Dokter Hardi menarik napas dalam-dalam karena tak menduga alasan gadis di depannya itu melakukan fitnahan yang hampir saja membuat kegiatan KKN Kintani di kenagarian Koto Tua yang tersisa sebulan lagi itu berantakan, karena rasa cemburu semata sebab gadis itu jatuh hati padanya. “Aku menyesal Bang telah melakukan ini, bukan saja aku yang mendapat malu tap juga seluruh warga kenagarian ini begitu pula dengan Pak Arif serta kedua orang tuaku yang pasti akan memarahiku setiba di rumah nanti,” sambung Dora menghiba dan menyesal. “Sudahlah tak perlu kamu sesali yang telah terjadi ini, dan tak perlu juga malu serta kuatir karena kami telah memaafkanmu. Sekarang pulanglah dan ceritakan semuanya dengan jujur pula pada kedua orang tuamu di rumah,” bujuk dokter Hardi sembari tersenyum lega karena telah mengetahui penyebab Dora melukan semua itu. “Iya Bang, aku tahu Ayah dan Ibu pasti sangat marah dengan kejadian ini. Tapi nggak apa-apa, aku udah siap menerima resiko itu,” Dora pasrah karena
“Bukannya nyerah Ayah, tapi zaman sekarang sangat jauh berbeda dengan zaman dulu. Di mana sekarang udah nggak zaman lagi main jodoh-jodohan, pasangan yang akan melangsungkan pernikahan minimal mereka sebelumnya telah menjalin hubungan dan saling mengenal satu dengan yang lainnya lebih dalam lagi,” tutur Romi menjelaskan. “Kamu tahu nggak Romi, Kintani itu pewaris harta warisan keluarga Wisnu. Jika kelak kamu menjadi suaminya, masa depanmu akan lebih cemerlang. Ayah dan Ibumu tentu juga akan ikut senang, kamu jangan sia-siakan kesempatan itu.” “Meskipun Kintani itu keponakan kandung Ayah, akan tetapi Ayah tak boleh bertindak semaunya saja.” “Maksudmu apa Romi berkata seperti itu pada Ayah? Hitam-putih Kintani Ayah yang akan menentukannya karena Ayah ini Paman kandungnya, di dalam adat kita sudah jelas mengharuskan seorang keponakan patuh kepada Pamannya,” nada suara Pak Gindo agak keras. “Benar Ayah, aku tahu hal itu. Akan tetapi perkembangan zaman yang kian modern ini juga tak bis
Pak Wisnu langsung palingkan wajahnya pada Bu Anggini, seolah-olah ia ingin bertanya apa yang musti dijawab atau menawarkan istrinya itu untuk menjawab usulan dari Pak Gindo. “Kami setuju-setuju aja Uda Gindo, tapi tentunya kami nggak bisa memutuskannya sendiri. Kami harus bertanya dulu pada Kintani mengenai hal itu,” ujar Bu Anggini. “Loh, kaliankan orang tuanya. Pasti Kintani akan ikut saja dengan keputusan kalian nantinya,” ulas Pak Gindo. “Ya nggak bisa begitu Uda Gindo, sekarang zaman udah semakin maju. Anak-anak sekarang nggak bisa lagi harus selalu menuruti keinginan kita, apalagi berkaitan dengan masalah perjodohan.” “Di dalam adat-istiadat kita nggak ada yang berubah baik itu di masa lalu maupun masa sekarang ini, seorang anak harus tetap patuh pada kedua orang tuanya. Kalau membangkang dia tentunya menjadi anak yang durhaka,” jelas Pak Gindo. “Ayah, sebaiknya hal ini jangan Ayah paksakan Paman Wisnu dan Bibi Anggini untuk menjawabnya sekarang. Ada baiknya memang Kintani
“Ada masalah di kantor?” “Nggak ada sih, kantor baik-baik aja.” “Lalu kenapa?” “Susah juga aku jelasin di sini, besok sore sepulang dari kantor kamu ada waktu nggak? Aku pengen ngajak kamu ketemuan di luar ada yang ingin aku sampain sama kamu,” Anggelina balik bertanya. “Mau curhat ceritanya nih? Hemmm, boleh deh besok sore aku tunggu kamu di mana?” “Besok aku telpon.” “Oh ya udah deh kalau gitu, sampai ketemu besok sore,” ulas Keysa. Obrolan mereka melalui sambungan handphone itu pun diakhiri, besok sore mereka telah sepakat untuk bertemu di luar sepulang dari kantor. Keysa adalah sahabat karib Anggelina, dia juga seorang wanita cantik keturunan chinese. Mereka sama-sama kuliah dulu di luar negeri, hanya saja bedanya kalau Anggelina sekarang menjadi Presdir di perusahaan Ayahnya sementara Keysa seorang manager di sebuah perusahaan yang juga terbesar di kota itu. Sore itu baik Anggelina maupun Keysa pulang lebih awal dari hari-hari sebelumnya, masih menggenakan pakaian kantor
“Kamu sering dia ajak makan di rumah makan Padang?” “Ya, menu-menu di sana super lezat Key. Aku juga pernah kok di bawain nasi bungkus dan makan bareng di rumah, Mama sampai geleng-geleng kepala lihat kami makan di teras samping rumah di alas tikar aja. Tapi suer Key benar-benar seru dan nikmat,” tutur Anggelina. “Sampai segitunya kamu ngikuti kebiasaan dia?” “Loh, emangnya kenapa? Aku merasa dengan hal-hal baru seperti itu hidupku lebih terasa rileks, nggak kaku seperti di kantor yang musti terikat dengan berbagai aturan terlebih aku sebagai presdir harus selalu memberi contoh pada bawahan. Begitu pula di rumah sekarang aku enjoy aja, terkecuali kalau di depan Papa tentu aku tetap menjaga sikap seperti biasanyalah.” “Sejauh itukah kamu merubah kebiasaanmu?” “Ya, karena aku merasa hal itu membuatku lebih happy,” jawab Anggelina pasti. “Hanya karena itu kamu jatuh hati pada Ridwan?” “Tentu nggaklah, masih banyak yang membuatku kagum terhadapnya. Dia sosok pria yang bertanggung j
Aula Kampus Fakultas Kedokteran Universitas A pagi itu dipadati para orang tua dari mahasiswa, mereka sangat antusias sekali mengikuti acara wisuda putra-putri mereka di sana. Tak terkecuali dengan Pak Wisnu dan Bu Anggini selaku orang tua Kintani, dari kemarin sore mereka sudah tiba di Kota Padang dan menginap di kos-kosan putrinya itu. Apa yang diharapkan dan di cita-citakan Kintani pun tercapai menjadi seorang dokter muda, namanya sekarang menjadi ‘Kintani Aulia, S.Ked’. Kelulusannya pun mendapat predikat cumlaude, tentu saja kebahagiaan yang ia rasakan bersama kedua orang tuanya di aula kampus itu makin sempurna. Mahasiswi cantik itu tak dapat lagi membendung rasa harunya saat berpelukan dengan Ibunya, air mata kebahagiaan itu jatuh membasahi pipinya begitu pula dengan Bu Anggini. Bertahun-tahun menimba ilmu di bangku perguruan tinggi yang tentunya tidak mudah karena harus berjuang untuk mendapatkan hasil yang maksimal, agar keinginan dan cita-citanya dapat diraih dengan sempurn
“Kriiiiiing....! Kriiiiiiing..! Kriiiiiiiing..!” suara telepon kabel berbunyi. “Hallo, selamat siang.” “Selamat siang Bu Clara,” sapa seorang wanita di sambungan telepon kabel itu. “Oh, ternyata Bu Anggelina. Ada apa, Bu?” “Bisa minta waktunya sebentar Bu untuk datang ke ruangan saya?” “Oh, tentu saja Bu. Saya akan segera ke sana sekarang,” Kepala bagian marketing itu segera meninggalkan ruangannya menuju ruangan direktur di lantai atas. Setibanya di dalam ruangan direktur perusahaan itu Clara di persilahkan duduk di depan meja berhadap-hadapan dengan Anggelina, Kepala bagian marketing itu tentu saja penasaran kenapa tiba-tiba saja atasannya meminta dia menghadap. “Apakah laporan saya bulan ini ada yang salah, Bu?” tanya Clara. “Hemmm, tidak ada. Semua yang Bu Clara laporkan sudah benar dan sesuai dengan laporan dari bagian lainnya, Saya hanya ingin mengajak Bu Clara sebentar lagi makan siang bersama,” tutur Anggelina tersenyum, sementara Clara makin penasaran karena tak biasa
Seminggu sudah Kintani berada di kampungnya di kenagarian P, selama itu pula antara Kintani dan Ridwan belum pernah sekalipun komunikasi melalui panggilan di ponsel mereka. Jika ingin berkomunikasi paling hanya melalui pesan singkat di WA, hal itu di karenakan mereka kuatir ketahuan oleh Pak Wisnu dan Bu Anggini. Seperti halnya malam itu saat berada di kamar, Kintani mengawali mengirimkan pesan singkatnya kepada Ridwan. “Uda udah pulang kerja?” tanya Kintani lewat pesan singkatnya. “Udah.” “Kok tumben jam 8 udah pulang? Biasanya Uda tiba di rumah kadang setengah 10 malam,” kembali Kintani bertanya. “Kami pulang kerja memang nggak selalu jam 9 malam dari pasar, kadang kalau nggak terlalu ramai seperti hari ini kami akan pulang lebih cepat dari sebelumnya,” balas Ridwan yang masih menyembunyikan jika dirinya sekarang bekerja di kantor sebuah perusahaan besar. “Oh gitu, Uda Ridwan udah makan malam?” “Udah tadi bareng Bang Randi. Gimana kabarmu udah seminggu di kampung?” Ridwan ba