/ Pernikahan / Cinta Sejati Suamiku / 10. Mulut Berbisa

공유

10. Mulut Berbisa

작가: Diganti Mawaddah
last update 최신 업데이트: 2024-10-29 19:42:56

Pak Desta sudah membawa Hilmi pergi dengan mobilnya. Aku mengintip dari jendela kamar kepergian keduanya. Setelah merasa aman, aku pun pergi ke dapur untuk mencari sabun. Ya, paling tidak, aku harus segera mandi membersihkan tubuh. 

Ada sabun batangan di dalam lemari perlengkapan dapur dan masih banyak persediaan rumah tangga lainnya. Satu batang sabun batangan aku bawa ke kamar untuk membersihkan tubuhku. Barang yang lainnya bisa aku urus nanti. 

Setelah mandi dan mengganti pakaian dengan yang lebih nyaman. Aku pun menyapu rumah dan mengepelnya. Setelah semua lantai dan ruangan bersih dan wangi, aku pun mencuci piring kotor yang tidak terlalu banyak di kitchen sink. 

Adzan magrib berkumandang saat aku selesai melakukan semuanya. 

"Desta! Desta! Lu di rumah gak? Desta!" Teriakan Mas Gusti membuatku terlonjak kaget. Dengan ketakutan, aku kembali bersembunyi di dalam kolong meja. Bisa saja Mas Gusti masuk ke dalam rumah dan aku tidak tahu, apakah pintu rumah tadi sudah dikunci Pak Desta atau belum. 

"Desta, buka! Ada Hilmi gak?" Aku pun menghela napas. Ada sedikit rasa syukur di sana karena ternyata Mas Gusti mencari keberadaan Hilmi. Suara pagar digoyang kasar, menandakan pintu pagar dikunci oleh si pemilik rumah. Aku pun keluar dari tempat persembunyian, lalu berjalan mengendap-endap untuk melihat Mas Gusti, suamiku. 

Pria itu nampak berdiri dengan resah sambil memegang ponsel, lalu ia letakkan di telinga. 

"Desta, lu gak di rumah ya? Gue nyariin Hilmi."

"Apa? Sial! Gue udah deg-degan, Desta. Gue kira Hilmi kabur karena mbaknya gak ada. Ya udah, nanti kalau Hilmi tidur, anterin pulang aja. Langsung taruh di kamarnya. Pintu rumah gak gue kunci."

Itulah kalimat yang kudengar saat Mas Gusti menelepon Pak Desta. Pria itu sangat tidak menyukai Hilmi entah karena apa? Padahal almarhumah Mbak Hanin sangat menyayangi Desta dengan sepenuh hatinya. 

Pria itu pun berlalu dari depan rumah Pak Desta. Aku bisa bernapas lega dan bersiap untuk salat magrib. Walaupun aku belum memakai hijab seperti keinginan Mbak Hanin, paling tidak, aku tidak pernah meninggalkan salah satu kewajibanku sebagai seorang muslim, yaitu salat lima waktu. 

Selesai salat, aku menggoreng telur, lalu menikmati makan malam sederhana sambil menunggu Pak Desta pulang. Namun, hingga jam di dinding berada pada angka sembilan, Pak Desta belum juga pulang dan aku pun memutuskan untuk tidur saja. 

Hari ini aku amat lelah dan mata pun sudah mengantuk. Malam ini pula, di sepanjang hidupku, aku tidur di kamar ber-AC. Sampai-sampai aku tidak sadar kapan Pak Desta pulang. 

Tok! Tok! 

"Zia, bangun!" Aku tersentak saat suara Pak Desta terdengar membangunkanku. Lekas aku turun dari tempat tidur untuk membuka pintu. Siapatahu majikan baruku itu membutuhkan sesuatu. 

"Ya, Pak, ada apa?" tanyaku sambil menggosok kedua mata. 

"Zia, kamu di sini tetap pembantu ya, masa iya, sudah jam enam belum juga bangun," protesnya dengan wajah masam. Aku mendelik kaget sambil menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan ucapan majikanku salah. 

"Jam enam sore, Pak?" tanyaku setengah bingung. 

"Jam enam pagi, Zia. Kamu kesiangan! Lihat dong ini, aku udah pakai baju rapi mau ke toko. Udah, kamu lekas mandi dan salat. Ini rambut palsu kamu da mulai hari ini, nama kamu Rani ya. Maharani Fauzia adalah nama asli kamu'kan? Nah, kamu kupanggil Rani, bukan Zia. "

"Ya ampun, Pak, saya minta maaf sudah kesiangan bangunnya. Mungkin karena pakai AC, Pak, jadi adem banget kamarnya. Maafin ya, Pak," kataku tidak enak hati. Pria itu tertawa, lalu mengulurkan sebuah amplop coklat ke tanganku. Sungguh baik hati Pak Desta, belum lagi aku bekerja, sudah diberikan gaji. 

"Pak, ya ampun, saya benar-benar tidak enak, Pak. Belum bekerja tapi sudah dikasih gaji. Nanti saja, Pak, bulan depan," kataku dengan wajah merona. 

Lelaki itu bukannya merasa sungkan atau bagaimana di depanku. Ia malah tertawa, lebih tepatnya menertawakanku. 

"Rani, kamu kayaknya kudu mandi air kembang deh. Hanya majikan bodoh yang memberikan gaji padahal pembantunya belum bekerja dan malah bangun kesiangan lagi, padahal hari pertama kerja. Ini uang belanja untuk satu minggu. Kamu harus masak dan membawakan makan siang ke tokoku. Tokoku gak jauh dari sini, nanti aku kirim alamat, paham!"

"Oh, saya kira ini amplop isinya gajian saya. Maaf, Pak Desta. Saya sudah husnuzon, he he he... siap, saya akan masak yang enak." Pak Desta pun pamit pergi tanpa sempat aku membuatkannya sarapan. Sepertinya aku harus mengatur ulang alarm di ponselku agar mulai besok tidak bangun kesiangan lagi. 

Aku pun mandi dan langsung melaksanakan salat subuh yang kesiangan. Selesai salat, aku pun mencoba rambut palsu aneh yang jika dipakai lewat dari pundakku. Rambutku yang pendek, tentu saja bisa menyesuaikan dengan rambut palsu ini. Baiklah, mulai sekarang, kamu bernama Rani, bukan Zia lagi. Aku bergumam di depan cermin sambil tersenyum. 

Tok! Tok! 

"Permisi, Mbak, buka!" Suara Mas Gusti terdengar begitu jelas di telingaku. 

Jangan panik, jangan gugup, kamu bukan Zia, kamu Rani! Aku menyemangati diri ini yang sangat gugup. 

"Mbak, buka!" Teriaknya lagi dari depan pagar. Aku pun berlari untuk membuka pintu depan. 

"Ya, Pak, cari siapa?" tanyaku dengan suara palsu yang sengaja kubuat-buat, begitu pintu rumah aku buka. 

"Saya kakaknya pemilik rumah ini." Tatapan kami saling bertemu, tetapi sepertinya Mas Gusti tidak mengenaliku. 

"Oh, iya, Pak Gusti ya. Ada apa, Pak?" tanyaku masih dengan suara aneh. 

"Buka dulu pintunya, baru kamu nanya! Duh, si Desta nemu pembantu oneng gini di mana sih?" 

"Maaf, Pak, nama saya Rani, bukan Oneng. Mari, silakan  masuk!" Aku pun membuka pintu pagar dan mempersilakan pria itu masuk sambil menggendong Hilmi yang masih tertidur. Jika dulu ia bisa memanggilku dengan panggilan buruk apa saja, tapi kali ini tidak akan aku biarkan. 

"Saya titip anak ini," katanya datar. 

"Ini anak siapa? Anak Bapak?" tanyaku sengaja memancing. 

"Bukan, ini anak sodara. Namanya Hilmi, dia sekolah hari ini jam delapan. Di dalam tasnya ada baju seragam. Alamat sekolah ada di kertas yang aku simpan di dalam tasnya. Dia di sini sampai aku pulang kerja, mungkin malam jam sepuluh aku akan jemput. Kalau dia sudah tidur, berarti biar dia di sini saja." Aku mengepalkan tangan menahan emosi atas perkataan Mas Gusti yang sangat keterlaluan. 

"Saya di sini sebagai ART, bukan baby sitter," balasku seolah-olah tidak terima.

"Saya akan bayar kamu. Nama kamu siapa?"

"Saya gak biasa urus anak kecil. Kenapa gak dikembalikan pada sodara Bapak?"

"Orang tuanya udah gak ada. Udah, pokoknya kamu jaga dia. Nanti kamu saya bayar." Mas Gusti berbalik hendak keluar dari rumah. 

"Papa, Papa mau ke mana?" Hilmi tiba-tiba saja terbangun dan menghentikan langkah Mas Gusti. 

"Hilmi, saya bukan papa kamu, jadi jangan panggil saya papa, mengerti!"

댓글 (3)
goodnovel comment avatar
Yeti Karniati
sandiwara berikutnya nih jadi Rani
goodnovel comment avatar
Diganti Mawaddah
Terima kasih bunda sayang
goodnovel comment avatar
Tien Hendriyanto
ceritanya bagus, aku suka
댓글 모두 보기

관련 챕터

  • Cinta Sejati Suamiku   11. Kedatangan Gusti Siang Hari

    Anak kecil berusia empat tahun, tidak semuanya mampu memahami maksud dari perkataan orang dewasa. Satu hal yang perlu aku syukuri saat ini, Hilmi tidak bersedih dengan kalimat penolakan Mas Gusti, karena Hilmi saat itu bersin sebanyak tiga kali. Memang seperti itu jika pagi, Hilmi alergi udara pagi, walau pagi tidak mendung sekali pun. Anak kecil itu kini menatapku dengan heran. Masih sambil mengucek kedua matanya. Aku tersenyum, lalu berjalan untuk menutup pintu rumah, setelah memastikan Mas Gusti keluar dari rumah Pak Desta. "Halo, saya Teh Rani, pembantunya Om Desta. Nama kamu siapa ganteng?" tanyaku sambil berjongkok, mensejajarkan tubuh dengan Hilmi. "Hilmi, Teh." Anak kecil itu tersenyum. Lalu menoleh ke kanan dan ke kiri. "Hilmi mau sarapan dulu atau mau mandi dulu?" tanyaku pada Hilmi yang saat ini menatapku dengan intens. Semoga saja ia tidak mengenaliku. "Hilmi mau libur sekolah boleh gak, Teh?" aku terkejut mendengar perkataan Hilmi. "Memangnya kenapa mau libur?" "Ma

  • Cinta Sejati Suamiku   12. Kesucian yang Terenggut

    Tidak akan ada yang bisa menandingi tenaga pria yang telah dikuasai oleh alkohol. Tenaga dua wanita, bahkan mungkin tiga orang wanita sekali pun, tetap tidak akan mampu menahan kuatnya cengkeraman dan tarikan kuat pria dalam keadaan mabuk berat. Memang Mas Gusti suamiku, tetapi ia tidak tahu, bahwa yang saat ini ia ciumi habis-habisan tubuhnya adalah aku. Jika saja ia tahu bahwa wanita yang sibuk ia lucuti pakaiannya ini adalah Zia, mungkin saja Mas Gusti akan pingsan. Mengingat betapa ia membenciku. "Pak, lepas!" Kembali sekuat tenaga aku mendorong tubuhnya, tetapi tidak bisa. Kedua tanganku ditarik ke atas hingga berada di atas kepala. Ia tahan dengan kedua tangannya dan tangan satunya lagi terus saja menggodaku. Air mata sudah tidak terbendung. Aku takut dengan Mas Gusti, walau ia suamiku. Tenggorokan ini pun bagaikan ditimpa baru besar, sehingga tidak mampu berteriak berhenti. "Hanin, kenapa menangis, aku suami kamu? Aku belum melakukan apa-apa, baru mencium saja, kenapa sudah

  • Cinta Sejati Suamiku   13. Diminta Bungkam

    "Rani, katakan, itu darah apa yang ada di kasur kamu? Kamu mencoba mempermainkan saya?" sebelum suara lelaki itu semakin keras, kutarik ia masuk ke dalam kamar, agar Hilmi yang tengah makan tidak mendengar pertengkaran kami. "Pak Gusti melakukannya dan jangan bilang Bapak gak sadar! Oke, Bapak memang gak sadar karena pengaruh alkohol, tetapi apa yang Bapak lakukan bukan hal rekayasa. Gak percaya?" kedua bola mataku menatap lekat netranya. Ada sebuah kesedihan dan luka di dalam sana, sehingga yang ia lakukan beberapa jam lalu padaku dapat dipastikan sebuah pelarian. "Ini, lihat!" Aku menarik turun baju daster yang aku kenakan. Ada banyak tanda merah yang ditinggalkan Mas Gusti di sana. Pria itu memalingkan wajahnya karena malu dan juga mungkin kesal dengan dirinya sendiri. "Tidak mungkin saya menandainya dengan crayon'kan? Memangnya pekerjaan saya gak ada?" Aku berpura-pura tidak terima keperawananku terenggut. Biarlah untuk sementara, Mas Gusti menganggap dirinya telah menodai Rani,

  • Cinta Sejati Suamiku   14. Terpaksa Berbohong

    "I-itu tadi saya tidak sengaja menumpahkan susu yang akan saya berikan pada Hilmi, Pak. Terus, masalah kaus dalam Pak Gusti itu sepertinya saat mengambil baju untuk Hilmi, Pak Gusti mengira mungkin itu kaus dalam Hilmi, padahal kaus dalam beliau. Begitu ceritanya." Aku berusaha menampilkan ekspresi serius dan tidak berbohong. Pak Desta masih memandangiku dengan seksama, tapi sedetik kemudian, ia pun berjalan masuk ke dalam kamarnya. "Saya mau makan, Rani, tolong ambilkan untuk saya." Pria itu keluar lagi dari kamar sambil memanjangkan lehernya. "Baik, Pak." Bergegas kuhidangkan menu masakan yang sudah kubuat sebelum ashar tadi. Soal rasa, mungkin masih enakan yang kubeli di restoran bento, tetapi warnanya, aku usahakan sama, sehingga Pak Desta tidak mencurigaiku.Hilmi pun ikut makan, duduk di depan televisi. Anak kecil itu sudah pintar makan sendiri, aku hanya menemaninya saja. Pak Desta makan tanpa banyak suara. Entahlah, kadang pria ini begitu ramah, terkadang juga begitu dingin.

  • Cinta Sejati Suamiku   15. Bercak Darah di Kemeja Kerja

    POV AuthorBu Nadia sudah berada di ruang cuci rumah putranya yang baru saja jadi duda. Ada banyak pakaian yang belum dicuci. Tiga ember besar pakaian almarhum Hanin; menantunya, Gusti, Hilmi, dan juga beberapa potong baju Zia. Ah, bagaimana nasib gadis itu setelah di penjara? Batin Bu Nadia miris. Ia sebenarnya tidak percaya begitu saja bahwa Zia-lah yang menyebabkan Hanin terpeleset di rumah. Karena sepanjang ia mengenal Zia, gadis itu selalu kerja dengan sangat baik. Memasak, menjaga Hilmi, dan juga mengurus rumah. Namun, Gusti bersikeras mengatakan Zia adalah pelakunya, sehingga ia sebagai ibu, mau tidak mau akhirnya percaya dengan Gusti. "Kenapa, Ma?" tanya Gusti yang baru saja keluar kamar dan langsung ke belakang menghampiri Bu Nadia. "Ini loh, pakaian kamu banyak sekali. Masa Mama yang nyuci, dibawa ke laundry-an aja, Gusti. Harusnya kemarin itu, Zia jangan langsung disuruh keluar dari rumah ini. Ck, lihat baju-baju ini banyak sekali," omel Bu Nadia sambil menggelengkan kep

  • Cinta Sejati Suamiku   16. Gusti Disidang

    "Gusti, kamu dipanggil mama!" Suara Pak Mus membuat dua lelaki dewasa menoleh serentak ke arah pagar. Kening Desta mengerut saat memperhatikan wajah papanya yang seperti menahan marah. Rahang pria dewasa itu mengeras dan menatap dua putranya dengan begitu lekat."Saya juga dipanggil gak, Pa?" tanya Desta yang ikut berdiri juga. "Nggak, ini khusus urusan duda nyeleneh kayak mas kamu ini! Udah, cepat, Gusti, keburu rumah kamu dibakar mama!""Waduh, rumah siapa yang kebakaran?" sela Rani alias Zia yang datang sambil memegang sapu. "Sebentar, saya ambil ember! ""Rani, apa yang mau kamu lakukan?" tanya Desta sambil menahan tawa. "Ambil ember bantuin memadamkan api beneran kan? Kalau api asmara saya gak tahu cara memadamkannya, hi hi hi.... " Rani melirik Gusti dengan sengaja. Ia memainkan bibir sambil menggigit manja di depan Gusti yang mencebik. "Gusti, cepat!" Pekik Pak Mus tak sabar. Gusti berbalik, lalu berjalan ke arah pagar. "Kuy, Pak Desta, kita bantuin padamkan api!" "Ya amp

  • Cinta Sejati Suamiku   17. Daya Pikat Rani

    "Rani, katakan yang jujur, Mas Gusti tidur sama kamu?" tanya Desta tak sabar. Namun, jangan panggil ia Zia, kalau tidak bisa berkelit. "Apa menurut Pak Desta, Mas Gusti mau tidur sama saya? Kalau begitu, kenapa saya harus dikirim ke penjara? Mas Gusti gak akan menyentuh saya, Pak. Lagian Bapak tadi gak dengar kalau Mas Gusti bilang, dia tidur sama wanita malam. Duh, saya bingung sama keluarga suami saya. Udah, ah, saya mau ke rumah Pak Desta saja." Desta belum lagi sempat menjawab sanggahan Rani, wanita itu sudah tidak ada di hadapannya dan kini tengah berjalan begitu cepat menuju rumahnya. Desta yang tidak mau ikut campur secara langsung pada urusan Gusti, hanya bisa tersenyum simpul. Ada banyak yang harus ia selesaikan setelah kakak iparnya meninggal, termasuk melindungi Zia dari Gusti yang semena-mena. Kembali ke dalam rumah. Baju kemeja dengan bercak darah tadi, kini sudah ada di tangan Gusti. Ia memandangi terus noda itu dengan mata yang sayu. Kenapa ia bisa sampai terjerumus

  • Cinta Sejati Suamiku   18. Operasi Pengangkatan Tompel

    ["Halo, Desta, apa kamu ada waktu siang ini? Temani aku ke kantor polisi."]["Mau apa, Mas? Mau menjarain siapa lagi? Rani?"]["Ish, bukan, aku mau konfirmasi ke kantor polisi, karena dari informan yang aku suruh, mengatakan bahwa Zia sudah dibebaskan dengan jaminan oleh seseorang, tepat di hari yang sama saat ia keluar dari rumah ini."]["Untuk apa konfirmasi? Orang Zia udah dibebaskan, kenapa Mas perlu konfirmasi? Penyelidikan tetap berlangsung walau Zia ga di rumah Mas lagi. Nanti juga di datang saat dimintai keterangan. Lagian, setahu saya Mas gak peduli dengan Zia. Sudah, biarkan saja dia pergi."]["Aku sih gak peduli dengan Zia, Des. Yang bikin aku penasaran itu, siapa lelaki yang membebaskan Zia. Bayar jaminan uangnya gak seratus dua ratus. Bisa puluhan juta kalau berurusan sama polisi. Berarti bukan orang sembarangan."]["Ya, terus? Mas bukannya gak peduli sama istri muda Mas itu. Udahlah, mungkin, diam-diam ada hot daddy yang senang sama Zia atau ada berondong yang bucin deng

최신 챕터

  • Cinta Sejati Suamiku   56. Malam Pengantin

    "Terima kasih sudah mau menerimaku kembali," bisik Galih; menghentikan gerakan tangannya. Melepas keintiman ciuman itu sesaat untuk menatap lekat sangat Istri yang wajahnya sudah bersemu merah. Ditambah riasan bibir yang sudah amat berantakan karena ulahnya. Mata Dia pun berkaca-kaca. Berada dalam kamar pengantin sangat bagus bersama dengan lelaki yang selalu ia cintai sepanjang hidupnya, tentu saja tidak berani ia mimpikan, tetapi kali ini, kenyataan manis sedang ia hadapan bersama sang pujaan hati. "Terima kasih sudah berusaha sejauh ini untuk kebahagiaan saya dan anak-anak," balas Zia sambil menunduk. Tetes air matanya jatuh tepat di punggung tanganku Gusti. Pria ia mengangkat dagu Zia dengan lembut. Menghapus air mata di pipi istrinya dengan bibirnya. Bergantian, kanan dan kiri. Suasana baru itu hanya sesaat, karena kemudian Gusti sudah menghujani Zia dengan ciuman. Ciuman kali ini berbeda dari ciuman yang pernah mereka lakukan sebelumnya, bahkan dalam gairah yang meluap-luap. C

  • Cinta Sejati Suamiku   55. Malam Panjang Desta

    Pov Desta"Mbak kapan sampai? Mana Mas Gusti? Hilmi gak ikut?" tanyaku pada wanita yang sedang duduk di ruang tengah rumahku.Hari ini memang Mas Gusti berencana datang ke Jogja untuk urusan pekerjaan. Ada proyek yang harus ia pantau untuk beberapa hari di sekitar Jogya. Tentu saja aku tidak keberatan jika Mas Gusti menginap di rumahku, apalagi aku sudah lama tidak berbincang dengannya. Namun aku tidak tahu kalau Mas Gusti ke rumah bersama Mbak Hanin. Pria itu sama sekali tidak memberitahu perihal Mbak Hanin yang turut serta."Satu jam yang lalu. Aku bawa makanan tuh! Kata Mas Gusti, kamu jarang masak, makanya dari rumah udah aku masakin, tinggal dipanaskan saja," jawab Mbak Hanin sambil tersenyum manis. Senyuman yang selalu membuat hati ini berdebar. Aku tahu tidak boleh ada debar di jantung ini terhadap Mbak Hanin, tetapi aku tidak bisa menahannya. Dari pada jantungku tidak berdebar, malah lebih repot lagi."Terima kasih, Mbak, saya mau mandi dulu baru makan ya." Tanpa menunggu bala

  • Cinta Sejati Suamiku   54. Hari Pernikahan

    Semua berkas sudah diurus oleh keduanya. Tanggal pun sudah didapatkan untuk melaksanakan hari bahagia antara Zia dan Gusti. Persiapan pun mulai dikerjakan dengan benar-benar mengerahkan bantuan dari sanak-saudara. Wedding organizer ter-the best juga sudah dipesan Gusti. Ia memang sudah berjanji akan memberikan pernikahan terbaik untuk Zia. Sebagai penebus dosa masa lalu yang sangat berat.Zia yang awalnya menolak karena menurutnya semua terlalu mewah, sedangkan kehidupan pernikahan itu panjang. Ia ingin Gusti sedikit berhemat, tetapi Gusti menolak. Undangan sedang di design dan akan dicetak sebanyak lima ratus lembar. Belum lagi undangan virtual bagi saudara yang jauh dan kiranya tidak bisa dikunjungi untuk diberikan undangan.Mungkin akan ada sekitar seribu undangan yang akan hadir nanti."Zia, sini sebentar!" Panggil Gusti saat Zia tengah berada di ruang makan. Menata makan sore untuk keluarganya. Bik Desi pulang lebih awal karena tidak enak badan, sehingga tidak bisa membantunya s

  • Cinta Sejati Suamiku   53. Bucin Akut

    Zia yang tidak diperbolehkan keluar dari kamar, akhirnya memutuskan mandi untuk menyegarkan tubuh dan kepalanya. Baju daster lama favorit ia pakai walau sudah sobek bagian ketiak. Ia merasa tidak perlu khawatir akan pakaian itu karena tidak mungkin juga ia mau mengangkat tangan sampai kelihatan ketiaknya. Suara riuh-ramai di luar kamar menandakan anak-anak sudah pulang dari sekolah. Mungkin mereka sudah langsung bercengkerama dengan Desta, sedangkan ia masih dipingit di kamar.Menurutnya Gusti terlalu lebay dengan melarangnya bertemu Desta tanpa ditemani dirinya. Padahal jika ingin jujur, ia pun rindu pada Desta. Bukan rindu layaknya pasangan lawan jenis, tetapi rindu sebagai saudara. Zia pun akhirnya tertidur setelah lama menunggu di atas kasur. Wanita itu tidak tahu bahwa suaminya sudah pulang dan langsung masuk ke dalam kamar. Ia berbaring terlentang dengan kedua tangan berada di atas kepala, hingga terlihatlah lubang pada baju dasternya, tepat di bagian ketiak. Gusti terkekeh.

  • Cinta Sejati Suamiku   52. Kedatangan Desta

    "Alhamdulillah, Mama senang lihat kamu dan Gusti sudah akur," kata Bu Nadia sambil mengusap rambut Zia. "Maafkan Gusti atas kesalahannya yang dulu. Mama saat mengetahui Hanin dan Desta... " Bu Nadia tak sanggup meneruskan ucapannya. "Sudah, Ma, jangan diingat lagi ya. Mbak Hanin juga sudah tiada. Kasihan jika kita terus saja mengingat hal buruk tentang Mbak Hanin, padahal almarhumah melakukan itu karena rasa cintanya yang luar biasa pada Pak Gusti. Saya mengerti sekali posisi Mbak Hanin yang merasa serba salah." Tanpa terasa, air bening sudah menggenang di pelupuk matanya. Bagi seorang Zia, Hanin adalah layaknya kakak, ibu, yang tidak akan pernah tergantikan posisinya. Ia menyayangi Mbak Hanin seperti saudara sendiri. Jadi apapun yang dikatakan orang tentang wanita itu, Zia sudah tutup mata. Hanin adalah pribadi yang baik, hanya saja ia menghalalkan segala cara untuk menyenangkan hati suaminya. "Mungkin ini takdir. Mama berkali-kali bilang begitu sama Gusti. Dua belas tahun merek

  • Cinta Sejati Suamiku   51. Pengantin Lama, Rasa Baru (21+)

    "Saya belum mengantuk. Bagaimana kalau kita diskusi tentang pernikahan saja?" tanya Gusti saat mereka sudah berbaring di ranjang. Zia menoleh dengan tatapan bingung. Pernikahan apa lagi? Kenapa ia tidak pernah bisa memahami apa maksudnya Gusti? "Pernikahan siapa, Pak?" tanya Zia. Wanita itu menoleh ke samping dengan datar. "Pernikahan kita.""Maksudnya?" Zia semakin tidak paham. "Saya ingin kita menikah kembali secara resmi. Biar punya buku nikah dan anak-anak juga memiliki akte lahir." Zia terdiam. Perasaanya campur aduk antara senang dan juga bimbang. Ia belum yakin sepenuhnya bahwa Gusti sudah berubah. Bisa saja lelaki di sampingnya ini sedang merencanakan sesuatu. "Kenapa, gak mau ya?" tanya Gusti yang kini sudah berbaring miring menatap Zia. "Lurus aja tidurannya bisa gak, Pak?" Zia mendorong Gusti hingga lelaki itu tidur kembali dengan posisi lurus menatap langit-langit kamar. Pria itu tertawa, tetapi ia menurut. Posisinya kembali seperti semula. "Zia, saya serius. Saya ma

  • Cinta Sejati Suamiku   50. Kedatangan Mertua

    Pukul setengah tujuh pagi, anak-anak berangkat sekolah dengan diantar oleh Gusti. Semuanya sarapan dengan penuh suka cita karena pagi ini, pagi pertama bagi Zia menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya. Ada roti bakar, sosis, dan juga baso bakar. Ada juga nasi goreng ikan teri, jus buah, dan juga susu untuk Gina. Gina lebih suka susu jika pagi hari, dibandingkan dengan segelas jus. Tentu saja ia tidak mengerjakannya sendirian, ada Bik Desi yang membantunya memasak. Wanita setengah baya itu sangat baik dan juga lemah lembut saat bertutur kata. Pantas saja Gusti mempercayakan kunci rumah pada wanita itu."Biar saya yang cuci piring, Bu. Kata bapak, Ibu hanya boleh di dapur saat bikin sarapan saja. Untuk makan siang dan pekerjaan rumah lainnya biar saya yang kerjakan. Ibu tenang saja, saya gak merasa kerepotan karena sudah terbiasa sejak muda." Bik Desi menahan tangan Zia, saat wanita itu sudah memegang sponge cuci piring. "Gak papa, Bik, saya bingung kalau gak ngapa-ngapain ma

  • Cinta Sejati Suamiku   49. Sebuah Rahasia

    "Ada rahasia apa, Pak? dan kenapa harus diceritakan pada saya?" Zia masih menatap suaminya dengan penuh tanda tanya. "Sebelumnya saya mau minta maaf sama kamu, karena sudah menuduh kamu penyebab Hanin terpeleset dan akhirnya menjnggal." Gusti kembali menarik napas. Ia berusaha untuk tidak mengeluarkan air mata jika sudah berhubungan dengan Hanin. "Padahal, bukan salah kamu. Hilmi yang bermain kain pel sehingga Hanin terpeleset. Hilmi juga saat itu tidak sengaja karena ia berniat membantu kamu katanya. Saya dapat ceritanya dari Hilmi dua tahun setelah kamu pergi, saat kami berziarah ke makam Hanin. Maafkan saya, Zia. Kamu terlalu sayang dengan Hilmi sehingga menutupi kejadian yang sebenarnya padahal kamu juga dibuat susah oleh saya." Air mata Gusti akhirnya tumpah. Pria dewasa itu meraih tangan Zia untuk ia genggam erat. Zia menarik tangannya dengan kuat, tetapi tidak bisa. Gusti menggenggamnya benar-benar erat. Zia pun ikut berkaca-kaca. Akhirnya, Tuhan membuka sendiri tabir kenyat

  • Cinta Sejati Suamiku   48. Kenyataan yang Diungkap Gusti

    Bertahun-tahun sejak Hanin meninggal, baru kali ini lagi ranjangnya ada orang lain selain dirinya. Suara napas Zia yang turun naik dengan teratur membuat Gusti tersenyum. Bisa-bisanya Zia pulas padahal di sampingnya ada buaya. Gusti yang awalnya berbaring miring memunggungi Zia, kini sudah berbalik menatap istrinya tanpa berkedip. Dengan bertumpu pada siku, Gusti meletakkan kepalanya di telapak tangan. Menatap Zia dengan berjuta perasaan di hatinya. Kembali Gusti menghela napas sambil memperhatikan wajah Zia yang sebenarnya manis, tetapi kulitnya saja yang gelap. Bukan karena dasar kulitnya gelap, tetapi karena terbakar sinar matahari. Puas melihat Zia, Gusti merapikan selimut istrinya yang sempat melorot hingga perut. Setelah dirasa nyaman dan pas, Gusti pun ikut berbaring telentang; bersiap untuk menikmati malam bersama dengan istrinya. Pukul setengah lima pagi, Zia terbangun. Suara senandung sholawat dari pegeras suara di masjid, membuat Zia membuka matanya perlahan. Rasanya ini

DMCA.com Protection Status