Asisten bernama Bob itu segera keluar dari rumahnya dan membawa mobil menuju Rumah sakit di mana Sefia sedang menjalani operasi. Di luar, suasana rumah sakit pagi itu masih sepi. Bob melangkah dengan langkah cepat, mencari Zavier di sekitar area rumah sakit. Dia mengetahui bahwa membujuk Zavier bukanlah hal yang mudah, terutama jika Zavier memutuskan untuk tetap berada di sana. Tidak mungkin dia menhubungi Zavier dengan ponselnya dan menyuruhnya menemui Xander begitu saja. Tuan Muda mereka bahkan tidak bekerja hari ini hanya untuk menemani Sefia, hal ini saja sudah menunjukkan betapa pentingnya posisi mantan pacarnya itu dalam hati pria itu. Bob menelan salivanya, membayangkan apakah Zavier akan menjadi murka bila dia menyampaikan pesan Xander. Tidak butuh waktu lama bagi asisten itu untuk menemukan Zavier. Dia melihat sosok Zavier yang tegang, berdiri di lorong rumah sakit dengan tatapan khawatir yang mendalam. Zavier tampak tidak tenang, menggigit bibirnya dengan keras sementara
Xander melirik Zavier dengan tatapan tajam, mencari jawaban dari pertanyaannya. Matanya menatap penuh kekhawatiran, menunjukkan bahwa dia sangat prihatin dengan situasi yang rumit ini. Sementara Zavier tenggelam dalam pikirannya sendiri. Pria itu terdiam dan lidahnya terasa kelu. "Kamu tahu bahwa Nayla sudah kembali ke Bogor sendirian?" tanya Xander lagi, suaranya agak bergetar karena emosi yang terkandung di dalamnya. Zavier merasa tertegun oleh pertanyaan itu. Dia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan situasi yang rumit ini kepada Xander. Hatinya dipenuhi dengan perasaan bersalah. "D-dia kembali sendirian? Maafkan saya, Papa. Aku tidak tahu bahwa Nayla sudah kembali ke Bogor," jawab Zavier dengan suara yang bergetar. Dia merasa tertekan oleh tanggung jawab yang harus dia hadapi. Xander menatap Zavier dengan ekspresi yang penuh kekecewaan. "Kamu harus segera menemui Nayla dan membicarakan ini dengannya. Dia tidak boleh merasa sendirian dalam situasi ini," ucap Xander dengan tega
Nayla menanggapi panggilan dengan suara yang dingin. "Apa yang kamu inginkan, Zavier?" tanyanya dengan nada tajam, tidak menyembunyikan ketidakpuasannya. Zavier, meski tersentak oleh kekerasan nada Nayla, mencoba untuk menjaga ketenangan. "Mengapa kamu pergi lagi? Bukankah kita sudah sepakat dalam rencana kita untuk mempertahankan kondisi kesehatan Papa? " tanyanya, mencoba menjaga ketenangan meskipun merasa tertusuk oleh sindiran Nayla. Nayla tidak bisa menahan diri untuk tidak menyindir. "Lebih baik kamu fokus menjaga Sefia. Toh, kita tetap akan bercerai," katanya dengan suara yang penuh dengan kekecewaan. "Saya pikir, kesehatan Papa tidak lebih penting daripada kesehatan Sefia," lanjutnya. Mendengar sindiran itu, Zavier merasa terhenti sejenak. "Nayla, aku..." Zavier mencoba untuk menjelaskan, tetapi Nayla langsung memotongnya. "Tidak perlu penjelasan, Zavier. Jangan sia-sia kan pulsa siapa pun dari ponsel yang sedang kamu pakai untuk menghubungiku." "Ya, aku memblokir nomor k
Zavier tenggelam dalam keheningan ruangan. Tidak ada siapa-siapa di sana. Dia mulai merasa kekosongan yang menyelimuti dirinya, hampa tanpa kehadiran Nayla di sampingnya. Perasaannya terombang-ambing antara keinginan untuk menyudahi pertengkaran mereka dan ketidakmampuannya untuk mengungkapkan perasaannya dengan jelas kepada Nayla. Zavier berjalan menuju ruang tengah, di mana dia sering melihat Nayla duduk dengan anggun di sofa, menunggu kedatangannya. Wanita itu selalu sangat telaten dan sudah selesai mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, kali ini, kursi itu kosong dan hanya membayangkan bayangan kesendirian yang menyiksa hatinya. Dia duduk di sofa, mencoba memahami apa yang sebenarnya dia rasakan. Rasa cemas dan kekosongan melanda dirinya, membuatnya semakin merindukan makan malam bersama walau suasananya selalu dingin tanpa banyak perbicangan. Tapi Nayla selalu ada di sana dengan senyuman hangat. Saat melihat sekeliling rumah yang sunyi, Zavier merasa semakin tersiksa oleh pertengk
