“Kamu sering dia ajak makan di rumah makan Padang?” “Ya, menu-menu di sana super lezat Key. Aku juga pernah kok di bawain nasi bungkus dan makan bareng di rumah, Mama sampai geleng-geleng kepala lihat kami makan di teras samping rumah di alas tikar aja. Tapi suer Key benar-benar seru dan nikmat,” tutur Anggelina. “Sampai segitunya kamu ngikuti kebiasaan dia?” “Loh, emangnya kenapa? Aku merasa dengan hal-hal baru seperti itu hidupku lebih terasa rileks, nggak kaku seperti di kantor yang musti terikat dengan berbagai aturan terlebih aku sebagai presdir harus selalu memberi contoh pada bawahan. Begitu pula di rumah sekarang aku enjoy aja, terkecuali kalau di depan Papa tentu aku tetap menjaga sikap seperti biasanyalah.” “Sejauh itukah kamu merubah kebiasaanmu?” “Ya, karena aku merasa hal itu membuatku lebih happy,” jawab Anggelina pasti. “Hanya karena itu kamu jatuh hati pada Ridwan?” “Tentu nggaklah, masih banyak yang membuatku kagum terhadapnya. Dia sosok pria yang bertanggung j
Aula Kampus Fakultas Kedokteran Universitas A pagi itu dipadati para orang tua dari mahasiswa, mereka sangat antusias sekali mengikuti acara wisuda putra-putri mereka di sana. Tak terkecuali dengan Pak Wisnu dan Bu Anggini selaku orang tua Kintani, dari kemarin sore mereka sudah tiba di Kota Padang dan menginap di kos-kosan putrinya itu. Apa yang diharapkan dan di cita-citakan Kintani pun tercapai menjadi seorang dokter muda, namanya sekarang menjadi ‘Kintani Aulia, S.Ked’. Kelulusannya pun mendapat predikat cumlaude, tentu saja kebahagiaan yang ia rasakan bersama kedua orang tuanya di aula kampus itu makin sempurna. Mahasiswi cantik itu tak dapat lagi membendung rasa harunya saat berpelukan dengan Ibunya, air mata kebahagiaan itu jatuh membasahi pipinya begitu pula dengan Bu Anggini. Bertahun-tahun menimba ilmu di bangku perguruan tinggi yang tentunya tidak mudah karena harus berjuang untuk mendapatkan hasil yang maksimal, agar keinginan dan cita-citanya dapat diraih dengan sempurn
“Kriiiiiing....! Kriiiiiiing..! Kriiiiiiiing..!” suara telepon kabel berbunyi. “Hallo, selamat siang.” “Selamat siang Bu Clara,” sapa seorang wanita di sambungan telepon kabel itu. “Oh, ternyata Bu Anggelina. Ada apa, Bu?” “Bisa minta waktunya sebentar Bu untuk datang ke ruangan saya?” “Oh, tentu saja Bu. Saya akan segera ke sana sekarang,” Kepala bagian marketing itu segera meninggalkan ruangannya menuju ruangan direktur di lantai atas. Setibanya di dalam ruangan direktur perusahaan itu Clara di persilahkan duduk di depan meja berhadap-hadapan dengan Anggelina, Kepala bagian marketing itu tentu saja penasaran kenapa tiba-tiba saja atasannya meminta dia menghadap. “Apakah laporan saya bulan ini ada yang salah, Bu?” tanya Clara. “Hemmm, tidak ada. Semua yang Bu Clara laporkan sudah benar dan sesuai dengan laporan dari bagian lainnya, Saya hanya ingin mengajak Bu Clara sebentar lagi makan siang bersama,” tutur Anggelina tersenyum, sementara Clara makin penasaran karena tak biasa
Seminggu sudah Kintani berada di kampungnya di kenagarian P, selama itu pula antara Kintani dan Ridwan belum pernah sekalipun komunikasi melalui panggilan di ponsel mereka. Jika ingin berkomunikasi paling hanya melalui pesan singkat di WA, hal itu di karenakan mereka kuatir ketahuan oleh Pak Wisnu dan Bu Anggini. Seperti halnya malam itu saat berada di kamar, Kintani mengawali mengirimkan pesan singkatnya kepada Ridwan. “Uda udah pulang kerja?” tanya Kintani lewat pesan singkatnya. “Udah.” “Kok tumben jam 8 udah pulang? Biasanya Uda tiba di rumah kadang setengah 10 malam,” kembali Kintani bertanya. “Kami pulang kerja memang nggak selalu jam 9 malam dari pasar, kadang kalau nggak terlalu ramai seperti hari ini kami akan pulang lebih cepat dari sebelumnya,” balas Ridwan yang masih menyembunyikan jika dirinya sekarang bekerja di kantor sebuah perusahaan besar. “Oh gitu, Uda Ridwan udah makan malam?” “Udah tadi bareng Bang Randi. Gimana kabarmu udah seminggu di kampung?” Ridwan ba
Siang itu Ridwan tengah berada di luar kantor, karena di bagian marketing memang tidak melulu bekerja di dalam ruangan perusahaan itu saja melainkan juga sesekali waktu melakukan kegiatan di luar. Hampir setahun sudah Ridwan mengabdikan dirinya di perusahaan besar milik Anggelina itu dan tak terhitung kalinya pula ia melakukan tugas berbagai macam kegiatan di luar, seperti promo dan bertemu dengan distributor-distributor perusahaan di berbagai daerah. Selama itu pula Ridwan bukan hanya di kenal oleh orang-orang yang berkaitan dengan perusahaan tempat ia bekerja itu, tapi juga dari perusahaan lain serta pengusaha-pengusaha kalangan menengah dan atas. Ridwan sendiri saat ini di samping bekerja sebagai staf marketing juga membuka usaha di luar dengan gaji yang cukup besar ia terima setiap bulan serta bonus-bonus yang kerap ia dapatkan dari perusahaan, di antaranya saat ini Ridwan telah memiliki beberapa toko berbagai macam produk serta sebuah show room mobil yang tentunya dijalani ole
Karena tidak ada jam mengajar sore, maka Romi langsung pulang setelah zhuhur. Makan siangnya pun yang biasa di luar dekat gedung sekolah, sekarang di sempatkan makan siang bersama kedua orang tuannya di rumah. “Hari ini nggak ada jam mengajar sore ya Romi makanya pulang lebih awal?” tanya Bu Rani di sela-sela makan siang bersama di ruangan tengah. “Iya Bu, aku langsung pulang aja sembari nyempetin makan siang bareng sama Ayah dan Ibu di rumah.” “Sudah seminggu lebih Kintani di sini kamu nggak pernah datang berkunjung ke sana, kenapa?” kali ini Pak Rustam yang bertanya. “Nggak apa-apa Ayah, aku hanya segan saja kalau sering-sering berkunjung. Soalnya sewaktu Kintani masih kuliah aku juga jarang mengunjungi rumah Bi Anggini,” jawab Romi. “Nah, ini kesempatan baik buat kamu untuk membiasakan diri sering-sering berkunjung ke sana. Ayah yakin lama-lama Bibi dan Pamanmu itu bakal berusaha untuk membantumu lebih dekat dengan putri mereka,” ujar Pak Rustam. “Ayah, Kintani itu udah dewas
Di senja minggu menjelang malam di sebuah kamar yang mewah, seorang dara jelita tengah berdandan dengan busana pesta pilihan terbaiknya. Busana itu lebih terkesan sederhana baik dari corak maupun harganya tidak semewah dan semahal busana yang lain, akan tetapi dengan berpenampilan memakai gaun sederhana gadis itu semakin terlihat cantik dan mempesona. Beberapa menit kemudian ia pun ke luar dari kamar bersiap untuk berangkat ke suatu tempat, pada saat turun dari lantai atas dan melintas di ruang tengah seorang wanita hampir berumur 50 tahun namun masih terlihat muda yang duduk di ruangan itu tertegun. “Wah, luar biasa sekali cantikmu memakai busana itu Anggelina. Baru kali ini Mama melihatmu se anggun begitu, mau ke pestanya Keysa ya?” “Iya Ma, bentar lagi aku berangkat.” Dara jelita yang tidak lain adalah Anggelina Wijaya duduk di samping wanita yang di panggilnya Mama itu, Bu Wijaya masih tertegun memandang betapa cantik dan cocok sekali putri bungsunya memakai gaun pesta yang di
5 Bulan kemudian....... Randi telah memutuskan untuk pulang ke Padang menikah dengan Ranti, itu artinya dia tidak akan lagi bekerja di toko kakaknya itu melainkan menetap di Kota Padang bersama istrinya nanti. Sebelumnya Randi telah membeli sebuah ruko di Pasar Raya Padang untuk ia jadikan tempat usaha, seluruh keluarga Gita termasuk Ridwan hari itupun pulang ke Kota Padang. Acara resepsi pernikahan Randi dan Ranti cukup meriah, di samping di hadiri keluarga besar Ranti juga banyak dari para sahabatnya sesama pegawai negeri di instansi tempat ia dinas. Ranti sepakat untuk tinggal bersama di rumah Pak Hendra dan Bu Indri keduan orang tua Randi, karena menimbang di rumah kedua orang tua Randi itu tidak ada siapa-siapa selain Pak Hendra dan Bu Indri saja. Sementara Ranti masih memiliki dua orang adik yang dapat menemani kedua orang tuanya di rumah, yang satu pria saat ini tengah kuliah dan yang satu lagi wanita duduk di bangku SMA kelas 2. Sejatinya menurut adat-istiadat Minangkabau
“Aku nggak menyangka sekeras itu keinginanmu Kintani hingga kamu berani menentang adat-istiadat kita yang telah diwarisi turun-temurun dari para leluhur, Aku juga tak mengerti mengapa kalian sebagai orang tuanya mendukung hal yang dapat membuat keluarga besar kita ini akan dipandang buruk di dalam kaum suku caniago,” tutur Pak Gindo. “Kami juga sama sekali tak menginginkan ini terjadi Uda Gindo, akan tetapi kami pun tak bisa melawan takdir dari Allah SWT. Kintani dan Ridwan nampaknya takan bisa dipisahkan lagi, jika Uda menyalahkan kami dalam hal ini kami akan terima asal Kintani bahagia dengan pria pilihannya,” ujar Bu Anggini pasrah. “Ya, semua ini adalah kesalahan kita termasuk Uda Gindo selaku Paman kandung Kintani yang sejak awal tak pernah memberi penjelasan tentang pemahaman adat-istiadat kita secara detil. Terjalinnya hubungan kasih antara Kintani dan Ridwan sedari semula merupakan titik awal semua ini terjadi, jika harus menanggung malu karena adat-istiadat kita semua tentun
Kabar kepulangan Kintani ke rumah orang tuanya pagi itu diketahui oleh Pak Gindo melalui sambungan telpon yang disampaikan oleh Bu Anggini, tentu saja Paman kandung dokter muda cantik itu segera datang bersama keluarganya. Pak Gindo berfikir Kintani pulang karena menyadari kesalahan telah menentang keinginan mereka untuk menjodohkannya dengan Romi, makanya Pak Gindo begitu semangat pagi itu membawa putra dan istrinya menemui Kintani. “Assalamualaikum,” ucap Pak Gindo saat tiba di depan pintu rumah Pak Wisnu. “Waalaikum salam,” sahut Pak Wisnu sekeluarga yang pagi itu duduk di ruangan depan. Pak Wisnu dan Bu Anggini menghampiri mereka lalu mempersilahkan duduk di ruangan depan itu, sementara Kintani ke belakang membuatkan minum. “Alhamdulillah jika Kintani udah kembali Wisnu, kami turut cemas karena lebih dari 3 bulan nggak ada kabarnya,” ucap Pak Gindo. “Ya, Alhamdulillah Uda. Akhirnya Kintani dapat ditemukan dan kami bawa pulang ke rumah ini,” ucap Pak Wisnu pula. “Ditemukan d
Jam 9 malam mobil yang dikemudikan Pak Wisnu dengan Ridwan duduk di sebelahnya sementara Kintani bersama Ibunya di belakang, tiba di kenagarian MK tepatnya di rumah kedua orang tua Ridwan. Pak Rustam dan Bu Suci serta Fitria terkejut melihat mobil Pak Wisnu datang kembali berkunjung, mereka lebih terkejut lagi ketika melihat Ridwan juga turun dari mobil itu. “Assalamualaikum,” ucap Pak Wisnu, Ridwan, Kintani dan Bu Anggini begitu tiba di teras rumah di hadapan Pak Rustam sekeluarga. “Waalaikum salam, ada apa ini kenapa Ridwan juga ada bersama kalian?!” sahut Pak Rustam diiringi rasa kaget dan penasarannya. “Hemmm, sabar Ayah. Sebaiknya kita persilahkan Pak Wisnu dan keluarga masuk dulu,” ujar Ridwan. “Oh iya, silahkan masuk Wisnu dan yang lainnya,” ajak Pak Rustam. Mereka pun duduk bersama di ruangan depan, sementara Fitria Adik kandung Ridwan ke belakang membuatkan minum. “Sangat menganggetkan dan mengherankan kenapa kamu bisa bersama Pak Wisnu dan keluarga, Ridwan?” tanya Pak
Bu Anggini langsung menoleh ke arah Pak Wisnu, ia berfikir suaminya itu akan marah mendengar penuturan Kintani yang menegaskan jika masalah dia tak ingin pulang bukan hanya karena perjodohannya dengan Romi saja melainkan juga karena tak ingin dipisahkan lagi dengan Ridwan. “Kintani, ini nggak akan mudah terlaksana meskipun kami berdua akan merestui kalian. Sanksi adat kita sangat berat bukan saja kalian akan terbuang dari adat tapi juga harta pusaka keluarga tidak akan bisa diwariskan terutama pada kamu Kintani,” jelas Pak Wisnu sambil menarik napas dalam-dalam. “Ayah, apapun itu sanksinya aku siap menerimanya termasuk tak mendapatkan harta warisan keluarga. Bagiku harta bukanlah segalanya karena bisa dicari asalkan mau berusaha,” Kintani kembali menegaskan. “Tapi dalam berumah tangga tak cukup hanya atas dasar cinta dan kasih sayang saja,” ujar Pak Wisnu. “Nggak apa-apa Ayah, meskipun nanti kami hidup apa adanya yang terpenting kami bahagia,” ulas Kintani. “Kamu dengar Ridwan be
Pagi di kawasan kenagarian P terlihat cerah, para warga yang umumnya pekebun sebagian sudah berangkat ke lahan perkebunan mereka. Demikian pula dengan para pekerja Pak Wisnu yang saban hari bekerja memanen buah kelapa sawit serta membersihkan lahan perkebunan, mereka pun telah bersiap-siap untuk berangkat. Kalau biasanya Pak Wisnu selalu menyusul mereka selepas tengah hari atau sesudah zhuhur, namun hari itu dia menyuruh salah seorang pekerjanya untuk mencatat banyaknya serta mengantar buah sawit yang telah dipanen ke pabrik. Adapun alasan Pak Wisnu hari itu tak dapat pergi ke lahan serta mengurus segala sesuatunya mengenai urusan kebun, karena dia dan istrinya akan ke Kota Padang menemui Kintani di rumah orang tua angkat Ridwan. “Apa nggak sebaiknya kita beritahu Uda Gindo dulu sebelum kita berangkat menyusul Kintani, Anggini?” Pak Wisnu bertanya sembari merapikan pakaian yang ia kenakan di kamar. “Nggak usah Bang, yang ada nanti dia akan ikut dan akan menimbulkan masalah di Pada
“Bapak tahu ini hal yang sulit terutama bagi kamu Kintani, tapi keberadaanmu di sini harus tetap diberitahu pada Ayah dan Ibumu di kampung. Apalagi Ibumu sekarang jatuh sakit karena sudah 3 bulan lamanya tak ada kabar tentang kamu setelah pergi dari rumah,” tutur Pak Hendra. “Tapi Pak kalau diberitahu aku ada di sini, kedua orang tuaku itu pasti akan datang dan membawaku pulang. Itu artinya aku akan tetap dijodohkan dengan pria yang sama sekali nggak aku cintai,” ujar Kintani. “Kamu tenang saja Kintani, Bapak akan membelamu nantinya jika mereka datang ke sini. Tujuan utama memberitahu keberadaanmu di sini untuk kesembuhan Ibumu, jika memang kamu tidak ingin pulang dengan alasan akan dijodohkan dan mereka nanti memaksa Bapak tidak akan membiarkannya,” tegas Pak Hendra. “Ya Kintani, Ibu juga akan membelamu. Ridwan, sekarang kamu telpon kedua orang tua Kintani. Beritahu saja jika Kintani ada di sini,” ujar Bu Indri, Ridwan mengangguk lalu meraih ponsel yang ia taruh di meja. “Hallo,
“Aneh juga kenapa tiba-tiba saja kedua orang tua Kintani meminta tolong sama kamu,” Pak Hendra heran. “Awalnya sih saat hari pertama Kintani pergi dari rumah, mereka sempat curiga kalau aku yang meminta Kintani pergi dari rumah itu dan menyusulku ke Jakarta. Tapi setelah aku jelasin bahwa aku sama sekali tak mengetahui bahkan Kintani tak tahu alamatku di Jakarta, mereka pun yakin dan malahan meminta nomor kontak dan bantuanku untuk mencari keberadaan Kintani,” jelas Ridwan. “Jadi begitu cerita, Bapak pikir mereka langsung minta tolong sama kamu untuk mencari Kintani.” “Ya nggaklah Pak, mereka kan nggak tahu nomor kontakku gimana mereka bisa minta tolong. Mereka datang ke rumah Ayah dan Ibu di kampung dan dari situlah mereka mengetahui nomor kontak dan minta tolong sama aku,” tutur Ridwan. Sore hari sekitar jam 5 lewat apa yang dikatakan Bu Indri pun benar adanya, seorang wanita cantik memakai pakaian kerja putih-putih tampak memasuki halaman rumah kedua orang tua angkat Ridwan itu
Pagi-pagi sekali Ridwan telah bangun setelah mempersiapkan segala sesuatunya yang akan dibawa ke Bandara menuju Kota Padang, tak beberapa menit setelah Ia pun sarapan dengan Gita, Aldi dan Nisa di meja makan di ruangan tengah lantai bawah. “Sementara kamu akan ke Padang siapa yang kamu suruh untuk tinggal di rumahmu itu, Ridwan?” tanya Gita. “Setelah aku pikir-pikir lagi apa tidak sebaiknya Kak Gita dan juga Bang Aldi tinggal di sana aja, sementara rumah ini bisa disewakan nantinya,” usul Ridwan. “Hemmm, nggaklah Ridwan. Rumah itu milikmu dan kamu cepat atau lambatnya pasti akan menikah juga,” ujar Gita. “Loh, nggak jadi masalah. Rumah itu terlalu besar bisa didiami beberapa kepala keluarga, lagian kalian kan bukan orang lain lagi bagi aku.” “Iya sih, tapi biar kami tinggal di sini aja. Kalau memang belum ada yang kamu minta untuk menjaga rumah itu selama kamu pergi ke Padang ada baiknya kamu mencari satpam untuk berjaga-jaga di sana,” saran Gita. “Ya Kak, aku memang mempunyai r
3 bulan kemudian.... Minggu pagi sekitar jam 10 Ridwan beserta Gita sekeluarga pergi ke sebuah rumah mewah yang sangat besar dengan perkarangan depan dan belakang juga luas, lokasi rumah itu tidak jauh dari rumah Gita karena berada satu kompleks. Mereka berangkat dengan mengendarai mobil pajero sport milik dan kemudikan oleh Ridwan, mobil itu Ridwan ambil sekitar satu minggu yang lalu di show room usahanya sendiri. Melihat dari fisik bangunan rumah mewah yang mereka tuju ditasir biaya pembuatannya hampir 350 milyar, lalu apa tujuan Ridwan beserta Gita sekeluarga ke sana? Setelah memarkirkan mobil pajero sport di halaman rumah mewah itu, Ridwan beserta Gita sekeluarga pun turun lalu berjalan ke teras. Saat tiba di depan pintu Ridwan bukannya mengetuk atau memencet bel yang ada, melainkan merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sebuah kunci lalu dengan santainya membuka pintu rumah mewah itu. “Mari Kak, Bang kita masuk,” ajak Ridwan, Gita dan Aldi mengangguk seraya tersenyum lalu