Mobil sedan itu memasuki pekarangan rumah mewah nan megah di kawasan Pondok Indah. Satpam rumah langsung membukakan pintu samping mobil, lalu Prakas turun dari mobil dengan wajah bingung. Tubuhnya yang tinggi itu memasuki rumah. Dia memiliki kulit putih dan rambut agak modis dengan sedikit poni. Prakas sangat tampan dan digilai para perempuan. Bagaimana pun dia harus terlihat sempurna karena perusahaannya adalah perusahaan yang bergerak dibidang kosmetik terkenal yang mulai mendunia. Produk yang dijual perusahaannya bukan saja kosmetik untuk perempuan saja, melainkan produk-produk untuk pria juga seperti parfum dan lainnya.
Tiba-tiba perempuan berumur 45 tahun dengan pakaian modis dan terlihat terawat itu datang menghampiri Prakas dengan cemas.
“Prakas, semalam kamu kemana? Kenapa tidak pulang ke rumah?” tanya perempuan itu. Dia adalah Nyonya Prameswari, ibu kandung Prakas yang menjanda sudah dua tahun lamanya.
“Aku tidur di tempat temen, Mah,” jawab Prakas.
“Lain kali telepon, Mamah,”
Prakas mengangguk lalu pamit ke kamarnya. Di dalam kamar, dia langsung merebahkan diri di atas kasur. Prakas masih memakai setelan jas lengkap dengan dasinya. Bayangan-banyangan semalam terus terngiang di pikirannya. Dia ingat ketika dia hampir terjatuh saat memasuki kamar hotel itu karena terlalu mabuk, tiba-tiba ada tangan yang memegangi tubuhnya. Prakas menoleh padanya dengan terkejut.
“Kamu siapa?” tanya Prakas heran dengan pandangan mata yang agak buram.
“Aku Miona, Mas,” jawab Miona dengan gugup dan takut.
“Jangan panggil Mas, panggil aku Prakas,” protes lelaki itu.
Miona mengangguk.
“Kamu ngapain di sini?” tanya Prakas lagi.
“Bukannya kamu yang nyewa aku?” jawab Miona.
“Maksudnya?” tanya Prakas heran. Dia masih dalam kondisi mabuk.
“Katanya kamu mau cari perempuan yang masih perawan, dan kamu sudah transfer ke mami buat bayar aku,” jawab Miona dengan polos.
Prakas menatap wajah Miona dengan tatapan serius. Pandangannya yang buram mendadak terang saat melihat kecantikan perempuan di hadapannya itu. Lelaki itu tiba-tiba mendaratkan bibirnya ke bibir gadis itu. Miona kaku dan diam. Tak berapa lama Prakas langsung menarik tangan Miona ke atas kasur. Lelaki perjaka itu melepas pakaiannya satu demi satu lalu melepas pakaian Miona secara perlahan. Miona memejamkan mata. Pasrah.
Lalu...
Prakas berhenti mengingat itu. Dia bangkit dari atas kasurnya. Dia merasa tidak enak hati dan sangat merasa bersalah. Prakas akhirnya keluar dari kamarnya. Mamanya heran melihat anak tertuanya buru-buru berjalan ke arah luar.
“Kamu mau kemana, Prakas? Makan malam dulu, mama udah siapin,” tanya Prameswari heran.
“Aku pergi dulu, Mah,” jawab Prakas, lalu dia segera keluar dari rumah dan menaiki mobilnya. Prakas menyetir mobilnya sendiri tanpa supir.
Mobil itu berhenti di parkiran apartemen. Prakas langsung turun dari mobil dan mencari lift. Saat dia tiba di depan pintu sebuah apartemen di lantai 30, dia memencet bel. Seorang lelaki yang seumuran dengannya keluar dan heran melihat kedatangan Prakas. Dia adalah Doni, dalang dari pemesanan perempuan perawan itu.
“Prakas?”
Prakas menarik kerah baju Doni dan memukuli wajahnya tanpa ampun. Doni mencoba melawan hingga dia pun berhasil meninju pipi Prakas sekali.
“Lo kenapa?” tanya Doni heran sambil menahan sakit di bibirnya yang mulai berdarah.
“Nggak usah tanya kenapa? Lo ngapain nyewa cewek buat gue?” tanya Prakas yang tampak sangat emosi.
“Lo nggak nyadar kalo lo sendiri yang mau?! Harusnya lo seneng, gue udah bayar perempuan itu 60 juta. Kok lo malah mukul gue?” ucap Doni emosi.
“Harusnya lo sebagai sahabat jagain gue di saat gue mabok, bukan jerumusi gue kayak gitu! Gue tahu gue masih perjaka, tapi gue nggak mau nyakitin cewek! Gue maunya ngelepas perjakaan gue sama perempuan yang gue sayang biar gue bisa tanggung jawab,” teriak Prakas.
“Yaudah! Lo tanggung jawab aja ama pelacur itu! Perawannya kan Lo yang ambil? Lagian juga paling dia sibuk jual diri lagi!” teriak Doni.
Satu tinju lagi mendarat ke pipi Doni. Prakas lalu pergi dari sana. Doni mengepalkan tangan dan memilih untuk masuk ke apartemennya.
Prakas menghentikan mobilnya di parkiran pantai Ancol. Dia keluar dari mobil lalu berjalan di jembatan pejalan kaki yang melintasi air lalut. Prakas berhenti lalu memandangi gelapnya lautan di hadapannya. Tiba-tiba dia teringat pesan Pak Imam saat Prakas meminta Pak Imam untuk menemaninya meeting di Bali tahun lalu.
“Lelaki sejati itu nggak pernah nyakitin perempuan, dia sangat menghormati perempuan dan mejaga kesuciannya,” ucap Pak Imam kala itu.
Mereka sedang mengobrol di sebuah cafe yang menghadap pantai Kuta. Prakas hanya diam. Selama ini papahnya selalu sibuk mengurus perusahaan hingga dia kurang mendapat perhatian. Mamahnya juga sama, sibuk berkumpul dengan istri-istri pengusaha dan selebriti terkenal di Indonesia. Pak Imam lah yang peduli padanya sejak kecil. Saat papahnya membawa Prakas kecil ke kantor, papahnya selalu menitipkan Prakas pada Pak Imam. Sejak itulah mereka akrab dan hingga sekarang sampai Prakas mewarisi perusahaan ayahnya.
Saat itu juga, Prakas meraih handphonenya, dia ingin menceritakan semua kebingungannya pada Pak Imam. Bagaimana pun dia harus tenang dan mendapatkan solusi agar tidak merasa bersalah lagi telah melakukan itu semalam.
“Halo,” jawab seorang perempuan tua di seberang sana.
Prakas heran, biasanya Pak Imam tak pernah memberikan handphonenya pada siapapun.
“Saya Prakas, Pak Imamnya ada?” tanya Prakas.
“Prakas siapa?” tanyanya lagi.
Selama ini Pak Imam memang tak pernah mengenalkan keluarganya pada Prakas dan pada almarhum ayahnya. Prakas juga tak pernah tau Pak Imam tinggal di mana? Siapa istrinya dan siapa anak-anaknya?
“Temen kerjanya di kantor, Pak Imamnya kemana?” tanya Prakas heran.
Tiba-tiba terdengar suara tangisan di seberang sana. Prakas heran.
“Saya istrinya, sekarang Bapak di rumah sakit, dia di ruang ICU,” jawab perempuan itu.
Prakas terkejut mendengarnya. Setelah itu dia menanyakan alamat rumah sakitnya. Setelah tahu, Prakas langsung melajukan mobilnya menuju rumah sakit itu. Sampai di depan rumah sakit, dia melihat seorang ibu-ibu dan seorang anak lelaki yang masih remaja sedang menangis duduk di depan ruangan ICU.
“Pak Imamnya di mana?” tanya Prakas dengan sedih.
Ibu-ibu itu tampak heran melihat Prakas. Dia langsung mempersilakan Prakas masuk ke ruangan ICU itu. Prakas langsung masuk dan matanya langsung berkaca-kaca saat melihat kondisi Pak Imam yang kritis itu. Selang oksigen tersambung ke hidung Pak Imam. Lelaki Tua itu tampak tidak sadarkan diri.
“Pak, Bapak...” panggil Prakas dengan lirih. Prakas memegang tangan Pak Imam. Sekarang dia merasakan hal sama saat melihat kondisi papahnya kritis dulu.
Tiba-tiba tangan Pak Imam bergerak. Prakas lega melihatnya.
“Pak!” ucap Prakas memanggilnya.
Lelaki Tua itu menoleh ke arah Prakas dengan lemah.
“Prakas...” panggilnya lirih.
“Iya, Pak. Bapak kenapa?”
“Umur bapak mungkin nggak akan lama lagi, bapak merasa bersalah sudah menolak niat baik kamu selama ini, maafkan bapak...” ucapnya lemah.
Air mata Prakas mulai deras.
“Nggak apa-apa, Pak. Bapak mau nemenin saya selama ini itu udah cukup. Bapak udah kayak papah aku sendiri selama ini,” ucap Prakas mulai terisak.
“Carilah perempuan yang baik, sekarang mungkin saatnya kamu memiliki pendamping...” pinta Pak Imam, setelah itu dia diam, seperti mengucapkan dua kalimat syahadat.
Prakas berteriak memanggil dokter. Dokter dan perawat datang bersamaan dengan perempuan tua dan anak lelakinya. Dokter berusaha menggunakan alat pemacu jantung, namun tak lama kemudian nyawanya tak bisa tertolong lagi. Kini, lelaki yang sudah dianggapnya seperti ayahnya sendiri itu telah pergi untuk selama-lamanya. Prakas menangis sesenggukan, bersamaan dengan tangisan perempuan tua dan anak lelakinya itu.
Tak lama kemudian, seorang perempuan berambut panjang datang lalu langsung berteriak dengan tangisnya.
“Bapaaak! Bapaaak!” teriak perempuan itu.
Prakas langsung menoleh pada perempuan yang masih menangis itu. Prakas kaget saat melihat wajah perempuan itu dengan jelas.
“Miona Salsabila?”
Prakas diam-diam keluar dari ruangan itu saat mendapati Miona ternyata anak gadis Pak Imam. Tubuhnya mendadak lemas. Dia buru-buru melangkah menuju parkiran mobilnya. Prakas tak mau Miona mengetahui keberadaannya di sana. Beruntung gadis itu memang tidak menyadari keberadaannya. Saat sudah berada di dalam mobil lelaki itu tampak tercengang. Dia masih tak percaya. Lelaki itu pun langsung melajukan mobilnya dengan bingung. Di perjalanan, Prakas teringat lagi akan kejadian malam itu dengan Miona. Saat Prakas sudah melepaskan keperjakaannya, dia terbaring lemas dengan kantuk yang mulai datang. Dia masih bisa mengingat jelas suara tangisan Miona yang sedang memeluk kakinya. Samar, Prakas melihat Miona membuka kulkas lalu mengambil sebotol minuman beralkohol di dalamnya lalu menenggaknya dengan banyak. Lalu Miona mengguncang tubuh Prakas, membangunkannya dari kantuk. “Apa?” tanya Prakas yang masih dalam kondisi mabuk. Mi
Miona duduk di bangku paling belakang di dalam busway itu. Pemandangan kota Jakarta di luar jendela busway tampak indah. Namun hatinya sedih, air matanya mulai berjatuhan. Dia berusaha mengelapnya dengan tangannya sendiri. Handphonenya sedari tadi berbunyi. Telepon dari mucikarinya yang dipanggilnya Mami. Sebenarnya semenjak kejadian malam itu dengan Prakas, dia tak mau lagi menjual dirinya ke lelaki hidung belang. Tapi karena tadi sore, para rentenir itu datang lagi menagih sisa hutang ibunya yang belum dibayarkan, dia terpaksa menerima tawaran maminya itu, dan ternyata yang memesannya untuk kedua kali adalah lelaki yang sama. Lelaki yang arogan dan aneh menurutnya. Air mata Miona kembali mengalir deras. Dia merasa bersalah pada bapaknya. Dia teringat saat kejadian malam itu yang membuat penyakit jantung bapaknya kumat. Ya, saat itu Miona sedang memarahi Ibunya, dia baru pulang bekerja di sebuah restoran di Jakarta. Saat itu dia dapati banyak lelaki seram di
Pagi itu, para pelayan sedang menyiapkan sarapan di meja makan. Prakas sudah duduk dan sudah bersiap untuk pergi ke kantor. Nyonya Prameswari mengiris roti sambil memandangi wajah Prakas yang terlihat lesu. “Kemarin, Ibu Andiri main ke rumah, dia bawa Adelia ke sini. Tenyata Adelia makin cantik sekarang. Dulu pas mama liat di acara perusahaan sewaktu papanya bawa dia ke sana, dia masih kecil. Sekarang setelah dia pulang dari Australia, dia makin cantik, Prakas.” Prakas hanya tersenyum mendengarnya. Adelia adalah anak Pak Hartono yang menjadi komisaris di perusahaanya. Pak Hartono telah menanam saham sebanyak 40 persen di perusahaannya. “Kamu kapan ngenalin pacar ke mamah?” tanya Nyonya Prameswari tiba-tiba. Prakas menatap wajah mamahnya dengan tersenyum. “Sabar ya, Mah. Nanti kalo udah ada, pasti aku kenalin ke mamah,” jawab Prakas. Nyonya Pramesw
Sebuah mobil sedan berhenti di depan rumah sederhana Miona. Prakas turun dari mobil. Para ibu-ibu yang sedang ngerumpi di hadapan rumah Miona tampak heran. "Dia siapa?" "Nggak tau, pacarnya Miona kali!" "Nggak mungkin! Bos rentenir kali! Nagih hutang sama ibunya Miona." "Iya, kali ya?" Saat Prakas menoleh sesaat pada mereka, ibu-ibu tercengang. "Kok wajahnya kayak Prakas pengusaha muda yang sering digosipin sama artis-artis itu ya?" "Iya! Ada apa dia ke rumah ibu Maryam ya?" Ibu-ibu di sana bingung karena tak menemukan perkiraan jawaban. Prakas mengetuk pintu. Maryam membuka pintu. Senyumnya merekah saat melihat Prakas sudah tiba dengan senyum menawannya. "Masuk!" Maryam menarik tangan Prakas ke dalam seolah bersikap kepada anaknya sendiri. Para ibu-ibu di sana saling melihat dengan tak percaya. Semakin penasaran. Prakas duduk dengan bingung. Dia melihat-lihat ke arah dalam. Gugup jik
Miona menunduk malu di hadapan perempuan tua itu. Dia memegangi pipinya yang sakit sehabis ditampar perempuan tua itu. Para tamu yang sedang menikmati makan malam di dalam restoran itu terpusat padanya. Heran."Kalo sampe kamu sebarin gosip yang nggak-nggak lagi ke orang-orang, saya bisa tuntut kamu!" teriak perempuan tua itu pada Miona.Miona hanya terisak, malu. Tak lama kemudian seorang lelaki Muda, manager di restoran itu datang untuk menengahi mereka."Maaf, Bu, ada apa sebenarnya?" tanya manager itu dengan heran."Dia ini udah nyebarin gosip ke orang-orang tentang saya! Katanya sayalah yang menjadi penyebab ibunya terjerat hutang pada Rentenir! Padahal ibunya sendiri yang suka main judi! Saya nggak pernah ngajakin ibunya main judi! Saya malu!"Ibu itu hendak menjambak rambut Miona yang menunduk pasrah. Tak lama kemudian Prakas tiba-tiba datang menghalangi aksi ibu-ibu itu untuk mencelakai Miona. Miona tercengang melihat Prakas t
Prakas melangkah ke ruang keluarga rumahnya yang begitu luas. Dia kaget saat melihat Adelia, anak Pak Hartono yang menjadi komisaris di perusahaannya sedang bercengkrama dengan mamahnya. Dia langsung melangkah menuju kamarnya, pura-pura tidak melihat."Prakas!"Prakas menghela napas mendengar suara panggilan dari mamahnya. Prakas menoleh pada Prameswari yang terlihat senang mendapati anak tertuanya pulang."Iya, Mah.""Sini! Ada Adelia nih!" ajak Mamahnya.Adelia tampak tersenyum malu pada Prakas. Lelaki itu terpaksa berjalan menuju mereka, berpura-pura tersenyum."Hai, Adelia. Gimana kabarnya?" tanya Prakas sambil duduk di sofa menghadapnya."Aku baik kok, kamu gimana?""Ya, gitulah," jawab Prakas tampak malas.Prameswari berdiri sambil menoleh ke Prakas, "Mamah tinggal bentar ya? Mama lupa tadi mau nelepon temen mamah, mau nanyain soal arisan!"Prakas lemas. Dia tahu mamahnya sengaja membiarkan mer
Prakas melangkah cuek melewati Miona yang terpaku menatapnya. Dia juga tak tahu harus bersikap bagaimana saat tak sengaja menemukan gadis pemilik rumah itu bersamaan datang ke sana. Gadis itu tampak tersinggung melihat lelaki itu seolah tidak mengetahui keberadaannya. Dia langsung buru-buru menghalangi langkah Prakas yang hendak mengetuk pintu. "Ngapain ke sini?" tanya Miona heran. "Urusan gue ke sini bukan soal lo!" jawab Prakas tegas. "Soal apa?" "Bukan bisnis buat lo juga, jadi gue nggak perlu ngasih tahu," jawab Prakas. "Lo ke rumah gue, itu artinya bakal berurusan juga sama gue. Kasus video viral kita juga belum reda, gue nggak mau kedatangan Lo ke sini jadi nambah bahan gosip buat tetangga," tegas Miona. "Tenang aja! Masalah itu nggak usah Lo pikirin," pinta Prakas. "Tadi jalan sama siapa? Pacar?" tanyanya tiba-tiba. Miona mengernyit. "Ngapin nanya? Bukan urusan lo!" Prakas manyun. "Bintang itu
Prakas berdiri di hadapan kaca yang membentangkan pemandangan kota Jakarta di bawah sana. Dia sedang berada di ruangan kantornya. Dia teringat akan ucapan mamanya semalam. Cinta tak bisa dipaksa. Pikirnya. Dia tak mau di jodohkan dengan orang yang tidak dicintainya.Dan selama dia hidup, baru sekali dia merasakan mencintai perempuan begitu dalam. Yaitu saat masih SMA dulu. Gadis itu bernama Aruna. Hanya sebatas menyukai karena perempuan itu sudah memiliki kekasih. Kini dia tak tahu lagi bagaimana kabar gadis itu. Sejak lulus SMA dia kehilangan jejak. Bahkan dia sendiri tak menemukan jejak sosial medianya. Tak ada nama Aruna yang sesuai dengan foto gadis itu di sosial media.Tak berapa lama kemudian terdengar suara ketukan pintu."Masuk!" teriak Prakas.Pintu ruangan terbuka. Rupanya yang datang adalah sekretarisnya."Pagi, Pak.""Pagi. Ada apa?""Pak Warto lagi ada di depan ruangan Bapak. Dia ingin bertemu Bapak, k
Saat Prakas dan Alex tiba di rumah, mereka tidak menemukan Prameswari di sana.“Mama kemana?” tanya Alex pada Prakas.“Aku nggak tau,” jawab Prakas. “Emangnya kamu nggak ngasih tahu Mamah kalo kamu mau pulang?”Alex menggeleng. Prakas heran.“Kenapa?”“Aku rencananya mau ngasih kejutan sama Mama.”Prakas angguk-angguk. Dia masih penasaran apa yang mau dikatakan Alex tadi di bandara.“Oh ya, tadi di bandara kamu mau ngomong apa?”Alex bingung. Sepertinya dia tidak sanggup untuk menceritakan kenyataan itu. Tapi dia harus mengatakannya karena tidak mungkin kakak beradik itu harus menjalin cinta. Alex harus mencegahnya sebelum terjadi hal yang lebih buruk pada mereka.Alex menarik tangan Prakas menuju kamarnya. Di dalam kamar itu Alex mengatur napas berat.“Aku harap kakak nggak pingsan setelah denger penjelasan aku.”“Udah kasih tahu aja, kayak apa aja.”“Aku pernah denger omongan Pak Imam sama Papa waktu aku kelas 1 SMP dulu. Papa nitip anaknya ke Pak Imam buat Pak Imam jaga. Kata Papa,
Miona datang membawa segelas teh manis untuk Prakas. Dia meletakkan segelas teh manis itu dengan heran melihat raut wajah Prakas yang tampak kebingungan.“Kenapa?” tanya Miona. Dia lalu bergabung duduk di meja makan.“Bintang udah konfrensi pers ke para wartawan,” jawab Prakas.Miona dan Siska terkejut mendengarnya.“Dia ngomong apa sama wartawan?” tanya Miona penasaran.“Dia udah ngakuin kalo kami cuman sandiwara,” jawab Prakas.Miona lega mendengarnya.“Mudah-mudahan dia nggak ada niat buat nyebarin video kita,” ucap Miona.“Aku yakin dia nggak bakalan nyebar video kita, soalnya aku liat dia kayak tenang dan biasa aja,” tebak Prakas.“Yaudah, dilanjut sarapannya,” pinta Miona.Prakas mengangguk, mereka pun melanjutkan sarapannya. Tak lama kemudian handphone Prakas berbunyi. Prakas mengangkatnya.“Halo,” ucap Prakas menjawab teleponnya.“Besok jemput aku di bandara,” ucap seseorang di seberang sana.Prakas terkejut mendengar suaranya. “Alex?!”“Iya, Kak. Ini aku Alex. Besok kakak jem
“Miona! Miona! Bangun Miona! Kok kamarnya di kunci sih?!” teriak Siska di luar sana.Miona dan Prkasa terbangun dalam keadaan saling memeluk. Mereka berdua terkejut. Miona bangkit lalu menatap Prakas yang sedang mengucek-ucek matanya.“Sembunyi bentar,” pinta Miona pada Prakas.Prakas mengernyit heran. “Kenapa harus sembunyi?”“Nggak enak sama Siska,” jawab Miona.“Nggak apa-apa, dia kan tahu kalo kita pacaran. Kecuali kalo aku ini bukan siapa-siapa kamu,” protes Prakas.“Ih, pokoknya sembunyi dulu,” pinta Miona.Prakas menghela napas lalu turun dari kasur hanya mengenakan kolor saja. Prakas bukannya pergi ke kamar mandi untuk bersembunyi, dia malah berjalan menuju pintu. Miona terbelalak melihatnya.“Prakas, ngapain?” tanaya Miona saking terkejutnya.Prakas tidak menggubris panggilan Miona. Dia malah membuka pintu hingga Siska terbelalak melihat dada bidang Prakas yang mendadak ada di kamar Miona.“Pra...kas...” ucap Siska.Miona buru-buru turun dari kasur lalu berjalan ke arah pintu
Mobil Prakas melaju menembus jalanan malam kota Jakarta. Di dalamnya Prakas yang sedang fokus menyetir menoleh pada Miona yang duduk di sebelahnya.“Ibu nggak nyariin?” tanya Prakas.“Tadi aku udah bilang mau nungguin kamu,” jawab Miona. “Ibu pasti tahu kalo sekarang aku jalan sama kamu,” jawab Miona.Prakas mengangguk lalu kembali fokus menatap jalanan di hadapannya.“Jadi kita mau kemana?” tanya Prakas heran.“Aku pengen ke Puncak,” jawab Miona.Prakas terkejut mendengarnya.“Puncak?”“Iya,” jawab Miona. “Aku pengen ngajak kamu ke suatu tempat. Di sana tempat terbaik buat aku menyendiri kalo lagi ada masalah.”“Memangnya besok nggak ada shooting?” tanya Prakas heran.“Besok nggak ada jadwal shooting, jadi malam ini aku aman,” jawab Miona.“Yasudah,” ucap Prakas.“Tapi kalo besok kamu ada meeting, kita muter-muter aja malam ini, terus balik lagi ke rumah aku,” ucap Miona.“Besok aku nggak ada meeting, aku aman,” ucap Prakas.Miona pun tersenyum senang. Prakas pun melajukan mobilnya d
Prakas berdiri menghadap kaca ruangan kantornya yang menghamparkan pemandangan suasana kota Jakarta di malam hari. Gedung-gedung pencakar langit memancarkan cahayanya. Lelaki itu menarik napas berat. Dia sudah nekat melakukan konfrensi pers ke pihak wartawan. Dia sudah tidak ingin bermain-main dengan ancaman dan perjanjian itu lagi. Dia juga tidak peduli dengan ancaman video rekamannya bersama Miona akan tersebar luas ke luar sana. Dia sudah siap menerima itu semua. Sekarang yang harus dia lakukan adalah menguatkan Miona untuk menghadapinya bersama-sama jika hal buruk benar-benar terjadi.Prakas meraih handponenya lalu menghubungi Miona. Tak lama kemudian Miona mengangkat teleponnya.“Halo,” sapa Miona dengan suara lemah di seberang sana.“Aku minta maaf,” ucap Prakas dengan tulus.“Minta maaf soal apa?” tanya Miona dengan heran.“Kamu pasti tahu soal konfrensi pers yang tadi aku lakukan sama wartawan,” jawab Prakas.“Kamu nggak perlu minta maaf ke aku soal itu. Itu udah jadi hak kamu
Miona dan Siska terduduk lesu di lokasi shooting. Shooting ditunda akibat Bintang tidak ada di sana. Di ruangan yang lain, terdengar suara Mahendra marah-marah pada crew. Miona heran, padahal Bintang yang salah, malah crew yang dimarahinya.“Apa kita pulang aja?” tanya Miona pada Siska.“Jangan dulu. Lo nggak liat Pak Mahendra marah-marah begitu? Nanti lo juga kena kalo ikutan kabur kayak Bintang,” ucap Siska.“Abisnya mau sampai kapan kita nunggu Bintang. Dia nggak bakal balik ke sini,” ucap Miona.“Gimana pun lo harus tunjukin profesionalitas! Lo nggak inget gimana susahnya kita dulu? Harus kerja di café, disuruh-suruh orang, diomelin orang? Sekarang hidup lo udah enak! Lo harus bersyukur,” ucap Siska.Miona akhirnya mengangguk. Dia memang senang berada di posisi sekarang. Tapi gimana pun juga ada hal yang paling menakutkan di hadapannya kelak. Miona berpikir bagaimana jika Bintang nekad meny
Bintang langsung berjalan menuju mobilnya dengan kesal dan sedih. Dia tak percaya mendengarkan semua pengakuan Prakas padanya. Dia tak percaya Prakas sudah membohonginya. Miona mengejarnya dengan ketakutan. Dia khawatir gadis itu akan menyebarkan videonya bersama Prakas yang menjadi ancamannya selama ini.“Bintang, ini diluar kendali aku! Dengerin aku dulu, Bingang!” teriak Miona mengejarnya.Bintang cuek lalu masuk ke dalam mobilnya dengan menutup pintu mobil begitu kencangnya. Bintang kemudian pergi dari sana dengan mobilnya.“Bintang! Bintaaang!” teriak Miona kesal.Prakas heran melihat aksi Miona. Sesaat dia curiga bahwa yang memintanya melakukan itu adalah Bintang. Miona berjalan ke arah Prakas dengan kesal.“Bintang punya video kita berdua di hotel waktu itu,” ucap Miona dengan air mata yang mulai menjatuhi pipinya.Prakas terbelalak mendengarnya. “Maksud kamu?”“Dia punya re
Pagi itu, Bintang hendak pergi ke lokasi shooting. Tiba-tiba bel di apartemennya berbunyi. Dia buru-buru berjalan ke arah pintu. Bintang terkejut ketika mendapati Prameswari sudah berdiri di ambang pintu.“Tante?” ucap Bintang dengan heran.Parmeswari tersenyum padanya lalu berjalan masuk. Bintang buru-buru membuka pintu lalu menyusul Prameswari yang sudah duduk di sofa dengan santainya.“Tumben Tante pagi-pagi ke sini?” tanya Bintang sambil duduk di sofa menghadapnya. Dia benar-benar heran padanya.“Aku pengen mampir aja. Ternyata apartemenmu ini satu gedung dengan sahabat lamaku,” ucap Prameswari berbohong padanya.“Oh, begitu,” sahut Bintang.“Kamu sama Prakas gimana?” tanya Prameswari.“Baik-baik aja, Tante,” jawab Bintang.Prameswari mengernyit heran. Dia bingung kenapa Bintang seperti tidak marah pada Prakas. Padahal dia sudah mengirimkan video itu ag
Maryam membuka pintu. Dia heran melihat wajah anaknya tampak sedih begitu.“Kamu baik-baik aja kan?” tanya Maryam pada Miona yang baru datang.“Aku baik-baik aja, Bu,” jawab Miona.Maryam tenang mendengarnya. Dia pun masih tak berani untuk menanyakan kebenaran tentang apa yang berhasil diselidikinya mengenai anak gadisnya itu. Maryam masih bingung harus bersikap bagaimana. Dia sama sekali tak bisa marah padanya.“Kamu sudah makan? Kalo belum biar ibu siapin,” tawar Maryam.“Aku udah makan, Bu. Siska mana?” tanya Miona.“Siska tadi barusan aja masuk ke kamarnya,” ucap Maryam.“Yaudah, aku ke kamar dulu ya, Bu?” pamit Miona.Maryam mengangguk. Miona lalu berjalan menuju kamarnya. Maryam memperhatikan punggungnya dengan bingung. Sesampainya Miona di kamarnya, dia langsung duduk di tepi kasur. Matanya kembali berair. Dia tak percaya hubungannya dengan Prakas ak