Pagi itu cuaca di Kota Padang sangat cerah, Ridwan dan Kintani yang hari itu berencana pulang bareng ke kampung untuk melaksanakan acara pertunangan mereka, telah berada di beranda rumah Pak Hendra dan Bu Indri orang tua angkat dari Ridwan.
“Moga acara pertunangan kalian berjalan dengan lancar,” harapan dan do’a dari Bu Indri.
“Amin,” ucap Ridwan dan Kintani berbarengan.
“Kami pamit untuk pulang ke kampung,” sambung Ridwan dan Kintani sembari bergantian menyalami Pak Hendra dan Bu Indri.
“Iya Nak, hati-hati di jalan ya? Sampaikan salam kami pada kedua orang tua kalian,” pinta Pak Hendra, Kintani dan Ridwan anggukan kepala seraya tersenyum.
Perjalanan dari Kota Padang menuju kenagarian tempat mereka dilahirkan, kurang-lebih selama 5 jam. Sekitar jam 1 siang lewat belasan menit mobil yang dikemudikan Kintani berhenti di depan rumah orang tua Ridwan, Kintani hanya turun dan singgah sebentar kemudian ia masuk kembali ke dalam mobil dan berlalu menuju rumah orang tuanya.
Berkaitan dengan kesepakatan yang telah direncanakan jauh-jauh hari oleh kedua orang tua Ridwan dan Kintani untuk segera mengikat putra-putri mereka dalam ikatan pertunangan, maka Ridwan dan Kintani memutuskan untuk pulang ke kampung hari itu.
Keputusan mereka pulang ke kampung bukan tampa alasan, di samping ingin mensegerakan acara pertunangan mereka, saat itu pula bertepatan dengan libur semester kuliah Kintani. Acara pertunangan itu sendiri rencananya akan dilaksanakan besok pagi, pihak keluarga Ridwan telah menyewa kendaraan untuk pergi bersama-sama mengunjungi rumah keluarga Kintani.
Cuaca pagi itu kurang bersahabat, awan hitam berpadu kompak menutup kebiruan langit. Tak lama hujanpun turun semakin lama semakin lebat, namun hal itu bukanlah penghalang bagi keluarga Ridwan untuk melaksanakan rencana mereka berkunjung ke rumah keluarga Kintani.
Dengan mobil avanza yang disewa Ridwan beserta supirnya, berangkatlah Ridwan dan kedua orang beserta Fitria Adik kandungnya menuju rumah kediaman keluarga Kintani yang terletak di kenagarian P.
Sekitar 15 menit mobil avanza yang di dalamnya Ridwan dan keluarganya tiba di halaman rumah megah milik Pak Wisnu sekeluarga, dengan menggunakan payung mereka turun dari mobil lalu melangkah ke teras rumah.
“Asalamualaikum,” ucap Pak Rustam sekelurga.
“Waalaikum salam,” sahut Pak Wisnu sekeluarga dari dalam rumah.
“Mari silahkan masuk!” ajak Pak Wisnu diiringi anggota keluarganya menghampiri Pak Rustam sekeluarga di depan pintu.
“Terima kasih, Pak Wisnu,” ucap Pak Rustam.
Di ruangan yang telah dipersiapkan untuk acara pertunangan antara Ridwan dan Kintani itu, kedua kelompok keluarga duduk secara adat-istiadat yang hingga kini masih berlaku di kenagarian di Provinsi Sumatera Barat itu.
Bagi yang pria duduk bersila, sementara bagi kaum wanitanya duduk bersimpuh. Setelah saling memperkenalkan diri, tibalah saatnya di mana Mamak ( Paman ) dari Kintani yang memiliki kedudukan tinggi secara adat dalam keluarga Minang berpepatah petitih memulai acara.
“Bapak Rustam yang kami hormati, sebelum berlanjut ke acara inti. Ada baiknya kami bertanya dulu, apa maksud dan tujuan Bapak datang berkunjung ke sini?” tanya Gindo Pamannya Kintani.
“Yang kami hormati saudara Gindo Paman dari Kintani, adapun maksud kedatangan kami ke sini, untuk meminang kemenakan saudara menjadi menantu kami,” jawab Pak Rustam.
“Sebelumnya saya juga ingin bertanya, ke manakah Paman dari Ridwan? Kenapa dia tidak hadir di sini? Apakah Ridwan tidak memiliki Paman lagi?”
“Maafkan kami saudara Gindo, bukannya kami memandang enteng adat dengan tidak menghadirkan Paman dari putra kami di sini. Melainkan beliau jauh berada di Pulau Jawa, sebelum kami ke sini terlebih dahulu telah merembukan maksud dan tujuan kami ini, beliau memberi mandat kepada saya untuk mewakilinya menyampai maksud dan tujuan yang kami sampaikan tadi,” tutur Pak Rustam.
“Baiklah Bapak Rustam, ikan di lubuk telah jelas jantan-betinanya, sama halnya kami telah jelas juga maksud dan tujuan Bapak sekeluarga ke sini. Kami juga sebelumnya telah berembuk sebelum menyediakan ruangan ini tempat kita akan mengadakan acara ikatan pertunangan antara Ridwan putra Bapak Rustam dengan Kintani putri Bapak Wisnu kemenakan Sutan Bagindo, ada satu pertanyaan lagi yang ingin kami ajukan,” ujar Paman Gindo berpepatah petitih.
“Silahkan saudara Gindo, apa yang hendak saudara tanyakan lagi?”
“Kita di Tanah Minangkabau ini terdiri dari berbagai macam suku, tidak memiliki suku berarti tidak memiliki adat. Yang ingin kami tanyakan, apakah Ridwan putra Bapak memiliki suku yang di dasarkan dari garis keturunan Ibunya?” tanya Paman Gindo.
“Tentu saja ada saudara Gindo, karena kami merupakan orang Minang yang hingga saat ini masih menjunjung tinggi adat-istiadat dan tradisi. Berdasarkan garis keturunan Ibu maka putra kami Ridwan bersuku Caniago,” tutur Pak Rustam.
Bukan kepalang terkejutnya seluruh keluarga Kintani, itu disebabkan bukan karena adanya petir yang menggelegar di sela lebatnya hujan di luar rumah, akan tetapi karena penuturan Pak Rustam yang mengatakan jika Ridwan bersuku caniago. Terutama Sutan Bagindo Pamannya Kintani, ia sempat terlonjak saat duduk bersila di ruangan itu, namun ia berusaha untuk meredam emosinya ketika ia melirik ke arah kedua orang tua Kintani.
Paman Gindo beringsut dari duduknya menghampiri Pak Rustam duduk di arah berlawan di ruangan itu, Pak Rustam sendiri sama sekali belum tahu penyebab seluruh keluarga Kintani terkejut akan pernyataan yang ia berikan tadi.
“Uda Rustam, sebaiknya kita bicarakan ini di ruangan tengah. Di mana hanya boleh ikut serta kedua orang tua Kintani, Uda Rustam dan Uni Suci. Ridwan dan Kintani untuk sementara biar menunggu di sini,” pinta Paman Gindo berbisik dengan Pak Rustam.
“Baiklah, mari!” Pak Rustam berdiri dari duduknya setelah mengajak Bu Suci mereka ikut masuk ke ruangan tengah di mana di sana telah menunggu kedua orang tua Kintani dan Paman Gindo.
Ridwan dan Kintani yang tidak diajak ikut ke ruangan tengah tampak duduk berhadap-hadapan dengan jarak selebar ruangan depan rumah mewah milik Pak Wisnu sekeluarga itu, tak ada sepatah katapun yang terucap di bibir keduanya, mereka kelihatan bingung kenapa Paman Gindo mengajak kedua orang tua mereka ke ruangan tengah untuk membicarakan sesuatu yang tentunya dirahasiakan dari mereka berdua.
“Maaf sebelumnya, ada gerangan apa saudara Gindo meminta kami berdua ke ruangan ini?” tanya Pak Rustam.
“Celaka Uda Rustam! Ini benar-benar buruk dan berbahaya, kami sama sekali tak menyangka,” ujar Paman Gindo.
“Celaka bagaimana? Kami tidak mengerti,” kembali Pak Rustam bertanya.
“Uda Rustam pasti tahu jika di Tanah Minang ini banyak sekali terdapat suku-suku, yang mana dalam ketentuan adat-istiadat kita, dilarang untuk menjalin cinta kasih apalagi sampai menikah sepesukuan,” tutur Paman Gindo.
“Maksud saudara Gindo...,” belum selesai Pak Rustam berucap, Paman Gindo memotong.
“Ya, Ridwan dan Kintani sama-sama bersuku Caniago. Dan itu artinya mereka bersaudara,” Paman Gindo geleng-geleng kepala lalu mengusap wajahnya.“Astaqfirullah, kenapa ini bisa terjadi!?” Pak Rustam berseru kaget.“Apa mereka telah mengetahui sejak awal mereka kenal?” kali ini Bu Suci yang bertanya.“Entahlah, aku rasa mereka tidak tahu jika mereka sesuku,” Bu Anggini yang menjawab.“Inilah kesalahan Pamannya Ridwan yang tidak memberitahu kemenakannya soal adat-istiadat kita termasuk sukunya,” ujar Paman Gindo menyalahkan Paman Ramli.“Jangan menyalahkan sepihak saja itu tidak baik, Uda Gindo sendiri pernahkah memberitahu hal itu pada Kintani? Sama sekali nggak pernahkan?” Bu Anggini yang merupakan Adik kandung dari Paman Gindo membela Pamannya Ridwan.“Nah, itulah Uda. Semut di seberang lautan tampak, tapi gajah di pelupuk mata sendiri tidak kelihatan,” tambah Pak Wisnu ikut mencecar Paman Gindo yang hanya menyalahkan Paman Ridwan, sementara dia sendiri selaku Paman dari Kintani tak p
“Penyebabnya karena ternyata kalian sepesukuan dan itu dilarang oleh adat-istiadat kita, maka dari itu kami memutuskan untuk membatalkan pertunanganmu dan Ridwan. Bukan hanya itu saja Kintani, kalian berdua terpaksa kami pisahkan dan tidak boleh lagi berhubungan seperti yang telah kalian jalin 2 tahun belakangan ini,” tutur Paman Gindo.“Kalian jahat! Kalian tak punya hati! Tega-teganya kalian akan memisahkan aku dengan Uda Ridwan!” luapan emosi Kintani tak terbendung, dia menangis tersedu-sedu tak terima dengan kenyataan itu.“Paman tahu ini bukan salah kalian, tapi ini benar-benar tidak bisa dilanjutkan. Karena bukan hanya kamu saja, tapi seluruh keluarga kita akan mendapat malu, Kintani,” Paman Gindo berusaha untuk memberi pengertian pada keponakannya yang tengah histeris itu.“Ibu...!” tak kuasa menahan rasa pilunya, Kintani berdiri dari duduk bersimpuhnya lalu berlari kepangkuan Bu Anggini yang juga berlinang air mata.Saking tak kuat menahan semua itu, Kintani pun jatuh pingsan
“Ya mau bagaimana lagi, semuanya di luar dugaan kita semua. Tak ada yang dapat kita salahkan dalam hal ini, termasuk Ridwan dan Kintani yang memang tidak tahu sejak awal mereka bertemu,” tutur Pak Rustam.“Aku yang salah dalam hal ini, Uda. Karena sulitnya kehidupan dulu di kampung, hingga aku membawa keluargaku merantau. Sejak kecil Ridwan tak pernah aku ajarkan dan memberi pemahaman tentang adat-istiadat serta sukunya sendiri, yang semua itu merupakan kewajibanku sebagai Pamannya,” ujar Paman Ramli menyalahkan dirinya sendiri.“Nasi telah terlanjur menjadi bubur, Ramli. Tak ada gunanya kita menyesali diri. Perkembangan zaman jualah yang menjadi salah satu penyebabnya, hingga para pemangku adat sulit memberi pemahaman pada anak, cucu, dan kemenakan mereka. Kalaupun dijelaskan dan diberi pemahaman, anak-anak sekarang mana ada yang saat bertemu dan berkenalan menanyakan tentang suku, paling mereka hanya ingin mengetahui nama serta daerah asal masing-masing,” tutur Pak Rustam yang tak m
“Ya, Kintani. Ayah juga berharap atas kejadian ini kamu tidak benci kepada Ayah dan Ibu serta Paman Gindomu, karena kami sama sekali tidak melarang dan menentangmu berhubungan dengan Ridwan, melainkan adat-istiadat kitalah yang tidak membolehkan,” tutur Pak Wisnu.“Aku nggak akan mungkin benci pada Ayah dan Ibu, yang aku sesali Paman Gindo yang tak pernah memberi pemahaman tentang rumpun suku kita, termasuk ada larangan menjalin hubungan cinta kasih sepesukuan,” ujar Kintani.“Pamanmu itu secara tidak langsung telah menyadari kesalahannya, hanya saja perlu juga kamu ketahui di zaman yang serba modern ini kalaupun seorang Paman begitu getol memberi nasehat dan pemahaman terhadap keponakannya tentang adat-istiadat, tetap saja anak-anak sekarang sulit menerapkan dalam pergaulan sehari-hari. Apakah pernah terpikirkan olehmu saat awal berkenalan dengan Ridwan menanyakan sukunya?” Pak Wisnu menjelas sembari bertanya, Kintani hanya gelengkan kepala.“Begitu juga dengan Ridwan, Ayah rasa tak
“Kok bisa begitu, Ridwan?” sambung Pak Hendra. “Selama 2 tahun lebih kami saling kenal lalu menjalin hubungan, kami sama sekali nggak tahu jika ternyata kami sepesukuan. Hal itulah yang menyebabkan pertunangan kami dibatalkan,” tutur Ridwan. “Hah! Kalian sesuku?” kembali Bu Indri terkejut. “Iya Bu, kami sama-sama bersuku Caniago. Dan menurut kedua orang tua kami serta Paman dari Kintani, kami berdua merupakan saudara yang dilarang untuk menjalin hubungan kasih apalagi bertunangan dan menikah,” ujar Ridwan dengan nada yang terdengar berat. “Malang sekali nasibmu, Nak. Padahal Ibu melihat kalian pasangan yang serasi,” Bu Indri ikut sedih. “Berarti adat-istiadat di kampungmu masih kental dan terjaga dengan baik, meskipun sekarang zaman semakin canggih dan berteknologi modern. Masyarakat di sana masih menjunjung tinggi tradisi dari para leluhur, tak lapuk ditimpa hujan dan lekang diterpa panas begitulah kokohnya. Sayangnya pencerahan mengenai suku di Minangkabau jarang sekali didengu
Hampir jam 3 sore hujan di kota itu benar-benar reda, Ridwan kembali berpamitan pada orang tua angkatnya untuk menuju pasar raya tempat selama ini ia bekerja mengais rezeki sehari-hari. Seperti biasanya Ridwan berangkat kesana dengan naik angkot yang berlalu-lalang di jalan raya yang ada di depan gang jalan masuk menuju kediamannya itu. Kurang lebih 15 menit Ridwan pun tiba dipasar raya Padang, tampa menunggu waktu lama lagi Ridwan mendatangi satu-persatu pemilik toko dan pedagang di sana yang selama ini pernah ia bantu dan memberi upah kepadanya untuk berpamitan. Ridwan memang tidak menceritakan alasan pergi merantau ke Jakarta disebabkan pertunangannya gagal di kampung, karena di samping pihak keluarga Kintani dan keluarganya minta dirahasiakan, Ridwan juga tentunya secara pribadi tak ingin membuka hal itu pada teman-temannya di pasar raya. Akan tetapi meskipun keseluruhan para pemilik toko dan pedagang yang pernah ia bantu itu tak mengetahui alasan Ridwan merantau, mereka semuany
Kini Paman Ramli terbilang sukses sebagai perantau karena telah memiliki toko dan rumah sendiri serta kendaraan pribadi, ia juga telah berkeluarga dengan wanita yang bukan dari keturunan Minang bernama Ayu. Paman Ramli juga telah dikarunia seorang putra yang saat ini masih duduk di kelas 2 SMA, karena jarang pulang ke kampung istri dan putranya tidak terlalu mengenal akan saudara-saudaranya di Tanah Minang.Lebih 1 jam mobil yang kemudikan Paman Ramli tiba di depan rumah bertingkat 2 di kawasan salah satu komplek, tampa mau dibantu wanita yang di duga sebagai pembantu rumah itu Ridwan membawa sendiri barang-barangnya ke dalam rumah.“Nah inilah rumah Paman, Ridwan.”“Besar sekali Paman, bertingkat lagi,” puji Ridwan.“Rumah Paman ini belum apa-apanya dibandingkan rumah-rumah mewah di komplek ini,” Paman Ramli merendah.“Tante Ayu dan Gilang kemana, Paman? Kok dari tadi nggak kelihatan?”“Tantemu jam segini masih di toko, sementara Gilang belum pulang dari sekolah,” jawab Paman Ramli.
Sementara di kenegarian P tepatnya di sebuah bangunan rumah yang besar serta tergolong mewah di desa itu, Pak Wisnu dan Bu Anggini yang merupakan kedua orang tua Kintani hidup dalam kemewahan.Orang tua Kintani memiliki banyak bidang kelapa sawit pribadi di kawasan desa itu, belum lagi tanah yang mereka beli di desa lain dan sekarang juga telah dijadikan perkebunan kelapa sawit. Tak heran jika setiap bulannya atau setiap kali panen, Pak Wisnu dan Bu Anggini mendapatkan uang ratusan juta rupiah, karena harga kelapa sawit pada saat itu telah mencapai Rp. 2.500,- per kilogramnya.Setiap panen Pak Wisnu selalu mentransfer uang ke rekening Kintani, meskipun terkadang Kintani sendiri tidak tahu apalagi meminta. Pak Wisnu sengaja melakukan itu karena tak ingin putrinya yang kini tengah kuliah di Fakultas Kedokteran, merasa panik jika sewaktu-waktu ada keperluan mendadak, baik menyangkut keperluan di kampus maupun untuk keperluan sehari-harinya.Sore itu pula di depan rumah mewah milik kedua
“Aku nggak menyangka sekeras itu keinginanmu Kintani hingga kamu berani menentang adat-istiadat kita yang telah diwarisi turun-temurun dari para leluhur, Aku juga tak mengerti mengapa kalian sebagai orang tuanya mendukung hal yang dapat membuat keluarga besar kita ini akan dipandang buruk di dalam kaum suku caniago,” tutur Pak Gindo. “Kami juga sama sekali tak menginginkan ini terjadi Uda Gindo, akan tetapi kami pun tak bisa melawan takdir dari Allah SWT. Kintani dan Ridwan nampaknya takan bisa dipisahkan lagi, jika Uda menyalahkan kami dalam hal ini kami akan terima asal Kintani bahagia dengan pria pilihannya,” ujar Bu Anggini pasrah. “Ya, semua ini adalah kesalahan kita termasuk Uda Gindo selaku Paman kandung Kintani yang sejak awal tak pernah memberi penjelasan tentang pemahaman adat-istiadat kita secara detil. Terjalinnya hubungan kasih antara Kintani dan Ridwan sedari semula merupakan titik awal semua ini terjadi, jika harus menanggung malu karena adat-istiadat kita semua tentun
Kabar kepulangan Kintani ke rumah orang tuanya pagi itu diketahui oleh Pak Gindo melalui sambungan telpon yang disampaikan oleh Bu Anggini, tentu saja Paman kandung dokter muda cantik itu segera datang bersama keluarganya. Pak Gindo berfikir Kintani pulang karena menyadari kesalahan telah menentang keinginan mereka untuk menjodohkannya dengan Romi, makanya Pak Gindo begitu semangat pagi itu membawa putra dan istrinya menemui Kintani. “Assalamualaikum,” ucap Pak Gindo saat tiba di depan pintu rumah Pak Wisnu. “Waalaikum salam,” sahut Pak Wisnu sekeluarga yang pagi itu duduk di ruangan depan. Pak Wisnu dan Bu Anggini menghampiri mereka lalu mempersilahkan duduk di ruangan depan itu, sementara Kintani ke belakang membuatkan minum. “Alhamdulillah jika Kintani udah kembali Wisnu, kami turut cemas karena lebih dari 3 bulan nggak ada kabarnya,” ucap Pak Gindo. “Ya, Alhamdulillah Uda. Akhirnya Kintani dapat ditemukan dan kami bawa pulang ke rumah ini,” ucap Pak Wisnu pula. “Ditemukan d
Jam 9 malam mobil yang dikemudikan Pak Wisnu dengan Ridwan duduk di sebelahnya sementara Kintani bersama Ibunya di belakang, tiba di kenagarian MK tepatnya di rumah kedua orang tua Ridwan. Pak Rustam dan Bu Suci serta Fitria terkejut melihat mobil Pak Wisnu datang kembali berkunjung, mereka lebih terkejut lagi ketika melihat Ridwan juga turun dari mobil itu. “Assalamualaikum,” ucap Pak Wisnu, Ridwan, Kintani dan Bu Anggini begitu tiba di teras rumah di hadapan Pak Rustam sekeluarga. “Waalaikum salam, ada apa ini kenapa Ridwan juga ada bersama kalian?!” sahut Pak Rustam diiringi rasa kaget dan penasarannya. “Hemmm, sabar Ayah. Sebaiknya kita persilahkan Pak Wisnu dan keluarga masuk dulu,” ujar Ridwan. “Oh iya, silahkan masuk Wisnu dan yang lainnya,” ajak Pak Rustam. Mereka pun duduk bersama di ruangan depan, sementara Fitria Adik kandung Ridwan ke belakang membuatkan minum. “Sangat menganggetkan dan mengherankan kenapa kamu bisa bersama Pak Wisnu dan keluarga, Ridwan?” tanya Pak
Bu Anggini langsung menoleh ke arah Pak Wisnu, ia berfikir suaminya itu akan marah mendengar penuturan Kintani yang menegaskan jika masalah dia tak ingin pulang bukan hanya karena perjodohannya dengan Romi saja melainkan juga karena tak ingin dipisahkan lagi dengan Ridwan. “Kintani, ini nggak akan mudah terlaksana meskipun kami berdua akan merestui kalian. Sanksi adat kita sangat berat bukan saja kalian akan terbuang dari adat tapi juga harta pusaka keluarga tidak akan bisa diwariskan terutama pada kamu Kintani,” jelas Pak Wisnu sambil menarik napas dalam-dalam. “Ayah, apapun itu sanksinya aku siap menerimanya termasuk tak mendapatkan harta warisan keluarga. Bagiku harta bukanlah segalanya karena bisa dicari asalkan mau berusaha,” Kintani kembali menegaskan. “Tapi dalam berumah tangga tak cukup hanya atas dasar cinta dan kasih sayang saja,” ujar Pak Wisnu. “Nggak apa-apa Ayah, meskipun nanti kami hidup apa adanya yang terpenting kami bahagia,” ulas Kintani. “Kamu dengar Ridwan be
Pagi di kawasan kenagarian P terlihat cerah, para warga yang umumnya pekebun sebagian sudah berangkat ke lahan perkebunan mereka. Demikian pula dengan para pekerja Pak Wisnu yang saban hari bekerja memanen buah kelapa sawit serta membersihkan lahan perkebunan, mereka pun telah bersiap-siap untuk berangkat. Kalau biasanya Pak Wisnu selalu menyusul mereka selepas tengah hari atau sesudah zhuhur, namun hari itu dia menyuruh salah seorang pekerjanya untuk mencatat banyaknya serta mengantar buah sawit yang telah dipanen ke pabrik. Adapun alasan Pak Wisnu hari itu tak dapat pergi ke lahan serta mengurus segala sesuatunya mengenai urusan kebun, karena dia dan istrinya akan ke Kota Padang menemui Kintani di rumah orang tua angkat Ridwan. “Apa nggak sebaiknya kita beritahu Uda Gindo dulu sebelum kita berangkat menyusul Kintani, Anggini?” Pak Wisnu bertanya sembari merapikan pakaian yang ia kenakan di kamar. “Nggak usah Bang, yang ada nanti dia akan ikut dan akan menimbulkan masalah di Pada
“Bapak tahu ini hal yang sulit terutama bagi kamu Kintani, tapi keberadaanmu di sini harus tetap diberitahu pada Ayah dan Ibumu di kampung. Apalagi Ibumu sekarang jatuh sakit karena sudah 3 bulan lamanya tak ada kabar tentang kamu setelah pergi dari rumah,” tutur Pak Hendra. “Tapi Pak kalau diberitahu aku ada di sini, kedua orang tuaku itu pasti akan datang dan membawaku pulang. Itu artinya aku akan tetap dijodohkan dengan pria yang sama sekali nggak aku cintai,” ujar Kintani. “Kamu tenang saja Kintani, Bapak akan membelamu nantinya jika mereka datang ke sini. Tujuan utama memberitahu keberadaanmu di sini untuk kesembuhan Ibumu, jika memang kamu tidak ingin pulang dengan alasan akan dijodohkan dan mereka nanti memaksa Bapak tidak akan membiarkannya,” tegas Pak Hendra. “Ya Kintani, Ibu juga akan membelamu. Ridwan, sekarang kamu telpon kedua orang tua Kintani. Beritahu saja jika Kintani ada di sini,” ujar Bu Indri, Ridwan mengangguk lalu meraih ponsel yang ia taruh di meja. “Hallo,
“Aneh juga kenapa tiba-tiba saja kedua orang tua Kintani meminta tolong sama kamu,” Pak Hendra heran. “Awalnya sih saat hari pertama Kintani pergi dari rumah, mereka sempat curiga kalau aku yang meminta Kintani pergi dari rumah itu dan menyusulku ke Jakarta. Tapi setelah aku jelasin bahwa aku sama sekali tak mengetahui bahkan Kintani tak tahu alamatku di Jakarta, mereka pun yakin dan malahan meminta nomor kontak dan bantuanku untuk mencari keberadaan Kintani,” jelas Ridwan. “Jadi begitu cerita, Bapak pikir mereka langsung minta tolong sama kamu untuk mencari Kintani.” “Ya nggaklah Pak, mereka kan nggak tahu nomor kontakku gimana mereka bisa minta tolong. Mereka datang ke rumah Ayah dan Ibu di kampung dan dari situlah mereka mengetahui nomor kontak dan minta tolong sama aku,” tutur Ridwan. Sore hari sekitar jam 5 lewat apa yang dikatakan Bu Indri pun benar adanya, seorang wanita cantik memakai pakaian kerja putih-putih tampak memasuki halaman rumah kedua orang tua angkat Ridwan itu
Pagi-pagi sekali Ridwan telah bangun setelah mempersiapkan segala sesuatunya yang akan dibawa ke Bandara menuju Kota Padang, tak beberapa menit setelah Ia pun sarapan dengan Gita, Aldi dan Nisa di meja makan di ruangan tengah lantai bawah. “Sementara kamu akan ke Padang siapa yang kamu suruh untuk tinggal di rumahmu itu, Ridwan?” tanya Gita. “Setelah aku pikir-pikir lagi apa tidak sebaiknya Kak Gita dan juga Bang Aldi tinggal di sana aja, sementara rumah ini bisa disewakan nantinya,” usul Ridwan. “Hemmm, nggaklah Ridwan. Rumah itu milikmu dan kamu cepat atau lambatnya pasti akan menikah juga,” ujar Gita. “Loh, nggak jadi masalah. Rumah itu terlalu besar bisa didiami beberapa kepala keluarga, lagian kalian kan bukan orang lain lagi bagi aku.” “Iya sih, tapi biar kami tinggal di sini aja. Kalau memang belum ada yang kamu minta untuk menjaga rumah itu selama kamu pergi ke Padang ada baiknya kamu mencari satpam untuk berjaga-jaga di sana,” saran Gita. “Ya Kak, aku memang mempunyai r
3 bulan kemudian.... Minggu pagi sekitar jam 10 Ridwan beserta Gita sekeluarga pergi ke sebuah rumah mewah yang sangat besar dengan perkarangan depan dan belakang juga luas, lokasi rumah itu tidak jauh dari rumah Gita karena berada satu kompleks. Mereka berangkat dengan mengendarai mobil pajero sport milik dan kemudikan oleh Ridwan, mobil itu Ridwan ambil sekitar satu minggu yang lalu di show room usahanya sendiri. Melihat dari fisik bangunan rumah mewah yang mereka tuju ditasir biaya pembuatannya hampir 350 milyar, lalu apa tujuan Ridwan beserta Gita sekeluarga ke sana? Setelah memarkirkan mobil pajero sport di halaman rumah mewah itu, Ridwan beserta Gita sekeluarga pun turun lalu berjalan ke teras. Saat tiba di depan pintu Ridwan bukannya mengetuk atau memencet bel yang ada, melainkan merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sebuah kunci lalu dengan santainya membuka pintu rumah mewah itu. “Mari Kak, Bang kita masuk,” ajak Ridwan, Gita dan Aldi mengangguk seraya tersenyum lalu