"Tolong cepat ya, Pak!" perintah Kinanti yang disusul oleh anggukan kepala sang supir.
"Kemana ini, Neng tujuannya?"
"Ke Kebayoran Baru. Gedung perpustakaan kota, Pak."
Lelaki di balik kemudi mobil itu mengangguk. Menekan pedal gas dan mengarahkan taxinya menuju pusat kota Jakarta Selatan. Ada sebuah gedung perpustakaan besar berlantai dua di sana.
Kinanti terdiam, tak ada guratan senyum di wajahnya. Gadis cantik berkacamata itu melemparkan pandangan ke luar jendela. Merenungi nasib cintanya. Ia ingin memiliki seorang kekasih, kalau bisa langsung menikah karena umurnya yang sudah tak muda lagi. Namun, para lelaki tak ada yang melirik gadis itu.
Adiknya, Karenina yang usianya terpaut tiga tahun di bawah Kinanti sudah memiliki seorang kekasih. Hubungan mereka sangat dekat, ada rasa iri di hati Kinanti kenapa kisah cintanya tak semudah Karenina.
Bangunan perumahan dan pertokoan telah berganti dengan gedung-gedung tinggi. Sang supir menghentikan taxinya di depan sebuah gedung berlantai dua.
"Udah sampai, Neng," ucap sang supir.
Kinanti masih melamun, memandang ke arah luar jendela mobil. Ia menatap bangunan tempat kerjanya. Namun, pikirannya kosong. Tak menyadari jika kendaraan sudah berhenti.
"Neng … udah sampai Neng," ulang supir itu lagi. Kali ini dengan suara lebih tinggi dan menoleh ke belakang.
Kinanti terkesiap, "Apa, Pak?"
"Ini udah sampai Neng, jadi turun di sini? Atau mau terus lagi?"
"Sa-saya turun di sini, Pak." Sudut mata Kinanti menatap argo mobil. Segera mengambil uang di dalam dompetnya, "Ini Pak."
Kinanti membayar selembar uang berwarna biru, uang pas. Gadis berkacamata itu langsung keluar dari taxi. Berdiri sejenak memandang tempat kerjanya, ia membetulkan kacamata. Mengambil napas lalu mengembuskannya dengan cepat dan kasar.
"Semangat, Kinanti!"
Gadis itu mencoba menyemangati dirinya sendiri. Wanita mana yang takkan patah hati, jika para lelaki dan keluarga mereka membatalkan acara pertemuan keluarga secara sepihak. Sudah lima belas lelaki yang coba dicarikan sang Ayah tetapi mereka mundur dengan banyak alasan.
Sudah sering juga Kinanti mencoba berkenalan lewat situs aplikasi kencan online. Namun, para lelaki itu terkesan main-main. Tak ada niat mengajak Kinanti berhubungan serius apa lagi menikah.
"Jodoh tak akan tertukar, ia akan datang di waktu yang tepat." Haidar selalu menasehati Kinanti. Memberikan anak sulungnya motivasi. Kinanti mengulang kata-kata ayahnya dan kembali bersemangat setelah itu.
"Pagi Kinanti?" Rekan kerja Kinanti menyapa gadis itu ketika bersisipan di pintu masuk. Sheila, perempuan cantik dan modis yang bekerja di bagian administrasi kantor.
"Pagi Sheila," sapa Kinanti Ramah.
"Hai, Kinanti? Bajumu kok, sama terus sih?" Cika tersenyum dengan satu sudut bibirnya terangkat naik. Ia berjalan melewati Kinanti tanpa memperdulikan perasaan Kinanti.
"Itu menyapa apa mau menyindir, sih?" sungut Kinanti.
Bukannya Kinanti tak mengganti baju atau tak memiliki baju lain. Hanya saja model bajunya selalu sama. Kebanyakan dress panjang yang lebar, terkesan mirip daster para emak-emak. Sebetulnya itu adalah sejenis gamis. Kinanti ingin sekali memakai jilbab. Namun, hatinya belum siap. Tanpa mengenakan jilbab saja ia kesulitan menemukan seorang lelaki. Apalagi dengan menutup rambut dengan jilbab.
Ia mematung menatap Cika yang menjauh. Mengenakan rok mini berwarna hitam. Dengan blouse berwarna biru. Penampilannya selalu elegan dan sexy. Para lelaki selalu menatapnya tak berkedip.
Dari tempat Kinanti berdiri bisa menatap lurus ke depan. Koridor menuju perpustakaan tempatnya bekerja, "Ah, iya, jam berapa sekarang?"
Kinanti refleks mengangkat pergelangan tangan, "Astaga, dua menit lagi!"
Gadis itu berjalan dengan cepat menuju tempat absen, ia tinggal menyentuhkan jempolnya. "Selamat bekerja, Kinanti!"
Gadis itu kembali bergumam, menyemangati dirinya sendiri. Berjalan dengan penuh semangat menuju meja resepsionis di tengah perpustakaan. Sebenarnya pekerjaan Kinanti terbilang serabutan, selain memberikan informasi kepada para tamu yang datang di perpustakaan. Ia juga harus mendata buku-buku yang keluar masuk, menatanya di rak buku.
Kinanti mulai sibuk memasukkan data-data buku baru pada komputer di hadapannya. Setelah memasukkan data, ia memberi keterangan tersebut di buku.
"Mbak, buku-buku novel di sebelah mana, ya?"
"Mbaknya lurus aja, itu ada keterangan di depan tiap rak kayu. Buku-buku novel ada di rak ke empat, baris ke dua. Silakan," ucap Kinanti sambil mengulurkan tangan menunjuk rak yang dimaksud.
Kinanti kembali duduk dan menghadap komputer di hadapannya. Memasukkan data-data kembali. Sesekali membenarkan letak kacamata yang miring.
"Alhamdulilah selesai juga!"
"Udah selesai masukin datanya?" tanya Fatma, perempuan berumur tiga puluhan yang lebih lama bekerja di perpustakaan itu, "Tolong dong, taruh buku-buku baru ini di raknya."
Baru saja selesai memasukkan data setumpuk buku baru. Kini, Kinanti mendapat tugas baru lagi, "Iya, Mbak!"
Kinanti pasrah, melakukan tugas yang seharusnya dilakukan sang senior. Gadis itu terlalu penurut dan baik hati. Ia mengangkat kardus cokelat di dadanya. Berjalan agak cepat karena buku itu lumayan banyak. Berat.
Bruakhg!
"Ma-maaf, aku tak sengaja!" Seorang lelaki dengan sweater dan potongan rambut cepak, menabrak Kinanti. Kardus terjatuh dan buku-buku di dalamnya berserakan.
"Ti-tidak apa-apa!" Jawab Kinanti terbata. Pipinya bersemu merah. Malu
Lelaki yang menabraknya tadi membantu Kinanti mengumpulkan buku yang berserakan. Cika yang memegang segelas cokelat panas berlalu di samping mereka. Lelaki tadi mendongak terpsesona menatap Cika. Tak sengaja tangan si lelaki menyentuh tangan Kinanti, gadis berkacamata itu mendunduk dan tersenyum.
"Cantik sekali," gumam si lelaki pelan.
Kinanti yang menyangka lelaki itu memujinya semakin tersenyum lebar.
"Kinanti, kalo kerja yang bener makanya!" sindir Cika sambil berlalu membawa minumannya.
"Mbak, kenal sama perempuan tadi? Bisa minta nomornya?"
Kinanti langsung mendongak mencari perempuan yang dimaksud lelaki yang menabraknya. Ia menoleh ke belakang, tampak Cika yang berjalan menuju ruangannya. Senyum di wajah kinanti seketika hilang. Ia terlanjur kecewa dan malu, gadis itu terlalu cepat terbawa perasaan.
"Nggak!" jawab Kinanti ketus. Segera berdiri dan mengangkat kotak kardus cokelat berisi buku-buku tadi!"
Gadis berkacamata itu segera berlalu menuju deretan rak dan menata buku-buku baru. Mata Kinanti memerah, terlihat berkaca-kaca. Kembali gadis itu merasakan patah hati sebelum memulai suatu hubungan.
Diam-diam Kinanti bersembunyi di belakang rak buku, ia berjongkok dan menyeka air mata. Pundak gadis itu bergetar, ia menangis. Tangisan tanpa suara. Hatinya sakit, tak seorang lelaki pun yang melirik apa lagi menginginkannya.
'Apa dengan bepenampilan tertutup para lelaki tak menyukaiku? Apa tanpa bedak dan gincu merah mereka tak tertarik melihatku? Kenapa mereka hanya melihat dari sisi luar tanpa mencoba mengenaliku lebih jauh dari dalam.' Kinanti membatin dalam hati.
Ia terlihat begitu kecewa dan putus asa. Hatinya sangat rapuh dan takut untuk memulai suatu hubungan, karena ia tahu hasilnya. Penolakan.
***
Kinanti keluar dari pintu lift. Berjalan dengan lemah dan pelan menuju apartemen milik keluarganya.
Tanpa mengetuk pintu ia langsung masuk, "Assalamualaikum," ucap Kinanti.
Rumah terlihat sepi. Tak ada yang menjawab salamnya. Di dapur tak ada orang juga ruang tamu. Kinanti langsung menuju kamarnya.
"Assalamualaikum." Kinanti kembali mengucapkan salam sebelum masuk ke kamarnya.
Gadis itu menghempaskan badan di atas kasur. Menatap langit-langit kamarnya. Ia melalui hari yang berat. Pertemuan keluarga yang batal, hampir terlambat bekerja dan yang terakhir insiden baper sepihak di tempat kerja. Kasihan sekali Kinanti.
"Kakak!"
Pintu kamar Kinanti terbuka, suara sang adik mengagetkannya.
"Ada apa?" Kinanti mencoba bangkit dari rebahnya. Duduk di pinggir ranjang.
"Besok, Mas Prasetyo akan datang. Dia mau ngenalin temennya ke kakak!"
"Benarkah? Serius? Jam berapa?" Mata Kinanti terlihat berbinar nada suaranya terdengar bersemangat.
"Iya, serius donk! Jadi besok Kakak, harus dandan yang cantik. Sepulang kerja, sekitar jam tujuh-an aja!"
Kinanti mengangguk dengan cepat beberapa kali. Terlihat sangat senang. Setelah mengucapkan maksudnya, Karenina segera keluar dari kamar sang kakak.
Adii Kinanti itu melangkah dengan ringan menuju kamarnya kembali. Di dalam kamar Kinanti segera mencari ponselnya. Ia menatap layar, dan mulai berselancar di sebuah aplikasi berwarna hijau.
[Sayang, aku sudah memberi tahu Kak Kinanti. Besok jangan sampai telat. Kali ini kita harus berhasil agar cepat bisa menikah.]
18.45 WIB
Jemari Karenina dengan lincah mengetik sebuah pesan kepada Prasetyo, kekasihnya. Hubungan mereka sudah terjalin selama dua tahun. Kekasih Karenina sudah berumur tiga puluh tahun. Orangtua Prasetyo mendesak agar mereka segera menikah, dan memiliki seorang cucu. Namun, Haidar sang ayah belum memberikan restu.
Haidar ingin agar Kinanti sebagai anak sulung menikah lebih dulu. Ia tak ingin Kinanti jadi perawan tua karena sang adik lebih dulu menikah.
[Oke Sayang, kuusahain gak akan telat, janji. Love you.]
18.50 WIB.
Satu notifikasi pesan masuk ke ponsel Karenina. Adik Kinanti itu cepat-cepat membuka ponsel dan memeriksa pesan. Sebaris gigi putih terlihat di wajah cantiknya.
[Love you too, Sayang.]
18.51 WIB.
Karenina menciumi layar ponselnya. Adik Kinanti itu sudah ingin segera menikah dengan sang kekasih sejak setahun yang lalu. Ia sangat berharap pertemuan besok berjalan lancar, dan sang kakak segera dapat pasangan.
***
To Be Contonued…
Kira-kira berhasil gak, ya? Si Karenina jodohin Kinanti besok?
Penasaran? Ikuti terus kisahnya…
Pov Kinanti Nur Cahyani.Aahhh … aku tak bisa tidur. Memikirkan janji bertemu dengan rekan kerja kekasih Karenina, besok. Entah kenapa membayangkan bertemu dengan seorang lelaki yang tak kukenal membuat jantungku berdebar-debar.Kembali aku merubah posisi tidur. Miring ke kiri lalu miring ke kanan. Semoga saja semuanya berjalan lancar. Lelaki itu tertarik dan mau melanjutkan hubungan ke arah yang lebih serius. Berta'aruf lalu segera menikah. Amiin.Aku harus segera tidur. Besok ada janji bertemu dengan seseprang. Malam makin larut tetapi kenapa mataku rasanya tak ingin terpejam.Kenapa hanya membayangkan bertemu dengan seorang lelaki saja membuat pipiku terasa panas?Salahkah aku berharap? Aku tahu saat berharap terlalu tinggi, kekecewaan yang didapat akan semakin besar. Sudah banyak lelaki kutemui. Namun, mereka semua mundur tak ingin melanjutkan proses ta'aruf.
Pov KinantiAku termenung sendirian di dalam kamar. Duduk menatap keluar jendela kamar. Anging berhembus perlahan menggerakkan pepohonan. Sinar lampu berwarna kuning di pinggir jalan itu tertutup dedaunan. Terkesan remang-remang."Tiga bulan lagi?"Bagaimana ini? Bisakah aku mendapatkan seorang lelaki yang mau menikahiku sebelum tiga bulan?Selama dua puluh tujuh tahun umurku ini belum pernah aku merasakan pacaran. Lalu bagaimana caranya mengajak seorang lelaki menikah?Ah, iya, lelaki bertato di kamar 5076 pasti bisa menolongku. Kekasihnya adalah konsultan kecantikan, pasti Gisella Parawansa itu bisa membuatku tampil cantik. N
Pov Kinanti. "Jangan-jangan, kalian …?" "Laporkan saja mereka. Ini termasuk tindakan asusila!" Pak Burhan, Pak Sanip dan beberapa warga lain berdiri di depan kamar tidur lelaki bertato, menatap kami dengan tajam. Seakan-akan menuduh kami melakukan sesuatu di luar norma agama. Tidak, aku tidak seperti yang mereka sangkakan. Aku langsung berdiri, menjauh dari pemilik kamar ini. Gio berusaha berdiri dari telengkupnya, ia meringis menahan sakit di punggung. "Ini semua tidak seperti yang kalian pikirkan." "Hallah, mana ada maling ngaku?" "Laporkan saja mereka! Nikahkan mereka!" "Cepat panggil Pak Haidar, kemari!" "Ti-tidak, jangan beritahu, Ayahku. Dia akan sangat marah. Tolong …!" Aku memelas, kembali mengatupkan kedua tangan. Memohon pada Pak Sanip agar ia tak memberitahukan hal ini pada Ayah. Air mataku kembali meleleh, keringat juga membasahi kening dan wajah. Aku sangat ketakutan, situasinya begitu menegangkan. Bagaimana jika ayah tahu aku berada di sini? Lelaki paruh baya
Pov Penulis. "Ayahmu, sedang benar-benar marah, Ibu akan membantu membujuknya. Sementara pergilah, tunggu sampai Ayahmu tenang dan menyadari kesalahannya," ucap Ibu Kinanti. Kinanti merasa tenang sang ibu masih menyayanginya. Tak marah seperti Haidar. Namun, kemana dia harus pergi? Kinanti mendesah, "Bagaimana ini?" "Apa yang harus kulakukan sekarang?" "Kenapa kamu masih ada di sini?" teriak Haidar Baskoro. Lelaki yang sangat dihormati Kinanti itu membuka pintu kamarnya, ia menatap marah pada Kinanti yang masih berpelukan dengan Aminah. Mata Kinanti kembali memanas. Lelehan lava bening akan tersembur keluar. Sangat sakit, diusir oleh ayahnya sendiri. Orang yang sangat disayang juga dihormatinya. "Cepat pergi dari rumah ini, seorang pezina sepertimu tidak diterima di sini!" Haidar mengangkat tangan, menunjuk pintu keluar. "Kasihan Kinanti, dengarkan dulu dia berbicara," bela Aminah. Wanita yang melahirkan Kinanti itu melepas pelukan. Berjalan menuju Haidar. Meminta belas kas
Keesokan paginya …. Kinanti sengaja bangun lebih pagi hari ini. Bersiap untuk berangkat kerja dan mengemasi beberapa potong pakaian. Selepas menunaikan salat subuh dia memasukkannya ke dalam tas plastik berwarna hitam. Berjalan mengendap-endap keluar dari kamar. Kinanti melirik kamar tidur Gio, "Apa aku harus meminta izin padanya?" "Apa ia akan mencariku nanti?" "Ah, tak usah. Paling juga masih tidur!" Kinanti bergumam sambil berjalan menuju pintu. Kinanti berlalu dari depan kamar lelaki bertato. Melewati dapur, menatap sekilas ke arah kompor. Saat membuka laci lemari, Dia sempat melihat sekarung beras, "Ah, akan kumasakkan Gio nasi. Sebagai balasan sudah mengizinkanku menumpang di apartemennya semalam." Kinanti mengurungkan niatkuntuk langsung berangkat bekerja, masih cukup waktu. Dia berbelok menuju dapur, mengambil penanak di dalam magicom. Mengisinya dengan tiga takar beras lalu segera mencucinya. Memberi segelas air, terakhir tinggal menyalakan magicom. Selesai. Terdengar
"Tuhan, terima kasih mempertemukanku dengan Abimanyu." Kinanti tersenyum menatap langit. Mengalihkan pandangan dari langit ke gedung di hadapan Kinanti. Bangunan dua lantai dengan beberapa kaca besar di tingkat duanya. Membuat suasana di dalam ruangan begitu terang oleh cahaya saat pagi dan siang. Perpustakaan Ilmu. Kinanti membaca sekilas sebuah plang kayu yang tertancap di depan gedung tadi. Dia berjalan memutar melewati samping gedung bercat warna putih. Ada satu kamar mess karyawan di sana. Kinanti ingin mencoba bertanya. Plastik hitam di tangan masih digenggam. "Dimana aku akan tinggal?" "Ayahku sendiri telah mengusirku karena kecewa. Sementara lelaki yang mengatakan akan menikahiku? Ah sudahlah!" "Sepertinya lelaki bertato itu hanya ingin mempermainkanku. Ia hanya menyuruhku ini dan itu. Terkadang aku lebih mirip seperti seorang pembantu di apartemennya." Kinanti berhenti bergumam seorang diri. Berdiri mematung di depan pintu, mengumpulkan keberanian. Harusnya para cleani
"Bye, see you in home!" ucap Hergio sambil melambaikan tangan. Lelaki itu berjalan menjauh. Kinanti menatap punggung atletis yang kian menjauh itu. Dua ciuman sehari ini, "Apa dia mencintaiku? Gio pasti tertarik padaku makanya dia menciumku. Iya, 'kan?" Kinanti berlari kecil ke toilet di belakang perpustakaan. Dia bukan ingin buang air kecil. Perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu ingin memastikan sesuatu. Sembari menatap pantulan diri di dalam cermin, dipegangnya kedua pipi. Ada warna merah menyebar di sana. Ya, pipi Kinanti merona merah. Perlakuan manis Gio tadi, sukses membuatnya terbang ke awan. Telunjuk tangan Kinanti kemudian turun ke bibir. Adegan saat Gio melumat paksa bibir dan akhirnya mereka berciuman di belakang pintu terputar di ingatannya lagi, "Ah … aku pasti sudah gila!" Mengingat semua itu jantung Kinanti berdegup dengan kencang. Pipinya kembali merona merah. Dia bergumam, "Kenapa aku menyukai sikap liar dan agresifnya?" "Jangan-jangan aku menyukainya?" Se
"Apalagi yang ingin kau jelaskan? Apa kau ingin membuat kebohongan baru untuk menutupi semua kenyataan busuk ini?" "Heh, sedang apa kalian disana?" seru sebuah suara. Kinanti menoleh ke arah suara. Pak Sanip si security apartemen, melongok dari pintu tangga darurat lantai tiga. Kegaduhan suara Kinanti dan Gio mungkin mengganggunya. "Kinanti? Apa yang kalian lakukan di sana? Selesaikan masalah baik-baik jangan di tempat umum," ucap Pak Sanip. Ia kini berada di tangga dasar. Tak menyiakan kesempatan Kinanti segera menghempaskan tangan Gio yang masih memegang lengan. Menuruni tangga dengan cepat meninggalkan Gio yang masih berdiri terpaku di tempatnya. Melewati Pak Sanip yang menatapnya dengan aneh. "Kinanti?" "Kinanti …!" Masih dapat didengar Kinanti suara Gio memanggil-manggil namanya. Dia tak peduli, Kinanti hanya ingin berlari sejauhnya dari lelaki itu. Setelah menabur benih cinta di hati Kinanti. Gio menyiramnya dengan luka. Baru pagi tadi, ia bersikap manis memberikan beber
“Sepuluh ….” “Se-belas ….” Keringat Kinanti mulai bercucuran. “Dua … argghh.” Kinanti melepas kedua tangan di belakang tempurung kepala. Mulutnya terbuka, mengambil udara sebanyak mungkin. Seakan-akan lubang hidungnya tak cukup untuk menghirup udara. “Cas-sandra, ka … pan terakhir kali kamu berolahraga? Kenapa begitu berat dan kaku semua otot-ototmu?” Kinanti menyeka keringat di wajahnya. Dengan terengah-engah Kinanti berbicara pada tubuh yang ditempatinya. Setelah itu dia mengalah, merebahkan tubuhnya di atas lantai. Menatap langit biru yang penuh kapas putih. “Lihatlah Cassandra, langitnya indah. Apa kamu pernah menikmati langit seperti ini?” Kinanti mengangkat tangan kanannya, menarik segaris senyuman, “Mungkin suatu saat nanti kalo kita bertemu, aku akan mengajakmu bersantai di bawah langit seperti ini.” “Tapi … aku saja tidak tahu cara keluar dari tubuhmu, lalu kamu bagaimana? Jika aku menempati ragamu, di mana ruhmu? Apa kamu masih hidup? Dimana kamu sekarang?” “Sampai
“Jangan panggil aku gendut dan bodoh!” pekik Kinanti dengan penuh amarah.“Lalu harus kupanggil apa? Babi?”Kinanti menatap balik tanpa berkedip pada salah satu geng perisak di kelasnya, “Dasar gadis manja kekanakan. Kamu dan teman-temanmu pasti hanya tahu cara menghamburkan uang saku, mengoles lipstik di bibir dan mencibir orang lain. Otakmu pasti hanya berisi angin!”“Berani ngelawan lo sekarang?”Angela melirik ke kiri dan kanan, "Bin, Sophi … kita kasih pelajaran dia.”Seketika Kinanti berteriak, “Jangan sentuh rambutku, lepaskan!”“Hahaha ….” Ketiga anggota geng sok cantik tertawa. Mereka malah mendekat, mengerumuni Kinanti. Hingga dia terpojok ke dinding, “Lo, ikut perkumpulan apa, sih? kok, jadi pinter ngelawan sekarang?”“Arrrghh ….” Kinanti semakin kesakitan Angela makin menarik dengan kuat. Beberapa helai rambut Casandra jatuh ke lantai, “Hhentikaan, sakit!”Pemilik tubuh asli pasti sering diperlakukan seperti ini. Terbukti gadis yang menarik rambut di depan Kinanti tak terl
Josh berkonsentrasi penuh mengemudikan mobil. Namun, sesekali dia melirik anak majikannya lewat kaca spion. Ada yang berbeda pada gadis SMA itu.Kinanti bukan anak kecil lagi. Dia tahu Josh beberapa kali mencuri pandang lewat spion mobil yang menghadap ke belakang. Dalam hati Kinanti tahu, usahanya merubah penampilan tidak sia-sia. Tadi pagi, hampir setengah jam dia berada di depan kaca meja rias. Merapikan alis Casandra, mengikat rambut agar terlihat pantas untuk wajah chubby pemilik tubuh. Dia juga lari pagi sepuluh putaran mengelilingi rumah keluarganya itu sekitar satu jam lebih. Jika rutin melakukannya Kinanti pikir berat badan Casandra akan berkurang setidaknya dua sampai tiga kilogram.“Non Casandra hari ini terlihat beda.” Akhirnya Josh buka suara. “Perbedaannya bikin aku tambah cantik atau sebaliknya?” Kinanti merasa perlu mendengarkan pendapat orang lain. Terlebih laki-laki, mereka punya selera yang berbeda dari perempuan.“Jadi lebih menarik, enak dilihat.”“Aahh, kamu m
Pukul 04.00 pagi ….Kinanti bangun lebih awal. Langit masih gelap. Burung-burung belum berkicau menyambut surya, mereka mungkin lelap mengerami telur di sarang. Matahari bahkan masih bersembunyi di belahan dunia lain. Di bawah ranjang Kinanti ada timbangan digital. Sepertinya Casandra yang asli selalu rajin menimbang berat badan. Dia turun dari ranjang, menarik keluar timbangan tadi. Segera naik di atas timbangan. Jarum timbangan dengan cepat bergerak ke kanan, hampir menyentuh batas, “Wow, 85 kg. Yang benar saja. Pantas aku susah bangun tanpa berpegangan.”“Mulai hari ini aku akan membantumu berdiet, ini juga demi diriku. Kau tau kan, Obesitas menjadi masalah juga penyumbang kematian terbesar. Jangan mati muda karena terlalu banyak makanan nikmat yang ternyata racun.”Sejak masuk ke tubuh Casandra, Kinanti jadi sering berbicara seorang diri. Dia merasa punya seorang teman. Raga yang ditempatinya adalah milik Casandra, tetapi jiwanya tetap Kinanti. Mereka berbagi tempat.Kinanti men
“Lain kali ajak om, jika ingin jalan-jalan. om bisa menunjukkan banyak hal baru jika kamu mau.”Kinanti tak habis pikir. Seperti apa hubungan Casandra dengan papa tirinya. Apa mereka sedekat itu? Hingga biasa jalan-jalan bersama saat malam?Teringat jika di buku diary yang ditulis Casandra dia justru memanggil papa tirinya dengan ‘lelaki itu’. Itu artinya hubungan mereka tidak sedekat itu. Kinanti malah merasakan ada kebencian mendalam Casandra.Sayangnya Kinanti belum selesai membaca buku diary itu. Dia bertekad akan membacanya saat naik ke kamar tidur Casandra nanti.“Oh, ok. Next time! Aku mau tidur dulu.” Kinanti menyudahi pembicaraan. Dia merasa tidak ada hal lagi yang bisa dibicarakan dengan papa tiri Casandra, ingin segera melanjutkan membaca diary Casandra untuk mengetahui semua hal tentang dunia baru dan lingkungan si pemilik tubuh.“Kenapa aku merasa papa tiri Casandra adalah tipe orang yang sama dengan Gunawan.” Sudut mata Kinanti melirik ke arah belakang. William, papa
Kinanti meraih jaket di belakang pintu. Sepertinya jaket hoodie hitam itu sering dikenakan oleh Casandra. Masih tersisa aroma parfum di sana. Dia mengikat asal rambutnya sebahunya. Berjalan keluar dari kamar. Menyusuri koridor untuk sampai anak tangga.Rumah mewah itu selalu sepi. Orang tua pemilik tubuh asli Kinanti pasti bekerja setiap hari. Casandra mungkin kesepian."Apa yang mungkin jadi masalah Casandra di rumah ini? Kedua orang tuanya terlihat menyayanginya?""Dia punya segalanya."Sambil menuruni anak tangga, dia melihat ke sekeliling rumah berlantai dua itu. "Kecuali di sekolah, sepertinya dia adalah target Bullyan teman sekelasnya."Kinanti memastikan tidak ada yang mengikutinya. Dia membuka pintu utama sangat pelan. Keluar dengan santai, itu rumahnya."Aku tak perlu takut, ini adalah rumahku sendiri." Kinanti berbicara seorang diri untuk mengurangi gugup dan ketakutannya. Mendekati gerbang, Kinanti segera mengintip dari sela jerujinya. Menatap keadaan di luar, itu adala
Semua hal yang tersaji di depan mata kadang tak sama dengan kenyataan yang ada. Ada beberapa orang yang selalu memakai topeng, menutupi wajah asli mereka. Netra melihat rupa, tetapi hati bisa melihat semua.Kinanti mulai memahami dunia ini. Ada banyak hal yang harus dirasakan dengan hati. Dipertimbangkan dengan logika agar semua menjadi jujur apa adanya.“Kamu belum tidur, Casandra?”Kinanti tersentak kaget. Dia tidak mendengar pintunya dibuka apalagi suara derap langkah. Tiba-tiba saja, Papa tiri Casandra sudah ada di belakang tempat duduknya. Kinanti berbalik, “Bb-elum, Om.”“Ada perlu apa, Om kemari?” Di balik punggungnya Kinanti menutup buku diary Casandra. Menggesernya lebih ke tengah meja belajarnya.“Kenapa jadi canggung lagi? Saat di meja makan tadi kamu lebih terlihat santai?”“Ah, itu hanya perasaan Om,” kilah Kinanti.Entah kenapa Kinanti merasa risih dan tidak suka dengan tatapan suami mama Casandra ini. Jadi dia beringsut. Melangkah ke samping. Setidaknya tidak berada di
“Kinanti … Kinanti … Kinanti ….” Sayup-sayup Kinanti mendengar suara ibunya memanggil. Dia menoleh ke segala arah, “Ibu … Ibu di mana? Ibu ….” Kinanti terus meracau dalam tidurnya. Memanggil ibunya berulang kali, kerinduan dan kesedihan yang menumpuk membuatnya bermimpi buruk. “Casandra … Casandra?” Dalam kebingungan dia melihat bayangan ibunya tergulung kabut gelap. Perlahan-lahan kian samar dan menghilang. Kinanti mengerjap, keningnya basah oleh keringat. “Ibu …,” panggilnya ketika sadar dari mimpi. “Ada apa, Sayang?” Seorang perempuan langsung memeluk Kinanti. Mengelus rambutnya yang berantakan, “Kamu kenapa, Casandra?” Perempuan di hadapan Kinanti ini masih memakai pakaian kerja. Ada aroma parfum mahal khas orang-orang kaya yang biasa Kinanti cium saat pelanggan di perpustakaannya datang. Tahulah Kinanti perempuan itu ada di sana karena pemilik tubuh asli. Dia pasti ibu dari Casandra pikir Kinanti, “Aku bermimpi Bu,” ucap Kinanti. Perempuan yang memeluknya merenggangkan pel
Berpijak di atas bumi yang sama, menatap matahari dan bulan yang tetap bersinar bergantian tiap harinya. Langit yang selalu berwarna dasar biru dengan sentuhan awan putih. Namun, di ruang dan waktu yang berbeda. Kinanti masih belum memahami di mana kini dia berada?Hidup keduanya lebih membingungkan untuk dijalani. Kenapa dia tidak mati saja. Setidaknya dia tahu tujuan kehidupan setelahnya, jika tidak ke surga pasti ke neraka.Bentuk gedung, jalan, lingkungan dan daerah yang sama, tetapi dengan nama berbeda. Dia hampir mati kebingungan saat memikirkan semua ini.“Seharusnya, jika ini benar tahun 2013. Presiden negara Indonesia sekarang adalah Bapak Susilo Bambang Yudoyono, benar?”Sang supir menatap Kinanti dengan aneh dari kaca Spion, “Nona, Presiden Indonesia sekarang adalah Max Muhammad. Siapa itu Bapak Susilo Bambang Yudoyono?””“Apa? Aah, kepalaku makin pusing.” Kinanti terkaget. Semua hal sangat berbeda. Bagaimana dia bisa pulang ke tempat asalnya. Di mana dia berada sebenarnya