Prakas masih terlelap di atas kasur, berselimut setengah dada, tiba-tiba membuka matanya. Dia heran melihat langit-langit di kamar itu berbeda dengan langit-langit di kamar rumahnya. Prakas mencoba bangkit namun sakit di kepalanya mendadak datang hingga memaksa tangannya untuk memijiti keningnya sendiri. Sekarang dia tidak memakai pakaian sama sekali.
“Apa yang aku lakukan semalam dan kenapa aku berada di sini?” pikirnya dalam hati.
Saat Prakas menoleh ke samping, dia terperanjat ketika mendapati seorang gadis sedang tertidur lelap tanpa busana yang masih diselimuti selimut putih. Prakas mengangkat selimut yang masih menyelimuti setengah tubuhnya. Dia semakin terkejut saat mendapati bagian bawah tubuhnya tidak mengenakan pakaian sama sekali. Prakas membangunkan gadis itu dengan heran dan penuh pertanyaan.
“Bangun! Bangun!” ucap Prakas setengah berteriak sambil menggerak-gerakkan tubuh perempuan itu.
Gadis itu menggeliat lalu membuka matanya dengan berat.
“Apaan? Kalo mau pergi pergi aja, gue udah dibayar kok,” ucap gadis itu sedikit kesal.
Prakas terbelalak mendengarnya. Bagaimana pun dia tidak ingat apa-apa kenapa dia bisa berada di sana.
“Dibayar sama siapa? Emangnya kita ngapain semalam?” tanya Prakas heran.
Perempuan itu akhirnya duduk sambil menutupi bagian dadanya dengan selimut dan melihat ke arah Prakas dengan kesal.
“Lo nggak inget apa-apa?” tanya perempuan itu dengan heran.
“Nggak! Jelasin ke gue ada apa semalam dan kenapa gue bisa sama elo di sini?” tanya Prakas dengan bingung bercampur kesal.
Perempuan itu menghela napas sejenak lalu menatap Prakas dengan marah.
“Elo udah merawanin gue! Elo sendiri yang pesen gue sama mami, kenapa elo nggak tau? Jangan pura-pura nggak tau deh!” ucap perempuan itu dengan marah.
Prakas mencoba mengingat-ingat kejadian semalam. Iya, semalam dia hadir di pesta ulang tahun sahabatnya si Niko. Teman kuliahnya dulu. Di sana juga ada Doni dan Marli, teman satu kuliahnya juga. Prakas datang dengan memakai setelan jas karena tak sempat berganti pakaian sepulang dari kantor. Niko menyewa satu club malam dan menyediakan berbagai macam minuman keras untuk tamu yang diundangnya. Saat Prakas mabuk, Niko dan teman-teman satu genk anak-anak konglomerat itu menantangnya untuk melepas keperjakaannya. Prakas yang dalam kondisi mabuk akhirnya tertantang. Saat pesta ulang tahun usai, Niko membawa Prakas ke sebuah hotel dan mendorongnya ke sebuah kamar. Lalu Niko menutup kamar hotel dari luar dan pergi begitu saja meninggalkannya.
Prakas mengernyit mengingat itu. Dia menatap perempuan itu dengan marah.
“Sekarang kamu pergi dari sini!” teriak Prakas.
“Biasa aja dong, udah enak-enak merawanin gue pake ngusir lagi! Gue bisa pergi sendiri!” ucap perempuan itu yang juga marah padanya.
“Pergi!” teriak Prakas lagi.
Perempuan itu buru-buru memakai pakaiannya. Prakas melihat ada bekas darah di tempat tidurnya. Sekilas perempuan itu memang sangat cantik. Kulitnya putih, rambutnya panjang dan sangat sempurna. Saat perempuan itu hendak keluar, Prakas menahannya.
“Tunggu!”
“Apaan?”
“Mana KTP kamu,” pinta Prakas.
Perempuan itu heran, “Buat apaan?”
“Gue pengen lihat! Kalau ada apa-apa gue tahu nama kamu dan alamat rumah kamu!” jawab Prakas yang masih kesal.
Perempuan itu langsung membuka tas kecilnya dan mengeluarkan KTP di dalamnya, kemudian dia langsung memberikannya pada Prakas dengan kesal.
“Nih, buruan!”
Prakas langsung memeriksa KTP perempuan itu. Sekarang dia tahu kalau perempuan itu memiliki nama Miona Salsabila, dia tinggal di kawasan Mampang Prapatan Jakarta Selatan. Prakas meraih handphonenya lalu memfoto KTP perempuan itu dengan buru-buru. Setelah selesai memfoto Prakas langsung memberikan KTP itu kepadanya lagi.
Perempuan itu langsung mengambil KTP-nya lagi dan menyimpannya ke dalam tas kecilnya, kemudian dia keluar sambil menutup pintu kamar hotel itu dengan kencang.
“Sial!” keluh Prakas.
Prakas langsung buru-buru meraih handphonenya lagi dan langsung menghubungi Niko.
“Halo!” jawab Niko di seberang sana.
Prakas langsung marah mendengar suaranya, “Lo apa-apaan sih pake nyewa perempuan nggak bener buat gue? Lo tahu kan kalo gue mabuk gimana?”
Niko terdengar tertawa di seberang sana.
“Bukannya elo sendiri yang nerima tantangan kita-kita?! Lagian juga yang nyewa perempuan itu bukan gue, si Doni noh,” jawab Niko dan langsung mematikan handphonenya.
Prakas kesal lalu segera menelpon Doni. Namun nomor Doni tidak aktif. Akhirnya Prakas langsung menelpon Supirnya untuk menjemputnya di hotel dan mengantarkannya ke kantor.
Setiba di kantor, Prakas duduk di meja kerjanya yang besar itu dengan kesal. Lelaki tampan itu adalah seorang CEO di perusahaan itu. Prakas terpaksa mengurus perusahaan peninggalan ayahnya itu karena dia anak tertua dari dua bersaudara. Adiknya yang bernama Alek sedang kuliah di Inggris. Prakas mencoba kembali mengingat-ingat kejadian semalam. Dia memukul kepalanya sendiri saat berhasil mengingat kejadian semalam bersama gadis itu. Gadis itu menangis kesakitan, namun dia tak peduli. Terus saja melakukan hal gila yang seharusnya dia tidak lakukan. Ini semua gara-gara mabuk, pikirnya. Sekarang yang muncul di pikirannya adalah merasa bersalah pada gadis itu dan kasihan padanya. Sesaat kemudian Prakas mengangkat gagang telepon di atas meja kerjanya lalu menelpon sekretarisnya.
“Tolong panggilin Pak, Imam. Suruh ke ruangan saya,” pinta Prakas pada sekretarisnya di telepon.
“Baik, Pak,” jawab sekretarisnya di telepon.
Tak lama kemudian Pak Imam datang. Lelaki tua itu memakai pakaian seragam OB lengkap dengan kopiahnya. Dia sudah lama bekerja di sana, sejak almarhum ayahnya dulu memimpin perusahaannya. Sekarang, lelaki tua itulah yang menjadi pengganti ayahnya. Mereka sangat dekat dan akrab. Jika ada masalah, pada Pak Tua lah Prakas mengadu. Sebenarnya Prakas sudah lama ingin menaikkan jabatan Pak Imam, namun Pak Imam tidak mau, dia tetap ingin menjadi OB di kantornya itu. Lelaki Tua yang memiliki prinsip hidup yang kuat. Prakas juga menawarkan rumah dan mobil untuknya, namun Lelaki Tua itu menolak, baginya harta dari keringat sendiri lebih berguna dibanding dari pemberian. Dia tak ingin memiliki hutang budi pada Prakas meskipun Prakas sangat berhutang budi pada lelaki Tua itu. Karena diam-diam lelaki Tua itu telah mengubahnya menjadi lebih dewasa.
“Ada apa?” tanya Pak Imam dengan santai.
Prakas terdiam, dia mendadak mengurungkan niatnya untuk curhat tentang kejadian semalam. Prakas malu kalau sampai cerita itu di dengar oleh orang yang sangat dihormatinya.
“Nggak apa-apa,” jawab Prakas dengan bingung.
Pak Imam heran, “Loh, tadi manggil saya mau apa?”
“Mau minta bikinin kopi sama Bapak,” jawab Prakas tiba-tiba.
Pak Imam tersenyum, “Kalo gitu kenapa nggak tadi aja? Yaudah, bapak bikinin kopi terenak buat kamu ya, tapi...”
Prakas heran melihat Pak Imam berhenti bicara. “Tapi apa, Pak?”
“Kamu kok hari ini kusut banget? Nggak seger kayak biasanya? Ada masalah?”
Deg. Prakas langsung tersenyum dan menyembunyikan kebingungannya pada Pak Imam.
“Nggak ada apa-apa kok, semalem begadang aja gara-gara ke acara ulang tahun temen,” jawab Prakas.
Pak Imam mengangguk lalu langsung pergi dari sana. Saat Pak Imam keluar, Prakas langsung mengambil handphonenya dan membuka foto KTP perempuan tadi.
“Miona Salsabila?” tanyanya dalam hati.
***
Miona menangis sesenggukan di bawah pancuran air di kamar mandinya. Dia merasa menjadi perempuan yang paling hina karena sudah melakukan hal bodoh demi membayar hutang ibunya pada Rentenir. Kalau bukan karena rentenir ingin menyita rumah mereka, Miona tak akan menjual keperawanannya pada lelaki hidung belang. Apalagi saat mengingat dia di usir dari kamar hotel oleh lelaki muda yang menyewanya semalam, Miona merasa seperti sampah.
Miona berteriak histeris. Pintu kamar mandi digedor-gedor ibunya.
"Miona! Miona!"
Miona tak peduli. Dia masih kesal dengan ibunya dan dirinya sendiri. Hasil dari menjual keperawanannya hanya cukup untuk membayar sedikit dari total hutang ibunya yang berjumlah 500 juta. Kemana dia harus mencarinya lagi? Menghubungi mucikarinya lagi kah dan terjun menjadi PSK?
Mobil sedan itu memasuki pekarangan rumah mewah nan megah di kawasan Pondok Indah. Satpam rumah langsung membukakan pintu samping mobil, lalu Prakas turun dari mobil dengan wajah bingung. Tubuhnya yang tinggi itu memasuki rumah. Dia memiliki kulit putih dan rambut agak modis dengan sedikit poni. Prakas sangat tampan dan digilai para perempuan. Bagaimana pun dia harus terlihat sempurna karena perusahaannya adalah perusahaan yang bergerak dibidang kosmetik terkenal yang mulai mendunia. Produk yang dijual perusahaannya bukan saja kosmetik untuk perempuan saja, melainkan produk-produk untuk pria juga seperti parfum dan lainnya. Tiba-tiba perempuan berumur 45 tahun dengan pakaian modis dan terlihat terawat itu datang menghampiri Prakas dengan cemas. “Prakas, semalam kamu kemana? Kenapa tidak pulang ke rumah?” tanya perempuan itu. Dia adalah Nyonya Prameswari, ibu kandung Prakas yang menjanda sudah dua tahun lamanya. “Ak
Prakas diam-diam keluar dari ruangan itu saat mendapati Miona ternyata anak gadis Pak Imam. Tubuhnya mendadak lemas. Dia buru-buru melangkah menuju parkiran mobilnya. Prakas tak mau Miona mengetahui keberadaannya di sana. Beruntung gadis itu memang tidak menyadari keberadaannya. Saat sudah berada di dalam mobil lelaki itu tampak tercengang. Dia masih tak percaya. Lelaki itu pun langsung melajukan mobilnya dengan bingung. Di perjalanan, Prakas teringat lagi akan kejadian malam itu dengan Miona. Saat Prakas sudah melepaskan keperjakaannya, dia terbaring lemas dengan kantuk yang mulai datang. Dia masih bisa mengingat jelas suara tangisan Miona yang sedang memeluk kakinya. Samar, Prakas melihat Miona membuka kulkas lalu mengambil sebotol minuman beralkohol di dalamnya lalu menenggaknya dengan banyak. Lalu Miona mengguncang tubuh Prakas, membangunkannya dari kantuk. “Apa?” tanya Prakas yang masih dalam kondisi mabuk. Mi
Miona duduk di bangku paling belakang di dalam busway itu. Pemandangan kota Jakarta di luar jendela busway tampak indah. Namun hatinya sedih, air matanya mulai berjatuhan. Dia berusaha mengelapnya dengan tangannya sendiri. Handphonenya sedari tadi berbunyi. Telepon dari mucikarinya yang dipanggilnya Mami. Sebenarnya semenjak kejadian malam itu dengan Prakas, dia tak mau lagi menjual dirinya ke lelaki hidung belang. Tapi karena tadi sore, para rentenir itu datang lagi menagih sisa hutang ibunya yang belum dibayarkan, dia terpaksa menerima tawaran maminya itu, dan ternyata yang memesannya untuk kedua kali adalah lelaki yang sama. Lelaki yang arogan dan aneh menurutnya. Air mata Miona kembali mengalir deras. Dia merasa bersalah pada bapaknya. Dia teringat saat kejadian malam itu yang membuat penyakit jantung bapaknya kumat. Ya, saat itu Miona sedang memarahi Ibunya, dia baru pulang bekerja di sebuah restoran di Jakarta. Saat itu dia dapati banyak lelaki seram di
Pagi itu, para pelayan sedang menyiapkan sarapan di meja makan. Prakas sudah duduk dan sudah bersiap untuk pergi ke kantor. Nyonya Prameswari mengiris roti sambil memandangi wajah Prakas yang terlihat lesu. “Kemarin, Ibu Andiri main ke rumah, dia bawa Adelia ke sini. Tenyata Adelia makin cantik sekarang. Dulu pas mama liat di acara perusahaan sewaktu papanya bawa dia ke sana, dia masih kecil. Sekarang setelah dia pulang dari Australia, dia makin cantik, Prakas.” Prakas hanya tersenyum mendengarnya. Adelia adalah anak Pak Hartono yang menjadi komisaris di perusahaanya. Pak Hartono telah menanam saham sebanyak 40 persen di perusahaannya. “Kamu kapan ngenalin pacar ke mamah?” tanya Nyonya Prameswari tiba-tiba. Prakas menatap wajah mamahnya dengan tersenyum. “Sabar ya, Mah. Nanti kalo udah ada, pasti aku kenalin ke mamah,” jawab Prakas. Nyonya Pramesw
Sebuah mobil sedan berhenti di depan rumah sederhana Miona. Prakas turun dari mobil. Para ibu-ibu yang sedang ngerumpi di hadapan rumah Miona tampak heran. "Dia siapa?" "Nggak tau, pacarnya Miona kali!" "Nggak mungkin! Bos rentenir kali! Nagih hutang sama ibunya Miona." "Iya, kali ya?" Saat Prakas menoleh sesaat pada mereka, ibu-ibu tercengang. "Kok wajahnya kayak Prakas pengusaha muda yang sering digosipin sama artis-artis itu ya?" "Iya! Ada apa dia ke rumah ibu Maryam ya?" Ibu-ibu di sana bingung karena tak menemukan perkiraan jawaban. Prakas mengetuk pintu. Maryam membuka pintu. Senyumnya merekah saat melihat Prakas sudah tiba dengan senyum menawannya. "Masuk!" Maryam menarik tangan Prakas ke dalam seolah bersikap kepada anaknya sendiri. Para ibu-ibu di sana saling melihat dengan tak percaya. Semakin penasaran. Prakas duduk dengan bingung. Dia melihat-lihat ke arah dalam. Gugup jik
Miona menunduk malu di hadapan perempuan tua itu. Dia memegangi pipinya yang sakit sehabis ditampar perempuan tua itu. Para tamu yang sedang menikmati makan malam di dalam restoran itu terpusat padanya. Heran."Kalo sampe kamu sebarin gosip yang nggak-nggak lagi ke orang-orang, saya bisa tuntut kamu!" teriak perempuan tua itu pada Miona.Miona hanya terisak, malu. Tak lama kemudian seorang lelaki Muda, manager di restoran itu datang untuk menengahi mereka."Maaf, Bu, ada apa sebenarnya?" tanya manager itu dengan heran."Dia ini udah nyebarin gosip ke orang-orang tentang saya! Katanya sayalah yang menjadi penyebab ibunya terjerat hutang pada Rentenir! Padahal ibunya sendiri yang suka main judi! Saya nggak pernah ngajakin ibunya main judi! Saya malu!"Ibu itu hendak menjambak rambut Miona yang menunduk pasrah. Tak lama kemudian Prakas tiba-tiba datang menghalangi aksi ibu-ibu itu untuk mencelakai Miona. Miona tercengang melihat Prakas t
Prakas melangkah ke ruang keluarga rumahnya yang begitu luas. Dia kaget saat melihat Adelia, anak Pak Hartono yang menjadi komisaris di perusahaannya sedang bercengkrama dengan mamahnya. Dia langsung melangkah menuju kamarnya, pura-pura tidak melihat."Prakas!"Prakas menghela napas mendengar suara panggilan dari mamahnya. Prakas menoleh pada Prameswari yang terlihat senang mendapati anak tertuanya pulang."Iya, Mah.""Sini! Ada Adelia nih!" ajak Mamahnya.Adelia tampak tersenyum malu pada Prakas. Lelaki itu terpaksa berjalan menuju mereka, berpura-pura tersenyum."Hai, Adelia. Gimana kabarnya?" tanya Prakas sambil duduk di sofa menghadapnya."Aku baik kok, kamu gimana?""Ya, gitulah," jawab Prakas tampak malas.Prameswari berdiri sambil menoleh ke Prakas, "Mamah tinggal bentar ya? Mama lupa tadi mau nelepon temen mamah, mau nanyain soal arisan!"Prakas lemas. Dia tahu mamahnya sengaja membiarkan mer
Prakas melangkah cuek melewati Miona yang terpaku menatapnya. Dia juga tak tahu harus bersikap bagaimana saat tak sengaja menemukan gadis pemilik rumah itu bersamaan datang ke sana. Gadis itu tampak tersinggung melihat lelaki itu seolah tidak mengetahui keberadaannya. Dia langsung buru-buru menghalangi langkah Prakas yang hendak mengetuk pintu. "Ngapain ke sini?" tanya Miona heran. "Urusan gue ke sini bukan soal lo!" jawab Prakas tegas. "Soal apa?" "Bukan bisnis buat lo juga, jadi gue nggak perlu ngasih tahu," jawab Prakas. "Lo ke rumah gue, itu artinya bakal berurusan juga sama gue. Kasus video viral kita juga belum reda, gue nggak mau kedatangan Lo ke sini jadi nambah bahan gosip buat tetangga," tegas Miona. "Tenang aja! Masalah itu nggak usah Lo pikirin," pinta Prakas. "Tadi jalan sama siapa? Pacar?" tanyanya tiba-tiba. Miona mengernyit. "Ngapin nanya? Bukan urusan lo!" Prakas manyun. "Bintang itu
Saat Prakas dan Alex tiba di rumah, mereka tidak menemukan Prameswari di sana.“Mama kemana?” tanya Alex pada Prakas.“Aku nggak tau,” jawab Prakas. “Emangnya kamu nggak ngasih tahu Mamah kalo kamu mau pulang?”Alex menggeleng. Prakas heran.“Kenapa?”“Aku rencananya mau ngasih kejutan sama Mama.”Prakas angguk-angguk. Dia masih penasaran apa yang mau dikatakan Alex tadi di bandara.“Oh ya, tadi di bandara kamu mau ngomong apa?”Alex bingung. Sepertinya dia tidak sanggup untuk menceritakan kenyataan itu. Tapi dia harus mengatakannya karena tidak mungkin kakak beradik itu harus menjalin cinta. Alex harus mencegahnya sebelum terjadi hal yang lebih buruk pada mereka.Alex menarik tangan Prakas menuju kamarnya. Di dalam kamar itu Alex mengatur napas berat.“Aku harap kakak nggak pingsan setelah denger penjelasan aku.”“Udah kasih tahu aja, kayak apa aja.”“Aku pernah denger omongan Pak Imam sama Papa waktu aku kelas 1 SMP dulu. Papa nitip anaknya ke Pak Imam buat Pak Imam jaga. Kata Papa,
Miona datang membawa segelas teh manis untuk Prakas. Dia meletakkan segelas teh manis itu dengan heran melihat raut wajah Prakas yang tampak kebingungan.“Kenapa?” tanya Miona. Dia lalu bergabung duduk di meja makan.“Bintang udah konfrensi pers ke para wartawan,” jawab Prakas.Miona dan Siska terkejut mendengarnya.“Dia ngomong apa sama wartawan?” tanya Miona penasaran.“Dia udah ngakuin kalo kami cuman sandiwara,” jawab Prakas.Miona lega mendengarnya.“Mudah-mudahan dia nggak ada niat buat nyebarin video kita,” ucap Miona.“Aku yakin dia nggak bakalan nyebar video kita, soalnya aku liat dia kayak tenang dan biasa aja,” tebak Prakas.“Yaudah, dilanjut sarapannya,” pinta Miona.Prakas mengangguk, mereka pun melanjutkan sarapannya. Tak lama kemudian handphone Prakas berbunyi. Prakas mengangkatnya.“Halo,” ucap Prakas menjawab teleponnya.“Besok jemput aku di bandara,” ucap seseorang di seberang sana.Prakas terkejut mendengar suaranya. “Alex?!”“Iya, Kak. Ini aku Alex. Besok kakak jem
“Miona! Miona! Bangun Miona! Kok kamarnya di kunci sih?!” teriak Siska di luar sana.Miona dan Prkasa terbangun dalam keadaan saling memeluk. Mereka berdua terkejut. Miona bangkit lalu menatap Prakas yang sedang mengucek-ucek matanya.“Sembunyi bentar,” pinta Miona pada Prakas.Prakas mengernyit heran. “Kenapa harus sembunyi?”“Nggak enak sama Siska,” jawab Miona.“Nggak apa-apa, dia kan tahu kalo kita pacaran. Kecuali kalo aku ini bukan siapa-siapa kamu,” protes Prakas.“Ih, pokoknya sembunyi dulu,” pinta Miona.Prakas menghela napas lalu turun dari kasur hanya mengenakan kolor saja. Prakas bukannya pergi ke kamar mandi untuk bersembunyi, dia malah berjalan menuju pintu. Miona terbelalak melihatnya.“Prakas, ngapain?” tanaya Miona saking terkejutnya.Prakas tidak menggubris panggilan Miona. Dia malah membuka pintu hingga Siska terbelalak melihat dada bidang Prakas yang mendadak ada di kamar Miona.“Pra...kas...” ucap Siska.Miona buru-buru turun dari kasur lalu berjalan ke arah pintu
Mobil Prakas melaju menembus jalanan malam kota Jakarta. Di dalamnya Prakas yang sedang fokus menyetir menoleh pada Miona yang duduk di sebelahnya.“Ibu nggak nyariin?” tanya Prakas.“Tadi aku udah bilang mau nungguin kamu,” jawab Miona. “Ibu pasti tahu kalo sekarang aku jalan sama kamu,” jawab Miona.Prakas mengangguk lalu kembali fokus menatap jalanan di hadapannya.“Jadi kita mau kemana?” tanya Prakas heran.“Aku pengen ke Puncak,” jawab Miona.Prakas terkejut mendengarnya.“Puncak?”“Iya,” jawab Miona. “Aku pengen ngajak kamu ke suatu tempat. Di sana tempat terbaik buat aku menyendiri kalo lagi ada masalah.”“Memangnya besok nggak ada shooting?” tanya Prakas heran.“Besok nggak ada jadwal shooting, jadi malam ini aku aman,” jawab Miona.“Yasudah,” ucap Prakas.“Tapi kalo besok kamu ada meeting, kita muter-muter aja malam ini, terus balik lagi ke rumah aku,” ucap Miona.“Besok aku nggak ada meeting, aku aman,” ucap Prakas.Miona pun tersenyum senang. Prakas pun melajukan mobilnya d
Prakas berdiri menghadap kaca ruangan kantornya yang menghamparkan pemandangan suasana kota Jakarta di malam hari. Gedung-gedung pencakar langit memancarkan cahayanya. Lelaki itu menarik napas berat. Dia sudah nekat melakukan konfrensi pers ke pihak wartawan. Dia sudah tidak ingin bermain-main dengan ancaman dan perjanjian itu lagi. Dia juga tidak peduli dengan ancaman video rekamannya bersama Miona akan tersebar luas ke luar sana. Dia sudah siap menerima itu semua. Sekarang yang harus dia lakukan adalah menguatkan Miona untuk menghadapinya bersama-sama jika hal buruk benar-benar terjadi.Prakas meraih handponenya lalu menghubungi Miona. Tak lama kemudian Miona mengangkat teleponnya.“Halo,” sapa Miona dengan suara lemah di seberang sana.“Aku minta maaf,” ucap Prakas dengan tulus.“Minta maaf soal apa?” tanya Miona dengan heran.“Kamu pasti tahu soal konfrensi pers yang tadi aku lakukan sama wartawan,” jawab Prakas.“Kamu nggak perlu minta maaf ke aku soal itu. Itu udah jadi hak kamu
Miona dan Siska terduduk lesu di lokasi shooting. Shooting ditunda akibat Bintang tidak ada di sana. Di ruangan yang lain, terdengar suara Mahendra marah-marah pada crew. Miona heran, padahal Bintang yang salah, malah crew yang dimarahinya.“Apa kita pulang aja?” tanya Miona pada Siska.“Jangan dulu. Lo nggak liat Pak Mahendra marah-marah begitu? Nanti lo juga kena kalo ikutan kabur kayak Bintang,” ucap Siska.“Abisnya mau sampai kapan kita nunggu Bintang. Dia nggak bakal balik ke sini,” ucap Miona.“Gimana pun lo harus tunjukin profesionalitas! Lo nggak inget gimana susahnya kita dulu? Harus kerja di café, disuruh-suruh orang, diomelin orang? Sekarang hidup lo udah enak! Lo harus bersyukur,” ucap Siska.Miona akhirnya mengangguk. Dia memang senang berada di posisi sekarang. Tapi gimana pun juga ada hal yang paling menakutkan di hadapannya kelak. Miona berpikir bagaimana jika Bintang nekad meny
Bintang langsung berjalan menuju mobilnya dengan kesal dan sedih. Dia tak percaya mendengarkan semua pengakuan Prakas padanya. Dia tak percaya Prakas sudah membohonginya. Miona mengejarnya dengan ketakutan. Dia khawatir gadis itu akan menyebarkan videonya bersama Prakas yang menjadi ancamannya selama ini.“Bintang, ini diluar kendali aku! Dengerin aku dulu, Bingang!” teriak Miona mengejarnya.Bintang cuek lalu masuk ke dalam mobilnya dengan menutup pintu mobil begitu kencangnya. Bintang kemudian pergi dari sana dengan mobilnya.“Bintang! Bintaaang!” teriak Miona kesal.Prakas heran melihat aksi Miona. Sesaat dia curiga bahwa yang memintanya melakukan itu adalah Bintang. Miona berjalan ke arah Prakas dengan kesal.“Bintang punya video kita berdua di hotel waktu itu,” ucap Miona dengan air mata yang mulai menjatuhi pipinya.Prakas terbelalak mendengarnya. “Maksud kamu?”“Dia punya re
Pagi itu, Bintang hendak pergi ke lokasi shooting. Tiba-tiba bel di apartemennya berbunyi. Dia buru-buru berjalan ke arah pintu. Bintang terkejut ketika mendapati Prameswari sudah berdiri di ambang pintu.“Tante?” ucap Bintang dengan heran.Parmeswari tersenyum padanya lalu berjalan masuk. Bintang buru-buru membuka pintu lalu menyusul Prameswari yang sudah duduk di sofa dengan santainya.“Tumben Tante pagi-pagi ke sini?” tanya Bintang sambil duduk di sofa menghadapnya. Dia benar-benar heran padanya.“Aku pengen mampir aja. Ternyata apartemenmu ini satu gedung dengan sahabat lamaku,” ucap Prameswari berbohong padanya.“Oh, begitu,” sahut Bintang.“Kamu sama Prakas gimana?” tanya Prameswari.“Baik-baik aja, Tante,” jawab Bintang.Prameswari mengernyit heran. Dia bingung kenapa Bintang seperti tidak marah pada Prakas. Padahal dia sudah mengirimkan video itu ag
Maryam membuka pintu. Dia heran melihat wajah anaknya tampak sedih begitu.“Kamu baik-baik aja kan?” tanya Maryam pada Miona yang baru datang.“Aku baik-baik aja, Bu,” jawab Miona.Maryam tenang mendengarnya. Dia pun masih tak berani untuk menanyakan kebenaran tentang apa yang berhasil diselidikinya mengenai anak gadisnya itu. Maryam masih bingung harus bersikap bagaimana. Dia sama sekali tak bisa marah padanya.“Kamu sudah makan? Kalo belum biar ibu siapin,” tawar Maryam.“Aku udah makan, Bu. Siska mana?” tanya Miona.“Siska tadi barusan aja masuk ke kamarnya,” ucap Maryam.“Yaudah, aku ke kamar dulu ya, Bu?” pamit Miona.Maryam mengangguk. Miona lalu berjalan menuju kamarnya. Maryam memperhatikan punggungnya dengan bingung. Sesampainya Miona di kamarnya, dia langsung duduk di tepi kasur. Matanya kembali berair. Dia tak percaya hubungannya dengan Prakas ak