Pov Kinanti Nur Cahyani.
Aahhh … aku tak bisa tidur. Memikirkan janji bertemu dengan rekan kerja kekasih Karenina, besok. Entah kenapa membayangkan bertemu dengan seorang lelaki yang tak kukenal membuat jantungku berdebar-debar.
Kembali aku merubah posisi tidur. Miring ke kiri lalu miring ke kanan. Semoga saja semuanya berjalan lancar. Lelaki itu tertarik dan mau melanjutkan hubungan ke arah yang lebih serius. Berta'aruf lalu segera menikah. Amiin.
Aku harus segera tidur. Besok ada janji bertemu dengan seseprang. Malam makin larut tetapi kenapa mataku rasanya tak ingin terpejam.
Kenapa hanya membayangkan bertemu dengan seorang lelaki saja membuat pipiku terasa panas?
Salahkah aku berharap? Aku tahu saat berharap terlalu tinggi, kekecewaan yang didapat akan semakin besar. Sudah banyak lelaki kutemui. Namun, mereka semua mundur tak ingin melanjutkan proses ta'aruf.
Apa salahnya berharap? Setiap kata adalah doa. Siapa tahu dari sekian banyak munajah malamku besok akan terjawab dan menjadi nyata. Amiin.
Jarum pendek jam di dinding sudah menunjukkan pukul 00.45. Sudah larut malam rupanya. Jalanan beraspal di depan makin sepi. Kendaraan tak sepadat di siang atau sore hari.
Kumatikan lampu duduk di atas nakas, "Selamat malam …."
***
"Selamat pagi, Kinanti."
"Pagi," sapaku pada seorang pengunjung yang sering meminjam buku.
Bekerja selama lima tahun di perpustakaan ini membuatku hafal di luar kepala siapa saja yang sering meminjam buku. Nama serta alamat mereka.
"Hai Kinanti!" sapa seseorang.
Aku mendongak ke arah suara. Saat aku sedang menyalin kode data di komputer lalu menuliskannya pada buku-buku baru. Dia kembali datang, seorang lelaki tampan. Bekerja sebagai pengacara di sebuah instansi pemerintah. Seorang lulusan universitas terbaik di kota Bogor sana.
"Hai," jawabku cepat.
"Ini buku yang kupinjam minggu kemarin." Ia menyodorkan sebuah buku bersampul merah tua, "Terimakasih!"
"Sama-sama, sudah tugasku."
"Karena referensi buku darimu, aku dapat memenangkan kasusku. Sekali lagi terimakasih!"
Lelaki yang seumuran denganku itu mengusap kasar rambut di kepala. Darahku berdesir seketika, rasa panas menjalar di pipi dan ke seluruh wajah.
Dia adalah Abimanyu Permana, lelaki tampan dari keluarga terpandang. Seorang pengacara muda yang sedang meniti karir. Dia ramah dan selalu tersenyum. Pernah, aku berharap Tuhan menjodohkanku dengan lelaki sepertinya.
"Apa kamu bisa menolongku lagi?"
"Apa?" jawabku dengan cepat dan bersemangat.
"Minggu depan, akan ada acara ulang tahun keponakanku. Masalahnya badut yang kami sewa tidak bisa datang. Maukah kamu menggantikan tugasnya? Hanya beberapa jam saja."
Ia mengatupkan kedua jemari di dada. Seakan-akan memohon. Aku tak kuasa menolak permintaanya. Tersenyum dan mengangguk. Siapa tahu ini adalah jalan agar hubungan kami lebih dekat. Lagi pula, membantu orang lain tak ada salahnya.
"Thanks, Dear." Kembali dia mengelus rambutku. Apa dia hobi membuat seorang perempuan kegeeran? Tapi aku suka perlakuan manis Abimanyu ini.
"Ini alamat yang harus kamu datangi. Kostumnya sudah tersedia di sana nanti. Datanglah pukul 18.00, atau kau mau kujemput?"
Kembali aku tersenyum dan mengangguk, menyetujui tawarannya. Kapan lagi seorang pria tampan dengan sebuah mobil sedan terbarunya akan menjemputku?
Selesai mengembalikan buku yang dipinjam dan mengucapkan maksud kedatangannya Abimanyu pamit. Ia tak meminjam buku lagi. Aku larut pada pekerjaanku. Melayani para peminjam buku hari itu.
"Kinanti, berikan pengumuman pada pengunjung. Sebentar lagi kita akan tutup!" perintah kak Fatma.
Tak terasa hari sudah mulai sore. Waktunya pulang, dan menutup perpustakaan ini. Aku memencet tombol hijau di pengeras suara. Mendekatkan mic kecil pada bibirku, "Selamat sore kepada para pengunjung Perpustakaan Ilmu. Sepuluh menit lagi perpustakaan akan tutup. Silakan segera menyelesaikan pekerjaan anda!"
Para pengunjung yang masih berada di dalam perpustakaan pun bergegas menyelesaikan kesibukan mereka. Ada beberapa yang langsung keluar tanpa menaruh buku yang mereka baca kembali ke dalam rak.
Setelah semua pengunjung keluar ruangan. Kini, tugasku dan kak Fatma untuk membersihkan perpustakaan. Setelah semua bersih kami boleh pulang. Bagian kantor sudah pulang dua jam lebih awal tadi.
***
Pukul 18.00 WIB. Aku telah sampai rumah. Berjalan menuju dapur dan mengambil air minum dingin di dalam lemari pendingin.
"Ahh, segarnya!" seruku setelah menenggak habis segelas air dingin.
"Kakak!"
Aku terkejut dan menoleh ke arah suara. Karenina sudah berpakaian dengan rapi dan cantik. Ia melotot menatapku, "Apa? Kenapa?" tanyaku seketika.
"Kenapa baru sampai? Hari ini kita ada janji bertemu dengan Mas Prasetyo dan temannya. Cepat mandi dan siap-siap!"
"Astaga, Kakak lupa!"
Aku menepuk jidat dan menaruh gelas di atas meja dapur. Segera berlalu menuju kamar. Kuhempaskan tas kerja ke atas ranjang, mengambil handuk lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Bagaimana aku bisa lupa hal sepenting ini?
Kuguyur badan dengan air dari pancuran shower. Mengambil sabun dan mempercepat prosesi mandi, tanpa berlama-lama apa lagi ditambah bernyanyi. Tahulah kebiasaan seorang wanita di dalam kamar mandi.
Segera meraih handuk dan keluar dari kamar mandi. Aku mendongak menatap jam dinding di kamar, lima menit. Waktu tercepat aku mandi. Ini rekor!
"Kakak …." Karenina melongok di pintu, "Lima belas menit lagi Mas Prasetyo dan temannya akan datang!"
"I-iya, sebentar lagi Kakak siap!"
Aku segera berpakaian. Tak ada waktu untuk memilih baju. Kuambil gamis berwarna kunyit dengan panjang semata kaki. Menyisir rambut dengan cepat, mengikatnya dengan tiga kali putaran seperti biasa.
Kini, aku beralih ke meja rias. Menyapukan bedak tanpa foundation karena waktu tak cukup. Mencoba menebalkan alis dan memakaikan maskara pada bulu mata.
"Kakak, Mas Pras, datang!"
Omeygad! Terburu-buru dan kaget. Aku hampir menusuk bola mata hitam. Mata sebelah kiri otomatis mengeluarkan air. Mana ketebalan alis yang kubuat tidak sama. Bagaimana ini? Aku belum selesai merias diri. Malu jika tampil sesederhana ini tetapi sudah tidak ada waktu.
Mana aku belum memakai lipstick?
"Sudah selesai siap-siapnya?" teriak Karenina lagi.
"S-sudah!"
Segera kuambil tisu basah, menghapus pensil alis dari wajah. Menyeka air mata di sudut mata. Kembali memakai kacamata minusku. Beberapa kali menatap layar cermin. Kecewa dengan penampilanku sendiri
Aku terpaksa keluar dari kamar. Tak enak jika seorang tamu harus menunggu lama. Ini salahku juga, kenapa lupa ada janji bertemu. Harusnya tadi, aku meminta izin pulang lebih awal.
Karenina berjalan terlebih dahulu menuju ruang tamu, aku mengikutinya.
"Perkenalkan, ini kakakku Kinanti," ucapnya memperkenalkanku pada kedua tamu lelaki.
"Aku Bramasta, Hendra Bramasta."
Rekan kerja kekasih Karenina memperkenalkan diri, ia menjabat tanganku.
Memakai kemeja putih berjas abu-abu dasi hitam menghiasi lehernya. Tingginya sekitar 170cm, dengan kulit sawo matang. Ia tak begitu tampan. Tapi lesung pipit di kedua sisi bibirnya yang tebal cukup mempesona.
Aku duduk di sebelah Karenina. Sementara Prasetyo duduk bersebelahan dengan si Bramasta itu. Ayah dan Ibu sedang ada acara kondangan. Entah dimana!
"Dimana kamu bekerja Kinanti?" Bramasta menatap dan bertanya padaku.
"Di …." Kata-kataku terpotong.
"Kakakku bekerja di perpustakaan kota."
Belum sempat aku menjawab pertanyaan Karenina menjawabnya terlebih dahulu.
"Wah, tempat yang penuh ilmu. Apa kamu suka membaca?"
Aku mengangguk menjawab pertanyaannya. Di acara pertemuan ini aku merasa canggung. Karenina, Prasetyo juga temannya lebih sering berbicara. Mereka terlihat sangat akrab. Aku bagai makhluk tak kasat mata berada di antara mereka. Tak dianggap.
"Sudah malam, kami pulang dulu."
Kekasih Karenina berdiri dan berpamitan. Ia memeluk dan mencium adikku. Bramasta ikut berdiri, ia menyalamiku. Mereka berjalan keluar.
Tak terasa hampir satu jam mereka bertamu. Lumayan lama, seru sekali mereka mengobrol. Aku hanya mendengarkan. Sesekali ikut tersenyum saat obrolan mereka lucu.
"Hey, apa itu?"
Aku beralih ke tempat duduk Bramasta tadi. Ponselnya tertinggal. Aku segera berlari keluar dari apartemen, mengejar mereka. Segera masuk ke lift yang kebetulan kosong. Menekan tombol lantai dasar.
Di lobi mereka sudah tak terlihat. Cepat sekali para lelaki itu berjalan.
'Ah itu dia!' batinku.
Mereka hampir keluar dari pintu apartemen. Aku berjalan agak cepat di belakang mereka.
"Gila kau Pras! Model emak-emak kayak Kinanti, dikenalin ke aku!"
Deg!
"Tolongin gue bro, udah lima belas kali Kakaknya dijodohin batal semua. Kalau Kinanti gak dapat-dapat jodoh. Karenina sama gue gak boleh nikah!"
Siapa? Akukah yang sedang mereka bicarakan?
"Emang gue pikirin. Giliran yang cantik dan sexy diembat duluan, kakaknya yang model emak-emak gitu dikasih gue. Ogah gue!"
Mereka sedang membicarakanku.
Apa aku sejelek itu?
Siapa yang memberitahukan semua tentangku? Karenina?
"Bramasta!" Panggilku.
Kedua lelaki yang sedang membicarakanku itu menoleh. Mata mereka langsung terbelalang lebar. Tak menyangka jika aku berada di belakang keduanya.
"Ini ponselmu!"
Bramasta mematung, ia menerima ponselnya tanpa berkata-kata.
Tanpa menunggu jawaban, aku segera membalikkan badan dan berlari menuju lift, ingin cepat tiba di kamarku.
Di dalam lift air mata kembali merembes turun. Apa yang salah dengan diriku? Kenapa mereka menilai hanya dari penampilan luarku? Aku sangat sedih.
Bahkan adikku sendiri membicarakanku kepada orang lain. Kuangkat kacamata sejenak. Menyeka air mata diselanya.
"Karenina …." Begitu tiba di dalam apartemen aku segera memanggil adik perempuanku.
Karenina sedang mencuci gelas teh bekas para tamu di westafel. Ia terperanjat dan segera membalikkan badan, "Ada apa, Kak?"
Tatapannya penuh tanya melihatku berlinang air mata.
"Kenapa? Kenapa kamu menceritakan semua tentangku pada kekasih dan temannya tadi?"
"Harus bagaimana lagi? Aku ingin segera menikah Kak, keluarga Mas Prasetyo menuntutku untuk segera menikah! Jika dalam tiga bulan kami tidak segera menikah ia akan meninggalkanku!" bebernya dengan suara bergetar.
Lihatlah, Karenina malah lebih emosional dariku. Air matanya berlinang menuruni pipi.
"Aku tak mau ditinggal Mas Prasetyo, karena itu aku berusaha mencarikanmu kekasih, Kak," terangnya lagi.
"Ja-jangan menangis. Maafkan Kakak!"
"Cepatlah menikah, agar aku bisa cepat menikah juga!" gerutu Karenina.
Aku memeluk Karenina. Ia menangis tersedu. Jadi semua itu dilakukan Karenina agar Bramasta mau menemuiku?
Tiga bulan? Prasetyo akan meninggalkan Karenina jika aku tak kunjung menikah setelah tiga bulan?
Aku senang karena memiliki Ayah yang berpendirian kuat. Ia mengharuskan aku menikah lebih dulu sebelum Karenina. Ayah tak ingin aku dilangkahi, dan menjadi perawan tua seumur hidup. Namun, masalahnya tak ada yang ingin menikahiku.
Para lelaki itu lebih memilih perempuan yang berhati cantik daripada yang cantik hatinya. Apa yang harus kulakukan sekarang?
Dari jendela dapur aku melihat lelaki bertato yang tinggal di kamar 5076. Ia memberi minum kucing liar dengan sisa susu cair yang diminumnya. Ternyata perilakunya tak seseram penampilannya. Ia peduli dan penyayang binatang juga.
Mungkin aku bisa meminta tolong padanya?
***
To Be Continued…
Kira-kira Kinanti mau minta tolong apa sama si lelaki bertato ya?
Pov KinantiAku termenung sendirian di dalam kamar. Duduk menatap keluar jendela kamar. Anging berhembus perlahan menggerakkan pepohonan. Sinar lampu berwarna kuning di pinggir jalan itu tertutup dedaunan. Terkesan remang-remang."Tiga bulan lagi?"Bagaimana ini? Bisakah aku mendapatkan seorang lelaki yang mau menikahiku sebelum tiga bulan?Selama dua puluh tujuh tahun umurku ini belum pernah aku merasakan pacaran. Lalu bagaimana caranya mengajak seorang lelaki menikah?Ah, iya, lelaki bertato di kamar 5076 pasti bisa menolongku. Kekasihnya adalah konsultan kecantikan, pasti Gisella Parawansa itu bisa membuatku tampil cantik. N
Pov Kinanti. "Jangan-jangan, kalian …?" "Laporkan saja mereka. Ini termasuk tindakan asusila!" Pak Burhan, Pak Sanip dan beberapa warga lain berdiri di depan kamar tidur lelaki bertato, menatap kami dengan tajam. Seakan-akan menuduh kami melakukan sesuatu di luar norma agama. Tidak, aku tidak seperti yang mereka sangkakan. Aku langsung berdiri, menjauh dari pemilik kamar ini. Gio berusaha berdiri dari telengkupnya, ia meringis menahan sakit di punggung. "Ini semua tidak seperti yang kalian pikirkan." "Hallah, mana ada maling ngaku?" "Laporkan saja mereka! Nikahkan mereka!" "Cepat panggil Pak Haidar, kemari!" "Ti-tidak, jangan beritahu, Ayahku. Dia akan sangat marah. Tolong …!" Aku memelas, kembali mengatupkan kedua tangan. Memohon pada Pak Sanip agar ia tak memberitahukan hal ini pada Ayah. Air mataku kembali meleleh, keringat juga membasahi kening dan wajah. Aku sangat ketakutan, situasinya begitu menegangkan. Bagaimana jika ayah tahu aku berada di sini? Lelaki paruh baya
Pov Penulis. "Ayahmu, sedang benar-benar marah, Ibu akan membantu membujuknya. Sementara pergilah, tunggu sampai Ayahmu tenang dan menyadari kesalahannya," ucap Ibu Kinanti. Kinanti merasa tenang sang ibu masih menyayanginya. Tak marah seperti Haidar. Namun, kemana dia harus pergi? Kinanti mendesah, "Bagaimana ini?" "Apa yang harus kulakukan sekarang?" "Kenapa kamu masih ada di sini?" teriak Haidar Baskoro. Lelaki yang sangat dihormati Kinanti itu membuka pintu kamarnya, ia menatap marah pada Kinanti yang masih berpelukan dengan Aminah. Mata Kinanti kembali memanas. Lelehan lava bening akan tersembur keluar. Sangat sakit, diusir oleh ayahnya sendiri. Orang yang sangat disayang juga dihormatinya. "Cepat pergi dari rumah ini, seorang pezina sepertimu tidak diterima di sini!" Haidar mengangkat tangan, menunjuk pintu keluar. "Kasihan Kinanti, dengarkan dulu dia berbicara," bela Aminah. Wanita yang melahirkan Kinanti itu melepas pelukan. Berjalan menuju Haidar. Meminta belas kas
Keesokan paginya …. Kinanti sengaja bangun lebih pagi hari ini. Bersiap untuk berangkat kerja dan mengemasi beberapa potong pakaian. Selepas menunaikan salat subuh dia memasukkannya ke dalam tas plastik berwarna hitam. Berjalan mengendap-endap keluar dari kamar. Kinanti melirik kamar tidur Gio, "Apa aku harus meminta izin padanya?" "Apa ia akan mencariku nanti?" "Ah, tak usah. Paling juga masih tidur!" Kinanti bergumam sambil berjalan menuju pintu. Kinanti berlalu dari depan kamar lelaki bertato. Melewati dapur, menatap sekilas ke arah kompor. Saat membuka laci lemari, Dia sempat melihat sekarung beras, "Ah, akan kumasakkan Gio nasi. Sebagai balasan sudah mengizinkanku menumpang di apartemennya semalam." Kinanti mengurungkan niatkuntuk langsung berangkat bekerja, masih cukup waktu. Dia berbelok menuju dapur, mengambil penanak di dalam magicom. Mengisinya dengan tiga takar beras lalu segera mencucinya. Memberi segelas air, terakhir tinggal menyalakan magicom. Selesai. Terdengar
"Tuhan, terima kasih mempertemukanku dengan Abimanyu." Kinanti tersenyum menatap langit. Mengalihkan pandangan dari langit ke gedung di hadapan Kinanti. Bangunan dua lantai dengan beberapa kaca besar di tingkat duanya. Membuat suasana di dalam ruangan begitu terang oleh cahaya saat pagi dan siang. Perpustakaan Ilmu. Kinanti membaca sekilas sebuah plang kayu yang tertancap di depan gedung tadi. Dia berjalan memutar melewati samping gedung bercat warna putih. Ada satu kamar mess karyawan di sana. Kinanti ingin mencoba bertanya. Plastik hitam di tangan masih digenggam. "Dimana aku akan tinggal?" "Ayahku sendiri telah mengusirku karena kecewa. Sementara lelaki yang mengatakan akan menikahiku? Ah sudahlah!" "Sepertinya lelaki bertato itu hanya ingin mempermainkanku. Ia hanya menyuruhku ini dan itu. Terkadang aku lebih mirip seperti seorang pembantu di apartemennya." Kinanti berhenti bergumam seorang diri. Berdiri mematung di depan pintu, mengumpulkan keberanian. Harusnya para cleani
"Bye, see you in home!" ucap Hergio sambil melambaikan tangan. Lelaki itu berjalan menjauh. Kinanti menatap punggung atletis yang kian menjauh itu. Dua ciuman sehari ini, "Apa dia mencintaiku? Gio pasti tertarik padaku makanya dia menciumku. Iya, 'kan?" Kinanti berlari kecil ke toilet di belakang perpustakaan. Dia bukan ingin buang air kecil. Perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu ingin memastikan sesuatu. Sembari menatap pantulan diri di dalam cermin, dipegangnya kedua pipi. Ada warna merah menyebar di sana. Ya, pipi Kinanti merona merah. Perlakuan manis Gio tadi, sukses membuatnya terbang ke awan. Telunjuk tangan Kinanti kemudian turun ke bibir. Adegan saat Gio melumat paksa bibir dan akhirnya mereka berciuman di belakang pintu terputar di ingatannya lagi, "Ah … aku pasti sudah gila!" Mengingat semua itu jantung Kinanti berdegup dengan kencang. Pipinya kembali merona merah. Dia bergumam, "Kenapa aku menyukai sikap liar dan agresifnya?" "Jangan-jangan aku menyukainya?" Se
"Apalagi yang ingin kau jelaskan? Apa kau ingin membuat kebohongan baru untuk menutupi semua kenyataan busuk ini?" "Heh, sedang apa kalian disana?" seru sebuah suara. Kinanti menoleh ke arah suara. Pak Sanip si security apartemen, melongok dari pintu tangga darurat lantai tiga. Kegaduhan suara Kinanti dan Gio mungkin mengganggunya. "Kinanti? Apa yang kalian lakukan di sana? Selesaikan masalah baik-baik jangan di tempat umum," ucap Pak Sanip. Ia kini berada di tangga dasar. Tak menyiakan kesempatan Kinanti segera menghempaskan tangan Gio yang masih memegang lengan. Menuruni tangga dengan cepat meninggalkan Gio yang masih berdiri terpaku di tempatnya. Melewati Pak Sanip yang menatapnya dengan aneh. "Kinanti?" "Kinanti …!" Masih dapat didengar Kinanti suara Gio memanggil-manggil namanya. Dia tak peduli, Kinanti hanya ingin berlari sejauhnya dari lelaki itu. Setelah menabur benih cinta di hati Kinanti. Gio menyiramnya dengan luka. Baru pagi tadi, ia bersikap manis memberikan beber
Kinanti berjalan dengan langkah ringan, sesekali dia meloncat. Dia menaikkan jemari tangan kiri. Melihat cincin emas yang melingkar di jari manis. Hati yang bahagia membuat senyum selalu terukir di wajahnya. "Ternyata Gio Romantis juga, dia serius mau menikahiku?"Kinanti bermonolog seorang diri dalam kamarnya. Cincin emas di jari pemberian Gio, sukses membuat hatinya berbunga-bunga.Rasanya Kinanti tak perlu makan atau bernapas, dengan melihat cincin di tangannya saja dia bisa merasa kenyang. Kinanti masih bersandar di belakang pintu sambil tersenyum. "Aduh, aku lupa! Kartu debitku?""Tapi, biarlah! Toh, Gio meminjamnya untuk merencanakan pernikahan kami!"Kinanti berjalan menuju ranjang. Untuk pertama kali dalam hidupnya perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu merasa sangat senang. "Andainya bisa dipercepat, aku ingin menikah dengan Gio malam ini," ucap Kinanti sembari menatap langit-langit kamarnya. Seakan-akan berbicara dengan Tuhan. Sesuatu jatuh tepat di atas kepala Kina
“Sepuluh ….” “Se-belas ….” Keringat Kinanti mulai bercucuran. “Dua … argghh.” Kinanti melepas kedua tangan di belakang tempurung kepala. Mulutnya terbuka, mengambil udara sebanyak mungkin. Seakan-akan lubang hidungnya tak cukup untuk menghirup udara. “Cas-sandra, ka … pan terakhir kali kamu berolahraga? Kenapa begitu berat dan kaku semua otot-ototmu?” Kinanti menyeka keringat di wajahnya. Dengan terengah-engah Kinanti berbicara pada tubuh yang ditempatinya. Setelah itu dia mengalah, merebahkan tubuhnya di atas lantai. Menatap langit biru yang penuh kapas putih. “Lihatlah Cassandra, langitnya indah. Apa kamu pernah menikmati langit seperti ini?” Kinanti mengangkat tangan kanannya, menarik segaris senyuman, “Mungkin suatu saat nanti kalo kita bertemu, aku akan mengajakmu bersantai di bawah langit seperti ini.” “Tapi … aku saja tidak tahu cara keluar dari tubuhmu, lalu kamu bagaimana? Jika aku menempati ragamu, di mana ruhmu? Apa kamu masih hidup? Dimana kamu sekarang?” “Sampai
“Jangan panggil aku gendut dan bodoh!” pekik Kinanti dengan penuh amarah.“Lalu harus kupanggil apa? Babi?”Kinanti menatap balik tanpa berkedip pada salah satu geng perisak di kelasnya, “Dasar gadis manja kekanakan. Kamu dan teman-temanmu pasti hanya tahu cara menghamburkan uang saku, mengoles lipstik di bibir dan mencibir orang lain. Otakmu pasti hanya berisi angin!”“Berani ngelawan lo sekarang?”Angela melirik ke kiri dan kanan, "Bin, Sophi … kita kasih pelajaran dia.”Seketika Kinanti berteriak, “Jangan sentuh rambutku, lepaskan!”“Hahaha ….” Ketiga anggota geng sok cantik tertawa. Mereka malah mendekat, mengerumuni Kinanti. Hingga dia terpojok ke dinding, “Lo, ikut perkumpulan apa, sih? kok, jadi pinter ngelawan sekarang?”“Arrrghh ….” Kinanti semakin kesakitan Angela makin menarik dengan kuat. Beberapa helai rambut Casandra jatuh ke lantai, “Hhentikaan, sakit!”Pemilik tubuh asli pasti sering diperlakukan seperti ini. Terbukti gadis yang menarik rambut di depan Kinanti tak terl
Josh berkonsentrasi penuh mengemudikan mobil. Namun, sesekali dia melirik anak majikannya lewat kaca spion. Ada yang berbeda pada gadis SMA itu.Kinanti bukan anak kecil lagi. Dia tahu Josh beberapa kali mencuri pandang lewat spion mobil yang menghadap ke belakang. Dalam hati Kinanti tahu, usahanya merubah penampilan tidak sia-sia. Tadi pagi, hampir setengah jam dia berada di depan kaca meja rias. Merapikan alis Casandra, mengikat rambut agar terlihat pantas untuk wajah chubby pemilik tubuh. Dia juga lari pagi sepuluh putaran mengelilingi rumah keluarganya itu sekitar satu jam lebih. Jika rutin melakukannya Kinanti pikir berat badan Casandra akan berkurang setidaknya dua sampai tiga kilogram.“Non Casandra hari ini terlihat beda.” Akhirnya Josh buka suara. “Perbedaannya bikin aku tambah cantik atau sebaliknya?” Kinanti merasa perlu mendengarkan pendapat orang lain. Terlebih laki-laki, mereka punya selera yang berbeda dari perempuan.“Jadi lebih menarik, enak dilihat.”“Aahh, kamu m
Pukul 04.00 pagi ….Kinanti bangun lebih awal. Langit masih gelap. Burung-burung belum berkicau menyambut surya, mereka mungkin lelap mengerami telur di sarang. Matahari bahkan masih bersembunyi di belahan dunia lain. Di bawah ranjang Kinanti ada timbangan digital. Sepertinya Casandra yang asli selalu rajin menimbang berat badan. Dia turun dari ranjang, menarik keluar timbangan tadi. Segera naik di atas timbangan. Jarum timbangan dengan cepat bergerak ke kanan, hampir menyentuh batas, “Wow, 85 kg. Yang benar saja. Pantas aku susah bangun tanpa berpegangan.”“Mulai hari ini aku akan membantumu berdiet, ini juga demi diriku. Kau tau kan, Obesitas menjadi masalah juga penyumbang kematian terbesar. Jangan mati muda karena terlalu banyak makanan nikmat yang ternyata racun.”Sejak masuk ke tubuh Casandra, Kinanti jadi sering berbicara seorang diri. Dia merasa punya seorang teman. Raga yang ditempatinya adalah milik Casandra, tetapi jiwanya tetap Kinanti. Mereka berbagi tempat.Kinanti men
“Lain kali ajak om, jika ingin jalan-jalan. om bisa menunjukkan banyak hal baru jika kamu mau.”Kinanti tak habis pikir. Seperti apa hubungan Casandra dengan papa tirinya. Apa mereka sedekat itu? Hingga biasa jalan-jalan bersama saat malam?Teringat jika di buku diary yang ditulis Casandra dia justru memanggil papa tirinya dengan ‘lelaki itu’. Itu artinya hubungan mereka tidak sedekat itu. Kinanti malah merasakan ada kebencian mendalam Casandra.Sayangnya Kinanti belum selesai membaca buku diary itu. Dia bertekad akan membacanya saat naik ke kamar tidur Casandra nanti.“Oh, ok. Next time! Aku mau tidur dulu.” Kinanti menyudahi pembicaraan. Dia merasa tidak ada hal lagi yang bisa dibicarakan dengan papa tiri Casandra, ingin segera melanjutkan membaca diary Casandra untuk mengetahui semua hal tentang dunia baru dan lingkungan si pemilik tubuh.“Kenapa aku merasa papa tiri Casandra adalah tipe orang yang sama dengan Gunawan.” Sudut mata Kinanti melirik ke arah belakang. William, papa
Kinanti meraih jaket di belakang pintu. Sepertinya jaket hoodie hitam itu sering dikenakan oleh Casandra. Masih tersisa aroma parfum di sana. Dia mengikat asal rambutnya sebahunya. Berjalan keluar dari kamar. Menyusuri koridor untuk sampai anak tangga.Rumah mewah itu selalu sepi. Orang tua pemilik tubuh asli Kinanti pasti bekerja setiap hari. Casandra mungkin kesepian."Apa yang mungkin jadi masalah Casandra di rumah ini? Kedua orang tuanya terlihat menyayanginya?""Dia punya segalanya."Sambil menuruni anak tangga, dia melihat ke sekeliling rumah berlantai dua itu. "Kecuali di sekolah, sepertinya dia adalah target Bullyan teman sekelasnya."Kinanti memastikan tidak ada yang mengikutinya. Dia membuka pintu utama sangat pelan. Keluar dengan santai, itu rumahnya."Aku tak perlu takut, ini adalah rumahku sendiri." Kinanti berbicara seorang diri untuk mengurangi gugup dan ketakutannya. Mendekati gerbang, Kinanti segera mengintip dari sela jerujinya. Menatap keadaan di luar, itu adala
Semua hal yang tersaji di depan mata kadang tak sama dengan kenyataan yang ada. Ada beberapa orang yang selalu memakai topeng, menutupi wajah asli mereka. Netra melihat rupa, tetapi hati bisa melihat semua.Kinanti mulai memahami dunia ini. Ada banyak hal yang harus dirasakan dengan hati. Dipertimbangkan dengan logika agar semua menjadi jujur apa adanya.“Kamu belum tidur, Casandra?”Kinanti tersentak kaget. Dia tidak mendengar pintunya dibuka apalagi suara derap langkah. Tiba-tiba saja, Papa tiri Casandra sudah ada di belakang tempat duduknya. Kinanti berbalik, “Bb-elum, Om.”“Ada perlu apa, Om kemari?” Di balik punggungnya Kinanti menutup buku diary Casandra. Menggesernya lebih ke tengah meja belajarnya.“Kenapa jadi canggung lagi? Saat di meja makan tadi kamu lebih terlihat santai?”“Ah, itu hanya perasaan Om,” kilah Kinanti.Entah kenapa Kinanti merasa risih dan tidak suka dengan tatapan suami mama Casandra ini. Jadi dia beringsut. Melangkah ke samping. Setidaknya tidak berada di
“Kinanti … Kinanti … Kinanti ….” Sayup-sayup Kinanti mendengar suara ibunya memanggil. Dia menoleh ke segala arah, “Ibu … Ibu di mana? Ibu ….” Kinanti terus meracau dalam tidurnya. Memanggil ibunya berulang kali, kerinduan dan kesedihan yang menumpuk membuatnya bermimpi buruk. “Casandra … Casandra?” Dalam kebingungan dia melihat bayangan ibunya tergulung kabut gelap. Perlahan-lahan kian samar dan menghilang. Kinanti mengerjap, keningnya basah oleh keringat. “Ibu …,” panggilnya ketika sadar dari mimpi. “Ada apa, Sayang?” Seorang perempuan langsung memeluk Kinanti. Mengelus rambutnya yang berantakan, “Kamu kenapa, Casandra?” Perempuan di hadapan Kinanti ini masih memakai pakaian kerja. Ada aroma parfum mahal khas orang-orang kaya yang biasa Kinanti cium saat pelanggan di perpustakaannya datang. Tahulah Kinanti perempuan itu ada di sana karena pemilik tubuh asli. Dia pasti ibu dari Casandra pikir Kinanti, “Aku bermimpi Bu,” ucap Kinanti. Perempuan yang memeluknya merenggangkan pel
Berpijak di atas bumi yang sama, menatap matahari dan bulan yang tetap bersinar bergantian tiap harinya. Langit yang selalu berwarna dasar biru dengan sentuhan awan putih. Namun, di ruang dan waktu yang berbeda. Kinanti masih belum memahami di mana kini dia berada?Hidup keduanya lebih membingungkan untuk dijalani. Kenapa dia tidak mati saja. Setidaknya dia tahu tujuan kehidupan setelahnya, jika tidak ke surga pasti ke neraka.Bentuk gedung, jalan, lingkungan dan daerah yang sama, tetapi dengan nama berbeda. Dia hampir mati kebingungan saat memikirkan semua ini.“Seharusnya, jika ini benar tahun 2013. Presiden negara Indonesia sekarang adalah Bapak Susilo Bambang Yudoyono, benar?”Sang supir menatap Kinanti dengan aneh dari kaca Spion, “Nona, Presiden Indonesia sekarang adalah Max Muhammad. Siapa itu Bapak Susilo Bambang Yudoyono?””“Apa? Aah, kepalaku makin pusing.” Kinanti terkaget. Semua hal sangat berbeda. Bagaimana dia bisa pulang ke tempat asalnya. Di mana dia berada sebenarnya