Kintani merupakan mahasiswi yang berprestasi di kampus itu, di setiap semester dia selalu mendapatkan IPK tertinggi, hal itu bukan tampa alasan karena sejak dari SMP dulu dia sosok siswi yang rajin membaca dan pandai memanfaatkan waktu luang di luar jam sekolah atau kuliahnya di perpustakaan ketimbang bermain ataupula menghabiskan waktu itu di kantin. Seperti siang itu dia dan Eva berada di dalam perpustakaan kampus di waktu jam jeda kuliah, Eva akhir-akhir ini saja mau bergabung dengan Kintani ke perpustakaan itu setelah menyadari beberapa semester sebelumnya IPK yang ia peroleh sangat rendah. “Di perpustakaan ini buku-bukunya lengkap, kamu bisa mencari mana buku yang berkaitan dengan mata kuliah yang kamu anggap dua semester lalu nilainya paling rendah,” tutur Kintani. “Ya Kintani, selama ini aku pikir cukup dengan mencari materi-materi itu melalui internet, ternyata banyak hal-hal yang nggak aku temui di sana berkaitan dengan mata kuliah dari dosen.” “Searching di internet juga
“Nggak tahu juga, soalnya aku nggak pernah bilang hal itu padanya. Aku juga ngerasa hal yang sama, kalau Fita nggak pernah juga mencintaiku sampai detik ini,” jawab Hengki lalu menyeruput jus yang tadi ia pesan di kantin itu. “Saranku mending kalian bicarakan itu secara baik-baik, jika memang rasanya nggak memungkinkan lebih baik diakhiri aja, daripada dipaksakan untuk terus lanjut yang ada nanti di antara kalian akan bermusuhan jika salah seorang dari kalian merasa sakit hati dengan hubungan yang sedang kalian jalani itu,” Irfan menasehati Hengki. “Iya Fan, ntar aku cari waktu yang tepat untuk bicarakan itu sama Fita.” “Nah, kalau semuanya udah clear dan hubungan kalian berdua nggak mungkin lanjut, baru kamu coba dekatin cewek lain,” ujar Dila. “Sip, tenang aja Dila. Secepatnya akan aku selesaikan, ya udah aku duluan, ya?” “Loh, kamu mau ke mana?” tanya Irfan saat Hengki hendak pamit pergi dari kantin itu. “Ada perlu sama teman, tadi aku udah janji sama dia,” jawab Hengki. “Oh
“Kamu harus ngerti dong, kan aku udah bilang jika Ridwan sebelum datang ke sini tengah mengalami masalah besar di kampung. Pertunangannya sengaja dibatalkan karena tradisi serta adat-istiadat di sana menentang, wajar jika Ridwan belum bisa melupakan itu dan tak bisa konsen bekerja,” tutur Paman Ramli. “Harus sampai kapan dia begitu, Bang. Hidup di Jakarta ini keras dan harus selalu siap untuk bersaing, urusan pribadi nggak boleh dibawa ke pekerjaan. Mending gaji orang lain aja jika keponakan Abang nggak akan bisa bekerja seperti yang kita harapkan,” Tante Ayu begitu ketusnya berbicara. “Hus, kamu kalau bicara jangan keras-keras nanti kedengaran sama Ridwan.” “Ya baguslah kalau ia dengar biar dia sadar jika di sini bukanlah di kampungnya, mau digaji tapi kerja nggak becus!” kembali Tante Ayu bicara ketus. “Ayu..! Untuk kamu ketahui saja, Ridwan itu keponakan kandungku bukan orang lain. Di dalam adat-istiadat kami posisi Ridwan tak jauh beda dengan putra kita sendiri, kalau bicara j
“Sama seperti Pamanmu, Kak Gita juga punya toko hanya saja bukan di kawasan pasar tanah abang blok A melainkan di jalan jati bunder, yang buka 24 jam,” jawab Randi yang mengetahui jika toko Pamannya Ridwan berada di kawasan Blok A pasar tanah abang. “Oh, jadi pasar tanah abang itu banyak ya, Bang?” “Ada 3 lokasi, pasar tanah abang di jalan jati bunder, lalu Blok A dan Blok F,” Randi menjelaskan karena Ridwan memang belum tahu banyak akan kawasan pasar tanah abang itu. “Kalau sekiranya aku ikut Abang Randi aja, gimana? Nanti aku bantu deh Bang Randi kerja di toko Kak Gita itu,” Randi terkejut mendengar permintaan dari Ridwan. “Loh, emangnya kamu nggak kerasan tinggal dan kerja bareng Pamanmu?” “Paman Ramli sih baik dan sangat ngertiin aku, akan tetapi Tante Ayu agaknya nggak suka dengan kehadiranku di rumahnya. Tadi malam aku sempat dengar pertengkaran Paman dan Tante menyangkut keberadaanku di rumah mereka, aku jadi nggak enak Bang.” “Kenapa Tantemu begitu? Setahuku kamu sosok y
“Aku mengerti Bang, aku hanya akan mengambil keputusan itu jika aku benar-benar tak sanggup lagi bertahan tinggal dengan mereka,” jawab Ridwan. “Hemmm, kamu nggak usah kuatir Ridwan. Aku dan Kak Gita akan menerimamu kapan saja kamu ingin tinggal bersama kami, kamu cukup beritahu nanti aku akan menjemputmu.” “Terima kasih, Bang,” ucap Ridwan. “Hemmm, sama-sama Ridwan. Yuk, kita makan nanti keburu dingin kurang enak,” Randi terseyum lalu mengajak Ridwan untuk menyantap pesanan yang mereka pesan di tempat itu. Sementara di toko milik Paman Ramli, Tante Ayu merasa penasaran kemana Ridwan dan menemui siapa? Karena dia sendiri tahu di Jakarta selain Ridwan tak memiliki saudara selain Paman Ramli. “Tadi Ridwan pamit mau ke mana, Bang?” “Oh, Ridwan mau ketemuan sama temannya,” jawab Paman Ramli sambil menata barang-barang dagangannya yang tak lama lagi toko itu akan ia tutup. “Teman? Bukannya Ridwan baru satu bulan di sini dan itupun nggak pernah ke mana-mana selain di toko ini dan di
Malam kian larut hujanpun tak kunjung reda sama derasnya air mata yang turun membasahi kedua pipi Kintani, dia benar-benar tak tahu apa yang harus dilakukan untuk meredam rasa yang tiba-tiba hadir menyesakan dadanya. Semakin ia berusaha menepis bayangan wajah Ridwan, semakin lekat di pelupuk matanya.Karena tak kuasa dan tak tahu berbuat apa-apalagi, Kintani berserah diri pada Allah SWT dalam do’a di sholat tengah malam yang ia lakukan, setelah hatinya tenang barulah Kintani berbaring dan dapat pejamkan mata.“Tok, tok, tok. Kintani..! Yuk, berangkat kuliah bareng,” seru Dila dan Eva yang pagi itu berdiri di depan pintu kos-kosannya bersiap berangkat kuliah.Beberapa kali mereka mengetuk pintu dan memanggil, namun tak ada sautan dari dalam, hingga akhirnya Kintani tersentak kaget saat Dila dan Eva mengedor pintunya cukup keras.“Astaqfirullah, aku kesiangan!” kejut Kintani bangkit dari tempat tidur dan bergegas menuju pintu.“Waduh, kamu baru bangun, Kintani?” Eva terkejut dan heran m
“Oh, ya pas deh kalau begitu.” ujar Paman Ramli lalu menyeruput teh hangat yang baru dibuatkan pembantu rumah itu.Walaupun Ridwan tak begitu peduli berapapun yang diberikan Tante Ayu di dalam amplop yang saat ini masih berada di kantong celananya, namun Ridwan penasaran berapa potongan biaya makan-minum yang dimaksudkan Tantenya itu, Ridwan segera mengeluarkan amplop dari kantong celananya lalu membuka dan menghitungnya.“Rp. 3.500.000,- berarti biaya makan-minumku di rumah ini sebesar Rp. 1.000.000,- dipotong Tante,” gumam Ridwan dalam hati.Sejatinya Ridwan tak pernah meminta upah ataupun gaji dari kesehariannya membantu Paman Ramli di toko, akan tetapi sikap Tante Ayu yang semakin hari makin membuatnya tak nyaman jadi beban pikiran baginya. Terutama dengan pemotongan biaya makan-minum segala di rumah Pamannya, ia merasa seperti orang lain ataupun orang asing di rumah itu.Selepas sholat magrib Ridwan yang telah memperkirakan jika Randi tidak dalam keadaan sibuk di toko Kakaknya la
Siang itu sepulang dari masjid melaksanakan sholat jum’at, Ridwan bicara berdua dengan Pamannya sebelum sampai di toko kembali. “Paman, kapan Paman punya waktu untuk ketemuan dengan Bang Randi? Katanya ada hal penting yang ingin dia bicarakan dengan Paman,” tanya Ridwan berjalan beriringan dengan Pamannya itu menuju toko. “Kan dulu Paman udah pernah bilang sama kamu untuk mengundang Randi ke rumah, nah kebetulan jika memang ada hal penting yang ingin ia sampaikan undang saja ia ke rumah besok malam,” tutur Paman Ramli. “Tapi Paman hal yang ingin ia sampaikan pada Paman itu cukup kita bertiga saja yang tahu, aku kuatir jika Tante Ayu mendengarnya akan salah paham nantinya,” ujar Ridwan. “Memangnya Randi mau ngomong soal apa? Kok sampai kamu merasa kuatir kalau Tantemu akan salah paham?” “Nanti jika kita udah ketemuan bertiga dan bicara, Paman pasti paham kenapa Bang Randi meminta bicarakan itu di luar bukan di rumah Paman.” “Oh ya udah, besok siang setelah zhuhur kamu telpon Rand
“Aku nggak menyangka sekeras itu keinginanmu Kintani hingga kamu berani menentang adat-istiadat kita yang telah diwarisi turun-temurun dari para leluhur, Aku juga tak mengerti mengapa kalian sebagai orang tuanya mendukung hal yang dapat membuat keluarga besar kita ini akan dipandang buruk di dalam kaum suku caniago,” tutur Pak Gindo. “Kami juga sama sekali tak menginginkan ini terjadi Uda Gindo, akan tetapi kami pun tak bisa melawan takdir dari Allah SWT. Kintani dan Ridwan nampaknya takan bisa dipisahkan lagi, jika Uda menyalahkan kami dalam hal ini kami akan terima asal Kintani bahagia dengan pria pilihannya,” ujar Bu Anggini pasrah. “Ya, semua ini adalah kesalahan kita termasuk Uda Gindo selaku Paman kandung Kintani yang sejak awal tak pernah memberi penjelasan tentang pemahaman adat-istiadat kita secara detil. Terjalinnya hubungan kasih antara Kintani dan Ridwan sedari semula merupakan titik awal semua ini terjadi, jika harus menanggung malu karena adat-istiadat kita semua tentun
Kabar kepulangan Kintani ke rumah orang tuanya pagi itu diketahui oleh Pak Gindo melalui sambungan telpon yang disampaikan oleh Bu Anggini, tentu saja Paman kandung dokter muda cantik itu segera datang bersama keluarganya. Pak Gindo berfikir Kintani pulang karena menyadari kesalahan telah menentang keinginan mereka untuk menjodohkannya dengan Romi, makanya Pak Gindo begitu semangat pagi itu membawa putra dan istrinya menemui Kintani. “Assalamualaikum,” ucap Pak Gindo saat tiba di depan pintu rumah Pak Wisnu. “Waalaikum salam,” sahut Pak Wisnu sekeluarga yang pagi itu duduk di ruangan depan. Pak Wisnu dan Bu Anggini menghampiri mereka lalu mempersilahkan duduk di ruangan depan itu, sementara Kintani ke belakang membuatkan minum. “Alhamdulillah jika Kintani udah kembali Wisnu, kami turut cemas karena lebih dari 3 bulan nggak ada kabarnya,” ucap Pak Gindo. “Ya, Alhamdulillah Uda. Akhirnya Kintani dapat ditemukan dan kami bawa pulang ke rumah ini,” ucap Pak Wisnu pula. “Ditemukan d
Jam 9 malam mobil yang dikemudikan Pak Wisnu dengan Ridwan duduk di sebelahnya sementara Kintani bersama Ibunya di belakang, tiba di kenagarian MK tepatnya di rumah kedua orang tua Ridwan. Pak Rustam dan Bu Suci serta Fitria terkejut melihat mobil Pak Wisnu datang kembali berkunjung, mereka lebih terkejut lagi ketika melihat Ridwan juga turun dari mobil itu. “Assalamualaikum,” ucap Pak Wisnu, Ridwan, Kintani dan Bu Anggini begitu tiba di teras rumah di hadapan Pak Rustam sekeluarga. “Waalaikum salam, ada apa ini kenapa Ridwan juga ada bersama kalian?!” sahut Pak Rustam diiringi rasa kaget dan penasarannya. “Hemmm, sabar Ayah. Sebaiknya kita persilahkan Pak Wisnu dan keluarga masuk dulu,” ujar Ridwan. “Oh iya, silahkan masuk Wisnu dan yang lainnya,” ajak Pak Rustam. Mereka pun duduk bersama di ruangan depan, sementara Fitria Adik kandung Ridwan ke belakang membuatkan minum. “Sangat menganggetkan dan mengherankan kenapa kamu bisa bersama Pak Wisnu dan keluarga, Ridwan?” tanya Pak
Bu Anggini langsung menoleh ke arah Pak Wisnu, ia berfikir suaminya itu akan marah mendengar penuturan Kintani yang menegaskan jika masalah dia tak ingin pulang bukan hanya karena perjodohannya dengan Romi saja melainkan juga karena tak ingin dipisahkan lagi dengan Ridwan. “Kintani, ini nggak akan mudah terlaksana meskipun kami berdua akan merestui kalian. Sanksi adat kita sangat berat bukan saja kalian akan terbuang dari adat tapi juga harta pusaka keluarga tidak akan bisa diwariskan terutama pada kamu Kintani,” jelas Pak Wisnu sambil menarik napas dalam-dalam. “Ayah, apapun itu sanksinya aku siap menerimanya termasuk tak mendapatkan harta warisan keluarga. Bagiku harta bukanlah segalanya karena bisa dicari asalkan mau berusaha,” Kintani kembali menegaskan. “Tapi dalam berumah tangga tak cukup hanya atas dasar cinta dan kasih sayang saja,” ujar Pak Wisnu. “Nggak apa-apa Ayah, meskipun nanti kami hidup apa adanya yang terpenting kami bahagia,” ulas Kintani. “Kamu dengar Ridwan be
Pagi di kawasan kenagarian P terlihat cerah, para warga yang umumnya pekebun sebagian sudah berangkat ke lahan perkebunan mereka. Demikian pula dengan para pekerja Pak Wisnu yang saban hari bekerja memanen buah kelapa sawit serta membersihkan lahan perkebunan, mereka pun telah bersiap-siap untuk berangkat. Kalau biasanya Pak Wisnu selalu menyusul mereka selepas tengah hari atau sesudah zhuhur, namun hari itu dia menyuruh salah seorang pekerjanya untuk mencatat banyaknya serta mengantar buah sawit yang telah dipanen ke pabrik. Adapun alasan Pak Wisnu hari itu tak dapat pergi ke lahan serta mengurus segala sesuatunya mengenai urusan kebun, karena dia dan istrinya akan ke Kota Padang menemui Kintani di rumah orang tua angkat Ridwan. “Apa nggak sebaiknya kita beritahu Uda Gindo dulu sebelum kita berangkat menyusul Kintani, Anggini?” Pak Wisnu bertanya sembari merapikan pakaian yang ia kenakan di kamar. “Nggak usah Bang, yang ada nanti dia akan ikut dan akan menimbulkan masalah di Pada
“Bapak tahu ini hal yang sulit terutama bagi kamu Kintani, tapi keberadaanmu di sini harus tetap diberitahu pada Ayah dan Ibumu di kampung. Apalagi Ibumu sekarang jatuh sakit karena sudah 3 bulan lamanya tak ada kabar tentang kamu setelah pergi dari rumah,” tutur Pak Hendra. “Tapi Pak kalau diberitahu aku ada di sini, kedua orang tuaku itu pasti akan datang dan membawaku pulang. Itu artinya aku akan tetap dijodohkan dengan pria yang sama sekali nggak aku cintai,” ujar Kintani. “Kamu tenang saja Kintani, Bapak akan membelamu nantinya jika mereka datang ke sini. Tujuan utama memberitahu keberadaanmu di sini untuk kesembuhan Ibumu, jika memang kamu tidak ingin pulang dengan alasan akan dijodohkan dan mereka nanti memaksa Bapak tidak akan membiarkannya,” tegas Pak Hendra. “Ya Kintani, Ibu juga akan membelamu. Ridwan, sekarang kamu telpon kedua orang tua Kintani. Beritahu saja jika Kintani ada di sini,” ujar Bu Indri, Ridwan mengangguk lalu meraih ponsel yang ia taruh di meja. “Hallo,
“Aneh juga kenapa tiba-tiba saja kedua orang tua Kintani meminta tolong sama kamu,” Pak Hendra heran. “Awalnya sih saat hari pertama Kintani pergi dari rumah, mereka sempat curiga kalau aku yang meminta Kintani pergi dari rumah itu dan menyusulku ke Jakarta. Tapi setelah aku jelasin bahwa aku sama sekali tak mengetahui bahkan Kintani tak tahu alamatku di Jakarta, mereka pun yakin dan malahan meminta nomor kontak dan bantuanku untuk mencari keberadaan Kintani,” jelas Ridwan. “Jadi begitu cerita, Bapak pikir mereka langsung minta tolong sama kamu untuk mencari Kintani.” “Ya nggaklah Pak, mereka kan nggak tahu nomor kontakku gimana mereka bisa minta tolong. Mereka datang ke rumah Ayah dan Ibu di kampung dan dari situlah mereka mengetahui nomor kontak dan minta tolong sama aku,” tutur Ridwan. Sore hari sekitar jam 5 lewat apa yang dikatakan Bu Indri pun benar adanya, seorang wanita cantik memakai pakaian kerja putih-putih tampak memasuki halaman rumah kedua orang tua angkat Ridwan itu
Pagi-pagi sekali Ridwan telah bangun setelah mempersiapkan segala sesuatunya yang akan dibawa ke Bandara menuju Kota Padang, tak beberapa menit setelah Ia pun sarapan dengan Gita, Aldi dan Nisa di meja makan di ruangan tengah lantai bawah. “Sementara kamu akan ke Padang siapa yang kamu suruh untuk tinggal di rumahmu itu, Ridwan?” tanya Gita. “Setelah aku pikir-pikir lagi apa tidak sebaiknya Kak Gita dan juga Bang Aldi tinggal di sana aja, sementara rumah ini bisa disewakan nantinya,” usul Ridwan. “Hemmm, nggaklah Ridwan. Rumah itu milikmu dan kamu cepat atau lambatnya pasti akan menikah juga,” ujar Gita. “Loh, nggak jadi masalah. Rumah itu terlalu besar bisa didiami beberapa kepala keluarga, lagian kalian kan bukan orang lain lagi bagi aku.” “Iya sih, tapi biar kami tinggal di sini aja. Kalau memang belum ada yang kamu minta untuk menjaga rumah itu selama kamu pergi ke Padang ada baiknya kamu mencari satpam untuk berjaga-jaga di sana,” saran Gita. “Ya Kak, aku memang mempunyai r
3 bulan kemudian.... Minggu pagi sekitar jam 10 Ridwan beserta Gita sekeluarga pergi ke sebuah rumah mewah yang sangat besar dengan perkarangan depan dan belakang juga luas, lokasi rumah itu tidak jauh dari rumah Gita karena berada satu kompleks. Mereka berangkat dengan mengendarai mobil pajero sport milik dan kemudikan oleh Ridwan, mobil itu Ridwan ambil sekitar satu minggu yang lalu di show room usahanya sendiri. Melihat dari fisik bangunan rumah mewah yang mereka tuju ditasir biaya pembuatannya hampir 350 milyar, lalu apa tujuan Ridwan beserta Gita sekeluarga ke sana? Setelah memarkirkan mobil pajero sport di halaman rumah mewah itu, Ridwan beserta Gita sekeluarga pun turun lalu berjalan ke teras. Saat tiba di depan pintu Ridwan bukannya mengetuk atau memencet bel yang ada, melainkan merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sebuah kunci lalu dengan santainya membuka pintu rumah mewah itu. “Mari Kak, Bang kita masuk,” ajak Ridwan, Gita dan Aldi mengangguk seraya tersenyum lalu