"Akhirnya, aku bisa bersamamu tanpa harus mengkhawatirkan istrimu lagi." Marisa berkata. Kini, keduanya tengah berada di dalam mobil yang akan membawa mereka menuju kediaman Markus. Marisa menyandarkan kepalanya kepada bahu Markus. Senyum cerah tidak pernah pernah surut dari wajahnya semenjak mereka meninggalkan ruang persidangan. "Ini adalah hari yang sudah aku tunggu-tunggu," ucap wanita itu sementara tangannya mengusap perutnya yang mulai membesar. Markus hanya tersenyum tipis. Dia tidak mengatakan apa-apa. Pria itu tidak pernah menyangka jika perselingkuhannya akan jadi sejauh ini. Siska bukan tipe wanita yang berani menggugat cerai sehingga Markus tidak pernah mengkhawatirkannya. Namun, keadaannya justru terbalik. Markus mengira ia akan merasa senang karena pada akhirnya bisa menghabiskan waktu bersama Marisa tanpa perlu sembunyi-sembunyi. Namun, di satu sisi ia pun merasa kosong. Ia selalu melihat Siska setiap hari selama dua puluh lima tahun usia pernikahan mereka dan kini
“Dasar laki-laki tidak tahu diri! Berani-beraninya kamu mengkhianatiku seperti ini!” ujar seorang wanita dengan wajah penuh amarah. “Sampai mati pun, aku tidak akan pernah memaafkanmu! Kau harus menanggung dosamu atas perbuatan hina ini seumur hidup!” Dia mengecam lagi. “Jika tidak, aku akan–” Jep Suara nyaring itu langsung menghilang, diikuti dengan layar televisi yang menjadi padam. Suasana menjadi hening dan Karina mendengar derap langkah di belakangnya. “Mengapa kamu menonton acara seperti itu?” Adimas bertanya. Pria berbadan tegap dengan wajah tampan itu memandang lurus ke arah Karina. Dia baru saja tiba dari kantornya dan masih mengenakan setelan jas lengkap. Adimas tidak menyangka jika kepulangannya akan disambut suara nyaring dari drama televisi. Terlebih, itu adalah drama perselingkuhan dan Karina tampak serius menontonnya. “... mereka mirip ayah dan ibu.” Karina berkomentar. Wajahnya terlihat serius. “Apakah semua orang seperti itu?” tanyanya. Adimas mengembuskan na
Karina langsung tidak sadarkan diri. Gadis itu dalam kondisi yang sangat baik sebelumnya. Namun, tiba-tiba Karina pingsan dan kehilangan kesadaran.Adimas langsung bergerak cepat untuk membawa Karina ke rumah sakit terdekat. Ia tidak lagi memedulikan pesta makan malam dan jaringan bisnisnya dengan kolega lain. Keselamatan Karina adalah prioritas nomor satunya sekarang. Kebetulan, dokter yang sedang berjaga malam itu adalah Juna sendiri. Pria itu langsung memeriksa Karina, sementara Adimas menunggu dengan gusar. “Bagaimana keadaannya?” Adimas langsung bertanya setelah Juna melepas stetoskopnya. Padahal, belum sampai semenit Juna memeriksa, tetapi Adimas sudah bertanya dengan cemas. “Tubuhnya fit tanpa ada masalah. Sepertinya, dia pingsan karena syok. Beruntung, dia tidak terkena serangan jantung kecil,” komentar Juna sambil memeriksa tanda-tanda vital Karina. Wajah Adimas menjadi pias. Jantungnya saja sudah berdegup cepat melihat Karina tidak sadarkan diri di depan matanya. Ia tid
Jantung Adimas seakan langsung berhenti saat mendengarnya. Suara bincang-bincang masih ramai di sekitarnya, tetapi pria itu seakan tidak mendengar apa pun. Telinganya berdengung sementara ia fokus menatap pada pria itu. “Apa katamu?” tanya Adimas. Berharap ia salah mendengar. Namun, raut wajah pria itu tidak berubah. Malah, salah satu sudut bibirnya semakin tertarik membentuk seringai. “Aku, adalah pria yang telah membeli Karina dengan harga lima ratus juta.” Tangan Adimas langsung terkepal di atas paha. Apakah … itu artinya dialah pria di masa lalu Karina? Dialah Tuan Besar yang muncul dalam ingatan bawah sadar Karina? Adimas sangat ingin bertemu dengannya dan memberi pelajaran yang pantas. Namun, kini ia berkata-kata pun tidak bisa seakan lidahnya membeku. Situasinya amat tidak tepat. “Kau tidak terlihat terkejut.” Pria itu berkomentar. “Sepertinya, kamu telah mengetahui hal ini sebelumnya. Tunggu, apakah kau juga sudah mengetahui apa saja yang sudah kulakukan padanya?” ta
Setelah beberapa saat, Adimas berhasil menata pikiran dan perasaannya. Akan tetapi, suasana hatinya masih mendung. Sejak awal, dia telah mengetahui Karina bukanlah gadis biasa. Dia adalah gadis lemah yang mungkin telah diperlakukan tidak adil oleh lingkungannya. Seharusnya, Adimas tidak lagi kaget mendengar berita seperti itu. Namun, mendengarnya langsung dari pelaku tersebut membuat perasaan Adimas berantakan. Menurut Juna, Karina telah diizinkan untuk pulang dan Adimas membantu gadis itu berkemas. Akan tetapi, sepanjang waktu itu, tidak sekalipun Adimas bersuara. Dia membisu dan memperlakukan Karina dengan dingin. “Apakah … aku melakukan kesalahan?” Karina pada akhirnya bertanya. Suara itu menghentikkan Adimas yang tengah memasukkan barang Karina ke dalam tas. “Apa?” tanyanya. Bahkan suara datar pria itu seakan membekukan hati Karina. Tidak ada lagi kehangatan atau kasih sayang dalam sorot matanya. “Tiba-tiba Mas berbeda …,” ujar Karina, “Apakah aku berbuat salah?” Suara
Hidup Markus menjadi lebih damai setelah terlepas dari kungkungan Adimas. Perusahaannya benar-benar bankrut karena Bernard telah menarik modal yang ia tanamkan di sana. Namun, hidup masih berbelas kasih kepadanya sebab tepat sebelum benar-benar bankrut, seorang pengusaha lain membeli perusahaan Markus dan mengakuisisinya. Kini, Markus mulai membangun hidup bersama Marisa. Pria itu berencana merintis usaha di bidang kuliner dan tengah menata restorannya saat tiba-tiba melihat siluet Adimas berjalan mendekat ke arahnya. Bak melihat hantu di siang bolong, sekujur tubuh pria itu langsung menegang. Tidak, bahkan sosok Adimas jauh lebih menyeramkan daripada hantu. Adimas tampak melihat-lihat restoran yang masih setengah ditata itu. Adimas mengamatinya seakan menimbang dari mana ia harus mengacaukan restoran itu. Markus cepat-cepat menghampirinya. “A–apa yang kau lakukan di sini?” Adimas memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Raut wajahnya terlihat tenang, tetapi ketenangan itu jus
Panggilan demi panggilan terus berdatangan ke ponsel Karina. Asalnya dari nomor tidak dikenal. Nomor itu juga terus mengirimi Karina sebuah video berisi rekaman Karina saat masih menjadi budak Brixton dahulu. Hidup Karina menjadi tidak tenang. Beruntung, mentalnya sudah cukup stabil untuk menghadapi semua itu.Karina menyiasati dengan membisukan ponselnya untuk mengabaikan panggilan, tetapi nomor itu masih saja mengirimi video. Kini, Karina memandangi ponselnya yang terus bergetar tanpa henti. Ia memandangi video di layar ponselnya, ragu apakah hendak memutarnya atau tidak. “Karina ….” Bahu gadis itu berjengit kaget saat mendengar suara Adimas. Ia cepat-cepat mematikan ponselnya dan tersenyum ke arah pria itu. “Mas sudah pulang,” ujarnya dengan hangat. Ia tidak ingin membuat Adimas khawatir dengan semua panggilan dan pesan tidak jelas itu. Namun, tanpa diberitahu pun, Adimas cukup peka untuk menyadarinya. “Apakah dia masih terus mengganggumu?” tanya pria itu. Dia mengambil a
“Kau sudah mencari informasi tentang orang bernama Evan yang disebutkan Markus?”Itu pertanyaan pertama yang Adimas lontarkan setelah keduanya tiba di kantor. Kali ini bukan laporan atau jadwal yang Adimas perhatikan. Sudah beberapa hari pikirannya terfokus pada permasalahan di depan mata. Beruntung, Benny telah mengetahui seluk-beluk perusahaan sehingga dapat diandalkan kala pikiran Adimas sedang tidak fokus. Adimas berutang banyak pada pria itu. “Sudah, Tuan. Dia memang benar meninggal dua tahun lalu karena serangan jantung.” Langkah Adimas terhenti saat itu juga. Dia mengabaikan lalu lalang ramai di kantornya dan terdiam di tempat. Itu artinya informasi yang diberikan Markus benar. Akan tetapi, mengapa Adimas merasa ada yang mengganjal? Seluruh susunan puzzle ini tidak tepat. Firasatnya kuat berpikir bahwa salah satu dari anggota keluarga Covey pasti turut berperan besar dalam hal ini. Namun, mengapa justru orang asing yang menjadi perantara mereka?“Tapi, ada yang aneh, Tuan
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki