Aku hanya bisa menunduk takut saat tatapan ketiga orang dewasa di depanku, seolah-olah ingin menelanku bulat-bulat, terutama Mas Gusti. Sepertinya ia sanggup menggigit dagingku tanpa perlu dimasak. Apa aku menangis dengan teriakan dan tuduhan itu padaku? Tentu saja tidak, untuk apa? Membela diri? Percuma, mereka tidak akan percaya.
"Mama gak sangka penyebab jatuhnya Hanin adalah kamu, Zia. Kenapa kamu bisa teledor? Apa kamu memang sengaja melakukan ini pada menantu sahku? Apa kamu hanya ingin memiliki Gusti sendirian saja? Mama tidak percaya ini. Kamu sudah Mama perlakukan seperti menanti benar, tetapi kamu licik!" Aku menulikan telinga ini dengan sangat tebal. Karena jika aku memasukkannya ke dalam hati, tentu saja aku kecewa dan sakit hati."Maafkan, Zia, Ma. Zia tidak sengaja. Biasanya.... " Aku hanya berusaha meminta maaf, tanpa membela diri."Gusti, apa yang akan kamu lakukan pada Zia? Mama serahkan pada kamu saja. Sudah selayaknya wanita pembunuh berada di mana, baik disengaja ataupun tidak disengaja." Aku terdiam dengan jantung yang berdetak kocar-kacir. Pembunuh kata mereka? Aku pembunuh? Ya Allah, hanya Engkau yang tahu apa yang terjadi kemarin. Tolong bantu hamba. Batinku pilu.Menjadi istri yang dianggap tidak pernah ada. Diperlakukan layaknya pembantu, lalu kini, mereka ingin memenjarakanku?"Kamu mau menyerahkan diri atau saya yang melaporkan hal ini?" tanya Mas Gusti yang sama saja menyudutkanku."Jika saya bilang saya tidak bersalah, apa Papa, Mama, dan Mas Gusti percaya? Sepertinya tidak. Saya akan menyerahkan diri saja, biar kalian semua senang sudah menyingkirkan wanita seperti saya, tapi bagaimana dengan Hilmi? Apa anak kecil itu tidak akan semakin kehilangan saat dua ibu di rumahnya tidak ada? Apa Mas Gusti bisa mengurus Hilmi, sedangkan Mas Gusti harus bekerja?" tanyaku masih dengan air mata yang membanjiri pipi. Aku tahu ibu mertuaku begitu sayang dengan. Hilmi, semoga saja ia menarik ucapannya untuk menjembloskanku ke penjara.Semua orang dewasa di depanku masih terdiam. Ketiganya saling pandang dan nampak tengah berpikir."Kamu tidak perlu memikirkan Hilmi. Anak angkat itu akan aku kembalikan ke panti asuhan.""Jangan, Mas, jangan begitu. Baiklah, saya akan melakukan apapun asal Mas Gusti tidak mengembalikan Hilmi ke panti. Saya bersedia dihukum seumur hidup asalkan Mas Gusti tetap merawat Hilmi.""Bukan urusanmu, Zia. Apa yang mau aku lakukan pada Hilmi, bukan urusanmu! Lekas pergi ke kantor polisi dan menyerahkan diri, sebelum Hilmi bangun. Kamu bisa melakukannya sendiri, atau mau aku seret!" Kulihat wajah ibu mertuaku pias. Ia mungkin tidak terbiasa dengan kalimat kasar yang dilontarkan putra sulungnya, tetapi aku sudah menganggap kalimat kasar itu adalah makanan sehari-hari.Aku pun mengangguk. Sekilas kulirik jam dinding yang jarumnya masih berada di angka enam. Setengah jam lagi waktunya Hilmi bangun. Aku harus bergegas sebelum putra kecilku itu bangun.Aku tidak punya tas besar. Hanya ada tas ransel ukuran biasa yang hanya muat tiga stel pakaian, mukena, dan tiga set pakaian dalam. Ponsel dan charger pun aku bawa. Dompet bedak aku tinggalkan di kamar. Untuk apa aku bersolek di penjara? Apalagi mungkin saja aku akan dihukum mati.Kuhapus kasar air mata, kemudian kuambil secarik kertas dan membuat pesan singkat untuk Hilmi.Hilmi, Teteh pergi sebentar ya. Hilmi harus nurut sama Oma, Opa, dan Papa. Jangan main HP terus. Teteh sayang Hilmi.Tulisan itu aku selipkan di dalam box mainan. Aku tidak mauas Gusti membaca suratku untuk Hilmi, karena jika ia tahu, maka surat itu akan disobek. Ingin sekali aku memeluk Hilmi, tetapi tidak bisa. Anak kecil tampan itu pasti terbangun jika aku menciumnya dalam keadaan menangis.Ya Allah, aku titipkan Hilmi dalam penjagaanMu. Peliharalah anak yatim piatu ini dari kejahatan dan keburukan orang-orang di sekitarnya. Aamiin."Pa, Ma, Mas, saya permisi." Tidak ada yang menjawab. Ketiganya membuang muka saat aku lewat untuk berpamitan. Hati ini pun semakin sakit dan juga patah. Aku berjalan keluar dan berhenti sebentar memandang sebuah ruangan cukup besar di samping rumah. Aku tersenyum tipis, merasa bersyukur pernah menjadi bagian dari keluarga Mbak Hanin, walau akhirnya aku akan hidup dan mungkin mati di dalam penjara.Bersambung"Saya sudah membuat majikan saya terpeleset di rumah dan majikan saya meninggal, Pak. Jadi saya ke sini untuk menyerahkan diri karena sudah ceroboh. Majikan saya dan bayi yang ada di dalam perutnya tidak bisa diselamatkan karena saya. Tangkap saya, Pak!" Kataku saat berdiri di depan petugas yang melongo menatapku.Mungkin ia mengira, aku akan membuat laporan kehilangan, ternyata aku malah mau menyerahkan diri. Seandainya bisa kupotret wajah bingungnya pasti sudah kupotret."Jadi kamu ke sini mau menyerahkan diri?" tanyanya lagi padaku. Padahal tadi aku sudah bilang begitu, kenapa petugas ini malah menanyakan kembali? Ya ampun, aku benar-benar lelah dan tidak mau berdebat. Ketupat sayur padang yang ada di dalam tasku, pasti sudah mengembang karena terlalu lama si Mas Polisi menatapku."Masuk dulu ke dalam, nanti kita akan buatkan BAP-nya!" Aku pun mengangguk paham. Sampai di dalam, aku bingung mau ke mana. Ke arah kanan, polisi sedang duduk di mejanya dengan banyak kertas. Ke sebelah k
"Zia, bangun!" Suara hentakan keras diiringi pukulan pada besi pagar tahanan, membuatku tersentak. "Kenapa, Pak?" tanyaku masih dengan kelopak mata yang amat berat. "Udah waktunya makan ya?" tanyaku lagi karena merasa perut ini keroncongan. "Makan terus yang ada di otak kamu, bangun! Ada tamu!""Oh, saya disuruh buatin teh untuk tamunya?" tanyaku lagi masih dalam mode belum sadar sepenuhnya. Polisi muda itu tertawa cekikikan dan enggan menjawab pertanyaanku barusan. Aku pun berdiri, meninggalkan tas ranselku di dalam sel. Tidak mungkin ada yang mengambil karena tidak ada tahanan lain di dalam sel bersamaku. Sepi, mungkin sudah pada mudik. "Eh, mau ke mana jalannya? Bukan belok kanan, itu... ke kiri!" petugas itu menarik tanganku dengan kuat, hingga tubuh ini yang sudah berada di arah kanan, terpaksa berbalik ke arah kiri. "Oh, dapurnya di sana! Berapa banyak tehnya, Pak?" tanyaku lagi. Petugas itu menghela napas, lalu tertawa. Begitu juga dengan petugas lain yang duduk di meja ma
Pak Desta biasa aku memanggilnya. Pria berusia dua puluh sembilan tahun; adik dari Mas Gusti. Selama ini, Pak Desta bekerja mengelola toko bahan bangunan milik papanya di daerah Yogyakarta. Itu yang pernah aku dengar dari Mbak Hanin. Dalam setahun, Pak Desta pulang ke Jakarta hanya satu tahun sekali, pada saat lebaran saja dan datang bertamu ke rumah Mas Gusti sangat jarang sekali. Selama aku bekerja dan tinggal di rumah Mbak Hanin, baru dua kali aku bertemu Pak Desta. Orangnya tidak banyak bicara, tetapi masih bisa dibilang ramah. Kenapa aku panggil Pak Desta? Karena Mas Gusti yang memintanya. Kata Mas Gusti, aku harus sopan dan hormat pada Pak Desta. Mereka memang kakak beradik, tapi sepertinya karakter mereka berbeda. Sebuah kejutan dalam hidupku yang di ujung tanduk ini, saat seorang Pak Desta datang dan menjaminkan diri ini agar bisa keluar dari penjara. Sungguh aneh, tapi semua mungkin memang takdir bagiku yang memang sebenarnya tidak bersalah. "Zia, malah bengong! Ayo, kamu
Untunglah Mas Gusti memiliki adik baik seperti Pak Desta, sehingga aku tertolong. Jika tidak, pasti aku akan awet di dalam penjara.Perjalanan ke rumah Pak Desta memakan waktu setengah jam saja. Kami tidak banyak bicara, bukan karena sungkan, melainkan aku yang kembali tertidur di mobilnya. Saat mobil itu berhenti, barulah aku membuka kelopak mata yang berat ini.Kupandangi sekeliling sambil mengucek kedua mata yang terasa sangat berat ini. Kenapa semua perumahan sama? Model dan bentukannya sama. Jalanannya pun sama saja."Pak Desta, saya kayak ngerasa pulang ke rumah Mbak Hanin, he he he...," kataku dengan mata berkaca-kaca."Kenapa memangnya?" tanya pria itu sambil mengulum senyum."Karena perumahannya kayak sama dengan perumahan Mbak Hanin. Itu, ada pos jaga satpam di dekat pohon nangka." Pak Desta tertawa cekikikan lagi. Entahlah, aku tidak pernah merasa menjadi pelawak, tetapi kenapa pria ini selalu saja menertawakanku?"Zia, nyawa kamu belum ngumpul ya? Ini memang perumahan Peso
Untunglah saat aku menoleh ke arah pagar, mainan Hilmi jatuh dan anak kecil tampan itu berjongkok untuk mengambilnya. Mungkin ia tidak menyadari ada aku bersama Om Desta-nya. Aku pun berbalik badan dan bergegas masuk ke dalam rumah Pak Desta. "Ada Hilmi, Pak, jangan sampai dia tahu saya ada di sini." Aku pun masuk saja tanpa tahu harus ke arah mana dan harus bersembunyi di mana. Dapur adalah tujuan pertamaku, bersembunyi di kolong meja. "Eh, ada anak Om Desta. Sini, ayo, masuk!" Kudengar suara riang Pak Desta menyapa Hilmi. Tidak lama kemudian, suara pagar dibuka. Jantung ini semakin berdegub kencang karena langkah Hilmi dan Desta terasa semakin dekat. "Assalamu'alaikum, Hilmi masuk ya, Om," suara anakku yang lucu itu. Ah, ingin sekali memeluknya dan mengatakan berapa ia sangat pintar. Anak yatim yang pintar dan tampan itu, sungguh sangat disayangkan tidak dipedulikan oleh papanya. "Masuk sini, Gantengnya Om Desta! Kalau mau nonton, di kamar Om saja ya. Di luar, TV-nya rusak," sua
Pak Desta sudah membawa Hilmi pergi dengan mobilnya. Aku mengintip dari jendela kamar kepergian keduanya. Setelah merasa aman, aku pun pergi ke dapur untuk mencari sabun. Ya, paling tidak, aku harus segera mandi membersihkan tubuh. Ada sabun batangan di dalam lemari perlengkapan dapur dan masih banyak persediaan rumah tangga lainnya. Satu batang sabun batangan aku bawa ke kamar untuk membersihkan tubuhku. Barang yang lainnya bisa aku urus nanti. Setelah mandi dan mengganti pakaian dengan yang lebih nyaman. Aku pun menyapu rumah dan mengepelnya. Setelah semua lantai dan ruangan bersih dan wangi, aku pun mencuci piring kotor yang tidak terlalu banyak di kitchen sink. Adzan magrib berkumandang saat aku selesai melakukan semuanya. "Desta! Desta! Lu di rumah gak? Desta!" Teriakan Mas Gusti membuatku terlonjak kaget. Dengan ketakutan, aku kembali bersembunyi di dalam kolong meja. Bisa saja Mas Gusti masuk ke dalam rumah dan aku tidak tahu, apakah pintu rumah tadi sudah dikunci Pak Desta
Anak kecil berusia empat tahun, tidak semuanya mampu memahami maksud dari perkataan orang dewasa. Satu hal yang perlu aku syukuri saat ini, Hilmi tidak bersedih dengan kalimat penolakan Mas Gusti, karena Hilmi saat itu bersin sebanyak tiga kali. Memang seperti itu jika pagi, Hilmi alergi udara pagi, walau pagi tidak mendung sekali pun. Anak kecil itu kini menatapku dengan heran. Masih sambil mengucek kedua matanya. Aku tersenyum, lalu berjalan untuk menutup pintu rumah, setelah memastikan Mas Gusti keluar dari rumah Pak Desta. "Halo, saya Teh Rani, pembantunya Om Desta. Nama kamu siapa ganteng?" tanyaku sambil berjongkok, mensejajarkan tubuh dengan Hilmi. "Hilmi, Teh." Anak kecil itu tersenyum. Lalu menoleh ke kanan dan ke kiri. "Hilmi mau sarapan dulu atau mau mandi dulu?" tanyaku pada Hilmi yang saat ini menatapku dengan intens. Semoga saja ia tidak mengenaliku. "Hilmi mau libur sekolah boleh gak, Teh?" aku terkejut mendengar perkataan Hilmi. "Memangnya kenapa mau libur?" "Ma
Tidak akan ada yang bisa menandingi tenaga pria yang telah dikuasai oleh alkohol. Tenaga dua wanita, bahkan mungkin tiga orang wanita sekali pun, tetap tidak akan mampu menahan kuatnya cengkeraman dan tarikan kuat pria dalam keadaan mabuk berat. Memang Mas Gusti suamiku, tetapi ia tidak tahu, bahwa yang saat ini ia ciumi habis-habisan tubuhnya adalah aku. Jika saja ia tahu bahwa wanita yang sibuk ia lucuti pakaiannya ini adalah Zia, mungkin saja Mas Gusti akan pingsan. Mengingat betapa ia membenciku. "Pak, lepas!" Kembali sekuat tenaga aku mendorong tubuhnya, tetapi tidak bisa. Kedua tanganku ditarik ke atas hingga berada di atas kepala. Ia tahan dengan kedua tangannya dan tangan satunya lagi terus saja menggodaku. Air mata sudah tidak terbendung. Aku takut dengan Mas Gusti, walau ia suamiku. Tenggorokan ini pun bagaikan ditimpa baru besar, sehingga tidak mampu berteriak berhenti. "Hanin, kenapa menangis, aku suami kamu? Aku belum melakukan apa-apa, baru mencium saja, kenapa sudah
"Terima kasih sudah mau menerimaku kembali," bisik Galih; menghentikan gerakan tangannya. Melepas keintiman ciuman itu sesaat untuk menatap lekat sangat Istri yang wajahnya sudah bersemu merah. Ditambah riasan bibir yang sudah amat berantakan karena ulahnya. Mata Dia pun berkaca-kaca. Berada dalam kamar pengantin sangat bagus bersama dengan lelaki yang selalu ia cintai sepanjang hidupnya, tentu saja tidak berani ia mimpikan, tetapi kali ini, kenyataan manis sedang ia hadapan bersama sang pujaan hati. "Terima kasih sudah berusaha sejauh ini untuk kebahagiaan saya dan anak-anak," balas Zia sambil menunduk. Tetes air matanya jatuh tepat di punggung tanganku Gusti. Pria ia mengangkat dagu Zia dengan lembut. Menghapus air mata di pipi istrinya dengan bibirnya. Bergantian, kanan dan kiri. Suasana baru itu hanya sesaat, karena kemudian Gusti sudah menghujani Zia dengan ciuman. Ciuman kali ini berbeda dari ciuman yang pernah mereka lakukan sebelumnya, bahkan dalam gairah yang meluap-luap. C
Pov Desta"Mbak kapan sampai? Mana Mas Gusti? Hilmi gak ikut?" tanyaku pada wanita yang sedang duduk di ruang tengah rumahku.Hari ini memang Mas Gusti berencana datang ke Jogja untuk urusan pekerjaan. Ada proyek yang harus ia pantau untuk beberapa hari di sekitar Jogya. Tentu saja aku tidak keberatan jika Mas Gusti menginap di rumahku, apalagi aku sudah lama tidak berbincang dengannya. Namun aku tidak tahu kalau Mas Gusti ke rumah bersama Mbak Hanin. Pria itu sama sekali tidak memberitahu perihal Mbak Hanin yang turut serta."Satu jam yang lalu. Aku bawa makanan tuh! Kata Mas Gusti, kamu jarang masak, makanya dari rumah udah aku masakin, tinggal dipanaskan saja," jawab Mbak Hanin sambil tersenyum manis. Senyuman yang selalu membuat hati ini berdebar. Aku tahu tidak boleh ada debar di jantung ini terhadap Mbak Hanin, tetapi aku tidak bisa menahannya. Dari pada jantungku tidak berdebar, malah lebih repot lagi."Terima kasih, Mbak, saya mau mandi dulu baru makan ya." Tanpa menunggu bala
Semua berkas sudah diurus oleh keduanya. Tanggal pun sudah didapatkan untuk melaksanakan hari bahagia antara Zia dan Gusti. Persiapan pun mulai dikerjakan dengan benar-benar mengerahkan bantuan dari sanak-saudara. Wedding organizer ter-the best juga sudah dipesan Gusti. Ia memang sudah berjanji akan memberikan pernikahan terbaik untuk Zia. Sebagai penebus dosa masa lalu yang sangat berat.Zia yang awalnya menolak karena menurutnya semua terlalu mewah, sedangkan kehidupan pernikahan itu panjang. Ia ingin Gusti sedikit berhemat, tetapi Gusti menolak. Undangan sedang di design dan akan dicetak sebanyak lima ratus lembar. Belum lagi undangan virtual bagi saudara yang jauh dan kiranya tidak bisa dikunjungi untuk diberikan undangan.Mungkin akan ada sekitar seribu undangan yang akan hadir nanti."Zia, sini sebentar!" Panggil Gusti saat Zia tengah berada di ruang makan. Menata makan sore untuk keluarganya. Bik Desi pulang lebih awal karena tidak enak badan, sehingga tidak bisa membantunya s
Zia yang tidak diperbolehkan keluar dari kamar, akhirnya memutuskan mandi untuk menyegarkan tubuh dan kepalanya. Baju daster lama favorit ia pakai walau sudah sobek bagian ketiak. Ia merasa tidak perlu khawatir akan pakaian itu karena tidak mungkin juga ia mau mengangkat tangan sampai kelihatan ketiaknya. Suara riuh-ramai di luar kamar menandakan anak-anak sudah pulang dari sekolah. Mungkin mereka sudah langsung bercengkerama dengan Desta, sedangkan ia masih dipingit di kamar.Menurutnya Gusti terlalu lebay dengan melarangnya bertemu Desta tanpa ditemani dirinya. Padahal jika ingin jujur, ia pun rindu pada Desta. Bukan rindu layaknya pasangan lawan jenis, tetapi rindu sebagai saudara. Zia pun akhirnya tertidur setelah lama menunggu di atas kasur. Wanita itu tidak tahu bahwa suaminya sudah pulang dan langsung masuk ke dalam kamar. Ia berbaring terlentang dengan kedua tangan berada di atas kepala, hingga terlihatlah lubang pada baju dasternya, tepat di bagian ketiak. Gusti terkekeh.
"Alhamdulillah, Mama senang lihat kamu dan Gusti sudah akur," kata Bu Nadia sambil mengusap rambut Zia. "Maafkan Gusti atas kesalahannya yang dulu. Mama saat mengetahui Hanin dan Desta... " Bu Nadia tak sanggup meneruskan ucapannya. "Sudah, Ma, jangan diingat lagi ya. Mbak Hanin juga sudah tiada. Kasihan jika kita terus saja mengingat hal buruk tentang Mbak Hanin, padahal almarhumah melakukan itu karena rasa cintanya yang luar biasa pada Pak Gusti. Saya mengerti sekali posisi Mbak Hanin yang merasa serba salah." Tanpa terasa, air bening sudah menggenang di pelupuk matanya. Bagi seorang Zia, Hanin adalah layaknya kakak, ibu, yang tidak akan pernah tergantikan posisinya. Ia menyayangi Mbak Hanin seperti saudara sendiri. Jadi apapun yang dikatakan orang tentang wanita itu, Zia sudah tutup mata. Hanin adalah pribadi yang baik, hanya saja ia menghalalkan segala cara untuk menyenangkan hati suaminya. "Mungkin ini takdir. Mama berkali-kali bilang begitu sama Gusti. Dua belas tahun merek
"Saya belum mengantuk. Bagaimana kalau kita diskusi tentang pernikahan saja?" tanya Gusti saat mereka sudah berbaring di ranjang. Zia menoleh dengan tatapan bingung. Pernikahan apa lagi? Kenapa ia tidak pernah bisa memahami apa maksudnya Gusti? "Pernikahan siapa, Pak?" tanya Zia. Wanita itu menoleh ke samping dengan datar. "Pernikahan kita.""Maksudnya?" Zia semakin tidak paham. "Saya ingin kita menikah kembali secara resmi. Biar punya buku nikah dan anak-anak juga memiliki akte lahir." Zia terdiam. Perasaanya campur aduk antara senang dan juga bimbang. Ia belum yakin sepenuhnya bahwa Gusti sudah berubah. Bisa saja lelaki di sampingnya ini sedang merencanakan sesuatu. "Kenapa, gak mau ya?" tanya Gusti yang kini sudah berbaring miring menatap Zia. "Lurus aja tidurannya bisa gak, Pak?" Zia mendorong Gusti hingga lelaki itu tidur kembali dengan posisi lurus menatap langit-langit kamar. Pria itu tertawa, tetapi ia menurut. Posisinya kembali seperti semula. "Zia, saya serius. Saya ma
Pukul setengah tujuh pagi, anak-anak berangkat sekolah dengan diantar oleh Gusti. Semuanya sarapan dengan penuh suka cita karena pagi ini, pagi pertama bagi Zia menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya. Ada roti bakar, sosis, dan juga baso bakar. Ada juga nasi goreng ikan teri, jus buah, dan juga susu untuk Gina. Gina lebih suka susu jika pagi hari, dibandingkan dengan segelas jus. Tentu saja ia tidak mengerjakannya sendirian, ada Bik Desi yang membantunya memasak. Wanita setengah baya itu sangat baik dan juga lemah lembut saat bertutur kata. Pantas saja Gusti mempercayakan kunci rumah pada wanita itu."Biar saya yang cuci piring, Bu. Kata bapak, Ibu hanya boleh di dapur saat bikin sarapan saja. Untuk makan siang dan pekerjaan rumah lainnya biar saya yang kerjakan. Ibu tenang saja, saya gak merasa kerepotan karena sudah terbiasa sejak muda." Bik Desi menahan tangan Zia, saat wanita itu sudah memegang sponge cuci piring. "Gak papa, Bik, saya bingung kalau gak ngapa-ngapain ma
"Ada rahasia apa, Pak? dan kenapa harus diceritakan pada saya?" Zia masih menatap suaminya dengan penuh tanda tanya. "Sebelumnya saya mau minta maaf sama kamu, karena sudah menuduh kamu penyebab Hanin terpeleset dan akhirnya menjnggal." Gusti kembali menarik napas. Ia berusaha untuk tidak mengeluarkan air mata jika sudah berhubungan dengan Hanin. "Padahal, bukan salah kamu. Hilmi yang bermain kain pel sehingga Hanin terpeleset. Hilmi juga saat itu tidak sengaja karena ia berniat membantu kamu katanya. Saya dapat ceritanya dari Hilmi dua tahun setelah kamu pergi, saat kami berziarah ke makam Hanin. Maafkan saya, Zia. Kamu terlalu sayang dengan Hilmi sehingga menutupi kejadian yang sebenarnya padahal kamu juga dibuat susah oleh saya." Air mata Gusti akhirnya tumpah. Pria dewasa itu meraih tangan Zia untuk ia genggam erat. Zia menarik tangannya dengan kuat, tetapi tidak bisa. Gusti menggenggamnya benar-benar erat. Zia pun ikut berkaca-kaca. Akhirnya, Tuhan membuka sendiri tabir kenyat
Bertahun-tahun sejak Hanin meninggal, baru kali ini lagi ranjangnya ada orang lain selain dirinya. Suara napas Zia yang turun naik dengan teratur membuat Gusti tersenyum. Bisa-bisanya Zia pulas padahal di sampingnya ada buaya. Gusti yang awalnya berbaring miring memunggungi Zia, kini sudah berbalik menatap istrinya tanpa berkedip. Dengan bertumpu pada siku, Gusti meletakkan kepalanya di telapak tangan. Menatap Zia dengan berjuta perasaan di hatinya. Kembali Gusti menghela napas sambil memperhatikan wajah Zia yang sebenarnya manis, tetapi kulitnya saja yang gelap. Bukan karena dasar kulitnya gelap, tetapi karena terbakar sinar matahari. Puas melihat Zia, Gusti merapikan selimut istrinya yang sempat melorot hingga perut. Setelah dirasa nyaman dan pas, Gusti pun ikut berbaring telentang; bersiap untuk menikmati malam bersama dengan istrinya. Pukul setengah lima pagi, Zia terbangun. Suara senandung sholawat dari pegeras suara di masjid, membuat Zia membuka matanya perlahan. Rasanya ini