Arvan sedang duduk santai di depan televisi, akan ada pertandingan bola dari tim kebanggaannya malam ini Inggris melawan Jerman. Tentu saja dia menjagokan Inggris. Arvan sudah menunggu Pertandingan ini dengan penuh semangat. Sedangkan Amanda sedang mencuci piring dari makan malam mereka tadi. Tidak banyak yang mereka bicarakan selama makan malam. Arvan ingin menyinggung mengenai kejadian tiga tahun lalu tetapi dia tidak ingin merusak suasana sedangkan Amanda yang penasaran dengan kegiatan Arvan seharian ini. Sempat mengajukan beberapa pertanyaan yang menurut pendengaran Arvan menandakan kesan cemburu. Dan itu membuat Arvan senang.“mau kemana,” Tanya Arvan ketika Amanda hendak melewatinya. Dia segera melompat dari duduknya dan menghalangi Amanda yang akan menuju kamar tidurnya."Tidur. Mas akan begadang? Apa ada sesuatu yang dibutuhkan untuk menemanimu menonton?” Tanya Amanda berusaha biasa saja walaupun masih canggung. Dia menghindari menatap Arvan. Perasaannya masih canggung bila m
Arvan keluar dari kamar mandi dan merasa segar setelah dia membersihkan tubuhnya dan bersiap untuk melakukan rutinitas pagi seperti biasa. Dia mulai menjelajahi isi lemarinya dan memilih baju yang akan dikenakan pagi ini. Sebagai seorang bos dia harus selalu menjaga penampilan agar terlihat rapi namun tidak monoton.Arvan sedang mengenakan pakaiannya sambil melihat pantulan dirinya di cermin saat tanpa sengaja matanya melihat ke arah nakas yang ada di sebelah tempat tidurnya tepat di belakangnya. Di atas nakas terdapat sebuah lampu tidur, sebuah buku catatan dan bingkai foto yang dibiarkan terbalik. Arvan termenung sesaat melihat nakas itu. Matanya tertuju pada bingkai foto yang memang sengaja dibiarkan terbalik.Ada perasaan bimbang bercampur marah yang tiba-tiba muncul. Bingkai itu adalah memori dari kenangannya bersama Amanda yang coba dia singkirkan namun sulit. Hingga akhirnya dia memilih untuk membiarkannya disana namun tidak ingin melihatnya. Entah mengapa dia merindukan kenang
Arvan berjalan menuju ruang kerjanya sambil bersiul. Sesekali dia akan tersenyum pada staf yang dia lewati. Arvan tampak mengernyitkan keningnya ketika tiba di meja sekretarisnya dan dia tidak menemukan Siska di sana. Arvan melihat sekelilingnya sebentar. 'Apa dia tidak masuk? Mungkin Siska mencoba mengabari semalam untuk memberitahukan hal itu? Mungkin dia sedang tidak enak badan,' pikir Arvan kemudian dia membuka pintu ruang kerjanya dan menutupnya.bukannya langsung masuk ke ruangannya. Arvan terdiam dibalik pintu. Tidak dapat berkata ketika melihat Siska sudah duduk santai di sofa sambil melepaskan hampir semua kancing di pakaiannya membuat kedua gunung kembarnya yang hanya ditutupi bra terlihat menyembul. Arvan berusaha menelan salivanya kuat."Apa yang kau lakukan Siska?? Bagaimana jika bukan aku yang masuk?" ucap arvan yang langsung menutup pintu ruangannya. "kamu sudah gila? bagaimana bila orang lain melihatnya," lanjut Arvan terlihat gugup sambil memperhatikan lewat jendela m
Arvan sedang mengadakan meeting bersama para manajer membahas mengenai kinerja bulanan para karyawan. Siska mendampinginya sebagai sekretaris yang mencatat hasil dari rapat itu. Beberapa kali Arvan memergoki Siska tengah menatapnya dengan tatapan menggoda. Arvan berusaha menghindari bertatapan dengan Siska sebisa mungkin. Arvan paham mengapa beberapa perusahaan menerapkan larangan memiliki hubungan lebih dengan rekan kerja karena akan sangat merepotkan bila ada masalah.Rapat berjalan hingga hampir jam makan siang, setelah para manajer mulai meninggalkan ruang rapat satu persatu, dari ujung matanya Arvan dapat melihat Siska tengah memperhatikannya mengharapkan Arvan akan memandangnya."Van,,, kita bisa bicara sebentar. Ada hal penting yang ingin gue bahas," ucap Johan sambil menghampiri Arvan.Arvan menatap Johan dengan sumringah. "Tentu saja. Kita bisa membahasnya sambil makan siang?" ucap Arvan. "Thank's bro.. you save my life," lanjut Arvan lirih sambil menepuk pundak Johan. Johan h
Arvan pulang menjelang malam dan mendapati apartemennya dalam keadaan gelap. Dia juga tidak melihat sosok Amanda dimanapun. Dia mulai mencurigai keberadaan Amanda. Dia memikirkan kemungkinan Amanda kabur. Tapi tidak mungkin karena dia mengurungnya. Perlahan Arvan mengetuk pintu kamar Amanda tidak ada jawaban. Dia mencoba membukanya dan tidak terkunci. Dia kaget melihat kamar Amanda kosong. Arvan berusaha mencari kenop lampu dan terkejut mendapati Amanda sedang berbaring dan nampak kesakitan."Apa yang terjadi," ucap Arvan cemas sambil mendekati Amanda dan duduk di samping ranjang."Mas sudah pulang. Aku baik-baik saja hanya sedikit lemas," ucap Amanda."Jangan mencoba membohongiku Amanda," ucap Arvan geram. "Sebaiknya kita ke rumah sakit," lanjut Arvan mencoba membangunkan Amanda.Amanda merintih membuat Arvan menjauhkan tangannya dari Amanda. Dia takut akan menyakiti istrinya."Tidak perlu mas. Hanya kram perut. Ini biasa menjelang datang bulan. Mas sudah makan?" Ucap Amanda berusaha
Arvan terlihat sibuk dengan ponselnya hingga tidak menyadari kehadiran Johan di dalam ruangannya."Sibuk bro?" Tanya Johan.Suara Johan berhasil menyadarkan Arvan. Dia menatap Johan dengan kesal karena baru saja mengagetkannya."Ada perlu apa?" Tanyanya sambil kembali menatap ponsel."Kan lo yang nyuruh gue kemari, katanya lo butuh bantuan gue," kata Johan sambil duduk di sofa panjang di ruang kerja Arvan."Ohiya.. sorry gue lupa," ucap Arvan sambil beranjak dari duduknya dan membawa sebuah map lalu menyerahkannya kepada Johan.Johan menerima map itu dan mulai melihat isinya."Gue minta tolong lo cek ulang soal realisasi dananya, gue nggak mau dicurangi Harris untuk kedua kalinya," ucap Arvan dengan nada sinis."Sebenci itu lo sama Harris. Emang lo punya bukti kalo dia beneran kerjasama dengan Amanda dulu?" Tanya Johan."Gue yakin dengan insting gue. Lagipula lawan gue waktu itu cuma dia, menurut lo gue perlu mencurigai siapa lagi?" Ucap Arvan kesal. Sesungguhnya dia malas bila harus
21+Amanda sedang berada di dapur membersihkan piring-piring kotor dari sisa makan malam mereka. Dia sudah pulih sepenuhnya dari dismenore yang dialaminya beberapa hari lalu. Sedangkan Arvan sedang asyik menonton televisi. Itu yang Amanda lihat terakhir kali sebelum dia membereskan peralatan dapur yang kotor.Amanda sedang fokus dengan piring-piring makan ketika sebuah tangan dari belakang tiba-tiba melingkar di pinggangnya dan sebuah ciuman penuh gairah mendarat di lehernya. Amanda cukup kesulitan berkonsentrasi dengan piring di tangannya saat Arvan mulai mencumbunya.Amanda bahkan sampai mengangkat lehernya memberikan akses penuh pada cumbuan Arvan di lehernya. Piring yang ada di tangannya hampir saja terjatuh bila saja Arvan tidak sigap mengambil alih piring itu dan meletakkannya di bak cuci.Tangan Arvan beralih pada tangan Amanda yang penuh busa dan menuntun tangan itu berada dibawah air mengalir. Amanda dapat merasakan tetesan air mengalir di kulit tangannya dan membersihkan tan
Amanda menyelinap keluar dari tempat tinggalnya. Dia berniat untuk menemui mamanya. Sebelum pergi dia sudah memastikan bila Arvan akan pulang terlambat. Arvan mengatakan bila hari ini dia akan ada meeting penting dan pulang terlambat. Mendengar hal itu Amanda merasa memiliki kesempatan untuk bertemu mamanya.Ini akan menjadi kunjungan pertamanya setelah dia menikah dengan Arvan. Banyak hal yang ingin diceritakannya pada mamanya. Walaupun dia tahu mamanya tidak akan merespon. Tapi dia tetap senang karena dia tahu mamanya mau mendengarkan semua keluh kesahnya. Amanda merasa sangat lega karena akhirnya bisa bertemu lagi dengan mamanya setelah sempat menjadi tawanan Arvan.Amanda tiba di rumah sakit jiwa tempat mamanya dirawat. Setelah berkomunikasi dengan perawat dan dia mendapat izin besuk. Amanda dengan raut bahagia berjalan menuju kamar tempat mamanya. Dia sudah mendapat izin untuk mengajak mamanya berjalan di sekitar halaman rumah sakit.Amanda mendorong kursi roda mamanya melewati ta