Nayla dan Michael terpaku mendengar apa yang dikatakan oleh sang adik. Terdengar nada pengusiran terhadap Michael dengan sangat jelas. Hal ini tentu saja membuat Nayla merasa malu dan segan. Namun, Nayla segera mengalihkan pembicaraan.Nayla mengangguk. "Maaf, Michael, kamu tahu, kita semua harus saling mendukung. Aku yakin kamu akan menjadi sukses dalam tugas baru ini."Mereka melanjutkan percakapan mereka, sambil menikmati makanan yang disiapkan oleh Michael. Meskipun Nayla berusaha untuk tetap ceria di depannya, tetapi perasaan malu dan canggung terus mengganggunya di dalam hati.Setelah beberapa saat, Nayla menemukan dirinya semakin terpesona oleh pesona Michael. Dia merasa nyaman di dekat pria itu, dan sedikit demi sedikit, rasa canggungnya mulai memudar.Sementara itu di dalam kamar mandi, di balik wajahnya yang lelah, Nadira merasa sedikit tidak nyaman dengan kehadiran Michael. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang tidak biasa dengan situasi ini, tetapi dia tidak yakin apa.Nadir
Sebuah reaksi yang sederhana, namun terkesan sangat memalukan bagi Nayla. Tetapi dia harus segera melakukan sesuatu untuk menolong adiknya."Ketemu! serunya dengan riang lalu menekan tombol buka.Tit tit!Lampu kiri dan kanan pada mobil mewah berwarna hitam itu berkedip menandakan bahwa 'autolock' pada mobil sudah terbuka, Nayla segera membuka pintu mobil.Setelah Nadira ditempatkan dengan hati-hati di kursi belakang mobil, Michael segera melaju menuju rumah sakit dengan cepat. Nayla duduk di belakang sambil menyandarkan kepala Nadira di pahanya.Dalam perjalanan yang tegang menuju rumah sakit, Nadira memejamkan mata, mencoba mengatasi rasa mual dan kelemahan yang melandanya.Michael berkonsentrasi pada jalanan, berusaha sampai di rumah sakit secepat mungkin. Sesekali dia melirik kedua wanita itu dengan wajah tegang.Entah perasaan apa yang sedang melandanya. Saat ini, dia benar-benar ingin menjadi pelindung bagi kedua wanita tersebut
Michael mengangguk mengerti. "Saya akan tetap di sini, Zavier," katanya dengan rendah hati.Di luar dugaan, Zavier menarik tangan Nayla agar mengikutinya."Eh ... "Nayla terkejut saat Zavier menarik tangannya dengan tegas. Dia melepaskan diri dari tatapan bingung Michael dengan canggung dan mengikuti Zavier dengan langkah berat, merasa bingung dengan kejadian yang tiba-tiba ini."Zav, saya harus menunggui Nadira, kita mau ke mana?" tanya Nayla, mencoba mencari tahu apa yang ingin dikatakan Zavier.Zavier hanya mengangkat sudut bibirnya, tanpa sepatah kata pun. Langkahnya tergesa-gesa menuju keluar dari lorong rumah sakit yang ramai, meninggalkan Michael dan kerumunan orang di ruang tunggu.Nayla mencoba mengejar langkah Zavier, mencari tahu alasan di balik tindakannya yang tiba-tiba. Pria itu mengenggam tangannya dengan kuat."Zavier, tunggu sebentar, ada apa? T-tanganku sakit ditarik seperti ini!"Zavier tidak berhenti, tetap
"Tuan Zavier, Nyonya Nayla, selamat datang kembali, Kepala Pelayan Martha menyambut dengan hormat," sapa seorang wanita paruh baya yang memperkenalkan diri sebagai kepala pelayan dengan sopan sambil membungkukkan tubuhnya sedikit, diikuti oleh para pelayan di belakangnya.Nayla terdiam, matanya membulat dalam kebingungan. "Apa ini semua?" gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri daripada pada Zavier.Zavier mengangguk sambil tersenyum, mencoba menenangkan Nayla. "Ini kejutan kecil untukmu. Aku ingin mengubah sedikit suasana hatimu setelah hari yang panjang pelarianmu," jelasnya, suaranya hangat meskipun masih terdengar sedikit dingin."Bukankah tadi sudah kukatakan bahwa aku akan memberikan hal yang tidak pernah kamu dapatkan sebelum ini?"Nayla masih terdiam, mencoba memproses semua yang sedang terjadi. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Zavier akan melakukan sesuatu seperti ini, terutama setelah semua ketegangan yang mereka alami belakangan ini.
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu