Prakas diam-diam keluar dari ruangan itu saat mendapati Miona ternyata anak gadis Pak Imam. Tubuhnya mendadak lemas. Dia buru-buru melangkah menuju parkiran mobilnya. Prakas tak mau Miona mengetahui keberadaannya di sana. Beruntung gadis itu memang tidak menyadari keberadaannya. Saat sudah berada di dalam mobil lelaki itu tampak tercengang. Dia masih tak percaya. Lelaki itu pun langsung melajukan mobilnya dengan bingung.
Di perjalanan, Prakas teringat lagi akan kejadian malam itu dengan Miona. Saat Prakas sudah melepaskan keperjakaannya, dia terbaring lemas dengan kantuk yang mulai datang. Dia masih bisa mengingat jelas suara tangisan Miona yang sedang memeluk kakinya. Samar, Prakas melihat Miona membuka kulkas lalu mengambil sebotol minuman beralkohol di dalamnya lalu menenggaknya dengan banyak. Lalu Miona mengguncang tubuh Prakas, membangunkannya dari kantuk.
“Apa?” tanya Prakas yang masih dalam kondisi mabuk.
Miona menatap Prakas dengan mata yang masih berkaca-kaca. Gadis itu sudah terpengaruh alkohol juga. Dia menenggak minuman itu langsung dari botolnya dengan banyak.
“Lo tau nggak, kenapa gue rela ngelepas keperawanan gue? Karena gue butuh duit!” teriak Miona pada Prakas yang sudah duduk menyandar di atas kasur. Prakas hanya angguk-angguk. Kondisinya yang masih mabuk belum bisa mengontrol dirinya untuk berlaku waras.
Prakas kembali mengantuk. Miona kembali mengguncang tubuhnya.
“Dengerin gue dulu!” teriak Miona sambil terisak.
“Iya, ini gue dengerin,” ucap Prakas.
“Karena gue harus bayar utang nyokap gue yang suka main judi!” isak Miona, ”tabungan bokap gue udah habis sama dia! Bokap gue nggak bisa bayarnya! Dia cuma OB bukan siapa-siapa! Rumah gue mau disita sama rentenir! Gue nggak mau bokap dan adik gue menderita gara-gara nyokap! Gue harus cicil utang nyokap! Makanya gue jual keperawanan gue!”
Prakas hanya angguk-angguk. Matanya tak kuat lagi untuk tidur. Miona menangis kencang sambil memukul-mukul Prakas. Prakas tidak bereaksi apa-apa, dia hanya diam dan menahan kantuknya.
“Dengerin gue! Jangan tidur!” teriak Miona lagi.
“Iya, ini gue nggak tidur!” teriak Prakas.
Lalu tubuh Miona terjatuh di atas kasur. Gadis itu tertidur. Prakas pun tak bisa menahan kantuknya, dia pun tertidur pulas setelahnya.
Prakas berhenti mengingatnya lagi. Kini mobilnya tiba di pekarangan rumah megahnya. Dia langsung turun lalu memasuki kamarnya dengan sedih.
***
SEMINGGU BERLALU
Prakas meringkuk di atas kasur. Dia lemas dan selama seminggu ini dia dirawat di rumahnya sendiri oleh dokter pribadinya. Pintu kamarnya terbuka, Nyonya Prameswari datang sambil membawa sarapan untuknya.
“Sarapan dulu,” pinta Prameswari sambil meletakkan sarapannya di atas meja kecil dekat ranjang.
“Iya, Mah,” jawab Prakas lalu dia segera duduk menghadap mamahnya yang duduk di atas kasur.
“Udah nggak usah sedih lagi. Kata dokter juga kamu udah bisa kalo mau ke kantor. Kalo lama-lama ninggalin kantor, nanti urusan perusahaan bisa berantakan. Masa mau nyuruh orang lain yang ngurusnya,” ucap mamahnya dengan pelan.
Prakas mengangguk. Dia pun meraih sarapannya dan mulai memakannya. Setelah itu Prakas pergi ke kamar mandi, setelahnya dia bergegas mengganti pakaiannya lalu pergi ke kantor. Saat melewati meja sekretarisnya. Sekretarisnya berdiri senang menyambut kedatangan Prakas.
“Selamat pagi, Pak,” sapa sekretarisnya bernama Vita itu.
Prakas hanya tersenyum lalu dia masuk ke ruangannya. Di atas mejanya sudah menumpuk surat-surat yang harus ditanda tanganinya. Prakas duduk lalu meraih handphonenya. Saat menemukan nama Doni di kontaknya dia langsung menghubunginya.
“Halo,” jawab Doni terdengar kesal di seberang sana.
“Lo di mana?” tanya Prakas.
“Di showroom gue lah,” jawab Doni ketus.
“Gue minta maaf,” ucap Prakas.
“Kagak perlu.”
“Gue serius!”
“Yaudah gue maafin!”
Prakas tersenyum. Bagaimana pun Doni adalah sahabat dekatnya sejak SMA. Sementara Niko dia mengenalnya saat kuliah.
“Lo tau nomor telepon yang bisa nemuin gue sama Miona lagi?” tanya Prakas tiba-tiba.
“Ngapain? Lo mau gituan lagi sama dia?” tanya Doni heran di seberang sana.
“Jawab dulu pertanyaan gue,” desak Prakas.
"Lo jatuh cinta sama dia ya?" selidik Doni dengan heran, "Tumben! Lo itu cowok yang paling dingin sama cewek, ternyata selera Lo kayak dia, padahal artis banyak banget yang ngebet pengen jadi pacar Lo!"
Prakas kesal mendengarnya, "Nggak ada kamusnya gue suka sama itu cewek! Dia bukan tipe gue!"
"Terus ngapain nanyain nomor hapenya dia?"
"Udah buruan kasih nomornya ke gue!" bentak Prakas.
Doni langsung memberitahukan nomor telepon mucikari yang mengirim Miona kepadanya malam itu. Prakas langsung menghubungi mucikari itu, tapi mucikarinya bilang di telepon kalau dia tidak mengurus Miona lagi. Dirinya hanya khusus untuk gadis-gadis perawan saja. Mucikari itu akhirnya memberikan nomor temannya, katanya Miona sekarang di urus sama dia. Prakas langsung kaget mendengar itu. Dia mau meminta nomor telepon mucikari itu hanya untuk memastikan apakah Miona pekerja seks profesional atau bukan. Prakas pun langsung menelepon mucikari lain yang nomornya diberikan oleh mucikari itu.
“Halo,” jawab seorang perempuan di seberang sana.
“Saya mau pesan gadis yang bernama Miona Salsabila, bisa?” ucap Prakas.
“Sebentar, kita lanjut di W* aja, ya. Biar saya kirim fotonya dulu untuk memastikannya,” pinta perempuan itu.
Prakas pun langsung mengiyakan. Akhirnya Prakas melanjutkan obrolannya melalui pesan whatssap pada perempuan itu. Saat perempuan itu mengirim foto Miona, dia kaget mengetahui Miona ternyata memang seorang PSK. Tiba-tiba Prakas berpikir, apa mungkin sekarang Miona menjadi PSK gara-gara hutang ibunya, karena malam itu, Prakas masih ingat kalau gadis itu memang masih perawan. Akhirnya dia buru-buru memesan Miona dan mengirimkan alamat hotel tempat pertemuan mereka nanti. Prakas pun meminta pada perempuan itu agar jangan memberitahu identisanya pada Miona. Perempuan itu mengiyakan setelah meminta transfer 20 juta untuk Miona. Prakas pun mentransfer langsung uangnya.
Dan di malam itu, Prakas duduk di sofa kamar hotel yang luas itu. Tak lama kemudian suara bel kamar berbunyi. Prakas membuka pintu. Miona tercengang saat melihat Prakas kembali.
“Masuk,” pinta Prakas.
Miona tampak marah, dia masih dendam diusir dengan kasar saat itu. Perempuan itu handak pergi namun tangan Prakas keburu menarik Miona ke dalam lalu menutup pintu kamar hotel itu.
“Ngapain mesen gue lagi?” tanya Miona kesal.
“Kamu kayak gini emang udah lama atau baru?” tanya Prakas dengan serius.
“Kenapa? Emang lo perlu tau?”
“Iya,” jawab Prakas.
“Bukan urusan lo. Lagian juga Lo ngerasa sendiri gue masih perawan kan? Itu artinya gue baru terjun di dunia yang begini. Sekarang kalo lo mau gue langsung aja, gue nggak mau basa-basi,” tegas Miona.
“Lo mau lanjut jadi PSK?!” teriak Prakas.
Miona heran.
“Kok lo bentak gue?! Emang lo siapa?! Lo nggak ada hak bentak gue!” protes Miona dengan kesal.
“Kalo emang lo butuh duit buat bayar utang-utang lo, biar gue yang bayarin berapapun itu jumlahnya! Asal lo berhenti kerja kayak gini,” pinta Prakas dengan tegas.
Miona terbelalak mendengarnya,”Siapa lo?! Meski gue butuh duit, gue nggak butuh dari hasil dikasihani sama orang lain! Biar gue cari sendiri meskipun hasil kayak gini!" tegas Miona, "Oh! Lo suka sama gue? Mau jadi gadun gue ya?” tanya Miona menyelidik.
Prakas kesal mendengar itu, "Lo bukan tipe gue! Selera gue bukan gadis murahan kayak Lo!"
Miona bertambah kesal mendengarnya. "Yang lebih murahan itu Lo! Ganteng-ganteng nyarinya pelacur! Dan perlu Lo tahu, gua kayak gini terpaksa!" teriak Miona lalu langsung pergi dari situ.
Prakas tampak kesal. Bagaimana pun gadis itu adalah anak dari lelaki tua yang sudah dianggapnya sebagai ayahnya sendiri. Dia tidak mau mendiang Pak Imam kecewa di alam sana melihat anaknya bekerja menjadi PSK. Prakas langsung menghubungi sekretarisnya.
“Tolong cari tahu alamat rumah almarhum Pak Imam, saya mau kesana,” pinta Prakas pada sekretarisnya lalu pergi dari sana.
Miona duduk di bangku paling belakang di dalam busway itu. Pemandangan kota Jakarta di luar jendela busway tampak indah. Namun hatinya sedih, air matanya mulai berjatuhan. Dia berusaha mengelapnya dengan tangannya sendiri. Handphonenya sedari tadi berbunyi. Telepon dari mucikarinya yang dipanggilnya Mami. Sebenarnya semenjak kejadian malam itu dengan Prakas, dia tak mau lagi menjual dirinya ke lelaki hidung belang. Tapi karena tadi sore, para rentenir itu datang lagi menagih sisa hutang ibunya yang belum dibayarkan, dia terpaksa menerima tawaran maminya itu, dan ternyata yang memesannya untuk kedua kali adalah lelaki yang sama. Lelaki yang arogan dan aneh menurutnya. Air mata Miona kembali mengalir deras. Dia merasa bersalah pada bapaknya. Dia teringat saat kejadian malam itu yang membuat penyakit jantung bapaknya kumat. Ya, saat itu Miona sedang memarahi Ibunya, dia baru pulang bekerja di sebuah restoran di Jakarta. Saat itu dia dapati banyak lelaki seram di
Pagi itu, para pelayan sedang menyiapkan sarapan di meja makan. Prakas sudah duduk dan sudah bersiap untuk pergi ke kantor. Nyonya Prameswari mengiris roti sambil memandangi wajah Prakas yang terlihat lesu. “Kemarin, Ibu Andiri main ke rumah, dia bawa Adelia ke sini. Tenyata Adelia makin cantik sekarang. Dulu pas mama liat di acara perusahaan sewaktu papanya bawa dia ke sana, dia masih kecil. Sekarang setelah dia pulang dari Australia, dia makin cantik, Prakas.” Prakas hanya tersenyum mendengarnya. Adelia adalah anak Pak Hartono yang menjadi komisaris di perusahaanya. Pak Hartono telah menanam saham sebanyak 40 persen di perusahaannya. “Kamu kapan ngenalin pacar ke mamah?” tanya Nyonya Prameswari tiba-tiba. Prakas menatap wajah mamahnya dengan tersenyum. “Sabar ya, Mah. Nanti kalo udah ada, pasti aku kenalin ke mamah,” jawab Prakas. Nyonya Pramesw
Sebuah mobil sedan berhenti di depan rumah sederhana Miona. Prakas turun dari mobil. Para ibu-ibu yang sedang ngerumpi di hadapan rumah Miona tampak heran. "Dia siapa?" "Nggak tau, pacarnya Miona kali!" "Nggak mungkin! Bos rentenir kali! Nagih hutang sama ibunya Miona." "Iya, kali ya?" Saat Prakas menoleh sesaat pada mereka, ibu-ibu tercengang. "Kok wajahnya kayak Prakas pengusaha muda yang sering digosipin sama artis-artis itu ya?" "Iya! Ada apa dia ke rumah ibu Maryam ya?" Ibu-ibu di sana bingung karena tak menemukan perkiraan jawaban. Prakas mengetuk pintu. Maryam membuka pintu. Senyumnya merekah saat melihat Prakas sudah tiba dengan senyum menawannya. "Masuk!" Maryam menarik tangan Prakas ke dalam seolah bersikap kepada anaknya sendiri. Para ibu-ibu di sana saling melihat dengan tak percaya. Semakin penasaran. Prakas duduk dengan bingung. Dia melihat-lihat ke arah dalam. Gugup jik
Miona menunduk malu di hadapan perempuan tua itu. Dia memegangi pipinya yang sakit sehabis ditampar perempuan tua itu. Para tamu yang sedang menikmati makan malam di dalam restoran itu terpusat padanya. Heran."Kalo sampe kamu sebarin gosip yang nggak-nggak lagi ke orang-orang, saya bisa tuntut kamu!" teriak perempuan tua itu pada Miona.Miona hanya terisak, malu. Tak lama kemudian seorang lelaki Muda, manager di restoran itu datang untuk menengahi mereka."Maaf, Bu, ada apa sebenarnya?" tanya manager itu dengan heran."Dia ini udah nyebarin gosip ke orang-orang tentang saya! Katanya sayalah yang menjadi penyebab ibunya terjerat hutang pada Rentenir! Padahal ibunya sendiri yang suka main judi! Saya nggak pernah ngajakin ibunya main judi! Saya malu!"Ibu itu hendak menjambak rambut Miona yang menunduk pasrah. Tak lama kemudian Prakas tiba-tiba datang menghalangi aksi ibu-ibu itu untuk mencelakai Miona. Miona tercengang melihat Prakas t
Prakas melangkah ke ruang keluarga rumahnya yang begitu luas. Dia kaget saat melihat Adelia, anak Pak Hartono yang menjadi komisaris di perusahaannya sedang bercengkrama dengan mamahnya. Dia langsung melangkah menuju kamarnya, pura-pura tidak melihat."Prakas!"Prakas menghela napas mendengar suara panggilan dari mamahnya. Prakas menoleh pada Prameswari yang terlihat senang mendapati anak tertuanya pulang."Iya, Mah.""Sini! Ada Adelia nih!" ajak Mamahnya.Adelia tampak tersenyum malu pada Prakas. Lelaki itu terpaksa berjalan menuju mereka, berpura-pura tersenyum."Hai, Adelia. Gimana kabarnya?" tanya Prakas sambil duduk di sofa menghadapnya."Aku baik kok, kamu gimana?""Ya, gitulah," jawab Prakas tampak malas.Prameswari berdiri sambil menoleh ke Prakas, "Mamah tinggal bentar ya? Mama lupa tadi mau nelepon temen mamah, mau nanyain soal arisan!"Prakas lemas. Dia tahu mamahnya sengaja membiarkan mer
Prakas melangkah cuek melewati Miona yang terpaku menatapnya. Dia juga tak tahu harus bersikap bagaimana saat tak sengaja menemukan gadis pemilik rumah itu bersamaan datang ke sana. Gadis itu tampak tersinggung melihat lelaki itu seolah tidak mengetahui keberadaannya. Dia langsung buru-buru menghalangi langkah Prakas yang hendak mengetuk pintu. "Ngapain ke sini?" tanya Miona heran. "Urusan gue ke sini bukan soal lo!" jawab Prakas tegas. "Soal apa?" "Bukan bisnis buat lo juga, jadi gue nggak perlu ngasih tahu," jawab Prakas. "Lo ke rumah gue, itu artinya bakal berurusan juga sama gue. Kasus video viral kita juga belum reda, gue nggak mau kedatangan Lo ke sini jadi nambah bahan gosip buat tetangga," tegas Miona. "Tenang aja! Masalah itu nggak usah Lo pikirin," pinta Prakas. "Tadi jalan sama siapa? Pacar?" tanyanya tiba-tiba. Miona mengernyit. "Ngapin nanya? Bukan urusan lo!" Prakas manyun. "Bintang itu
Prakas berdiri di hadapan kaca yang membentangkan pemandangan kota Jakarta di bawah sana. Dia sedang berada di ruangan kantornya. Dia teringat akan ucapan mamanya semalam. Cinta tak bisa dipaksa. Pikirnya. Dia tak mau di jodohkan dengan orang yang tidak dicintainya.Dan selama dia hidup, baru sekali dia merasakan mencintai perempuan begitu dalam. Yaitu saat masih SMA dulu. Gadis itu bernama Aruna. Hanya sebatas menyukai karena perempuan itu sudah memiliki kekasih. Kini dia tak tahu lagi bagaimana kabar gadis itu. Sejak lulus SMA dia kehilangan jejak. Bahkan dia sendiri tak menemukan jejak sosial medianya. Tak ada nama Aruna yang sesuai dengan foto gadis itu di sosial media.Tak berapa lama kemudian terdengar suara ketukan pintu."Masuk!" teriak Prakas.Pintu ruangan terbuka. Rupanya yang datang adalah sekretarisnya."Pagi, Pak.""Pagi. Ada apa?""Pak Warto lagi ada di depan ruangan Bapak. Dia ingin bertemu Bapak, k
Prakas masih mondar-mandir di teras rumahnya. Dia kembali meraih handponenya lalu menghubungi Bodyguardnya."Iya, Pak," jawab Bodyguardnya di seberang sana."Di mana Miona sekarang?" tanya Prakas."Di sebuah restoran, Pak, dia lagi duduk berdua dengan lelaki berumur 40 tahunan," jawab Bodyguardnya di seberang sana."Share lokasi, awasin terus, saya mau menyusul ke sana," pinta Prakas."Baik, Pak!" jawab Bodyguardnya.Prakas langsung menuju mobilnya. Tak lama kemudian Prameswari keluar rumah dan heran melihat Prakas seperti henda pergi."Prakas! Mau kemana? Kita harus ke rumah Adelia!"Langkah Prakas terhenti. Dia menoleh pada mamanya."Maaf, Mah! Aku ada urusan penting!"Prameswari tampak kesal. Prakas langsung menaiki mobilnya lalu kembali melajukannya dengan khawatir. Kalau bukan wajah Pak Imam selalu terbayang dalam ingatannya, dia tak akan senekad ini. Biarkan dia saja yang sudah menghancurkan hi
Saat Prakas dan Alex tiba di rumah, mereka tidak menemukan Prameswari di sana.“Mama kemana?” tanya Alex pada Prakas.“Aku nggak tau,” jawab Prakas. “Emangnya kamu nggak ngasih tahu Mamah kalo kamu mau pulang?”Alex menggeleng. Prakas heran.“Kenapa?”“Aku rencananya mau ngasih kejutan sama Mama.”Prakas angguk-angguk. Dia masih penasaran apa yang mau dikatakan Alex tadi di bandara.“Oh ya, tadi di bandara kamu mau ngomong apa?”Alex bingung. Sepertinya dia tidak sanggup untuk menceritakan kenyataan itu. Tapi dia harus mengatakannya karena tidak mungkin kakak beradik itu harus menjalin cinta. Alex harus mencegahnya sebelum terjadi hal yang lebih buruk pada mereka.Alex menarik tangan Prakas menuju kamarnya. Di dalam kamar itu Alex mengatur napas berat.“Aku harap kakak nggak pingsan setelah denger penjelasan aku.”“Udah kasih tahu aja, kayak apa aja.”“Aku pernah denger omongan Pak Imam sama Papa waktu aku kelas 1 SMP dulu. Papa nitip anaknya ke Pak Imam buat Pak Imam jaga. Kata Papa,
Miona datang membawa segelas teh manis untuk Prakas. Dia meletakkan segelas teh manis itu dengan heran melihat raut wajah Prakas yang tampak kebingungan.“Kenapa?” tanya Miona. Dia lalu bergabung duduk di meja makan.“Bintang udah konfrensi pers ke para wartawan,” jawab Prakas.Miona dan Siska terkejut mendengarnya.“Dia ngomong apa sama wartawan?” tanya Miona penasaran.“Dia udah ngakuin kalo kami cuman sandiwara,” jawab Prakas.Miona lega mendengarnya.“Mudah-mudahan dia nggak ada niat buat nyebarin video kita,” ucap Miona.“Aku yakin dia nggak bakalan nyebar video kita, soalnya aku liat dia kayak tenang dan biasa aja,” tebak Prakas.“Yaudah, dilanjut sarapannya,” pinta Miona.Prakas mengangguk, mereka pun melanjutkan sarapannya. Tak lama kemudian handphone Prakas berbunyi. Prakas mengangkatnya.“Halo,” ucap Prakas menjawab teleponnya.“Besok jemput aku di bandara,” ucap seseorang di seberang sana.Prakas terkejut mendengar suaranya. “Alex?!”“Iya, Kak. Ini aku Alex. Besok kakak jem
“Miona! Miona! Bangun Miona! Kok kamarnya di kunci sih?!” teriak Siska di luar sana.Miona dan Prkasa terbangun dalam keadaan saling memeluk. Mereka berdua terkejut. Miona bangkit lalu menatap Prakas yang sedang mengucek-ucek matanya.“Sembunyi bentar,” pinta Miona pada Prakas.Prakas mengernyit heran. “Kenapa harus sembunyi?”“Nggak enak sama Siska,” jawab Miona.“Nggak apa-apa, dia kan tahu kalo kita pacaran. Kecuali kalo aku ini bukan siapa-siapa kamu,” protes Prakas.“Ih, pokoknya sembunyi dulu,” pinta Miona.Prakas menghela napas lalu turun dari kasur hanya mengenakan kolor saja. Prakas bukannya pergi ke kamar mandi untuk bersembunyi, dia malah berjalan menuju pintu. Miona terbelalak melihatnya.“Prakas, ngapain?” tanaya Miona saking terkejutnya.Prakas tidak menggubris panggilan Miona. Dia malah membuka pintu hingga Siska terbelalak melihat dada bidang Prakas yang mendadak ada di kamar Miona.“Pra...kas...” ucap Siska.Miona buru-buru turun dari kasur lalu berjalan ke arah pintu
Mobil Prakas melaju menembus jalanan malam kota Jakarta. Di dalamnya Prakas yang sedang fokus menyetir menoleh pada Miona yang duduk di sebelahnya.“Ibu nggak nyariin?” tanya Prakas.“Tadi aku udah bilang mau nungguin kamu,” jawab Miona. “Ibu pasti tahu kalo sekarang aku jalan sama kamu,” jawab Miona.Prakas mengangguk lalu kembali fokus menatap jalanan di hadapannya.“Jadi kita mau kemana?” tanya Prakas heran.“Aku pengen ke Puncak,” jawab Miona.Prakas terkejut mendengarnya.“Puncak?”“Iya,” jawab Miona. “Aku pengen ngajak kamu ke suatu tempat. Di sana tempat terbaik buat aku menyendiri kalo lagi ada masalah.”“Memangnya besok nggak ada shooting?” tanya Prakas heran.“Besok nggak ada jadwal shooting, jadi malam ini aku aman,” jawab Miona.“Yasudah,” ucap Prakas.“Tapi kalo besok kamu ada meeting, kita muter-muter aja malam ini, terus balik lagi ke rumah aku,” ucap Miona.“Besok aku nggak ada meeting, aku aman,” ucap Prakas.Miona pun tersenyum senang. Prakas pun melajukan mobilnya d
Prakas berdiri menghadap kaca ruangan kantornya yang menghamparkan pemandangan suasana kota Jakarta di malam hari. Gedung-gedung pencakar langit memancarkan cahayanya. Lelaki itu menarik napas berat. Dia sudah nekat melakukan konfrensi pers ke pihak wartawan. Dia sudah tidak ingin bermain-main dengan ancaman dan perjanjian itu lagi. Dia juga tidak peduli dengan ancaman video rekamannya bersama Miona akan tersebar luas ke luar sana. Dia sudah siap menerima itu semua. Sekarang yang harus dia lakukan adalah menguatkan Miona untuk menghadapinya bersama-sama jika hal buruk benar-benar terjadi.Prakas meraih handponenya lalu menghubungi Miona. Tak lama kemudian Miona mengangkat teleponnya.“Halo,” sapa Miona dengan suara lemah di seberang sana.“Aku minta maaf,” ucap Prakas dengan tulus.“Minta maaf soal apa?” tanya Miona dengan heran.“Kamu pasti tahu soal konfrensi pers yang tadi aku lakukan sama wartawan,” jawab Prakas.“Kamu nggak perlu minta maaf ke aku soal itu. Itu udah jadi hak kamu
Miona dan Siska terduduk lesu di lokasi shooting. Shooting ditunda akibat Bintang tidak ada di sana. Di ruangan yang lain, terdengar suara Mahendra marah-marah pada crew. Miona heran, padahal Bintang yang salah, malah crew yang dimarahinya.“Apa kita pulang aja?” tanya Miona pada Siska.“Jangan dulu. Lo nggak liat Pak Mahendra marah-marah begitu? Nanti lo juga kena kalo ikutan kabur kayak Bintang,” ucap Siska.“Abisnya mau sampai kapan kita nunggu Bintang. Dia nggak bakal balik ke sini,” ucap Miona.“Gimana pun lo harus tunjukin profesionalitas! Lo nggak inget gimana susahnya kita dulu? Harus kerja di café, disuruh-suruh orang, diomelin orang? Sekarang hidup lo udah enak! Lo harus bersyukur,” ucap Siska.Miona akhirnya mengangguk. Dia memang senang berada di posisi sekarang. Tapi gimana pun juga ada hal yang paling menakutkan di hadapannya kelak. Miona berpikir bagaimana jika Bintang nekad meny
Bintang langsung berjalan menuju mobilnya dengan kesal dan sedih. Dia tak percaya mendengarkan semua pengakuan Prakas padanya. Dia tak percaya Prakas sudah membohonginya. Miona mengejarnya dengan ketakutan. Dia khawatir gadis itu akan menyebarkan videonya bersama Prakas yang menjadi ancamannya selama ini.“Bintang, ini diluar kendali aku! Dengerin aku dulu, Bingang!” teriak Miona mengejarnya.Bintang cuek lalu masuk ke dalam mobilnya dengan menutup pintu mobil begitu kencangnya. Bintang kemudian pergi dari sana dengan mobilnya.“Bintang! Bintaaang!” teriak Miona kesal.Prakas heran melihat aksi Miona. Sesaat dia curiga bahwa yang memintanya melakukan itu adalah Bintang. Miona berjalan ke arah Prakas dengan kesal.“Bintang punya video kita berdua di hotel waktu itu,” ucap Miona dengan air mata yang mulai menjatuhi pipinya.Prakas terbelalak mendengarnya. “Maksud kamu?”“Dia punya re
Pagi itu, Bintang hendak pergi ke lokasi shooting. Tiba-tiba bel di apartemennya berbunyi. Dia buru-buru berjalan ke arah pintu. Bintang terkejut ketika mendapati Prameswari sudah berdiri di ambang pintu.“Tante?” ucap Bintang dengan heran.Parmeswari tersenyum padanya lalu berjalan masuk. Bintang buru-buru membuka pintu lalu menyusul Prameswari yang sudah duduk di sofa dengan santainya.“Tumben Tante pagi-pagi ke sini?” tanya Bintang sambil duduk di sofa menghadapnya. Dia benar-benar heran padanya.“Aku pengen mampir aja. Ternyata apartemenmu ini satu gedung dengan sahabat lamaku,” ucap Prameswari berbohong padanya.“Oh, begitu,” sahut Bintang.“Kamu sama Prakas gimana?” tanya Prameswari.“Baik-baik aja, Tante,” jawab Bintang.Prameswari mengernyit heran. Dia bingung kenapa Bintang seperti tidak marah pada Prakas. Padahal dia sudah mengirimkan video itu ag
Maryam membuka pintu. Dia heran melihat wajah anaknya tampak sedih begitu.“Kamu baik-baik aja kan?” tanya Maryam pada Miona yang baru datang.“Aku baik-baik aja, Bu,” jawab Miona.Maryam tenang mendengarnya. Dia pun masih tak berani untuk menanyakan kebenaran tentang apa yang berhasil diselidikinya mengenai anak gadisnya itu. Maryam masih bingung harus bersikap bagaimana. Dia sama sekali tak bisa marah padanya.“Kamu sudah makan? Kalo belum biar ibu siapin,” tawar Maryam.“Aku udah makan, Bu. Siska mana?” tanya Miona.“Siska tadi barusan aja masuk ke kamarnya,” ucap Maryam.“Yaudah, aku ke kamar dulu ya, Bu?” pamit Miona.Maryam mengangguk. Miona lalu berjalan menuju kamarnya. Maryam memperhatikan punggungnya dengan bingung. Sesampainya Miona di kamarnya, dia langsung duduk di tepi kasur. Matanya kembali berair. Dia tak percaya hubungannya dengan Prakas ak