Sembilan bulan kemudian …. Kontras dengan keadaan malam yang gelap, suasana di ruang kelab itu penuh oleh gemerlap. Warna kuning, ungu, biru mengisi ruangan. Ditambah musik yang terdengar memekakkan telinga. Bagi Jade yang sudah terbiasa mendatangi tempat seperti ini, hal itu tidak menjadi masalah. Justru musik yang memekakkan telinga dan para wanita muda yang menggerakkan tubuhnya sesuai iringan musik dapat mengatasi stressnya. Jade tampak menikmati lingkungan sekitarnya seraya duduk di salah satu sofa. Ia diapit oleh dua wanita yang berpakaian seksi. Sembilan bulan berlalu, Jade terlihat jauh lebih sehat dan baik. Ia kembali pada kepribadiannya semula, menjadi seorang playboy yang mampu menaklukkan wanita hanya dalam tiga detik. Kelab malam menjadi destinasi utamanya sepulang bekerja. Seperti saat ini. Ia terkekeh oleh hiburan yang diberikan dua wanita di sisinya. “Biar aku tuangkan minuman untukmu,” salah satu wanita menawarkan. Jade mengulurkan gelas kecil miliknya ke arah
Bella menoleh lebih dahulu sebelum Jade menoleh ke arahnya. DegJantung wanita itu seakan berhenti seketika. Dari sudut ini, ia bisa melihat sosok pria yang telah coba ia lupakan selama sembilan bulan terakhir. Jade tampak sehat dan baik. Bahkan, dari pakaian dan gayanya, pria itu sudah menjadi jauh lebih sukses dan tampan. Benak Bella berdenyut nyeri. Tiba-tiba Jade menghentikan langkahnya. Bella membelalak dan cepat-cepat membalikkan tubuh. Ia bergegas menuju restoran sesuai yang diperintahkan. Langkahnya sedikit terbatas karena perutnya yang membesar, tetapi itu tak menghalangi Bella untuk terus menjauh. “Ia tidak melihatku, bukan?” Wanita itu bergumam resah. Beruntung, hingga Bella tiba di restoran, Jade tidak terlihat lagi. Ia pun mengambil baki makanan pesanan itu. “Antarkan kepada pria di kamar 307.” Resepsionis itu memerintah. Entah mengapa, perasaan Bella menjadi tidak enak. “Apakah … pria itu memesan kamar atas nama Jade?” Bella bertanya dengan canggung. “Oh, bagai
Bagai disambar petir di siang bolong, Bella tak menyangka kata-kata itu akan lolos dari bibir Bu Yati. Ia berkedip beberapa kali. “Apakah … ini karena saya hamil, Bu? Walaupun hamil, saya berjanji akan tetap bekerja dengan rajin—” Wanita di hadapannya langsung menggeleng. Dia tidak menunggu Bella menuntaskan kalimatnya. “Bukan hanya tentang kehamilan kamu,” jawabnya, “Saya tahu kamu rajin, tapi tetap saja kamu tidak akan gesit karena kehamilan itu. Kamu juga bisa mencoreng nama baik hotel ini. Para tamu yang datang akan berpikiran buruk jika kami terus mempekerjakan wanita hamil tua sepertimu.” Bu Yati menjelaskan. Tiap untaian katanya bagai peluru yang dimuntahkan kepada Bella. Ia begitu terkejut hingga tak mampu berkata-kata untuk membela diri. “Lagi pula, hanya tinggal menghitung hari sampai kamu melahirkan, bukan? Lebih baik kamu berhenti bekerja dan beristirahat di rumah.” Wanita paruh baya itu menyarankan. Jika bisa, Bella pun menginginkan hal yang sama. Ia ingin hanya ti
Kediaman Adimas diliputi kebahagiaan setelah Karina pulang dari rumah sakit. Membawa dua anak kembar yang masing-masing digendong oleh keduanya. Mereka berjenis kelamin perempuan. Adimas menamainya Celine dan Evelyn. Sambutan hangat tak hanya datang dari Ilona, Dirga, dan Siska. Para pelayan setia mereka pun turut antusias melihat kelahiran baru di rumah ini. “Sini, Karina. Duduk di sini. Kamu pasti lelah,” ucap Siska dengan penuh perhatian. Karina menuruti perkataan ibunya. Wajah wanita itu masih terlihat sedikit pucat dan jalannya pun terlihat canggung. “Mama tidak lelah kok, Oma.” Mark menjawab, “Mark membantu Mama di rumah sakit. Iya, kan, Ma?” tanya Mark. Bocah itu turut senang dengan kehadiran dua adiknya. Mendadak, sikap Mark menjadi lebih dewasa dan siaga. Bocah itu siap kapan pun Karina meminta bantuannya, meski hanya sekadar mengambilkan popok ataupun peralatan bayi. Karina tersenyum dan mengangguk. “Mama tidak lelah karena bantuan Mark. Terima kasih, ya,” tutur wanita
Pagi-pagi, Jade sudah bangun dan bersiap. Hingga tepat pada pukul tujuh pagi, ia sudah turun dari hotel, bersiap keluar.“Terima kasih, Tuan. Silakan datang kembali,” ucap resepsionis hotel itu dengan ramah. Jade tidak menjawab. Entah mengapa, irisnya justru melirik ke kanan kiri seakan mencari seseorang. “Apakah pelayan hamil itu tidak bekerja?” tanya Jade, setengah penasaran. Wanita yang bertugas sebagai resepsionis itu berkedip bingung. “Pelayan hamil? Ah, maksud Tuan, Bella?” Jade mengangguk. “Apakah dia tidak masuk hari ini?” tanyanya. “Pelayan itu sudah berhenti, Tuan.” Resepsionis itu memberitahu. Ini kali pertama seorang tamu menaruh perhatian kepada pelayan di hotel ini. Terlebih, kepada Bella.Alis Jade menukik seketika. “Mengapa berhenti?” “Karena kehamilannya semakin tua, Tuan.” Resepsionis itu menjawab dengan sopan. “Ada apa? Apakah dia membuat kesalahan?” Jade segera menjawab dengan gelengan kepala. “Bukan apa-apa,” ucapnya, kemudian berjalan keluar. Sepanjan
Pandangan Jade masih terpaku pada layar yang menampilkan rekaman CCTV. Dalam sudut ini, ia bisa mengenali wajah Bella. Wajah yang berusaha ia lupakan sejak sembilan bulan lalu. Bella mendatangi toko emas itu dengan langkah kikuk. Dia terus memegangi perutnya yang membesar. Entah mengapa, postur tubuh, rambut, dan ukuran perutnya langsung mengingatkan Jade pada pelayan hamil tempo hari. Jade begitu serius memandanginya hingga tubuhnya ikut terlonjak kaget saat tahu-tahu wanita itu jatuh tak sadarkan diri. Tatapan Jade menjadi waspada sekaligus cemas. “Aku sudah curiga sejak awal.” Pemilik toko emas itu bersuara. “Lihat saja, pakaian dan gayanya tidak terlihat seperti orang kaya. Bahkan, dia memakai sandal jepit. Jelas dia orang miskin, tetapi memiliki cincin mahal seperti ini.” “Saat aku menanyakan surat-suratnya, dia bilang tidak ada. Aku langsung berpikir cincin ini pasti hasil curian. Rupanya benar. Apakah wanita itu sudah mencuri darimu? Ckckck. Tidak bisa dipercaya jika rupan
“Anda mau ke mana, Nyonya?” Perawat itu bertanya dengan cemas saat tahu-tahu Bella beranjak dari ranjangnya. Rasa sakit hebat bekas operasi masih bisa Bella rasakan. Apalagi, setiap langkah kakinya menyentuh lantai rumah sakit. Wanita itu harus berjalan dengan membungkuk-bungkuk untuk meredakan rasa sakit. Bella menjadi khawatir begitu perawat memberitahu bahwa putrinya tengah bersama ayahnya. Ayah yang mana? Bella bertanya-tanya. Wanita itu memang datang dalam keadaan pingsan. Jangan sampai ada seseorang yang mengaku-ngaku sebagai ayah dari putrinya. Bella bergegas secepat yang ia bisa dalam kondisi itu hingga ia tiba di depan ruang bayi. Itu adalah ruangan steril. Namun, dari jendela, Bella bisa melihat seorang pria. Dia mengenakan pakaian khusus visit, lengkap dengan penutup kepala dan masker. Mata Bella memicing saat mencoba menerka-nerka pria yang tengah mengamati seorang bayi itu. Hingga tiba-tiba pria itu menoleh ke arah Bella. Keduanya bertukar tatapan. Mata Bella lang
“... apa?” Seharusnya, Jade merasa lega mendengar jawaban itu. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, entah mengapa ia merasa kecewa. Sesaat, hanya untuk sesaat, Jade sempat berharap dialah ayah dari bayi perempuan itu. “Apa katamu?” Jade bertanya lagi. Masih terlihat tak percaya. Pandangan Bella jatuh. Wajahnya terlihat pucat dan sebisa mungkin ia menghindari pandangan Jade. “Dia adalah anak orang lain,” ucap Bella. Saat melihat Jade menatap anaknya tadi, muncul ketakutan dalam diri Bella. Takut Jade mungkin akan mengambilnya. Bahkan meski Bella tahu ia memiliki keterbatasan dalam segi biaya, Bella ingin mempertahankan bayi yang sudah ia jaga selama sembilan bulan itu. Tak akan ia biarkan siapa pun mencoba mengambilnya. Sementara itu, Jade terdiam, seakan berusaha merangkai susunan ini. Itu berarti, setelah berpisah dengannya, Bella menjalani hubungan dari pria lain dan mengandung seorang anak. Kalau benar demikian, lantas ke mana suaminya?“Mengapa tiba-tiba kau datang kemari
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki