Mobil Jade tiba sepuluh menit kemudian. Alvaro, sopir Jade, tampak heran melihat sang majikan keluar dari rumah yang terbilang tak layak itu. Dengan barang-barang kumuh yang teronggok di luar, rumah itu nyaris seperti rumah pemulung. Alvaro tampak semakin terkejut melihat sang majikan membimbing seorang wanita yang menggendong bayi. Timbul banyak tanda tanya di wajahnya, tetapi Alvaro tak berani menanyakannya saat itu juga. Bella berjalan keluar mengikuti bimbingan Jade. Namun, ia tak langsung memasuki mobil pria itu. Dia terlihat ketakutan, bahkan memandang mobil Jade seperti mobil penculik. Jade bisa mengerti. Pertemuan terakhir mereka dihiasi oleh pertengkaran. Ditambah, sikap Jade sangat dingin saat meminta Bella menjauhinya. Kini, tiba-tiba Jade mengerahkan seluruh kekuasaannya untuk menolong wanita itu. Jelas Bella akan mencurigainya. Akhirnya, Jade beranjak dari sisi Bella dan menghampiri sopirnya. “Apakah kau membawa benda itu?” Jade bertanya. Alvaro mengerutkan alis
Itu adalah pertanyaan yang sudah Bella tunggu sejak lama. Andai sembilan bulan yang lalu, Jade menanyakan hal yang sama. Mereka tak akan berakhir seperti ini. Bella tak langsung menjawabnya. Wanita itu sudah berhenti makan dan memusatkan perhatian pada Jade. “Jika aku memberitahumu, apakah kau akan mempercayainya?” tanya Bella. Jade menelan saliva dengan gugup. Jelas berat baginya untuk mendengar kenyataan itu. Akan tetapi, dia sangat penasaran. Pria itu pun mengangguk. Akhirnya, Bella mengembuskan napas panjang. “Cincin itu …” Dia berkata. “Itu adalah milik kita. Kamu berniat memberikannya padaku, tapi terjebak kecelakaan. Saat bangun, kamu sudah hilang ingatan.” Bella mulai bercerita. Dia lanjut membeberkan semuanya. Bagaimana Jade melupakan Karina, awal pertama mereka bertemu kembali hingga Karina yang menolong Jade pada saat kritis. Jade, jelas tak bisa mempercayainya. Selama ini, dia mengingat Bella sebagai wanita licik dan ambisius yang tidak memedulikan orang lain. “It
“Ada apa?” Adimas bertanya saat melihat sang istri tampak cemas. Acara telah berakhir satu jam yang lalu. Evelyn dan Celine pun sudah terlelap. Saat Adimas memasuki kamar, dia melihat Karina mengamati termometer dengan wajah gelisah. “Mark demam,” ucap wanita itu, “Ini pasti karena lukanya tadi.” Mark sudah terlelap dan Adimas menaruh tangannya pada dahi bocah itu. Benar saja, terasa panas. “Coba dikompres dahulu,” katanya. Karina mengangguk. Akan tetapi, wajahnya masih diliputi perasaan menyesal. “Seharusnya aku lebih waspada,” gumam wanita itu. Merasa sedih melihat luka-luka di tubuh Mark. Beberapa luka sudah mengering, tetapi luka lain yang lebih parah masih terlihat basah. Adimas menggeleng. “Kamu pasti kewalahan dengan Celine dan Evelyn,” ucapnya, “Tidak apa-apa.”Meski demikian, jelas Karina merasa bersalah melihat sang putra terluka karena dirinya. Wanita itu kembali meraih kotak P3K dan mengambil pengompres dari sana. “Kamu tidak tidur?” ucap Adimas saat melihat Kari
“Apakah apartemenmu digusur, Tuan?” Ashya bertanya. Setelah membiarkan Bella tinggal di apartemennya, Jade benar-benar jarang kembali. Terlebih, dia masih belum bisa menerima kenyataan yang dibeberkan Bella. Selama ini, Jade selalu berpikir Bella-lah tokoh antagonis dalam cerita mereka. Itu sebabnya, Jade tak tanggung-tanggung meminta wanita itu menjauh. Dia seperti racun setelah menunjukkan sikapnya kepada Adimas. Di luar dugaan, justru Jade yang bersikap kejam kepada Bella. Bahkan, jika cerita Bella benar, dia telah mengusir wanita itu dalam keadaan hamil. Jade tak menyangka dirinya setega itu.“Tuan?” Ashya bertanya lagi. Belakangan ini, dia tambah jengkel dengan sikap Jade yang lebih banyak melamun seperti orang yang hampir gila. Jade berkedip satu kali dan menatap lurus pada Ashya. “Ada apa?” tanyanya. Kan, apa Ashya bilang. Bosnya itu sama sekali tak fokus, apalagi mendengarkan dirinya. “Belakangan ini Tuan selalu tidur di kantor. Apakah apartemen Tuan digusur?” tanya A
“Akh ….” Jade terbangun dengan kepala yang terasa amat berat. Alisnya mengerut dalam saat menyadari ia sudah berbaring di atas ranjang apartemennya sendiri. “Shh … mengapa aku di sini?” gumam pria itu. Ia menjambak rambutnya sendiri saat rasa sakit di kepalanya bertambah hebat. Hal terakhir yang dia ingat adalah Jade meminum banyak alkohol untuk menetralkan pikirannya. Mata Jade membelalak seketika. Sekelebat ingatan bagaimana ia berjalan gontai ke unit apartemennya hingga meracau kepada Bella mendadak muncul di pikirannya. Sejurus kemudian, Jade terlonjak bangun dan bergegas keluar. Namun, unit apartemennya sudah sunyi. “Bella?” Dia memanggil. Tak ada jawaban. Dalam sekali lihat, Jade bisa langsung menyadari jika ia satu-satunya makhluk hidup di apartemen ini. Ke mana Bella dan putrinya? Jade mulai menelusuri seluruh ruangan, mulai dari kamar hingga kamar mandi. Dia melakukannya sambil mencoba menghubungi Bella. Akan tetapi, nihil. Bahkan, peralatan bayi yang Jade sediakan
“Para tetangga langsung membicarakan kamu,” ucap Rosa saat berjalan masuk. Dia baru saja membeli roti dan beberapa biskuit untuk menyambut tamu barunya. Rosa sedikit terkejut karena begitu keluar, sudah ada beberapa wanita paruh baya yang berkumpul di rumah tetangganya. Mereka lantas langsung menanyakan tentang kedatangan Bella sebagai tamunya. “Kenapa? Bukannya hal yang biasa mengunjungi seorang teman?” Bella bertanya. Bayinya sedang tertidur lelap di sisinya. Rosa mengembuskan napas panjang. “Memang biasa,” jawabnya, “Tapi, kamu tidak biasa.” Bella mengerutkan alis. Tidak mengerti ucapan sahabatnya itu. “Ada seorang wanita menggendong bayinya panas-panas dan berjalan kaki. Memangnya tidak aneh?” ucap Rosa sembari mendelik tak senang. Bella berkedip dua kali dan memandang Rosa dengan polos. “Memangnya aneh?” Dia balas bertanya. Di matanya, hal itu biasa saja, toh selama ini Bella sudah sering berjalan kaki ke mana-mana. Namun, Rosa semakin frustrasi dibuatnya. Jika bisa, ia
“Be—beringas?” Tiga wanita paruh baya yang semula menginterogasi Bella itu seketika memandang ke arah Jade dengan mata membesar. Jantung Bella seakan terjun bebas mendengarnya. Refleks, ia memukul bahu Jade dengan pelan.“A—apa yang kau katakan?” protesnya dengan gugup. Sayangnya, semua keterkejutan itu tidak menggoyahkan kepercayaan diri Jade. “Kamu lari dariku karena hal itu, ‘kan? Aku berjanji akan melindungimu, bahkan dari diriku sendiri,” ucap pria itu. Wajah Bella menjadi tambah horor. Ia tidak mengerti dengan apa yang Jade bicarakan, tetapi hal itu sukses menarik perhatian para ibu-ibu. Mereka refleks mengamati Jade dari ujung kepala hingga ujung kaki. Otak mereka lantas berfantasi ria. Tak bisa dipungkiri jika wanita seperti Bella memiliki suami yang begitu rupawan, bertubuh atletis, ditambah memiliki stamina yang ‘bagus’.“Jadi, kau adalah suami wanita ini?” tanya salah seorang ibu itu.Jade mengangguk. Dia merangkul Bella dengan penuh kasih sayang. “Ya, dia adalah istr
Setelah sembilan bulan menunggu, Adimas tak menyangka ia akan mendapat kabar gembira itu dari Jade. Daripada kabar, lebih tempatnya Adimas menerima pesan yang telah ia tunggu-tunggu. Sebuah pesan yang berisikan lampiran foto dirinya bersama Bella. Begitu tiba, Adimas langsung berjalan masuk. Dia melewati ruang tamu dan menemukan Linda tengah menemani Mark bermain. Perhatian Linda seketika teralihkan oleh sosok Adimas. Setiap hari, penampilan Adimas saat pulang bekerja selalu berhasil membuatnya terpikat. Tak jarang, Adimas bertemu dengannya lebih dahulu sebelum bertemu Karina. Membuat Linda merasa dia yang pertama menyambut pria itu. “Di mana Karina?” Adimas langsung bertanya tanpa basa-basi. “Sedang menyusui di kamar, Tuan,” ucap Linda. Adimas pun beranjak menuju kamarnya. Tak lupa, ia menyempatkan diri untuk mengusap puncak kepala Mark sebelum melenggang pergi.Dia membuka pintu dan menemukan Karina baru saja hendak menaruh Evelyn di boks bayi. Hal itu sontak membuat Adimas me
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki