sengaja berjalan di belakang Zavier dan menyamakan langkah mereka agar dia tidak menubruk tubuh pria tinggi di depannya itu. "Kamu baik-baik saja, Nayla?" tanya Zavier menoleh ke belakang sebentar untuk melihat ekspresi cemas di wajah istrinya. Nayla mengangguk lemah, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Ya, aku baik, Zavier. Hanya sedikit tersentuh oleh kata-kata Ayah tadi." "Aku s
Nayla berpikir sejenak, sikap Zavier sangat aneh. Dia tidak pernah sehangat itu, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa Nayla merasa hatinya hangat oleh ide itu. "Benarkah kamu yakin? Aku tidak mengerti, kamu menyetujui perceraian dan juga menginginkan seorang anak?" tanyanya ragu. Zavier mengangguk mantap. "Sangat yakin. Semua bisa kita urus. Kita mulai dari membuat anak terlebih dahulu. Bagaimana menurutmu?" Zavier lalu menggendong tubuh Nayla dan berlari kecil menaiki tangga. "Eh, lepaskan, Zavier. Ini mengerikan!" seru Nayla ketakutan dan segera merangkul leher pria itu dengan erat. Sementara Zavier terkekeh menyaksikan reaksi dari istrinya itu. Sampai di kamar, Zavier segera membaringkan tubuh Nayla di atas ranjang dan menciumnya dengan penuh kerinduan. "Zav ... hum." Nayla tidak dibiarkan berkata-kata terlalu banyak. Di tengah deru napas mereka, kedua insan itu saling berpandangan, dipenuhi dengan keberanian dan keyakinan seolah-olah mereka tidak sedang berada dalam pertengkaran
Dengan langkah pasti, Nayla bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju kamarnya. Dia merasa energi baru mengalir di dalam dirinya, energi untuk menemukan jati dirinya yang sejati dan mengambil kendali atas hidupnya. Pada saat itulah, di tengah kegelapan yang menyelimuti rumah mewah itu, Nayla merasakan getaran kuat di dalam dirinya. Getaran kekuatan yang membuatnya yakin bahwa dia mampu mengatasi segala rintangan yang menghadang di depannya. "Dia akan melihat bahwa aku bukan lagi Nayla yang lemah," bisik Nayla pada dirinya sendiri sambil mengusap air mata yang masih mengalir di pipinya. "Aku akan menjadi Nayla yang kuat dan tegar." Dengan tekad yang bulat, Nayla bersiap untuk menghadapi segala tantangan yang menunggu di depannya. Dia tahu bahwa perjalanan menuju kebahagiaan tidak akan mudah, tetapi dia siap untuk melangkah maju tanpa ragu sedikit pun. Dia segera memakai pakaiannya dan meninggalkan rumah itu dengan menaiki taksi online. Langsung menuju ke Kota Bogor! Hujan b
Pagi sekali, terik matahari belum sepenuhnya menyinari koridor rumah sakit yang masih sunyi. Dokter muda dengan langkah cepat melangkah ke ruangan Xander, si pasien utama. Di dalam ruangan rumah sakit yang sepi, Xander berbaring di atas ranjang putih dengan wajah pucat. Setiap detik terasa begitu panjang baginya, memikirkan keadaan rumah tangganya yang semakin rapuh. Dia tidak menginginkan perceraian putranya dengan Nayla. Pagi itu, suara langkah kaki dokter muda yang familiar memecah keheningan. Dengan senyum ramah, dia menyapa Xander yang sedang duduk di ranjang, menunggu kedatangannya. "Selamat pagi, Tuan Xander," ucap dokter muda sambil memeriksa kartu rekam medis Xander. Xander menatap dokter dengan senyum tipis. "Selamat pagi. Saya sangat sehat, hanya yang ada di dalam ini sangat penuh, bukan ?" Xander mengarahkan telunjuknya ke keningnya. "Semua orang juga punya masalah, Tuan. Saya datang untuk memberitahu bahwa hasil medical check-up Anda sangat bagus. Anda memiliki stami
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu