“Sebenarnya, apa yang terjadi pada pasien, Dok?” Adimas bertanya. Beberapa saat lalu, mereka baru saja mendapat kabar tentang Jade yang sudah siuman. Sekarang ketiganya sudah berkumpul di ruangan dokter. Membahas kejanggalan yang menimpa rekan mereka. Adimas yang bersuara mewakili Bella. Wanita itu masih membungkam sejak tadi, tampak terkejut dengan perubahan drastis pada pria itu. “Pasien bisa pulih dengan cepat. Kami pun terkejut dengan kemampuan organ dan ototnya. Tapi, tampaknya ada kompensasi yang harus dibayar. Kami telah melakukan serangkaian tes dan pasien …” Dokter itu memberi jeda. “Pasien bisa dipastikan mengalami amnesia.” Bella seketika memejamkan mata. Seolah berusaha mencari ketenangan di tengah guncangan yang menimpanya. “Tapi, dia masih mengenali saya dan istri saya, Dok.” Adimas sedikit memprotes. Masih tidak percaya jika Jade mengalami amnesia. “Beberapa orang yang mengalami amnesia memang seperti itu.” Dokter pria itu menjelaskan. “Sebagian ingatannya telah h
“Kenapa malah melamun?” Suara Adimas yang terdengar seketika menyentak Karina pada kenyataan. Wanita itu baru saja menidurkan Mark dan tidak sadar jika sudah tenggelam dalam lamunannya sendiri. Karina berkedip satu kali. Entah sudah berapa lama ia larut dalam pikirannya. Karina bahkan tidak sadar jika ia masih memegang sebuah kain yang seharusnya sudah ia letakkan sejak tadi. Tangan Adimas yang merangkul pinggang Karina dari belakang semakin mengumpulkan kesadaran wanita itu kembali. “Mas ….” Adimas merengkuh tubuh Karina dan menyandarkan dagu pria itu pada ceruk bahu Karina. Ia memeluk Karina dari belakang, tetapi bisa merasakan kegundahan yang mendera sang istri. “Memikirkan Bella lagi?” Adimas menerka. Karina mengangguk dua kali. Ia melepaskan kain itu dari genggamannya dan mulai menelusuri lekuk tangan Adimas yang melingkar di pinggangnya. Kulit Adimas terasa lembab sekaligus kokoh.“Aku merasa kasihan padanya. Padahal, mereka berdua sangat cocok,” ucap Karina. Berulang ka
“Hamil?” Adimas bertanya. Pria itu menatap lekat pada seorang dokter kandungan di hadapannya. Adimas terlihat tidak percaya. Begitu pula Karina yang berkedip berulang kali. “Ya,” jawab dokter kandungan wanita itu, “Istri Anda positif hamil, Tuan. Selamat,” ucapnya dengan wajah ramah. Mata Gavriel membelalak semakin lebar. Untuk sesaat, ia seolah lupa cara untuk bernapas.Perlahan, ia menoleh ke arah Karina. Begitu pula Karina yang menatap ke arahnya. Gavriel menelan saliva kelat. “Itu berarti … Mark akan memiliki seorang adik,” ucapnya, setengah tidak percaya. Karina mengangguk satu kali, kemudian mengembangkan senyum lebar. Awalnya, mereka hanya datang untuk memeriksa Karina. Mereka bahkan tak mengajak Mark karena tahu ini tidak akan lama. Adimas tak menyangka jika dia akan mendapat kabar bahagia ini. Membayangkan seorang anak akan lahir lagi dari garis keturunannya, Adimas masih tak bisa percaya. Hingga begitu keluar dari ruangan dokter, Adimas sadar jika itu bukan mimpi bel
Bella selalu penasaran bagaimana rasanya ditembak dengan sebuah pistol. Kini, ia mengerti. Jade meluncurkan kata-kata itu seperti peluru yang menghujam tepat di jantungnya. Menembus dadanya dan membuat perasaannya hancur berkeping-keping. Seluruh keberanian Bella seolah hancur saat itu juga. Tanpa sadar, dia mulai mengusap perutnya. Bahkan meski Jade hilang ingatan, paling tidak ia harus memberitahu pria itu. Jade berhak tahu atas keberadaan anaknya. Menelan ludah kelat, Bella kembali menatap Jade. “Tapi, aku—”“Aku tidak peduli!” sergah Jade. Entah mengapa, semakin Bella bersikap lemah di hadapannya, semakin Jade merasa kesal. Ia merasa diperdaya. “Walaupun Adimas memintaku untuk bersikap baik padamu, aku tidak bisa. Bagaimana mungkin aku menaruh perhatian pada …” Jade menjeda. “Pada wanita sepertimu?” Peluru lainnya seakan kembali bersarang pada jantung Bella. Kini, ia merasa berat meski hanya untuk mengambil napas. Bella tahu. Seharusnya ia tahu diri. Jade telah menolaknya
Setelah mendapat izin dari sang istri, Adimas bergegas menuju apartemen Jade. Awalnya, Karina berminat untuk ikut. Namun, Adimas melarangnya. Entah mengapa, Adimas memiliki firasat kuat sesuatu yang buruk telah terjadi di sana. Hingga begitu tiba, Adimas memencet bel apartemen Jade. Berulang kali dengan mendesak, dan pria yang ia cari keluar setelah dering kesepuluh. Ia membuka pintu dengan wajah kesal. “Apa lagi, Bella—” Ucapannya terhenti dan rautnya berubah terkejut melihat sosok Adimas yang menunggu di luar. Jade berkedip dengan bingung. “Tuan Adimas, apa yang kau lakukan? Mengapa tiba-tiba kau datang kemari?” ucapnya dengan lebih sopan. Awalnya, ia mengira itu adalah Bella, sebab hanya wanita itu yang rutin mendatangi apartemennya setiap hari. Namun, justru Adimas yang berdiri di sana. Raut wajah pria itu terlihat dingin. “Kudengar, Bella menemuimu siang ini,” ucap pria itu. Mendengar itu, Jade refleks memejamkan mata. Nama Bella seperti menjadi alarm akan adanya masala
Sembilan bulan kemudian …. Kontras dengan keadaan malam yang gelap, suasana di ruang kelab itu penuh oleh gemerlap. Warna kuning, ungu, biru mengisi ruangan. Ditambah musik yang terdengar memekakkan telinga. Bagi Jade yang sudah terbiasa mendatangi tempat seperti ini, hal itu tidak menjadi masalah. Justru musik yang memekakkan telinga dan para wanita muda yang menggerakkan tubuhnya sesuai iringan musik dapat mengatasi stressnya. Jade tampak menikmati lingkungan sekitarnya seraya duduk di salah satu sofa. Ia diapit oleh dua wanita yang berpakaian seksi. Sembilan bulan berlalu, Jade terlihat jauh lebih sehat dan baik. Ia kembali pada kepribadiannya semula, menjadi seorang playboy yang mampu menaklukkan wanita hanya dalam tiga detik. Kelab malam menjadi destinasi utamanya sepulang bekerja. Seperti saat ini. Ia terkekeh oleh hiburan yang diberikan dua wanita di sisinya. “Biar aku tuangkan minuman untukmu,” salah satu wanita menawarkan. Jade mengulurkan gelas kecil miliknya ke arah
Bella menoleh lebih dahulu sebelum Jade menoleh ke arahnya. DegJantung wanita itu seakan berhenti seketika. Dari sudut ini, ia bisa melihat sosok pria yang telah coba ia lupakan selama sembilan bulan terakhir. Jade tampak sehat dan baik. Bahkan, dari pakaian dan gayanya, pria itu sudah menjadi jauh lebih sukses dan tampan. Benak Bella berdenyut nyeri. Tiba-tiba Jade menghentikan langkahnya. Bella membelalak dan cepat-cepat membalikkan tubuh. Ia bergegas menuju restoran sesuai yang diperintahkan. Langkahnya sedikit terbatas karena perutnya yang membesar, tetapi itu tak menghalangi Bella untuk terus menjauh. “Ia tidak melihatku, bukan?” Wanita itu bergumam resah. Beruntung, hingga Bella tiba di restoran, Jade tidak terlihat lagi. Ia pun mengambil baki makanan pesanan itu. “Antarkan kepada pria di kamar 307.” Resepsionis itu memerintah. Entah mengapa, perasaan Bella menjadi tidak enak. “Apakah … pria itu memesan kamar atas nama Jade?” Bella bertanya dengan canggung. “Oh, bagai
Bagai disambar petir di siang bolong, Bella tak menyangka kata-kata itu akan lolos dari bibir Bu Yati. Ia berkedip beberapa kali. “Apakah … ini karena saya hamil, Bu? Walaupun hamil, saya berjanji akan tetap bekerja dengan rajin—” Wanita di hadapannya langsung menggeleng. Dia tidak menunggu Bella menuntaskan kalimatnya. “Bukan hanya tentang kehamilan kamu,” jawabnya, “Saya tahu kamu rajin, tapi tetap saja kamu tidak akan gesit karena kehamilan itu. Kamu juga bisa mencoreng nama baik hotel ini. Para tamu yang datang akan berpikiran buruk jika kami terus mempekerjakan wanita hamil tua sepertimu.” Bu Yati menjelaskan. Tiap untaian katanya bagai peluru yang dimuntahkan kepada Bella. Ia begitu terkejut hingga tak mampu berkata-kata untuk membela diri. “Lagi pula, hanya tinggal menghitung hari sampai kamu melahirkan, bukan? Lebih baik kamu berhenti bekerja dan beristirahat di rumah.” Wanita paruh baya itu menyarankan. Jika bisa, Bella pun menginginkan hal yang sama. Ia ingin hanya ti
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki