Pov Kinanti
Aku termenung sendirian di dalam kamar. Duduk menatap keluar jendela kamar. Anging berhembus perlahan menggerakkan pepohonan. Sinar lampu berwarna kuning di pinggir jalan itu tertutup dedaunan. Terkesan remang-remang.
"Tiga bulan lagi?"
Bagaimana ini? Bisakah aku mendapatkan seorang lelaki yang mau menikahiku sebelum tiga bulan?
Selama dua puluh tujuh tahun umurku ini belum pernah aku merasakan pacaran. Lalu bagaimana caranya mengajak seorang lelaki menikah?
Ah, iya, lelaki bertato di kamar 5076 pasti bisa menolongku. Kekasihnya adalah konsultan kecantikan, pasti Gisella Parawansa itu bisa membuatku tampil cantik. Namun, ayah sangat membencinya. Bagaimana ini?
Aku menatap jam dinding, jarum pendeknya menunjuk angka sembilan.
"Assalamualaikum!"
"Wa'alaikumsalam. Ayah sama Ibu kok, baru datang?"
Sayup-sayup kudengar suara percakapan. Ayah dan ibu pasti baru pulang dari hajatan keluarga. Segera aku keluar dari kamar. Ikut bergabung dan duduk di ruang tamu, "Acaranya lancar Yah?" tanyaku.
"Lancar. Pengantin lelakinya seorang pengusaha sukses di bidang industri. Mereka mengelu-elukan sang pengantin lelaki."
"Untung kalian tidak ikut!" Ibu menatapku dan Karenina bergantian.
"Memangnya kenapa?" celetukku penasaran.
"Banyak keluarga bertanya tentang kamu Kinanti. Mana cucunya? Sudah menikah apa belum anak-anak gadisnya? Lalu mereka akan bertanya kapan! Menyebalkan sekali."
"Sudah Ayah, kita sudah di rumah jangan diingat lagi." Ibu berusaha menenangkan Ayah yang terlihat jengkel dan kesal.
Karenina terlihat tak begitu mempedulikan perkataan ayah dan ibu. Ia asyik menatap layar ponselnya. Pasti sedang berkirim pesan dengan kekasihnya.
Jangankan Ayah, kalau aku yang ada di posisi itu entah kuat atau tidak berada di sana lama-lama. Berhadapan dengan Cika yang sok cantik dan selalu mengkritikku saja, aku sakit hati. Namun, aku hanya mampu diam. Karena memang kenyataannya, aku memang seperti yang Cika katakan. Kampungan, tak pandai bergaul, ceroboh saat bekerja dan banyak hal lain lagi.
"Ayah mau istirahat!"
Ayah berdiri dari kursinya wajahnya terlihat mengantuk dan lelah.
"Ini sedikit oleh-oleh, kue kering dari tempat hajatan tadi. Kalian makanlah, ibu mau ke kamar dulu ganti pakaian." Ibu pun berlalu menuju kamarnya.
Karenina ikut berdiri dari bantalan sofa empuk, berjalan sambil tersenyum-senyum menatap layar ponsel. Aku yang terakhir datang ke ruang tamu ini dan aku juga yang pergi terakhir. Lebih baik aku cepat tidur ada sesuatu yang harus kulakukan nanti.
***
Aku menggeliat, mengerjapkan mata beberapa kali. Meraba ke atas nakas, mencari kacamata. Segera memakainya, mendongak menatap jam dinding di kamar. Sudah pukul empat pagi, aku harus cepat-cepat sebelum ayah dan ibu bangun.
Perlahan aku bangun dari ranjang, berjalan dengan mengendap-endap. Tak lupa membawa sebuah majalah kecantikan. Aku menekan gagang pintu dengan sangat hati-hati agar tak mengeluarkan bunyi. Setelah keluar dari kamar apartemen milik ayah aku menengok ke kiri dan kanan.
Sepi. Semoga tak ada yang melihatku atau semua akan jadi masalah!
Aku berlari kecil menuju barisan kamar di depan. Tepatnya menuju kamar 5076. Kuketuk pintu itu beberapa kali sambil terus menatap ke sekitar. Jangan sampai ada yang melihat perbuatanku ini.
Ceklek.
Pintu itu dibuka. Pria bertato muncul dengan ekspresi wajah datarnya. Menatapku penuh tanya. Lagi, ia tak memakai pakaian menutupi tubuh bagian atasnya. Terlihat dadanya basah, ia berkeringat.
"Apa? Ada apa?" tanyanya dengan kasar.
"Boleh aku meminta tolong? Ini, tolong pertemukan aku dengan perempuan ini, dia kekasihmu, 'kan?"
Aku langsung mengungkapkan tujuanku datang ke kamarnya. Mengangkat majalah yang kubawa tadi, di gambar sampul bagian depan ada wajah seorang perempuan cantik dengan rambut kecokelatan. Itu adalah perempuan yang kujumpai saat di lift dengannya.
"Maaf, aku tidak bisa!" Lelaki itu menutup pintu kamarnya tanpa menatapku. Aku menahan pintu itu agar tak tertutup.
"Te-tetapi kenapa? Tolonglah!" pintaku dengan nada lebih memelas, hampir-hampir air mata ikut luruh karena memang aku tak punya jalan lain lagi. Aku putus asa.
Aku melangkah masuk ke kamar apartemen si lelaki. Takut ia akan tiba-tiba menutup pintu lagi. Ia hanya mengernyit melihat perbuatan nekatku memasuki kamarnya.
Tanpa menjawab lelaki bertato tadi berjalan masuk. Aku segera mengikutinya. Apartemen ini berantakan, gelas dan botol minuman tergeletak di atas meja. Bahkan ada sampah kertas tercecer di lantai. Sepertinya dia melemparnya ke dalam tempat sampah, tetapi tak masuk!
Ia kembali mengangkat barbel besi yang tergeletak di samping kursi. Rupanya tadi ia sedang berolahraga.
"Kumohon, tolonglah aku!"
"Maaf, aku tak bisa!" Lelaki itu berkata tanpa menoleh kepadaku. Ia menatap lengan otot, masih terus menaik dan menurunkan barbel besi di tangan kanannya. Tak memperdulikanku.
Tak mengapa, aku sudah terbiasa tak dipedulikan oleh para lelaki! Aku harus berusaha lebih keras, ini demi Karenina. Juga demi masa depanku, mau sampai kapan melajang? Umur berapa aku akan menikah, jika sampai sekarang saja tak bisa menarik perhatian seorang lelaki.
Aku berlutut, mengatupkan kedua tangan. Benar-benar putus asa, "Tolonglah …!"
Lelaki bertato itu melirikku sekilas, "Bangun, aku tak bisa menolongmu. Percuma saja apapun yang kamu lakukan!"
Ia bangun dari kursinya, meletakkan barbel besi di lantai.
"Toloong aku, kumohon!"
Aku segera berdiri mengikutinya.
"Apa yang kalian lakukan?"
Aku terkesiap, suara seorang perempuan berteriak pada kami. Saat menoleh ke belakang ternyata perempuan itu adalah kekasih pemilik kamar ini. Ia menatap kami berdua dengan tajam.
"Gio, apa yang kau lakukan? Kenapa tak memakai baju? Apa yang kau lakukan dengan gadis ini, hah?"
"Tenanglah, biar aku jelaskan dulu!"
"Tidak, aku tak terima kau berselingkuh dengan wanita ini!"
Kekasih lelaki bertato itu mengacungkan telunjuk ke wajahku. Suaranya lebih keras dari sebelumnya.
"Tidak, tidak Kak, kau sa-salah paham!"
Aku berusaha menjelaskan sebelum situasi semakin runyam!"
"Diam kamu! Gadis sundal!"
Oh, Tuhan. Tolong aku. Bagaimana menjelaskan padanya? Ia salah paham, jangankan menggoda seorang lelaki, sampai sekarang saja aku tak pernah punya seorang kekasih. Justru aku datang kemari ingin meminta tolong pada perempuan cantik berambut kecokelatan itu.
"Dengar dulu Gisella, dia datang untuk meminta bantuanmu! Lihatlah majalah yang dibawanya …." Lelaki bertato mencoba menjelaskan alasanku ada di apartemennya.
"Diam!"
"Kau mau membohongiku? Di jam empat pagi seperti ini? Kau kira aku bodoh, hah?"
Wanita itu semakin terlihat marah. Tak terima lelaki bertato membelaku. Ia pikir aku telah berbuat macam-macam dengan kekasihnya.
Gadis itu meraih botol minuman di atas meja. Mengangkatnya dan bersiap akan melempar botol itu ke arahku.
"Jangan!" teriak lelaki bertato.
Prank!
Terlambat kekasihnya seperti orang kesetanan. Melempar botol tadi ke arahku. Lelaki bertato tadi dengan sigap menghalangi. Kami terjatuh di lantai bersamaan. Setelah melemparkan botol, kekasih lelaki bertato tadi keluar. Bunyi sepatu terdengar menjauh dari tempat kami.
"Aarrrgh …."
Apa yang terjadi, aku membuka mata. Mencoba bangkit dari lantai. Lelaki bertato tadi mengerang kesakitan. Astaga, di bagian punggung bagian kanannya tertancap serpihan pecahan botol minuman. Darah merembes dari tubuh Gio.
"Ka-kau terluka. Biar kubantu!"
Aku memapah lelaki itu menuju atas ranjangnya. Ia duduk lalu merebahkan dirinya perlahan, dengan punggung menghadap ke langit-langit.
Bagaimana ini? Dia terluka. Apa yang harus kulakukan?
Aku segera mengambil pakaian di atas kursi, membasahi kain itu dengan sedikit air. Perlahan membersihkan darah dan luka di tubuh lelaki bertato.
"Ka-kau tak apa? Apa sangat sakit rasanya?"
"Bagaimana kalau kita pergi ke dokter?"
Ini adalah kali pertama aku berdekatan dengan seorang pria dalam satu kamar. Canggung, nada suaraku bergetar sedari tadi.
Aku menatapnya lebih dekat. Alis matanya tebal, sorot mata tajam dan jarang tersenyum membuat ia terlihat angkuh.
Matanya terpejam rapat. Namun urat-urat di keningnya terlihat menyembul. Apa ia sedang menahan rasa sakit? Atau ia tidur?
"Apa yang kalian lakukan di sini?"
Aku terkesiap, kali ini suara datang dari arah pintu. Rupanya kekasih Gio tadi keluar tanpa menutup pintunya. Tak ada suara pintu yang dibuka, tiba-tiba ada pak Sanip si security apartemen, pak Burhan juga beberapa penghuni lain. Menatapku yang sedang berada seranjang dengan lelaki bertato.
"Jangan-jangan, kalian …?"
"Laporkan saja mereka. Ini termasuk tindakan asusila!"
***
To be Continued…
Ikuti terus kisahnya nya...
Pov Kinanti. "Jangan-jangan, kalian …?" "Laporkan saja mereka. Ini termasuk tindakan asusila!" Pak Burhan, Pak Sanip dan beberapa warga lain berdiri di depan kamar tidur lelaki bertato, menatap kami dengan tajam. Seakan-akan menuduh kami melakukan sesuatu di luar norma agama. Tidak, aku tidak seperti yang mereka sangkakan. Aku langsung berdiri, menjauh dari pemilik kamar ini. Gio berusaha berdiri dari telengkupnya, ia meringis menahan sakit di punggung. "Ini semua tidak seperti yang kalian pikirkan." "Hallah, mana ada maling ngaku?" "Laporkan saja mereka! Nikahkan mereka!" "Cepat panggil Pak Haidar, kemari!" "Ti-tidak, jangan beritahu, Ayahku. Dia akan sangat marah. Tolong …!" Aku memelas, kembali mengatupkan kedua tangan. Memohon pada Pak Sanip agar ia tak memberitahukan hal ini pada Ayah. Air mataku kembali meleleh, keringat juga membasahi kening dan wajah. Aku sangat ketakutan, situasinya begitu menegangkan. Bagaimana jika ayah tahu aku berada di sini? Lelaki paruh baya
Pov Penulis. "Ayahmu, sedang benar-benar marah, Ibu akan membantu membujuknya. Sementara pergilah, tunggu sampai Ayahmu tenang dan menyadari kesalahannya," ucap Ibu Kinanti. Kinanti merasa tenang sang ibu masih menyayanginya. Tak marah seperti Haidar. Namun, kemana dia harus pergi? Kinanti mendesah, "Bagaimana ini?" "Apa yang harus kulakukan sekarang?" "Kenapa kamu masih ada di sini?" teriak Haidar Baskoro. Lelaki yang sangat dihormati Kinanti itu membuka pintu kamarnya, ia menatap marah pada Kinanti yang masih berpelukan dengan Aminah. Mata Kinanti kembali memanas. Lelehan lava bening akan tersembur keluar. Sangat sakit, diusir oleh ayahnya sendiri. Orang yang sangat disayang juga dihormatinya. "Cepat pergi dari rumah ini, seorang pezina sepertimu tidak diterima di sini!" Haidar mengangkat tangan, menunjuk pintu keluar. "Kasihan Kinanti, dengarkan dulu dia berbicara," bela Aminah. Wanita yang melahirkan Kinanti itu melepas pelukan. Berjalan menuju Haidar. Meminta belas kas
Keesokan paginya …. Kinanti sengaja bangun lebih pagi hari ini. Bersiap untuk berangkat kerja dan mengemasi beberapa potong pakaian. Selepas menunaikan salat subuh dia memasukkannya ke dalam tas plastik berwarna hitam. Berjalan mengendap-endap keluar dari kamar. Kinanti melirik kamar tidur Gio, "Apa aku harus meminta izin padanya?" "Apa ia akan mencariku nanti?" "Ah, tak usah. Paling juga masih tidur!" Kinanti bergumam sambil berjalan menuju pintu. Kinanti berlalu dari depan kamar lelaki bertato. Melewati dapur, menatap sekilas ke arah kompor. Saat membuka laci lemari, Dia sempat melihat sekarung beras, "Ah, akan kumasakkan Gio nasi. Sebagai balasan sudah mengizinkanku menumpang di apartemennya semalam." Kinanti mengurungkan niatkuntuk langsung berangkat bekerja, masih cukup waktu. Dia berbelok menuju dapur, mengambil penanak di dalam magicom. Mengisinya dengan tiga takar beras lalu segera mencucinya. Memberi segelas air, terakhir tinggal menyalakan magicom. Selesai. Terdengar
"Tuhan, terima kasih mempertemukanku dengan Abimanyu." Kinanti tersenyum menatap langit. Mengalihkan pandangan dari langit ke gedung di hadapan Kinanti. Bangunan dua lantai dengan beberapa kaca besar di tingkat duanya. Membuat suasana di dalam ruangan begitu terang oleh cahaya saat pagi dan siang. Perpustakaan Ilmu. Kinanti membaca sekilas sebuah plang kayu yang tertancap di depan gedung tadi. Dia berjalan memutar melewati samping gedung bercat warna putih. Ada satu kamar mess karyawan di sana. Kinanti ingin mencoba bertanya. Plastik hitam di tangan masih digenggam. "Dimana aku akan tinggal?" "Ayahku sendiri telah mengusirku karena kecewa. Sementara lelaki yang mengatakan akan menikahiku? Ah sudahlah!" "Sepertinya lelaki bertato itu hanya ingin mempermainkanku. Ia hanya menyuruhku ini dan itu. Terkadang aku lebih mirip seperti seorang pembantu di apartemennya." Kinanti berhenti bergumam seorang diri. Berdiri mematung di depan pintu, mengumpulkan keberanian. Harusnya para cleani
"Bye, see you in home!" ucap Hergio sambil melambaikan tangan. Lelaki itu berjalan menjauh. Kinanti menatap punggung atletis yang kian menjauh itu. Dua ciuman sehari ini, "Apa dia mencintaiku? Gio pasti tertarik padaku makanya dia menciumku. Iya, 'kan?" Kinanti berlari kecil ke toilet di belakang perpustakaan. Dia bukan ingin buang air kecil. Perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu ingin memastikan sesuatu. Sembari menatap pantulan diri di dalam cermin, dipegangnya kedua pipi. Ada warna merah menyebar di sana. Ya, pipi Kinanti merona merah. Perlakuan manis Gio tadi, sukses membuatnya terbang ke awan. Telunjuk tangan Kinanti kemudian turun ke bibir. Adegan saat Gio melumat paksa bibir dan akhirnya mereka berciuman di belakang pintu terputar di ingatannya lagi, "Ah … aku pasti sudah gila!" Mengingat semua itu jantung Kinanti berdegup dengan kencang. Pipinya kembali merona merah. Dia bergumam, "Kenapa aku menyukai sikap liar dan agresifnya?" "Jangan-jangan aku menyukainya?" Se
"Apalagi yang ingin kau jelaskan? Apa kau ingin membuat kebohongan baru untuk menutupi semua kenyataan busuk ini?" "Heh, sedang apa kalian disana?" seru sebuah suara. Kinanti menoleh ke arah suara. Pak Sanip si security apartemen, melongok dari pintu tangga darurat lantai tiga. Kegaduhan suara Kinanti dan Gio mungkin mengganggunya. "Kinanti? Apa yang kalian lakukan di sana? Selesaikan masalah baik-baik jangan di tempat umum," ucap Pak Sanip. Ia kini berada di tangga dasar. Tak menyiakan kesempatan Kinanti segera menghempaskan tangan Gio yang masih memegang lengan. Menuruni tangga dengan cepat meninggalkan Gio yang masih berdiri terpaku di tempatnya. Melewati Pak Sanip yang menatapnya dengan aneh. "Kinanti?" "Kinanti …!" Masih dapat didengar Kinanti suara Gio memanggil-manggil namanya. Dia tak peduli, Kinanti hanya ingin berlari sejauhnya dari lelaki itu. Setelah menabur benih cinta di hati Kinanti. Gio menyiramnya dengan luka. Baru pagi tadi, ia bersikap manis memberikan beber
Kinanti berjalan dengan langkah ringan, sesekali dia meloncat. Dia menaikkan jemari tangan kiri. Melihat cincin emas yang melingkar di jari manis. Hati yang bahagia membuat senyum selalu terukir di wajahnya. "Ternyata Gio Romantis juga, dia serius mau menikahiku?"Kinanti bermonolog seorang diri dalam kamarnya. Cincin emas di jari pemberian Gio, sukses membuat hatinya berbunga-bunga.Rasanya Kinanti tak perlu makan atau bernapas, dengan melihat cincin di tangannya saja dia bisa merasa kenyang. Kinanti masih bersandar di belakang pintu sambil tersenyum. "Aduh, aku lupa! Kartu debitku?""Tapi, biarlah! Toh, Gio meminjamnya untuk merencanakan pernikahan kami!"Kinanti berjalan menuju ranjang. Untuk pertama kali dalam hidupnya perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu merasa sangat senang. "Andainya bisa dipercepat, aku ingin menikah dengan Gio malam ini," ucap Kinanti sembari menatap langit-langit kamarnya. Seakan-akan berbicara dengan Tuhan. Sesuatu jatuh tepat di atas kepala Kina
Keesokan harinya ….Senyum tersungging di wajah Kinanti. Hari ini dia tampil seperti biasa, tidak lagi mencoba merubah penampilan. Diangkatnya jemari tangan kanan. Pintu lift terbuka. Seringaian senyuman naif disodorkan padanya. Manik hitam mata Chika sudah menyorot cincin emas. Kinanti refleks segera menurunkan jemari. "Ada cincin emas di jemarimu?"Kinanti menarik segaris senyuman, "Iya.""Dari siapa? Pacar lo? Atau disematin tukang jual emasnya?" Satu sudut bibir Chika terangkat naik. Dia tersenyum puas. Kinanti terlalu bahagia untuk meladeni sindiran Chika. Menurutnya tidak ada gunanya berdebat dengan orang yang tidak menyukainya. Sebenar dan sebanyak apapun bukti yang diberikan, pembenci tetap tidak akan menyukainya. Percuma. "Dasar cupu! Malah pergi." Nada bicara Chika meninggi. Kinanti melangkah dengan ringan ke ruang kantor perpustakaan. Ada beberapa data yang harus diserahkan juga buku-buku baru yang harus diberi data. Dia sangat sibuk. Setelah mengambil buku baru juga
“Sepuluh ….” “Se-belas ….” Keringat Kinanti mulai bercucuran. “Dua … argghh.” Kinanti melepas kedua tangan di belakang tempurung kepala. Mulutnya terbuka, mengambil udara sebanyak mungkin. Seakan-akan lubang hidungnya tak cukup untuk menghirup udara. “Cas-sandra, ka … pan terakhir kali kamu berolahraga? Kenapa begitu berat dan kaku semua otot-ototmu?” Kinanti menyeka keringat di wajahnya. Dengan terengah-engah Kinanti berbicara pada tubuh yang ditempatinya. Setelah itu dia mengalah, merebahkan tubuhnya di atas lantai. Menatap langit biru yang penuh kapas putih. “Lihatlah Cassandra, langitnya indah. Apa kamu pernah menikmati langit seperti ini?” Kinanti mengangkat tangan kanannya, menarik segaris senyuman, “Mungkin suatu saat nanti kalo kita bertemu, aku akan mengajakmu bersantai di bawah langit seperti ini.” “Tapi … aku saja tidak tahu cara keluar dari tubuhmu, lalu kamu bagaimana? Jika aku menempati ragamu, di mana ruhmu? Apa kamu masih hidup? Dimana kamu sekarang?” “Sampai
“Jangan panggil aku gendut dan bodoh!” pekik Kinanti dengan penuh amarah.“Lalu harus kupanggil apa? Babi?”Kinanti menatap balik tanpa berkedip pada salah satu geng perisak di kelasnya, “Dasar gadis manja kekanakan. Kamu dan teman-temanmu pasti hanya tahu cara menghamburkan uang saku, mengoles lipstik di bibir dan mencibir orang lain. Otakmu pasti hanya berisi angin!”“Berani ngelawan lo sekarang?”Angela melirik ke kiri dan kanan, "Bin, Sophi … kita kasih pelajaran dia.”Seketika Kinanti berteriak, “Jangan sentuh rambutku, lepaskan!”“Hahaha ….” Ketiga anggota geng sok cantik tertawa. Mereka malah mendekat, mengerumuni Kinanti. Hingga dia terpojok ke dinding, “Lo, ikut perkumpulan apa, sih? kok, jadi pinter ngelawan sekarang?”“Arrrghh ….” Kinanti semakin kesakitan Angela makin menarik dengan kuat. Beberapa helai rambut Casandra jatuh ke lantai, “Hhentikaan, sakit!”Pemilik tubuh asli pasti sering diperlakukan seperti ini. Terbukti gadis yang menarik rambut di depan Kinanti tak terl
