“Penyebabnya karena ternyata kalian sepesukuan dan itu dilarang oleh adat-istiadat kita, maka dari itu kami memutuskan untuk membatalkan pertunanganmu dan Ridwan. Bukan hanya itu saja Kintani, kalian berdua terpaksa kami pisahkan dan tidak boleh lagi berhubungan seperti yang telah kalian jalin 2 tahun belakangan ini,” tutur Paman Gindo.
“Kalian jahat! Kalian tak punya hati! Tega-teganya kalian akan memisahkan aku dengan Uda Ridwan!” luapan emosi Kintani tak terbendung, dia menangis tersedu-sedu tak terima dengan kenyataan itu.
“Paman tahu ini bukan salah kalian, tapi ini benar-benar tidak bisa dilanjutkan. Karena bukan hanya kamu saja, tapi seluruh keluarga kita akan mendapat malu, Kintani,” Paman Gindo berusaha untuk memberi pengertian pada keponakannya yang tengah histeris itu.
“Ibu...!” tak kuasa menahan rasa pilunya, Kintani berdiri dari duduk bersimpuhnya lalu berlari kepangkuan Bu Anggini yang juga berlinang air mata.
Saking tak kuat menahan semua itu, Kintani pun jatuh pingsan dan tentu saja membuat kedua orang tua dan Pamannya semakin panik. Kintani dibawa dan dibaringkan di dalam kamarnya, setelah itu Pak Wisnu dan Paman Gindo keluar kembali ke ruangan tengah sementara Bu Anggini tetap menemani putrinya yang terbaring pingsan di kamarnya itu.
“Kalau sudah begini baru kita ingat semua tentang hal penting yang musti kita jelaskan berkaitan dengan pemahaman adat-istiadat dan tradisi pada anak, cucu, dan kemenakan,” tutur Pak Wisnu yang duduk tersandar di ruangan depan bersama Paman Gindo.
“Aku sama sekali tak menyangka bakal terjadi seperti ini di keluarga kita, ini merupakan masalah yang cukup berat untuk kita hadapi. Tidak akan mudah memberi pemahaman pada Kintani dalam kondisi dia seperti ini, sebaiknya kita tunggu saat yang tepat untuk memberi pengertian, beberapa hari ke depan beri kesempatan dia untuk dapat menenangkan dirinya dulu,” ujar Paman Gindo.
Beberapa menit kemudian Bu Anggini terlihat keluar dari kamar putrinya, ia langsung bergabung duduk di ruangan depan tempat tadinya akan digelar acara pertunangan.
“Kintani sudah sadar, Anggini?” tanya Pak Wisnu.
“Belum Bang,” Bu Anggini memanggil suaminya dengan panggilan Abang.
“Nggak usah terlalu cemas Wisnu, apa yang dialami Kintani hal yang wajar karena tekanan batin yang tak mampu ia tahan, nggak akan lama pasti dia akan sadar kembali,” ujar Paman Gindo.
Sementara Ridwan dan keluarganya telah tiba di rumah mereka kembali, sepeninggal supir yang sekaligus menyewakan mobilnya untuk membawa keluarga Ridwan tadi, Pak Rustam sekeluarga duduk di ruangan tengah.
“Ridwan, sekarang waktunya untuk Ayah ceritakan kenapa kamu Ayah bawa pulang sebelum acara pertunangan itu digelar,” Pak Rustam mengawali percakapan mereka di ruang tengah itu.
“Ya, Ayah,” meskipun penasaran Ridwan berusaha untuk sabar dan tenang mendengar Ayahnya akan menceritakan semuanya.
“Begini Ridwan, pertunanganmu dengan Kintani terpaksa kami batalkan. Alasannya ternyata kalian sepesukuan dan itu dilarang oleh adat-istiadat Minangkabau,” tutur Pak Rustam dengan nada yang berat.
“Duaaaaaar...!” bagai petir menyambar di siang bolong saat Ridwan mendengarkan penjelasan dari Ayahnya itu, badannya terasa panas dingin seakan terserang demam, bibirnya gemetar dan kelu sulit untuk berucap.
“Ja..jadi, bagaimana Ayah?” Ridwan terbata-bata tak tahu apa yang musti ia ucap dan pertanyakan.
“Tak seorangpun dari pihak kita maupun pihak Kintani menyangka akan terjadi seperti ini, perlu kamu ketahui Ridwan sepesukuan ataupun sesuku merupakan saudara dan tidak dibolehkan menjalin cinta kasih apalagi menikah. Itu berlaku sejak dulunya hingga sekarang ini,” tutur Pak Rustam.
“Kamu yang sabar ya, Nak? Semua itu tidak bisa ditentang, karena sebagai orang Minang dituntut harus selalu menjunjung tinggi adat-istiadat dan menjalin cinta kasih sepesukuan merupakan hal yang paling ditentang sejak dulunya,” tambah Bu Suci berusaha menenangkan hati Ridwan yang kini terasa hancur berkeping-keping.
“Aku benar-benar mencintai Kintani, Ibu.”
“Iya Ibu tahu itu, tapi kita tidak bisa bersikeras menentang hal yang memang telah dilarang keras di dalam adat dan suku kita. Kamu dan Kintani sama-sama bersuku Caniago, meskipun tak ada pertalian darah, di dalam adat-istiadat yang masih berlaku hingga saat ini kalian merupakan saudara.”
Remuk-redam rasanya dada Ridwan menahan gejolak yang dapat mengundang air mata, ia tertunduk lesu dengan sekujur tubuh gemetar. Untuk pertama kalinya ia jatuh hati dan benar-benar mencintai seorang gadis, dan untuk pertama kali pula ia merasakan pahitnya sebuah kenyataan.
“Kalian berdua harus berusaha untuk saling melupakan, untuk itu Ayah mohon juga kamu mau melepaskan kartu ponselmu dan menggantinya dengan yang baru. Begitupula dengan nomor kontak Kintani yang ada ponselmu musti kamu hapus saat ini juga, aplikasi tempat biasa kalian berkomunikasi juga dihapus semuanya,” pinta Pak Rustam.
“Iya Ayah,” Ridwan memberi ponselnya pada Fitria dengan maksud meminta Adik kandung itu untuk melepaskan simcard di ponselnya kemudian menghapus semua aplikasi chat.
Jatuh kedalam air mata Ridwan karena berusaha menahan sekuat mungkin agar tak tertumpah di pipinya, sementara Fitria tak mampu membendung air matanya, sambil mengeluarkan simcard dan menghapus seluruh aplikasi serta nomor kontak Kintani dari ponsel Kakaknya, ia menangis tersedu-sedu.
“Satu hal lagi yang harus kamu lakukan, Ridwan. Besok kamu tidak boleh lagi tinggal dan bekerja di Kota Padang, kamu harus merantau ke Jakarta temui Pamanmu yang ada di sana,” kembali Pak Rustam meminta pada putranya.
“Baik Ayah, namun sebelum ke Jakarta aku minta waktu agak sehari untuk singgah di Kota Padang. Di samping sebagian besar pakaianku berada di rumah Pak Hendra dan Bu Indri, aku juga mau pamitan pada mereka serta teman-temanku pemilik toko dan pedagang di pasar raya,” mohon Ridwan kepada Ayahnya.
“Iya, Ayah izinkan. Setelah itu kamu harus meninggalkan Kota Padang, Ayah akan memberitahu Pamanmu sekarang juga, Suci telpon Ramli,” ujar Pak Rustam lalu meminta istrinya menghubungi Ramli Pamannya Ridwan.
“Assalamualikum, Uni,” sapa Paman Ramli mengangkat panggilan di ponselnya.
“Waalaikum salam, Ramli,” sahut Bu Suci.
“Ada apa, Uni?”
“Uda Rustammu aja yang menjelaskan,” Bu Suci memberikan ponselnya pada Pak Rustam.
“Ramli, untung tak dapat dikejar malang tak dapat diraih. Rencana pertunangan keponakanmu Ridwan dengan Kintani terpaksa dibatalkan.” tutur Pak Rustam diselingi petatah petitih.
“Dibatalkan? Kenapa bisa begitu?” Paman Ramli terkejut.
“Penyebabnya karena Ridwan dan Kintani sepesukuan.”
“Astaqfirullah, lantas bagaimana tanggapan keluarga Kintani saat mengetahui semua itu?”
“Ya mau bagaimana lagi, semuanya di luar dugaan kita semua. Tak ada yang dapat kita salahkan dalam hal ini, termasuk Ridwan dan Kintani yang memang tidak tahu sejak awal mereka bertemu,” tutur Pak Rustam.“Aku yang salah dalam hal ini, Uda. Karena sulitnya kehidupan dulu di kampung, hingga aku membawa keluargaku merantau. Sejak kecil Ridwan tak pernah aku ajarkan dan memberi pemahaman tentang adat-istiadat serta sukunya sendiri, yang semua itu merupakan kewajibanku sebagai Pamannya,” ujar Paman Ramli menyalahkan dirinya sendiri.“Nasi telah terlanjur menjadi bubur, Ramli. Tak ada gunanya kita menyesali diri. Perkembangan zaman jualah yang menjadi salah satu penyebabnya, hingga para pemangku adat sulit memberi pemahaman pada anak, cucu, dan kemenakan mereka. Kalaupun dijelaskan dan diberi pemahaman, anak-anak sekarang mana ada yang saat bertemu dan berkenalan menanyakan tentang suku, paling mereka hanya ingin mengetahui nama serta daerah asal masing-masing,” tutur Pak Rustam yang tak m
“Ya, Kintani. Ayah juga berharap atas kejadian ini kamu tidak benci kepada Ayah dan Ibu serta Paman Gindomu, karena kami sama sekali tidak melarang dan menentangmu berhubungan dengan Ridwan, melainkan adat-istiadat kitalah yang tidak membolehkan,” tutur Pak Wisnu.“Aku nggak akan mungkin benci pada Ayah dan Ibu, yang aku sesali Paman Gindo yang tak pernah memberi pemahaman tentang rumpun suku kita, termasuk ada larangan menjalin hubungan cinta kasih sepesukuan,” ujar Kintani.“Pamanmu itu secara tidak langsung telah menyadari kesalahannya, hanya saja perlu juga kamu ketahui di zaman yang serba modern ini kalaupun seorang Paman begitu getol memberi nasehat dan pemahaman terhadap keponakannya tentang adat-istiadat, tetap saja anak-anak sekarang sulit menerapkan dalam pergaulan sehari-hari. Apakah pernah terpikirkan olehmu saat awal berkenalan dengan Ridwan menanyakan sukunya?” Pak Wisnu menjelas sembari bertanya, Kintani hanya gelengkan kepala.“Begitu juga dengan Ridwan, Ayah rasa tak
“Kok bisa begitu, Ridwan?” sambung Pak Hendra. “Selama 2 tahun lebih kami saling kenal lalu menjalin hubungan, kami sama sekali nggak tahu jika ternyata kami sepesukuan. Hal itulah yang menyebabkan pertunangan kami dibatalkan,” tutur Ridwan. “Hah! Kalian sesuku?” kembali Bu Indri terkejut. “Iya Bu, kami sama-sama bersuku Caniago. Dan menurut kedua orang tua kami serta Paman dari Kintani, kami berdua merupakan saudara yang dilarang untuk menjalin hubungan kasih apalagi bertunangan dan menikah,” ujar Ridwan dengan nada yang terdengar berat. “Malang sekali nasibmu, Nak. Padahal Ibu melihat kalian pasangan yang serasi,” Bu Indri ikut sedih. “Berarti adat-istiadat di kampungmu masih kental dan terjaga dengan baik, meskipun sekarang zaman semakin canggih dan berteknologi modern. Masyarakat di sana masih menjunjung tinggi tradisi dari para leluhur, tak lapuk ditimpa hujan dan lekang diterpa panas begitulah kokohnya. Sayangnya pencerahan mengenai suku di Minangkabau jarang sekali didengu
Hampir jam 3 sore hujan di kota itu benar-benar reda, Ridwan kembali berpamitan pada orang tua angkatnya untuk menuju pasar raya tempat selama ini ia bekerja mengais rezeki sehari-hari. Seperti biasanya Ridwan berangkat kesana dengan naik angkot yang berlalu-lalang di jalan raya yang ada di depan gang jalan masuk menuju kediamannya itu. Kurang lebih 15 menit Ridwan pun tiba dipasar raya Padang, tampa menunggu waktu lama lagi Ridwan mendatangi satu-persatu pemilik toko dan pedagang di sana yang selama ini pernah ia bantu dan memberi upah kepadanya untuk berpamitan. Ridwan memang tidak menceritakan alasan pergi merantau ke Jakarta disebabkan pertunangannya gagal di kampung, karena di samping pihak keluarga Kintani dan keluarganya minta dirahasiakan, Ridwan juga tentunya secara pribadi tak ingin membuka hal itu pada teman-temannya di pasar raya. Akan tetapi meskipun keseluruhan para pemilik toko dan pedagang yang pernah ia bantu itu tak mengetahui alasan Ridwan merantau, mereka semuany
Kini Paman Ramli terbilang sukses sebagai perantau karena telah memiliki toko dan rumah sendiri serta kendaraan pribadi, ia juga telah berkeluarga dengan wanita yang bukan dari keturunan Minang bernama Ayu. Paman Ramli juga telah dikarunia seorang putra yang saat ini masih duduk di kelas 2 SMA, karena jarang pulang ke kampung istri dan putranya tidak terlalu mengenal akan saudara-saudaranya di Tanah Minang.Lebih 1 jam mobil yang kemudikan Paman Ramli tiba di depan rumah bertingkat 2 di kawasan salah satu komplek, tampa mau dibantu wanita yang di duga sebagai pembantu rumah itu Ridwan membawa sendiri barang-barangnya ke dalam rumah.“Nah inilah rumah Paman, Ridwan.”“Besar sekali Paman, bertingkat lagi,” puji Ridwan.“Rumah Paman ini belum apa-apanya dibandingkan rumah-rumah mewah di komplek ini,” Paman Ramli merendah.“Tante Ayu dan Gilang kemana, Paman? Kok dari tadi nggak kelihatan?”“Tantemu jam segini masih di toko, sementara Gilang belum pulang dari sekolah,” jawab Paman Ramli.
Sementara di kenegarian P tepatnya di sebuah bangunan rumah yang besar serta tergolong mewah di desa itu, Pak Wisnu dan Bu Anggini yang merupakan kedua orang tua Kintani hidup dalam kemewahan.Orang tua Kintani memiliki banyak bidang kelapa sawit pribadi di kawasan desa itu, belum lagi tanah yang mereka beli di desa lain dan sekarang juga telah dijadikan perkebunan kelapa sawit. Tak heran jika setiap bulannya atau setiap kali panen, Pak Wisnu dan Bu Anggini mendapatkan uang ratusan juta rupiah, karena harga kelapa sawit pada saat itu telah mencapai Rp. 2.500,- per kilogramnya.Setiap panen Pak Wisnu selalu mentransfer uang ke rekening Kintani, meskipun terkadang Kintani sendiri tidak tahu apalagi meminta. Pak Wisnu sengaja melakukan itu karena tak ingin putrinya yang kini tengah kuliah di Fakultas Kedokteran, merasa panik jika sewaktu-waktu ada keperluan mendadak, baik menyangkut keperluan di kampus maupun untuk keperluan sehari-harinya.Sore itu pula di depan rumah mewah milik kedua
Kedatangan Kintani di kos-kosan disambut ceria oleh kedua teman dekatnya bernama Dila dan Eva, masing-masing mereka menempati ruangan kos di sisi kanan dan kiri dari ruangan kos yang ditempati Kintani. Setelah sholat magrib kedua sahabatnya itu tak sabar lagi ingin bercakap-cakap karena kurang lebih 4 minggu yang lalu mereka libur semester, mereka berdua langsung masuk ke ruangan kos Kintani. “Waduh! Kalian ngagetin aja. Nggak ngetuk pintu dulu main terobos aja,” seru Kintani terkejut yang saat itu tengah melipat mukena yang dipakainya barusan untuk sholat magrib. “He..he..he, maaf kami kangen,” ujar Dila diiring tawanya. “Aku juga kangen sama kalian, Yuk kita makan malam bareng. Kebetulan nih Ibuku buat rendang yang pastinya super lezat,” ajak Kintani kemeja makan sembari menunjukan rendang yang ia bawa dari kampung pada Dila dan Eva. “Hemmm, padahal aku udah makan tadi sore. Tapi aroma rendang buatan Ibumu ini buat aku laper lagi,” ujar Eva. “Ya udah kalau gitu yuk kita makan,
“Bagaimana tanggapan orang tuamu mengenai Bang Ridwan?” “Maksudmu?” Kintani balik bertanya. “Ya, apakah kedua orang tuamu merestui hubungan kalian? Maaf sebelumnya karena kamu sendiri bilang jika Bang Ridwan hanya tamatan SMK dan bekerja serabutan di pasar raya.” “Oh, kedua orang tuaku nggak mempermasalahkan semua itu. Ayah dan Ibuku sejak dulu tak pernah melarang dan mengekangku berteman dengan siapa saja, termasuk menjalin hubungan dengan seorang pria. Asal pria itu jika nggak kuliah lagi, minimal dia memiliki pekerjaan bukan seorang pengangguran,” tutur Kintani. “Pandangan dan cara berfikir kedua orang tuamu sangat bijaksana, mereka sama sekali tak mempersoalkan perbedaan status sosial seseorang. Inilah yang membuat aku dan Irfan ragu untuk saling mengenal dengan kedua orang tua kami, secara Irfan tergolong lebih segalanya dibandingkan aku,” ujar Dila. “Harta kekayaan merupakan salah satu titipan Allah SWT yang setiap saat bisa saja diambil-Nya kembali, saat ini mungkin kita l
“Aku nggak menyangka sekeras itu keinginanmu Kintani hingga kamu berani menentang adat-istiadat kita yang telah diwarisi turun-temurun dari para leluhur, Aku juga tak mengerti mengapa kalian sebagai orang tuanya mendukung hal yang dapat membuat keluarga besar kita ini akan dipandang buruk di dalam kaum suku caniago,” tutur Pak Gindo. “Kami juga sama sekali tak menginginkan ini terjadi Uda Gindo, akan tetapi kami pun tak bisa melawan takdir dari Allah SWT. Kintani dan Ridwan nampaknya takan bisa dipisahkan lagi, jika Uda menyalahkan kami dalam hal ini kami akan terima asal Kintani bahagia dengan pria pilihannya,” ujar Bu Anggini pasrah. “Ya, semua ini adalah kesalahan kita termasuk Uda Gindo selaku Paman kandung Kintani yang sejak awal tak pernah memberi penjelasan tentang pemahaman adat-istiadat kita secara detil. Terjalinnya hubungan kasih antara Kintani dan Ridwan sedari semula merupakan titik awal semua ini terjadi, jika harus menanggung malu karena adat-istiadat kita semua tentun
Kabar kepulangan Kintani ke rumah orang tuanya pagi itu diketahui oleh Pak Gindo melalui sambungan telpon yang disampaikan oleh Bu Anggini, tentu saja Paman kandung dokter muda cantik itu segera datang bersama keluarganya. Pak Gindo berfikir Kintani pulang karena menyadari kesalahan telah menentang keinginan mereka untuk menjodohkannya dengan Romi, makanya Pak Gindo begitu semangat pagi itu membawa putra dan istrinya menemui Kintani. “Assalamualaikum,” ucap Pak Gindo saat tiba di depan pintu rumah Pak Wisnu. “Waalaikum salam,” sahut Pak Wisnu sekeluarga yang pagi itu duduk di ruangan depan. Pak Wisnu dan Bu Anggini menghampiri mereka lalu mempersilahkan duduk di ruangan depan itu, sementara Kintani ke belakang membuatkan minum. “Alhamdulillah jika Kintani udah kembali Wisnu, kami turut cemas karena lebih dari 3 bulan nggak ada kabarnya,” ucap Pak Gindo. “Ya, Alhamdulillah Uda. Akhirnya Kintani dapat ditemukan dan kami bawa pulang ke rumah ini,” ucap Pak Wisnu pula. “Ditemukan d
Jam 9 malam mobil yang dikemudikan Pak Wisnu dengan Ridwan duduk di sebelahnya sementara Kintani bersama Ibunya di belakang, tiba di kenagarian MK tepatnya di rumah kedua orang tua Ridwan. Pak Rustam dan Bu Suci serta Fitria terkejut melihat mobil Pak Wisnu datang kembali berkunjung, mereka lebih terkejut lagi ketika melihat Ridwan juga turun dari mobil itu. “Assalamualaikum,” ucap Pak Wisnu, Ridwan, Kintani dan Bu Anggini begitu tiba di teras rumah di hadapan Pak Rustam sekeluarga. “Waalaikum salam, ada apa ini kenapa Ridwan juga ada bersama kalian?!” sahut Pak Rustam diiringi rasa kaget dan penasarannya. “Hemmm, sabar Ayah. Sebaiknya kita persilahkan Pak Wisnu dan keluarga masuk dulu,” ujar Ridwan. “Oh iya, silahkan masuk Wisnu dan yang lainnya,” ajak Pak Rustam. Mereka pun duduk bersama di ruangan depan, sementara Fitria Adik kandung Ridwan ke belakang membuatkan minum. “Sangat menganggetkan dan mengherankan kenapa kamu bisa bersama Pak Wisnu dan keluarga, Ridwan?” tanya Pak
Bu Anggini langsung menoleh ke arah Pak Wisnu, ia berfikir suaminya itu akan marah mendengar penuturan Kintani yang menegaskan jika masalah dia tak ingin pulang bukan hanya karena perjodohannya dengan Romi saja melainkan juga karena tak ingin dipisahkan lagi dengan Ridwan. “Kintani, ini nggak akan mudah terlaksana meskipun kami berdua akan merestui kalian. Sanksi adat kita sangat berat bukan saja kalian akan terbuang dari adat tapi juga harta pusaka keluarga tidak akan bisa diwariskan terutama pada kamu Kintani,” jelas Pak Wisnu sambil menarik napas dalam-dalam. “Ayah, apapun itu sanksinya aku siap menerimanya termasuk tak mendapatkan harta warisan keluarga. Bagiku harta bukanlah segalanya karena bisa dicari asalkan mau berusaha,” Kintani kembali menegaskan. “Tapi dalam berumah tangga tak cukup hanya atas dasar cinta dan kasih sayang saja,” ujar Pak Wisnu. “Nggak apa-apa Ayah, meskipun nanti kami hidup apa adanya yang terpenting kami bahagia,” ulas Kintani. “Kamu dengar Ridwan be
Pagi di kawasan kenagarian P terlihat cerah, para warga yang umumnya pekebun sebagian sudah berangkat ke lahan perkebunan mereka. Demikian pula dengan para pekerja Pak Wisnu yang saban hari bekerja memanen buah kelapa sawit serta membersihkan lahan perkebunan, mereka pun telah bersiap-siap untuk berangkat. Kalau biasanya Pak Wisnu selalu menyusul mereka selepas tengah hari atau sesudah zhuhur, namun hari itu dia menyuruh salah seorang pekerjanya untuk mencatat banyaknya serta mengantar buah sawit yang telah dipanen ke pabrik. Adapun alasan Pak Wisnu hari itu tak dapat pergi ke lahan serta mengurus segala sesuatunya mengenai urusan kebun, karena dia dan istrinya akan ke Kota Padang menemui Kintani di rumah orang tua angkat Ridwan. “Apa nggak sebaiknya kita beritahu Uda Gindo dulu sebelum kita berangkat menyusul Kintani, Anggini?” Pak Wisnu bertanya sembari merapikan pakaian yang ia kenakan di kamar. “Nggak usah Bang, yang ada nanti dia akan ikut dan akan menimbulkan masalah di Pada
“Bapak tahu ini hal yang sulit terutama bagi kamu Kintani, tapi keberadaanmu di sini harus tetap diberitahu pada Ayah dan Ibumu di kampung. Apalagi Ibumu sekarang jatuh sakit karena sudah 3 bulan lamanya tak ada kabar tentang kamu setelah pergi dari rumah,” tutur Pak Hendra. “Tapi Pak kalau diberitahu aku ada di sini, kedua orang tuaku itu pasti akan datang dan membawaku pulang. Itu artinya aku akan tetap dijodohkan dengan pria yang sama sekali nggak aku cintai,” ujar Kintani. “Kamu tenang saja Kintani, Bapak akan membelamu nantinya jika mereka datang ke sini. Tujuan utama memberitahu keberadaanmu di sini untuk kesembuhan Ibumu, jika memang kamu tidak ingin pulang dengan alasan akan dijodohkan dan mereka nanti memaksa Bapak tidak akan membiarkannya,” tegas Pak Hendra. “Ya Kintani, Ibu juga akan membelamu. Ridwan, sekarang kamu telpon kedua orang tua Kintani. Beritahu saja jika Kintani ada di sini,” ujar Bu Indri, Ridwan mengangguk lalu meraih ponsel yang ia taruh di meja. “Hallo,
“Aneh juga kenapa tiba-tiba saja kedua orang tua Kintani meminta tolong sama kamu,” Pak Hendra heran. “Awalnya sih saat hari pertama Kintani pergi dari rumah, mereka sempat curiga kalau aku yang meminta Kintani pergi dari rumah itu dan menyusulku ke Jakarta. Tapi setelah aku jelasin bahwa aku sama sekali tak mengetahui bahkan Kintani tak tahu alamatku di Jakarta, mereka pun yakin dan malahan meminta nomor kontak dan bantuanku untuk mencari keberadaan Kintani,” jelas Ridwan. “Jadi begitu cerita, Bapak pikir mereka langsung minta tolong sama kamu untuk mencari Kintani.” “Ya nggaklah Pak, mereka kan nggak tahu nomor kontakku gimana mereka bisa minta tolong. Mereka datang ke rumah Ayah dan Ibu di kampung dan dari situlah mereka mengetahui nomor kontak dan minta tolong sama aku,” tutur Ridwan. Sore hari sekitar jam 5 lewat apa yang dikatakan Bu Indri pun benar adanya, seorang wanita cantik memakai pakaian kerja putih-putih tampak memasuki halaman rumah kedua orang tua angkat Ridwan itu
Pagi-pagi sekali Ridwan telah bangun setelah mempersiapkan segala sesuatunya yang akan dibawa ke Bandara menuju Kota Padang, tak beberapa menit setelah Ia pun sarapan dengan Gita, Aldi dan Nisa di meja makan di ruangan tengah lantai bawah. “Sementara kamu akan ke Padang siapa yang kamu suruh untuk tinggal di rumahmu itu, Ridwan?” tanya Gita. “Setelah aku pikir-pikir lagi apa tidak sebaiknya Kak Gita dan juga Bang Aldi tinggal di sana aja, sementara rumah ini bisa disewakan nantinya,” usul Ridwan. “Hemmm, nggaklah Ridwan. Rumah itu milikmu dan kamu cepat atau lambatnya pasti akan menikah juga,” ujar Gita. “Loh, nggak jadi masalah. Rumah itu terlalu besar bisa didiami beberapa kepala keluarga, lagian kalian kan bukan orang lain lagi bagi aku.” “Iya sih, tapi biar kami tinggal di sini aja. Kalau memang belum ada yang kamu minta untuk menjaga rumah itu selama kamu pergi ke Padang ada baiknya kamu mencari satpam untuk berjaga-jaga di sana,” saran Gita. “Ya Kak, aku memang mempunyai r
3 bulan kemudian.... Minggu pagi sekitar jam 10 Ridwan beserta Gita sekeluarga pergi ke sebuah rumah mewah yang sangat besar dengan perkarangan depan dan belakang juga luas, lokasi rumah itu tidak jauh dari rumah Gita karena berada satu kompleks. Mereka berangkat dengan mengendarai mobil pajero sport milik dan kemudikan oleh Ridwan, mobil itu Ridwan ambil sekitar satu minggu yang lalu di show room usahanya sendiri. Melihat dari fisik bangunan rumah mewah yang mereka tuju ditasir biaya pembuatannya hampir 350 milyar, lalu apa tujuan Ridwan beserta Gita sekeluarga ke sana? Setelah memarkirkan mobil pajero sport di halaman rumah mewah itu, Ridwan beserta Gita sekeluarga pun turun lalu berjalan ke teras. Saat tiba di depan pintu Ridwan bukannya mengetuk atau memencet bel yang ada, melainkan merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sebuah kunci lalu dengan santainya membuka pintu rumah mewah itu. “Mari Kak, Bang kita masuk,” ajak Ridwan, Gita dan Aldi mengangguk seraya tersenyum lalu