Pagi-pagi, Jade sudah bangun dan bersiap. Hingga tepat pada pukul tujuh pagi, ia sudah turun dari hotel, bersiap keluar.“Terima kasih, Tuan. Silakan datang kembali,” ucap resepsionis hotel itu dengan ramah. Jade tidak menjawab. Entah mengapa, irisnya justru melirik ke kanan kiri seakan mencari seseorang. “Apakah pelayan hamil itu tidak bekerja?” tanya Jade, setengah penasaran. Wanita yang bertugas sebagai resepsionis itu berkedip bingung. “Pelayan hamil? Ah, maksud Tuan, Bella?” Jade mengangguk. “Apakah dia tidak masuk hari ini?” tanyanya. “Pelayan itu sudah berhenti, Tuan.” Resepsionis itu memberitahu. Ini kali pertama seorang tamu menaruh perhatian kepada pelayan di hotel ini. Terlebih, kepada Bella.Alis Jade menukik seketika. “Mengapa berhenti?” “Karena kehamilannya semakin tua, Tuan.” Resepsionis itu menjawab dengan sopan. “Ada apa? Apakah dia membuat kesalahan?” Jade segera menjawab dengan gelengan kepala. “Bukan apa-apa,” ucapnya, kemudian berjalan keluar. Sepanjan
Pandangan Jade masih terpaku pada layar yang menampilkan rekaman CCTV. Dalam sudut ini, ia bisa mengenali wajah Bella. Wajah yang berusaha ia lupakan sejak sembilan bulan lalu. Bella mendatangi toko emas itu dengan langkah kikuk. Dia terus memegangi perutnya yang membesar. Entah mengapa, postur tubuh, rambut, dan ukuran perutnya langsung mengingatkan Jade pada pelayan hamil tempo hari. Jade begitu serius memandanginya hingga tubuhnya ikut terlonjak kaget saat tahu-tahu wanita itu jatuh tak sadarkan diri. Tatapan Jade menjadi waspada sekaligus cemas. “Aku sudah curiga sejak awal.” Pemilik toko emas itu bersuara. “Lihat saja, pakaian dan gayanya tidak terlihat seperti orang kaya. Bahkan, dia memakai sandal jepit. Jelas dia orang miskin, tetapi memiliki cincin mahal seperti ini.” “Saat aku menanyakan surat-suratnya, dia bilang tidak ada. Aku langsung berpikir cincin ini pasti hasil curian. Rupanya benar. Apakah wanita itu sudah mencuri darimu? Ckckck. Tidak bisa dipercaya jika rupan
“Anda mau ke mana, Nyonya?” Perawat itu bertanya dengan cemas saat tahu-tahu Bella beranjak dari ranjangnya. Rasa sakit hebat bekas operasi masih bisa Bella rasakan. Apalagi, setiap langkah kakinya menyentuh lantai rumah sakit. Wanita itu harus berjalan dengan membungkuk-bungkuk untuk meredakan rasa sakit. Bella menjadi khawatir begitu perawat memberitahu bahwa putrinya tengah bersama ayahnya. Ayah yang mana? Bella bertanya-tanya. Wanita itu memang datang dalam keadaan pingsan. Jangan sampai ada seseorang yang mengaku-ngaku sebagai ayah dari putrinya. Bella bergegas secepat yang ia bisa dalam kondisi itu hingga ia tiba di depan ruang bayi. Itu adalah ruangan steril. Namun, dari jendela, Bella bisa melihat seorang pria. Dia mengenakan pakaian khusus visit, lengkap dengan penutup kepala dan masker. Mata Bella memicing saat mencoba menerka-nerka pria yang tengah mengamati seorang bayi itu. Hingga tiba-tiba pria itu menoleh ke arah Bella. Keduanya bertukar tatapan. Mata Bella lang
“... apa?” Seharusnya, Jade merasa lega mendengar jawaban itu. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, entah mengapa ia merasa kecewa. Sesaat, hanya untuk sesaat, Jade sempat berharap dialah ayah dari bayi perempuan itu. “Apa katamu?” Jade bertanya lagi. Masih terlihat tak percaya. Pandangan Bella jatuh. Wajahnya terlihat pucat dan sebisa mungkin ia menghindari pandangan Jade. “Dia adalah anak orang lain,” ucap Bella. Saat melihat Jade menatap anaknya tadi, muncul ketakutan dalam diri Bella. Takut Jade mungkin akan mengambilnya. Bahkan meski Bella tahu ia memiliki keterbatasan dalam segi biaya, Bella ingin mempertahankan bayi yang sudah ia jaga selama sembilan bulan itu. Tak akan ia biarkan siapa pun mencoba mengambilnya. Sementara itu, Jade terdiam, seakan berusaha merangkai susunan ini. Itu berarti, setelah berpisah dengannya, Bella menjalani hubungan dari pria lain dan mengandung seorang anak. Kalau benar demikian, lantas ke mana suaminya?“Mengapa tiba-tiba kau datang kemari
Cklek Pintu terbuka dengan perlahan dan Adimas pun melangkahkan kaki jenjangnya ke dalam. Sepatu pantofel hitam yang seharian membalut kakinya kini sudah berganti dengan sandal untuk di dalam rumah. Adimas berjalan masuk dan melihat sang istri sedang menyusui.“Ma! Kalau yang ini, mobilnya ada berapa?” Mark bertanya dari sudut lain. Bocah laki-laki itu duduk di lantai dan memandangi buku di depannya. Mark memang sedang berminat untuk belajar berhitung belakangan ini. Adimas sudah membelikan meja kecil untuknya, tetapi tampaknya Mark lebih senang duduk di bawah. “Coba Mark hitung,” ucap Karina. Penampilannya sedikit berantakan. Terlihat jelas wanita itu belum membersihkan diri. Di meja, ada sepiring makanan yang tidak tersentuh. Wajah Karina pun terlihat lelah, tampak kewalahan menghadapi dua bayi kembar dan satu bocah berusia tiga tahun yang haus perhatian. “Totalnya ada enam, Ma. Benar tidak?” tanya Mark. Karina masih menyusui Evelyn. Dia tampak hendak beranjak, tetapi khawati
“Dia sudah bertunangan,” ucap Bella dengan suara lirih. Kepala wanita itu tertunduk ke bawah, berusaha keras menahan air mata yang mendesak untuk keluar. Ingatannya beralih pada percakapan Jade di telepon. Bella bisa langsung menerka jika wanita itu adalah seseorang yang dekat dengan Jade. Alasan itu pula yang membuat Bella enggan memberitahu bahwa anak yang sedang ia susui adalah keturunan Jade. Mendengar itu, Jade membungkam seketika. Tatapan pria itu bertambah gelap dan tangannya mengepal geram. “Berengsek,” gumamnya perlahan. Entah apa yang membuat Bella berubah. Dalam ingatan Jade, wanita itu amat licik. Kini sosok yang ada di hadapannya justru wanita lembut yang berusaha keras bertahan hidup dengan usahanya sendiri. “Jadi, itu alasan kamu tinggal di rumah kumuh seperti ini?” ucap Jade. Di samping cahaya yang remang-remang, langit-langitnya pun tak memiliki atap. Terlihat banyak sarang laba-laba dan debu yang dapat berjatuhan kapan saja. Di dinding, terdapat jejas air men
Mobil Jade tiba sepuluh menit kemudian. Alvaro, sopir Jade, tampak heran melihat sang majikan keluar dari rumah yang terbilang tak layak itu. Dengan barang-barang kumuh yang teronggok di luar, rumah itu nyaris seperti rumah pemulung. Alvaro tampak semakin terkejut melihat sang majikan membimbing seorang wanita yang menggendong bayi. Timbul banyak tanda tanya di wajahnya, tetapi Alvaro tak berani menanyakannya saat itu juga. Bella berjalan keluar mengikuti bimbingan Jade. Namun, ia tak langsung memasuki mobil pria itu. Dia terlihat ketakutan, bahkan memandang mobil Jade seperti mobil penculik. Jade bisa mengerti. Pertemuan terakhir mereka dihiasi oleh pertengkaran. Ditambah, sikap Jade sangat dingin saat meminta Bella menjauhinya. Kini, tiba-tiba Jade mengerahkan seluruh kekuasaannya untuk menolong wanita itu. Jelas Bella akan mencurigainya. Akhirnya, Jade beranjak dari sisi Bella dan menghampiri sopirnya. “Apakah kau membawa benda itu?” Jade bertanya. Alvaro mengerutkan alis
Itu adalah pertanyaan yang sudah Bella tunggu sejak lama. Andai sembilan bulan yang lalu, Jade menanyakan hal yang sama. Mereka tak akan berakhir seperti ini. Bella tak langsung menjawabnya. Wanita itu sudah berhenti makan dan memusatkan perhatian pada Jade. “Jika aku memberitahumu, apakah kau akan mempercayainya?” tanya Bella. Jade menelan saliva dengan gugup. Jelas berat baginya untuk mendengar kenyataan itu. Akan tetapi, dia sangat penasaran. Pria itu pun mengangguk. Akhirnya, Bella mengembuskan napas panjang. “Cincin itu …” Dia berkata. “Itu adalah milik kita. Kamu berniat memberikannya padaku, tapi terjebak kecelakaan. Saat bangun, kamu sudah hilang ingatan.” Bella mulai bercerita. Dia lanjut membeberkan semuanya. Bagaimana Jade melupakan Karina, awal pertama mereka bertemu kembali hingga Karina yang menolong Jade pada saat kritis. Jade, jelas tak bisa mempercayainya. Selama ini, dia mengingat Bella sebagai wanita licik dan ambisius yang tidak memedulikan orang lain. “It
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki