Terdengar suara musik yang disetel begitu keras. Volume yang mengganggu pada jam tidur. Beberapa orang mulai keluar dari pintu apartemennya.
"Siapa yang memutar musik di jam dua dini hari seperti ini?"
Haidar, ayah Kinanti keluar terlebih dahulu dari kamar apartemennya. Ia masih menggunakan sarung dan kaos oblong. Melemparkan pandangan ke kamar di depan dan samping miliknya.
"Iya, berisik sekali!" timpal Pak Burhan yang masih mengerjapkan mata di depan kamarnya.
Tampak Burhan membuka pintu kamarnya. Sepertinya lelaki dengan kumis tebal itu baru saja bangun, matanya terlihat berwarna merah dan berair.
Beberapa penghuni apartemen kemudian berkumpul di lorong, saling pandang lalu menengok ke kiri dan kanan. Mereka merasa terganggu dengan suara musik dengan keras di jam dua malam.
Suara musik itu terdengar sangat jelas dari kamar nomor 5076. Haidar yang emosi segera mengetuk pintunya.
Beberapa kali mengetuk dengan sopan, nyatanya pintu kamar itu tak terbuka. Kini, Ayah Kinanti menggedor pintu lebih keras. Pak Burhan ikut membantu menggedor pintu.
"Hey, buka pintunya?" teriak Ayah Kinanti.
"Heh, apa kau mabuk? Pelankan sedikit suara musikmu itu. Pergilah ke diskotek atau klub malam jika masih ingin berpesta!" tambah Haidar lagi.
"Iya, benar!" sahut beberapa warga yang lain.
"Matikan musiknya!" bentak Pak Burhan dengan suara keras.
"Heh, keluar kau!" ucap warga lain.
Pak Burhan kembali menggedor pintu kamar 5076 beberapa kali dengan lebih keras.
Ceklek.
Pintu tiba-tiba dibuka. Seorang lelaki tanpa pakaian yang menutupi bagian atas tubuhnya menatap para warga bergantian. Tubuhnya terlihat berkeringat. Di bagian lengan dan dada bagian kanannya terdapat motif berwarna hitam. Lelaki bertato yang terlihat sangar dan garang
Tingginya kira-kira sekitar 170 cm. Dada bidang dan berotot. Rambutnya bergelombang agak panjang. Rahangnya tegas, alis tebal, sorot mata tajam. Terkesan menakutkan.
Pak Burhan mundur beberapa langkah dari depan pintu kamar 5076. Sang penghuni lebih sangar dan menakutkan dari bayangannya.
"Apa yang kalian lakukan malam- malam begini di depan kamarku?" sergah lelaki di kamar 5076.
"Dasar kurang ajar, kamu yang menganggu kami. Menyetel musik dengan keras pukul dua pagi seperti ini!" jawab Bu Nelly dari depan pintu kamarnya.
Kamar Bu Nelly sebaris dengan pria di kamar 5076. Hanya berselang satu kamar. Jelas saja dia merasa terganggu dengan suara musik yang begitu keras.
"Matikan musiknya, anak muda!" perintah Haidar.
Lelaki di kamar 5076 keluar dari ambang pintu. Kini ia berada satu langkah di depan kamarnya, menatap tajam pada orang-orang yang protes padanya.
"Apa hak kalian melarangku menyetel musik di dalam kamarku sendiri? Justru aku bisa melaporkan kalian kepada pihak berwajib karena telah berteriak-teriak dan menggedor-gedor pintu kamarku, hal itu bisa kulaporkan dengan tindakan tidak menyenangkan atau pengrusakan!" ucap lelaki di kamar 5076 sambil menyilangkan tangan di dada. Terlihat angkuh dan keras kepala.
Suara lelaki penghuni kamar 5076 terdengar tegas, jawabannya terdengar pintar. Ia berani menjawab dan membalikkan perkataan orang-orang yang protes padanya.
"Dasar tak punya sopan santun!"
Ayah Kinanti yang marah berlalu, ia merasa percuma protes pada lelaki di kamar 5076. Ia membanting pintu dengan keras dan masuk ke kamar apartemennya.
Bruakgh!
Pak Burhan dan beberapa warga lain yang terganggu dan ikut keluar dari kamar sewa mereka perlahan-lahan membubarkan diri. Masuk ke kamar mereka masing-masing.
Lelaki bertato di kamar 5076 tersenyum menyeringai penuh kemenangan. Sepasang tangan terlihat merengkuh tubuhnya dari belakang.
"Sayang, ayo, kita lanjutkan olahraga malam kita!" bisik seorang perempuan di belakang tubuhnya
Lelaki bertato menengok ke kiri dan kanan beberapa saat lalu menutup pintu kamarnya.
Setelah pintu ditutup sang lelaki bertato membalikkan badan, gadis cantik dengan rambut kecokelatan yang tergerai itu segera menciumi lelaki bertato dengan penuh gairah.
Lelaki bertato membalas ciuman demi ciuman dari kekasihnya. Lama mereka saling berpagutan di belakang pintu. Lelaki bertato membopong kekasihnya menuju ranjang. Melewati nakas, tangan kekar si lelaki bertato terulur menekan tombol off pada benda pipih di atas nakas itu. Ia mematikan playlist.
Suara dentuman musik yang keras telah lenyap. Suasana kembali hening. Kini, suara musik itu berganti suara desahan dan lenguhan panjang di kamar 5076.
Sepasang kekasih sedang menikmati indahnya cinta dalam gairah asmara.
Tampak dua sosok berbeda jenis sedang menyatukan hasrat di atas ranjang. Lelaki bertato menjelajahi tiap lekuk demi lekuk sang kekasih. Membubuhkan tanda cinta di setiap daerah yang ia singgahi.
*
*
*
"Dasar kurang ajar!"
"Anak muda jaman sekarang, tak punya sopan santun! Sudah berbuat onar malah mengancam," Ayah Kinanti terus mengomel.
Lelaki dengan sarung motif kotak-kotak berwarna merah maroon itu menatap pintu kamar sewanya. Seakan-akan berhadapan langsung dengan lelaki bertato di kamar 5076.
"Ada apa, Yah?"
Ibu dari Kinanti keluar dari kamar. Melihat suaminya mengomel seorang diri, ia mendekat dan bertanya.
Kinanti menggeliat di atas kasurnya, gadis itu mengerjapkan mata beberapa kali. Ia melirik benda pipih di dinding. Tak jelas, matanya tak dapat melihat dengan jelas. Ia meraba-raba kepalanya. Merasa yang dicari tak ada Kinanti mencari di atas nakas sebelah ranjangnya. Tangannya meraih sesuatu, sebuah kacamata tebal. Ia langsung memakainya.
Kinanti kembali menatap jam di dinding. Jarum pendeknya menunjuk angka dua, dan jarum panjangnya di angka enam.
"Astaga, apa yang terjadi sepagi ini?" gumam Kinanti dari atas ranjang. Gadis berumur dua puluh tujuh tahun itu menyibakkan selimut. Hendak turun dari ranjang. Tangannya meraba-raba nakas di samping tempat tidurnya. Mencari kaca mata rabun jauhnya.
"Itu, preman kampung di kamar 5076. Sudah berisik, ditegur malah mengancam kami. Dasar, tak punya sopan santun!" ayah Kinanti terus menggerutu.
Haidar melangkah masuk dan duduk di sofa ruang tamunya. Ia menghempaskan bokongnya dengan kasar, terlihat sangat kesal.
Tiba-tiba suara hening. Tak terdengar lagi suara musik seperti sebelumnya.
"Akhirnya dia mematikan musiknya, Bu!" pekik Haidar.
"Sudahlah Yah, ayo, kita tidur lagi. Masih terlalu dini untuk melaksanakan salat subuh. Besok Ayah, bekerja. Beristirahatlah!" ajak ibu dari Kinanti.
"Kenapa tidak sedari tadi preman pasar itu mematikan musiknya, aku tak perlu marah-marah dan menggedor pintu kamarnya!" sungut Pak Haidar lagi.
"Ada apa, Yah?" tanya Kinanti yang baru keluar dari kamar tidurnya. Rambutnya yang tergerai dan panjang terlihat acak-acakan.
"Sudah, semua sudah selesai. Ayo, kita tidur lagi!" perintah Haidar pada keluarganya.
Haidar menuntun anak pertamanya masuk ke dalam kamarnya lagi. Ia sendiri masuk ke kamar tidurnya, diikuti sang istri.
Saat Kinanti telah masuk ke kamarnya Haidar menoleh pada sang istri dan berkata, "Jangan sampai Kinanti mendapatkan suami seperti lelaki preman di kamar 5076."
Ibu Kinanti mengernyitkan alisnya menatap sang suami, "Apa sebegitu buruknya lelaki di kamar 5076 itu, Yah?"
"Sangat buruk. Aku tak mau punya menantu sepertinya!"
"Sudahlah, jangan berkata yang tidak-tidak. Besok pagi kita harus bersiap. Keluarga Imran akan datang untuk melihat Kinanti semoga perjodohan ini akan lancar!" ucap Ibu dari Kinanti
Ayah dan Ibu dari Kinanti kembali berbaring di ranjang. Mencoba memejamkan mata, kembali tidur.
"Tuhan, lancarkanlah pertemuan besok. Buat lelaki itu menyukaiku. Tolonglah Tuhan ...," pinta Kinanti.
Kinanti yang terbaring di ranjang terlihat memejamkan mata, mengangkat kedua tangannya. Berdoa pada Tuhan. Selesai berdoa Kinanti kembali melepas kacamata minus, menaruhnya di atas nakas kembali.
***
To be Continued ….
"Amiin!" Kinanti menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ada setitik air bening yang hampir jatuh di sudut mata sayu itu. Haidar, sang ayah membalikkan badan ke belakang. Mengulurkan tangan pada sang istri. Sang istri dengan takzim meraih punggung telapak tangan sang suami dan menciumnya. Kini, giliran Kinanti yang mencium telapak tangan Ayahnya. "Cepatlah bersiap-siap, setelah ini keluarga Imran akan datang," titah sang Ayah. "Iya, Ayah. Sebentar lagi, Kinanti masih ingin membaca qur'an." Haidar membalikkan badannya kembali, menatap sajadah di hadapannya. Kinanti meraih sesuatu di atas sajadahnya, segera memakai kacamata dan membuka sebuah buku. Mirip buki tulis namun lebih tebal. Ia mencium sampul qur'an di tangannya. Mulai membuka lembar demi lembar halaman. Mencari pembatas berwarna kuning, penanda halaman terakhir yang dibacanya. "Ibu, masih banyak pekerjaan di dapur. Tolong lipatkan sajadah ibu nanti, ya, Kinanti." Kinanti menoleh ke arah suara lalu mengangguk, "I
"Tunggu sampai kakakmu, mendapatkan seorang lelaki. Apa kamu tak kasihan dengan, Kinanti? Apa kamu mau kakakmu jadi perawan tua, karena kamu melangkahinya?" gerutu sang ibu. "Ya allah, ini sudah lelaki ke lima belas yang dicarikan Ayah untuknya, Ibu. Mungkin ada yang salah dengan Kakak. Suruh dia mengganti gaya berpakaiannya!" protes Karenina. "Diam kamu Karenina, jangan menambah masalah. Coba bayangkan jika kamu yang berada di posisi, Kinanti!" "Aahhh, kalian pilih kasih!" sungut Karenina. Adik Kinanti berdiri dari sofa ruang tamu. Ia berjalan menuju kamarnya. Menutup pintu dengan keras. "Ini tidak bisa dibiarkan! Mau sampai kapan Kakak tak punya pacar, apalagi calon suami untuk diajak menikah?!" "Kalau Kakak, tak mendapatkan calon suami. Kapan aku akan menikah? Bram akan meninggalkanku," gumam Karenina lagi. Karenina berjalan hilir mudik di dalam kamarnya. Alisnya berkerut, ia sedang berpikir dengan keras. "Aha!" Dua sudut bibir Karenina terangkat ke atas. Adik Kinanti menda
"Tolong cepat ya, Pak!" perintah Kinanti yang disusul oleh anggukan kepala sang supir."Kemana ini, Neng tujuannya?""Ke Kebayoran Baru. Gedung perpustakaan kota, Pak."Lelaki di balik kemudi mobil itu mengangguk. Menekan pedal gas dan mengarahkan taxinya menuju pusat kota Jakarta Selatan. Ada sebuah gedung perpustakaan besar berlantai dua di sana.Kinanti terdiam, tak ada guratan senyum di wajahnya. Gadis cantik berkacamata itu melemparkan pandangan ke luar jendela. Merenungi nasib cintanya. Ia ingin memiliki seorang kekasih, kalau bisa langsung menikah karena umurnya yang sudah tak muda lagi. Namun, para lelaki tak ada yang melirik gadis itu.
Pov Kinanti Nur Cahyani.Aahhh … aku tak bisa tidur. Memikirkan janji bertemu dengan rekan kerja kekasih Karenina, besok. Entah kenapa membayangkan bertemu dengan seorang lelaki yang tak kukenal membuat jantungku berdebar-debar.Kembali aku merubah posisi tidur. Miring ke kiri lalu miring ke kanan. Semoga saja semuanya berjalan lancar. Lelaki itu tertarik dan mau melanjutkan hubungan ke arah yang lebih serius. Berta'aruf lalu segera menikah. Amiin.Aku harus segera tidur. Besok ada janji bertemu dengan seseprang. Malam makin larut tetapi kenapa mataku rasanya tak ingin terpejam.Kenapa hanya membayangkan bertemu dengan seorang lelaki saja membuat pipiku terasa panas?Salahkah aku berharap? Aku tahu saat berharap terlalu tinggi, kekecewaan yang didapat akan semakin besar. Sudah banyak lelaki kutemui. Namun, mereka semua mundur tak ingin melanjutkan proses ta'aruf.
Pov KinantiAku termenung sendirian di dalam kamar. Duduk menatap keluar jendela kamar. Anging berhembus perlahan menggerakkan pepohonan. Sinar lampu berwarna kuning di pinggir jalan itu tertutup dedaunan. Terkesan remang-remang."Tiga bulan lagi?"Bagaimana ini? Bisakah aku mendapatkan seorang lelaki yang mau menikahiku sebelum tiga bulan?Selama dua puluh tujuh tahun umurku ini belum pernah aku merasakan pacaran. Lalu bagaimana caranya mengajak seorang lelaki menikah?Ah, iya, lelaki bertato di kamar 5076 pasti bisa menolongku. Kekasihnya adalah konsultan kecantikan, pasti Gisella Parawansa itu bisa membuatku tampil cantik. N
Pov Kinanti. "Jangan-jangan, kalian …?" "Laporkan saja mereka. Ini termasuk tindakan asusila!" Pak Burhan, Pak Sanip dan beberapa warga lain berdiri di depan kamar tidur lelaki bertato, menatap kami dengan tajam. Seakan-akan menuduh kami melakukan sesuatu di luar norma agama. Tidak, aku tidak seperti yang mereka sangkakan. Aku langsung berdiri, menjauh dari pemilik kamar ini. Gio berusaha berdiri dari telengkupnya, ia meringis menahan sakit di punggung. "Ini semua tidak seperti yang kalian pikirkan." "Hallah, mana ada maling ngaku?" "Laporkan saja mereka! Nikahkan mereka!" "Cepat panggil Pak Haidar, kemari!" "Ti-tidak, jangan beritahu, Ayahku. Dia akan sangat marah. Tolong …!" Aku memelas, kembali mengatupkan kedua tangan. Memohon pada Pak Sanip agar ia tak memberitahukan hal ini pada Ayah. Air mataku kembali meleleh, keringat juga membasahi kening dan wajah. Aku sangat ketakutan, situasinya begitu menegangkan. Bagaimana jika ayah tahu aku berada di sini? Lelaki paruh baya
Pov Penulis. "Ayahmu, sedang benar-benar marah, Ibu akan membantu membujuknya. Sementara pergilah, tunggu sampai Ayahmu tenang dan menyadari kesalahannya," ucap Ibu Kinanti. Kinanti merasa tenang sang ibu masih menyayanginya. Tak marah seperti Haidar. Namun, kemana dia harus pergi? Kinanti mendesah, "Bagaimana ini?" "Apa yang harus kulakukan sekarang?" "Kenapa kamu masih ada di sini?" teriak Haidar Baskoro. Lelaki yang sangat dihormati Kinanti itu membuka pintu kamarnya, ia menatap marah pada Kinanti yang masih berpelukan dengan Aminah. Mata Kinanti kembali memanas. Lelehan lava bening akan tersembur keluar. Sangat sakit, diusir oleh ayahnya sendiri. Orang yang sangat disayang juga dihormatinya. "Cepat pergi dari rumah ini, seorang pezina sepertimu tidak diterima di sini!" Haidar mengangkat tangan, menunjuk pintu keluar. "Kasihan Kinanti, dengarkan dulu dia berbicara," bela Aminah. Wanita yang melahirkan Kinanti itu melepas pelukan. Berjalan menuju Haidar. Meminta belas kas
Keesokan paginya …. Kinanti sengaja bangun lebih pagi hari ini. Bersiap untuk berangkat kerja dan mengemasi beberapa potong pakaian. Selepas menunaikan salat subuh dia memasukkannya ke dalam tas plastik berwarna hitam. Berjalan mengendap-endap keluar dari kamar. Kinanti melirik kamar tidur Gio, "Apa aku harus meminta izin padanya?" "Apa ia akan mencariku nanti?" "Ah, tak usah. Paling juga masih tidur!" Kinanti bergumam sambil berjalan menuju pintu. Kinanti berlalu dari depan kamar lelaki bertato. Melewati dapur, menatap sekilas ke arah kompor. Saat membuka laci lemari, Dia sempat melihat sekarung beras, "Ah, akan kumasakkan Gio nasi. Sebagai balasan sudah mengizinkanku menumpang di apartemennya semalam." Kinanti mengurungkan niatkuntuk langsung berangkat bekerja, masih cukup waktu. Dia berbelok menuju dapur, mengambil penanak di dalam magicom. Mengisinya dengan tiga takar beras lalu segera mencucinya. Memberi segelas air, terakhir tinggal menyalakan magicom. Selesai. Terdengar
“Sepuluh ….” “Se-belas ….” Keringat Kinanti mulai bercucuran. “Dua … argghh.” Kinanti melepas kedua tangan di belakang tempurung kepala. Mulutnya terbuka, mengambil udara sebanyak mungkin. Seakan-akan lubang hidungnya tak cukup untuk menghirup udara. “Cas-sandra, ka … pan terakhir kali kamu berolahraga? Kenapa begitu berat dan kaku semua otot-ototmu?” Kinanti menyeka keringat di wajahnya. Dengan terengah-engah Kinanti berbicara pada tubuh yang ditempatinya. Setelah itu dia mengalah, merebahkan tubuhnya di atas lantai. Menatap langit biru yang penuh kapas putih. “Lihatlah Cassandra, langitnya indah. Apa kamu pernah menikmati langit seperti ini?” Kinanti mengangkat tangan kanannya, menarik segaris senyuman, “Mungkin suatu saat nanti kalo kita bertemu, aku akan mengajakmu bersantai di bawah langit seperti ini.” “Tapi … aku saja tidak tahu cara keluar dari tubuhmu, lalu kamu bagaimana? Jika aku menempati ragamu, di mana ruhmu? Apa kamu masih hidup? Dimana kamu sekarang?” “Sampai
“Jangan panggil aku gendut dan bodoh!” pekik Kinanti dengan penuh amarah.“Lalu harus kupanggil apa? Babi?”Kinanti menatap balik tanpa berkedip pada salah satu geng perisak di kelasnya, “Dasar gadis manja kekanakan. Kamu dan teman-temanmu pasti hanya tahu cara menghamburkan uang saku, mengoles lipstik di bibir dan mencibir orang lain. Otakmu pasti hanya berisi angin!”“Berani ngelawan lo sekarang?”Angela melirik ke kiri dan kanan, "Bin, Sophi … kita kasih pelajaran dia.”Seketika Kinanti berteriak, “Jangan sentuh rambutku, lepaskan!”“Hahaha ….” Ketiga anggota geng sok cantik tertawa. Mereka malah mendekat, mengerumuni Kinanti. Hingga dia terpojok ke dinding, “Lo, ikut perkumpulan apa, sih? kok, jadi pinter ngelawan sekarang?”“Arrrghh ….” Kinanti semakin kesakitan Angela makin menarik dengan kuat. Beberapa helai rambut Casandra jatuh ke lantai, “Hhentikaan, sakit!”Pemilik tubuh asli pasti sering diperlakukan seperti ini. Terbukti gadis yang menarik rambut di depan Kinanti tak terl
Josh berkonsentrasi penuh mengemudikan mobil. Namun, sesekali dia melirik anak majikannya lewat kaca spion. Ada yang berbeda pada gadis SMA itu.Kinanti bukan anak kecil lagi. Dia tahu Josh beberapa kali mencuri pandang lewat spion mobil yang menghadap ke belakang. Dalam hati Kinanti tahu, usahanya merubah penampilan tidak sia-sia. Tadi pagi, hampir setengah jam dia berada di depan kaca meja rias. Merapikan alis Casandra, mengikat rambut agar terlihat pantas untuk wajah chubby pemilik tubuh. Dia juga lari pagi sepuluh putaran mengelilingi rumah keluarganya itu sekitar satu jam lebih. Jika rutin melakukannya Kinanti pikir berat badan Casandra akan berkurang setidaknya dua sampai tiga kilogram.“Non Casandra hari ini terlihat beda.” Akhirnya Josh buka suara. “Perbedaannya bikin aku tambah cantik atau sebaliknya?” Kinanti merasa perlu mendengarkan pendapat orang lain. Terlebih laki-laki, mereka punya selera yang berbeda dari perempuan.“Jadi lebih menarik, enak dilihat.”“Aahh, kamu m
Pukul 04.00 pagi ….Kinanti bangun lebih awal. Langit masih gelap. Burung-burung belum berkicau menyambut surya, mereka mungkin lelap mengerami telur di sarang. Matahari bahkan masih bersembunyi di belahan dunia lain. Di bawah ranjang Kinanti ada timbangan digital. Sepertinya Casandra yang asli selalu rajin menimbang berat badan. Dia turun dari ranjang, menarik keluar timbangan tadi. Segera naik di atas timbangan. Jarum timbangan dengan cepat bergerak ke kanan, hampir menyentuh batas, “Wow, 85 kg. Yang benar saja. Pantas aku susah bangun tanpa berpegangan.”“Mulai hari ini aku akan membantumu berdiet, ini juga demi diriku. Kau tau kan, Obesitas menjadi masalah juga penyumbang kematian terbesar. Jangan mati muda karena terlalu banyak makanan nikmat yang ternyata racun.”Sejak masuk ke tubuh Casandra, Kinanti jadi sering berbicara seorang diri. Dia merasa punya seorang teman. Raga yang ditempatinya adalah milik Casandra, tetapi jiwanya tetap Kinanti. Mereka berbagi tempat.Kinanti men
“Lain kali ajak om, jika ingin jalan-jalan. om bisa menunjukkan banyak hal baru jika kamu mau.”Kinanti tak habis pikir. Seperti apa hubungan Casandra dengan papa tirinya. Apa mereka sedekat itu? Hingga biasa jalan-jalan bersama saat malam?Teringat jika di buku diary yang ditulis Casandra dia justru memanggil papa tirinya dengan ‘lelaki itu’. Itu artinya hubungan mereka tidak sedekat itu. Kinanti malah merasakan ada kebencian mendalam Casandra.Sayangnya Kinanti belum selesai membaca buku diary itu. Dia bertekad akan membacanya saat naik ke kamar tidur Casandra nanti.“Oh, ok. Next time! Aku mau tidur dulu.” Kinanti menyudahi pembicaraan. Dia merasa tidak ada hal lagi yang bisa dibicarakan dengan papa tiri Casandra, ingin segera melanjutkan membaca diary Casandra untuk mengetahui semua hal tentang dunia baru dan lingkungan si pemilik tubuh.“Kenapa aku merasa papa tiri Casandra adalah tipe orang yang sama dengan Gunawan.” Sudut mata Kinanti melirik ke arah belakang. William, papa
Kinanti meraih jaket di belakang pintu. Sepertinya jaket hoodie hitam itu sering dikenakan oleh Casandra. Masih tersisa aroma parfum di sana. Dia mengikat asal rambutnya sebahunya. Berjalan keluar dari kamar. Menyusuri koridor untuk sampai anak tangga.Rumah mewah itu selalu sepi. Orang tua pemilik tubuh asli Kinanti pasti bekerja setiap hari. Casandra mungkin kesepian."Apa yang mungkin jadi masalah Casandra di rumah ini? Kedua orang tuanya terlihat menyayanginya?""Dia punya segalanya."Sambil menuruni anak tangga, dia melihat ke sekeliling rumah berlantai dua itu. "Kecuali di sekolah, sepertinya dia adalah target Bullyan teman sekelasnya."Kinanti memastikan tidak ada yang mengikutinya. Dia membuka pintu utama sangat pelan. Keluar dengan santai, itu rumahnya."Aku tak perlu takut, ini adalah rumahku sendiri." Kinanti berbicara seorang diri untuk mengurangi gugup dan ketakutannya. Mendekati gerbang, Kinanti segera mengintip dari sela jerujinya. Menatap keadaan di luar, itu adala
Semua hal yang tersaji di depan mata kadang tak sama dengan kenyataan yang ada. Ada beberapa orang yang selalu memakai topeng, menutupi wajah asli mereka. Netra melihat rupa, tetapi hati bisa melihat semua.Kinanti mulai memahami dunia ini. Ada banyak hal yang harus dirasakan dengan hati. Dipertimbangkan dengan logika agar semua menjadi jujur apa adanya.“Kamu belum tidur, Casandra?”Kinanti tersentak kaget. Dia tidak mendengar pintunya dibuka apalagi suara derap langkah. Tiba-tiba saja, Papa tiri Casandra sudah ada di belakang tempat duduknya. Kinanti berbalik, “Bb-elum, Om.”“Ada perlu apa, Om kemari?” Di balik punggungnya Kinanti menutup buku diary Casandra. Menggesernya lebih ke tengah meja belajarnya.“Kenapa jadi canggung lagi? Saat di meja makan tadi kamu lebih terlihat santai?”“Ah, itu hanya perasaan Om,” kilah Kinanti.Entah kenapa Kinanti merasa risih dan tidak suka dengan tatapan suami mama Casandra ini. Jadi dia beringsut. Melangkah ke samping. Setidaknya tidak berada di
“Kinanti … Kinanti … Kinanti ….” Sayup-sayup Kinanti mendengar suara ibunya memanggil. Dia menoleh ke segala arah, “Ibu … Ibu di mana? Ibu ….” Kinanti terus meracau dalam tidurnya. Memanggil ibunya berulang kali, kerinduan dan kesedihan yang menumpuk membuatnya bermimpi buruk. “Casandra … Casandra?” Dalam kebingungan dia melihat bayangan ibunya tergulung kabut gelap. Perlahan-lahan kian samar dan menghilang. Kinanti mengerjap, keningnya basah oleh keringat. “Ibu …,” panggilnya ketika sadar dari mimpi. “Ada apa, Sayang?” Seorang perempuan langsung memeluk Kinanti. Mengelus rambutnya yang berantakan, “Kamu kenapa, Casandra?” Perempuan di hadapan Kinanti ini masih memakai pakaian kerja. Ada aroma parfum mahal khas orang-orang kaya yang biasa Kinanti cium saat pelanggan di perpustakaannya datang. Tahulah Kinanti perempuan itu ada di sana karena pemilik tubuh asli. Dia pasti ibu dari Casandra pikir Kinanti, “Aku bermimpi Bu,” ucap Kinanti. Perempuan yang memeluknya merenggangkan pel
Berpijak di atas bumi yang sama, menatap matahari dan bulan yang tetap bersinar bergantian tiap harinya. Langit yang selalu berwarna dasar biru dengan sentuhan awan putih. Namun, di ruang dan waktu yang berbeda. Kinanti masih belum memahami di mana kini dia berada?Hidup keduanya lebih membingungkan untuk dijalani. Kenapa dia tidak mati saja. Setidaknya dia tahu tujuan kehidupan setelahnya, jika tidak ke surga pasti ke neraka.Bentuk gedung, jalan, lingkungan dan daerah yang sama, tetapi dengan nama berbeda. Dia hampir mati kebingungan saat memikirkan semua ini.“Seharusnya, jika ini benar tahun 2013. Presiden negara Indonesia sekarang adalah Bapak Susilo Bambang Yudoyono, benar?”Sang supir menatap Kinanti dengan aneh dari kaca Spion, “Nona, Presiden Indonesia sekarang adalah Max Muhammad. Siapa itu Bapak Susilo Bambang Yudoyono?””“Apa? Aah, kepalaku makin pusing.” Kinanti terkaget. Semua hal sangat berbeda. Bagaimana dia bisa pulang ke tempat asalnya. Di mana dia berada sebenarnya