Josh berkonsentrasi penuh mengemudikan mobil. Namun, sesekali dia melirik anak majikannya lewat kaca spion. Ada yang berbeda pada gadis SMA itu.Kinanti bukan anak kecil lagi. Dia tahu Josh beberapa kali mencuri pandang lewat spion mobil yang menghadap ke belakang. Dalam hati Kinanti tahu, usahanya merubah penampilan tidak sia-sia. Tadi pagi, hampir setengah jam dia berada di depan kaca meja rias. Merapikan alis Casandra, mengikat rambut agar terlihat pantas untuk wajah chubby pemilik tubuh. Dia juga lari pagi sepuluh putaran mengelilingi rumah keluarganya itu sekitar satu jam lebih. Jika rutin melakukannya Kinanti pikir berat badan Casandra akan berkurang setidaknya dua sampai tiga kilogram.“Non Casandra hari ini terlihat beda.” Akhirnya Josh buka suara. “Perbedaannya bikin aku tambah cantik atau sebaliknya?” Kinanti merasa perlu mendengarkan pendapat orang lain. Terlebih laki-laki, mereka punya selera yang berbeda dari perempuan.“Jadi lebih menarik, enak dilihat.”“Aahh, kamu m
Pukul 04.00 pagi ….Kinanti bangun lebih awal. Langit masih gelap. Burung-burung belum berkicau menyambut surya, mereka mungkin lelap mengerami telur di sarang. Matahari bahkan masih bersembunyi di belahan dunia lain. Di bawah ranjang Kinanti ada timbangan digital. Sepertinya Casandra yang asli selalu rajin menimbang berat badan. Dia turun dari ranjang, menarik keluar timbangan tadi. Segera naik di atas timbangan. Jarum timbangan dengan cepat bergerak ke kanan, hampir menyentuh batas, “Wow, 85 kg. Yang benar saja. Pantas aku susah bangun tanpa berpegangan.”“Mulai hari ini aku akan membantumu berdiet, ini juga demi diriku. Kau tau kan, Obesitas menjadi masalah juga penyumbang kematian terbesar. Jangan mati muda karena terlalu banyak makanan nikmat yang ternyata racun.”Sejak masuk ke tubuh Casandra, Kinanti jadi sering berbicara seorang diri. Dia merasa punya seorang teman. Raga yang ditempatinya adalah milik Casandra, tetapi jiwanya tetap Kinanti. Mereka berbagi tempat.Kinanti men
“Lain kali ajak om, jika ingin jalan-jalan. om bisa menunjukkan banyak hal baru jika kamu mau.”Kinanti tak habis pikir. Seperti apa hubungan Casandra dengan papa tirinya. Apa mereka sedekat itu? Hingga biasa jalan-jalan bersama saat malam?Teringat jika di buku diary yang ditulis Casandra dia justru memanggil papa tirinya dengan ‘lelaki itu’. Itu artinya hubungan mereka tidak sedekat itu. Kinanti malah merasakan ada kebencian mendalam Casandra.Sayangnya Kinanti belum selesai membaca buku diary itu. Dia bertekad akan membacanya saat naik ke kamar tidur Casandra nanti.“Oh, ok. Next time! Aku mau tidur dulu.” Kinanti menyudahi pembicaraan. Dia merasa tidak ada hal lagi yang bisa dibicarakan dengan papa tiri Casandra, ingin segera melanjutkan membaca diary Casandra untuk mengetahui semua hal tentang dunia baru dan lingkungan si pemilik tubuh.“Kenapa aku merasa papa tiri Casandra adalah tipe orang yang sama dengan Gunawan.” Sudut mata Kinanti melirik ke arah belakang. William, papa
Kinanti meraih jaket di belakang pintu. Sepertinya jaket hoodie hitam itu sering dikenakan oleh Casandra. Masih tersisa aroma parfum di sana. Dia mengikat asal rambutnya sebahunya. Berjalan keluar dari kamar. Menyusuri koridor untuk sampai anak tangga.Rumah mewah itu selalu sepi. Orang tua pemilik tubuh asli Kinanti pasti bekerja setiap hari. Casandra mungkin kesepian."Apa yang mungkin jadi masalah Casandra di rumah ini? Kedua orang tuanya terlihat menyayanginya?""Dia punya segalanya."Sambil menuruni anak tangga, dia melihat ke sekeliling rumah berlantai dua itu. "Kecuali di sekolah, sepertinya dia adalah target Bullyan teman sekelasnya."Kinanti memastikan tidak ada yang mengikutinya. Dia membuka pintu utama sangat pelan. Keluar dengan santai, itu rumahnya."Aku tak perlu takut, ini adalah rumahku sendiri." Kinanti berbicara seorang diri untuk mengurangi gugup dan ketakutannya. Mendekati gerbang, Kinanti segera mengintip dari sela jerujinya. Menatap keadaan di luar, itu adala
Semua hal yang tersaji di depan mata kadang tak sama dengan kenyataan yang ada. Ada beberapa orang yang selalu memakai topeng, menutupi wajah asli mereka. Netra melihat rupa, tetapi hati bisa melihat semua.Kinanti mulai memahami dunia ini. Ada banyak hal yang harus dirasakan dengan hati. Dipertimbangkan dengan logika agar semua menjadi jujur apa adanya.“Kamu belum tidur, Casandra?”Kinanti tersentak kaget. Dia tidak mendengar pintunya dibuka apalagi suara derap langkah. Tiba-tiba saja, Papa tiri Casandra sudah ada di belakang tempat duduknya. Kinanti berbalik, “Bb-elum, Om.”“Ada perlu apa, Om kemari?” Di balik punggungnya Kinanti menutup buku diary Casandra. Menggesernya lebih ke tengah meja belajarnya.“Kenapa jadi canggung lagi? Saat di meja makan tadi kamu lebih terlihat santai?”“Ah, itu hanya perasaan Om,” kilah Kinanti.Entah kenapa Kinanti merasa risih dan tidak suka dengan tatapan suami mama Casandra ini. Jadi dia beringsut. Melangkah ke samping. Setidaknya tidak berada di
“Kinanti … Kinanti … Kinanti ….” Sayup-sayup Kinanti mendengar suara ibunya memanggil. Dia menoleh ke segala arah, “Ibu … Ibu di mana? Ibu ….” Kinanti terus meracau dalam tidurnya. Memanggil ibunya berulang kali, kerinduan dan kesedihan yang menumpuk membuatnya bermimpi buruk. “Casandra … Casandra?” Dalam kebingungan dia melihat bayangan ibunya tergulung kabut gelap. Perlahan-lahan kian samar dan menghilang. Kinanti mengerjap, keningnya basah oleh keringat. “Ibu …,” panggilnya ketika sadar dari mimpi. “Ada apa, Sayang?” Seorang perempuan langsung memeluk Kinanti. Mengelus rambutnya yang berantakan, “Kamu kenapa, Casandra?” Perempuan di hadapan Kinanti ini masih memakai pakaian kerja. Ada aroma parfum mahal khas orang-orang kaya yang biasa Kinanti cium saat pelanggan di perpustakaannya datang. Tahulah Kinanti perempuan itu ada di sana karena pemilik tubuh asli. Dia pasti ibu dari Casandra pikir Kinanti, “Aku bermimpi Bu,” ucap Kinanti. Perempuan yang memeluknya merenggangkan pel
Berpijak di atas bumi yang sama, menatap matahari dan bulan yang tetap bersinar bergantian tiap harinya. Langit yang selalu berwarna dasar biru dengan sentuhan awan putih. Namun, di ruang dan waktu yang berbeda. Kinanti masih belum memahami di mana kini dia berada?Hidup keduanya lebih membingungkan untuk dijalani. Kenapa dia tidak mati saja. Setidaknya dia tahu tujuan kehidupan setelahnya, jika tidak ke surga pasti ke neraka.Bentuk gedung, jalan, lingkungan dan daerah yang sama, tetapi dengan nama berbeda. Dia hampir mati kebingungan saat memikirkan semua ini.“Seharusnya, jika ini benar tahun 2013. Presiden negara Indonesia sekarang adalah Bapak Susilo Bambang Yudoyono, benar?”Sang supir menatap Kinanti dengan aneh dari kaca Spion, “Nona, Presiden Indonesia sekarang adalah Max Muhammad. Siapa itu Bapak Susilo Bambang Yudoyono?””“Apa? Aah, kepalaku makin pusing.” Kinanti terkaget. Semua hal sangat berbeda. Bagaimana dia bisa pulang ke tempat asalnya. Di mana dia berada sebenarnya