"L-Lepaskan!" Nayla Pratama berseru dengan suara tertahan dan mencoba melawan. Kedua mata indahnya menatap tajam kepada Zavier Abraham.
Pundak mulusnya diterkam kencang dan tubuh molek miliknya dihempaskan di atas kasur mewah yang mereka miliki sepanjang pernikahan selama dua tahun terakhir.
"Ini kewajibanmu! Diam dan patuhi!" Suara Zavier terdengar lantang dan ketus. Pria itu segera bergerak memenuhi tuntutan batinnya tanpa memperdulikan perasaan sang istri yang menderita dan tidak menerima perlakuan kasar Zavier.
Nayla menggenggam sprei di sampingnya dengan erat, menahan kesakitan pada titik sensitif di sekujur tubuhnya sambil melihat ke langit-langit kamar, dengan tatapan sendu dan air mata yang berkumpul di matanya.
“Zavier… Tolong pelankan…”
Namun, suara parau Nayla tak pernah digubris oleh Zavier yang sibuk menuntaskan hasratnya.
Setelah berselang lama, Zavier selesai dan langsung bangkit seraya mengambil baju mandinya.
Dengan ekspresi datar, dia meninggalkan tubuh sang istri dan melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Sementara Nayla segera menarik selimut, untuk menutupi tubuh yang masih gemetaran dan masih terasa sakit.
Nayla memandang punggung suaminya itu, punggung yang beberapa tahun lalu selalu diusap dengan lap yang dibasahi dengan air hangat olehnya, saat Zavier masih terbaring koma.
Dua tahun lalu, Zavier mengalami sebuah kecelakaan tragis yang menyebabkannya koma selama bertahun-tahun.
Takut anaknya tak akan menikah sampai akhir hayatnya, keluarga Zavier menikahkannya dengan Nayla.
Nayla sendiri terpaksa menerima pernikahan kontrak itu sebab membutuhkan uang untuk biaya pengobatan sang adik yang sedang sakit keras.
Tidak ada gaun pengantin, tidak ada acara pesta bahkan tidak ada makanan mewah yang tersaji.
Pernikahan tanpa penghulu atau pendeta itu dilaksanakan dengan suasana tegang di dalam kamar Rumah Sakit.
Hanya disaksikan oleh Xander Abraham, ayah Zavier sekaligus Pemilik perusahaan Cypro Holding Technology, ltd, sebuah perusahaan teknologi berbasis Artificial Intelligence terbesar di dunia dan seorang pegawai catatan sipil.
Cap jempol dari Nayla dan Zavier yang sedang koma itu dibubuhkan bersamaan dan mereka resmi menjadi suami istri secara hukum.
Namun, ketika keajaiban itu datang dan Zavier akhirnya tersadar, bukan tatapan kasih sayang yang Nayla dapatkan. Melainkan tatapan kebencian yang selalu membayang di kepalanya.
Zavier tidak pernah menyetujui sebuah pernikahan. Apalagi bersama seseorang yang tidak pernah dikenalnya dengan baik.
Tidak ada perasaan cinta yang ada dari setiap sentuhan yang diberikan oleh Zavier kepadanya, membuat wanita itu merasa direndahkan dan hanya bisa patuh.
Sesaat kemudian pria tampan bertubuh atletis, dada bidang dan perut berkotak itu sudah keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan handuk putih yang melilit di pinggangnya.
Nayla menatap suaminya dengan pasrah. Pria tampan itu tidak sebaik rupa fisiknya. Dia tidak pernah memperlakukan dirinya dengan baik walau Nayla berusaha menjadi istri yang sempurna.
Sejak menjadi istri Zavier, Nayla melakukan semua pekerjaan Rumah Tangga dengan baik, mulai dari memasak, mencuci bahkan memenuhi semua kebutuhan Zavier, seorang pewaris kaya raya yang sengaja tidak mau mempekerjakan Asisten Rumah Tangga, hanya untuk menunjukkan kekecewaannya terhadap pernikahan yang tidak dia inginkan.
"Kamu mau ke mana?" tanya Nayla dengan suara yang masih bergetar menahan sakit, pada saat melihat Zavier sudah berpakaian rapi dan sedang menyemprotkan parfum kesayangan.
Zavier sama sekali tidak menoleh, melainkan tetap melanjutkan kegiatannya lalu meninggalkan Nayla yang tenggelam dalam keheningan kamar mewah tersebut.
Nayla segera menarik selimut putih dan membalut tubuhnya lalu berdiri dan berlari mengejar Zavier.
"Zavier!" panggilnya dari atas tangga.
Zavier menghentikan langkahnya di depan pintu utama, namun dia tetap tidak menoleh.
"Kamu pulang nanti malam?" tanya Nayla dengan suara parau.
"Pulang, kalau tidak pulang, apakah kamu akan melaporkannya kepada tua bangka itu?" Zavier berkata ketus usai menjawab lalu melanjutkan langkahnya.
Nayla membeku. Tangannya menggenggam pegangan tangga dengan keras sambil menahan air matanya jatuh.
Namun, sebelum Zavier menutup pintu, ia berhenti sejenak.
“Jangan lupa buang bekas pengaman tadi!”
Bruk!
Nayla masih mematung ke arah pintu yang baru saja dilewati Zavier. Pria itu benar-benar tidak pernah menganggap keberadaannya di rumah itu.
Selama dua tahun terakhir, Zavier selalu menuntut haknya di atas ranjang, tetapi pria itu tidak ingin Nayla mengandung benih yang dia tanam berkali-kali sesukanya. Zavier selalu memakai pengaman agar Nayla tidak pernah hamil.
Nayla melirik bekas pengaman yang masih ada di lantai yang terasa sedingin hatinya saat ini, lalu meraihnya dan membuangnya ke tong sampah.
Air mata mengalir membasahi pipi yang cantik itu. Nayla tak kuasa menentang apa yang dialaminya saat ini karena dia terlanjur mencintai pria itu.
Saat Zavier koma, Nayla merawatnya dengan sepenuh hati, menjaga semua kebutuhan nutrisi bahkan memandikannya. Namun, Zavier tidak mengetahui semua itu.
Nayla tahu, Zavier diam-diam selalu berhubungan dengan seseorang, dan Nayla menebak adanya perempuan lain dalam kehidupan suaminya.
Nayla bahkan pernah mendapatkan informasi dan beberapa laporan dari temannya bahwa mereka melihat suaminya sedang bersama dengan wanita lain di restoran ternama, sementara Zavier tidak pernah membawa Nayla walau sekedar untuk makan bersama di luar rumah.
Mengingat semua itu, Nayla menghembuskan nafasnya yang terasa berat di dada lalu berusaha tidur setelah selesai mandi.
Keesokkan harinya, Nayla terbangun dan mendapatkan sang suami sudah tertidur di sebelahnya.
Dia tidak tahu jam berapa suaminya pulang karena sudah sangat kelelahan semalam.
Seperti rutinitas biasa, Nayla bergegas berdiri dan mengerjakan semua pekerjaan Rumah Tangga. Dengan telaten dia juga sudah menyiapkan sarapan lalu melanjutkan dengan mencuci pakaian menggunakan tangan.
Zavier bahkan meminta Nayla untuk melakukan segala pekerjaan rumah tangga seorang diri. Semua itu demi melihat istri yang tak diinginkannya itu menderita.
Padahal, dengan kekayaan yang keluarga Zavier miliki, ia dapat menyewa puluhan ART untuk mengurusi rumah tangga mereka.
Setelah Zavier bangun, pria itu buru-buru berangkat kerja tanpa menyentuh sarapan yang dibuat Nayla.
"Zav ... " Kalimat Nayla terhenti karena bayangan Zavier sudah menghilang di balik pintu dan terdengar suara mobil, menandakan pria itu sudah berangkat kerja tanpa menyapa.
Nayla menatap kedua tangannya yang masih penuh dengan buih sabun. Dia sedang mencuci.
Namun, saat melanjutkan cuciannya, matanya melebar saat dia menemukan sebuah struk di kantong kemeja yang dipakai Zavier semalam.
"Hotel Internasional, kamar suite atas nama …”
Awalnya Nayla membaca perlahan, tapi sampai di akhir struk, dia tidak dapat menahan air matanya.
“SEFIA…"
Mendadak, kedua lututnya terasa lemas dan tidak bertenaga. "J-jadi, dugaanku selama ini benar?"
Selama ini, Nayla memang mencurigai kedekatan Zavier dengan Sefia. Penemuan ini membuat Nayla tenggelam dalam amarahnya karena mengetahui bahwa hubungan mereka sudah bergerak 'terlalu jauh'. Kedua tangan Nayla gemetar, memegang struk hotel yang sudah setengah basah itu. Nayla terduduk lemas dan merenungi apa yang harus dia lakukan. Tatapannya kosong ke arah cucian yang masih menumpuk di depannya. Setiap hari, dia harus mengerjakan semua pekerjaan rumah yang tentunya sangat melelahkan, tetapi Zavier tidak pernah menghargainya sama sekali. Apakah aku hanya dianggap sebagai pembantu baginya? Nayla tidak mampu berhenti bertanya kepada dirinya sendiri karena keberadaannya yang tidak jelas di rumah mewah ini. Dia merasa benar-benar terkurung di dalam rumah mewah ini semenjak menikah dengan Zavier. Hari-harinya hanya diisi dengan semua pekerjaan Rumah Tangga yang tidak pernah selesai. Dengan wajah sendu, Nayla berdiri lalu berjalan pelan menuju ke kamarnya. Mulai mengeluarkan koper dan
"Nayla! Siapkan makan siangku! Aku lapar!" teriak Zavier sambil memeluk bantal empuk dan masih enggan membuka matanya.Hening ... Tidak ada sahutan, membuat pria tampan itu terpaksa membuka mata dan mengernyitkan alis.Dengan malas, Zavier bangun dan terduduk di samping ranjang. Kedua matanya melirik koper yang berdiri kokoh di dekat pintu keluar. Dalam hatinya, Zavier tersenyum, berpikir bahwa Nayla tidak jadi pergi karena masih ada koper di sana."Nayla!" panggil Zavier sambil membuka pintu dan melihat ke luar kamar, mencari keberadaan Nayla, tetapi suasana di rumah itu tetap hening."Cuih! Selalu membuat marah!" Zavier masuk kembali ke kamar mandi dengan enggan dan menarik handuk lalu melangkah ke kamar mandi.Setelah selesai mandi, Zavier tidak bisa menemukan pakaiannya di atas ranjang. Biasanya, Nayla sudah menyiapkan pakaiannya untuk ke pesta."Apakah dia sedang memasak? Sungguh lamban sekali!" gerutu Zavier sambil membuka lemari dan mengeluarkan Tuxedo lalu memakainya."Mana das
"Sial!" teriak Zavier dengan marah. Dilemparnya telepon genggam ke atas ranjang."Wanita sial itu bahkan tidak menghidupkan ponselnya!" Dengan gusar, Zavier menghempaskan pantatnya ke atas kasur yang dingin itu.Perasaannya galau dan kedua matanya penuh sklera merah, menandakan pria itu sangat gusar dan tidak tahu harus berbuat apa.Sesaat kemudian, dia meraih kunci mobil lalu melangkah keluar dari rumah dengan tujuan ingin mencari Nayla.Sementara Nayla sudah sampai di depan rumah kecilnya. Rumah yang dibeli oleh Xander, mertuanya yang baik hati.Rumah kecil itu hanya memiliki dua kamar kecil dengan masing-masing ranjang single bed dan salah satu kamar ditempati oleh sang adik yang merawat dirinya sendiri."Kakak?" Nadira menyambut sang kakak yang terlihat sedikit pucat dan lelah.Nayla hanya tersenyum lalu memeluk sang adik. Air mata kembali mengalir membasahi pipinya."A-apa yang terjadi? Mengapa tidak menelepon?"Nadira sangat gusar dengan keadaan Nayla yang terlihat seperti sedang
Pagi yang mendung dan Zavier masih terlelap dalam tidurnya walau alarm pada ponselnya sudah berdering semenjak tadi."Nayla, suruh diam dulu alarmnya! Lagu tadi sungguh indah di telingaku!" teriak Zavier dalam tidurnya.Zavier bermimpi sedang mendengarkan lagu yang disenandungkan dengan melodi indah di telinganya, suara seorang gadis yang sangat lembut dan membuainya. Lagu yang sama dan lagu yang sudah menemani dirinya saat masih koma."Tidak kah letih kakimu berlari. Ada hal yang tak mereka mengerti. Beri waktu tuk bersandar sebentar, selama ini kau hebat ... Hanya kau tak didengar"Zavier tersenyum puas dalam tidurnya, dia sangat menyukai lagu itu. Tapi deringan alarm pada ponselnya mulai terasa menganggu."Nayla! Kubilang matikan alarmnya!" Zavier terduduk di atas ranjang dan merasa marah karena istrinya masih juga tidak bergerak.Pelan-pelan, Zavier kembali ke kondisi sadar. Nayla memang sudah meninggalkannya.Dengan kesal, Zavier meraih ponsel yang terus berdering itu lalu mematik
Nayla menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum memulai. Dia memandang mikrofon di depannya, merasa tegang namun juga penuh semangat untuk memberikan yang terbaik.Dia harus melakukan semua ini, dia tahu akan susah mendapatkan pekerjaan di negara yang dikuasai oleh keluarga Abraham. Tapi, itu bukan alasan baginya untuk mengemis dan melayani Zavier lagi.Dia membutuhkan biaya hidup yang sungguh besar, sehingga ini akan menjadi langkah pertama baginya untuk berkarir.Dengan kualifikasi dan pengalaman bekerja di kantor yang hanya sedikit, tidak mungkin dia akan diterima oleh perusahaan untuk bekerja di dalam kantor.Tapi, dia memiliki suara yang merdu, sebelum mengenal Zavier, dia sering tampil di panggung-panggung untuk menyanyi di acara pernikahan ataupun pesta ulang tahun.Dengan hati-hati, dia memilih lagu yang akan dia nyanyikan, sebuah lagu yang memenuhi hatinya dengan emosi yang rumit.Ketika Nayla mulai menyanyi, dia berusaha melihat ke arah juri yang dibatasi
"Dengar, Nayla," ucap Michael dengan suara yang hangat, "Aku tahu kamu sedang dalam situasi yang sulit. Mengapa kamu tidak mau aku mengantarmu pulang? Aku yakin kita bisa mengobrol sepanjang perjalanan."Nayla terkejut dengan tawaran tersebut, namun juga merasa terharu dengan kebaikan hati Michael. Meskipun hatinya terbagi antara rasa gugup dan rasa terima kasih, dia akhirnya mengangguk dengan lembut."Terima kasih, Michael. Aku menghargainya," ucap Nayla dengan suara yang penuh rasa syukur."Kamu tunggu aku di luar. Tiga orang lagi dan audisi akan selesai," ucap Michael sambil berlalu pergi sementara Nayla kembali ke ruang tunggu bersama dengan para audisi yang menyambutnya dengan wajah kesal."Kok lama sekali, huh!" Seorang peserta audisi melayangkan wajah tidak suka kepada Nayla lalu masuk ke dalam ruang audisi sesuai antriannya.Nayla sedikit bingung karena mengingat pesan yang disampaikan Michael tadi. Apakah dia harus menunggu?Namun, bayangan Zavier selalu memenuhi pikirannya sa
Di sisi lain, Nayla merasa ingin sekali berusaha sendiri dan membuktikan kemampuan dari bakat yang dimilikinya.Mereka melanjutkan percakapan mereka dengan nyaman, berbagi cerita dan kenangan tentang masa lalu mereka. Tertawa dan bercanda, mereka seakan melupakan semua masalah yang sedang mereka hadapi di dunia luar.Sesaat kemudian, suasana itu berubah ketika Michael bertanya tentang suami Nayla. "Bagaimana keadaan suamimu?" tanya Michael dengan suara yang sedikit berat.Nayla merasa sedikit kikuk dengan pertanyaan itu. Dia merasa tidak nyaman membicarakan masalah pribadinya dengan Michael, meskipun dia menghargai kebaikan hati dan perhatian Michael."Oh, dia sedang sibuk dengan pekerjaannya," jawab Nayla dengan canggung, mencoba untuk menghindari topik tersebut.Michael merasakan ketidaknyamanan Nayla, tapi dia tidak ingin menekannya. "Maaf, jika aku bertanya terlalu jauh," katanya dengan suara lembut, mencoba untuk memperbaiki suasana.Nayla tersenyum tipis, merasa lega dengan pemah
Nayla mencoba mengingat-ingat apakah dia telah memberi tahu adiknya tentang rencananya, tetapi dia tidak yakin. Rasa curiga mulai menggerogoti hatinya. Dia merasa terkhianati oleh seseorang yang seharusnya dia percayai. Namun, dia juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa situasinya dengan Zavier sudah rumit sebelumnya, dan mungkin saja Zavier telah melakukan segala cara untuk melacaknya. Dengan perasaan campur aduk yang sulit dipahami, Nayla merasa semakin terjepit dalam labirin masalah yang rumit. Dia tidak tahu harus berbuat apa selanjutnya, namun satu hal yang pasti: dia harus menemukan cara untuk mengatasi semua ini dan menemukan jalan keluar dari situasi yang semakin memburuk. Zavier, setelah menutup pintu dan menguncinya dari dalam, merasa kesal karena tidak menemukan keberadaan Nayla di dalam kamar. Matanya menyapu ruangan dengan gerak yang cepat, mencari-cari jejak kehadiran istrinya. Namun, saat dia mendengar suara air yang mengalir dari arah kamar mandi, dia menyadari bahw
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu