Tidak akan ada yang bisa menandingi tenaga pria yang telah dikuasai oleh alkohol. Tenaga dua wanita, bahkan mungkin tiga orang wanita sekali pun, tetap tidak akan mampu menahan kuatnya cengkeraman dan tarikan kuat pria dalam keadaan mabuk berat. Memang Mas Gusti suamiku, tetapi ia tidak tahu, bahwa yang saat ini ia ciumi habis-habisan tubuhnya adalah aku. Jika saja ia tahu bahwa wanita yang sibuk ia lucuti pakaiannya ini adalah Zia, mungkin saja Mas Gusti akan pingsan. Mengingat betapa ia membenciku. "Pak, lepas!" Kembali sekuat tenaga aku mendorong tubuhnya, tetapi tidak bisa. Kedua tanganku ditarik ke atas hingga berada di atas kepala. Ia tahan dengan kedua tangannya dan tangan satunya lagi terus saja menggodaku. Air mata sudah tidak terbendung. Aku takut dengan Mas Gusti, walau ia suamiku. Tenggorokan ini pun bagaikan ditimpa baru besar, sehingga tidak mampu berteriak berhenti. "Hanin, kenapa menangis, aku suami kamu? Aku belum melakukan apa-apa, baru mencium saja, kenapa sudah
"Rani, katakan, itu darah apa yang ada di kasur kamu? Kamu mencoba mempermainkan saya?" sebelum suara lelaki itu semakin keras, kutarik ia masuk ke dalam kamar, agar Hilmi yang tengah makan tidak mendengar pertengkaran kami. "Pak Gusti melakukannya dan jangan bilang Bapak gak sadar! Oke, Bapak memang gak sadar karena pengaruh alkohol, tetapi apa yang Bapak lakukan bukan hal rekayasa. Gak percaya?" kedua bola mataku menatap lekat netranya. Ada sebuah kesedihan dan luka di dalam sana, sehingga yang ia lakukan beberapa jam lalu padaku dapat dipastikan sebuah pelarian. "Ini, lihat!" Aku menarik turun baju daster yang aku kenakan. Ada banyak tanda merah yang ditinggalkan Mas Gusti di sana. Pria itu memalingkan wajahnya karena malu dan juga mungkin kesal dengan dirinya sendiri. "Tidak mungkin saya menandainya dengan crayon'kan? Memangnya pekerjaan saya gak ada?" Aku berpura-pura tidak terima keperawananku terenggut. Biarlah untuk sementara, Mas Gusti menganggap dirinya telah menodai Rani,
"I-itu tadi saya tidak sengaja menumpahkan susu yang akan saya berikan pada Hilmi, Pak. Terus, masalah kaus dalam Pak Gusti itu sepertinya saat mengambil baju untuk Hilmi, Pak Gusti mengira mungkin itu kaus dalam Hilmi, padahal kaus dalam beliau. Begitu ceritanya." Aku berusaha menampilkan ekspresi serius dan tidak berbohong. Pak Desta masih memandangiku dengan seksama, tapi sedetik kemudian, ia pun berjalan masuk ke dalam kamarnya. "Saya mau makan, Rani, tolong ambilkan untuk saya." Pria itu keluar lagi dari kamar sambil memanjangkan lehernya. "Baik, Pak." Bergegas kuhidangkan menu masakan yang sudah kubuat sebelum ashar tadi. Soal rasa, mungkin masih enakan yang kubeli di restoran bento, tetapi warnanya, aku usahakan sama, sehingga Pak Desta tidak mencurigaiku.Hilmi pun ikut makan, duduk di depan televisi. Anak kecil itu sudah pintar makan sendiri, aku hanya menemaninya saja. Pak Desta makan tanpa banyak suara. Entahlah, kadang pria ini begitu ramah, terkadang juga begitu dingin.
POV AuthorBu Nadia sudah berada di ruang cuci rumah putranya yang baru saja jadi duda. Ada banyak pakaian yang belum dicuci. Tiga ember besar pakaian almarhum Hanin; menantunya, Gusti, Hilmi, dan juga beberapa potong baju Zia. Ah, bagaimana nasib gadis itu setelah di penjara? Batin Bu Nadia miris. Ia sebenarnya tidak percaya begitu saja bahwa Zia-lah yang menyebabkan Hanin terpeleset di rumah. Karena sepanjang ia mengenal Zia, gadis itu selalu kerja dengan sangat baik. Memasak, menjaga Hilmi, dan juga mengurus rumah. Namun, Gusti bersikeras mengatakan Zia adalah pelakunya, sehingga ia sebagai ibu, mau tidak mau akhirnya percaya dengan Gusti. "Kenapa, Ma?" tanya Gusti yang baru saja keluar kamar dan langsung ke belakang menghampiri Bu Nadia. "Ini loh, pakaian kamu banyak sekali. Masa Mama yang nyuci, dibawa ke laundry-an aja, Gusti. Harusnya kemarin itu, Zia jangan langsung disuruh keluar dari rumah ini. Ck, lihat baju-baju ini banyak sekali," omel Bu Nadia sambil menggelengkan kep
"Gusti, kamu dipanggil mama!" Suara Pak Mus membuat dua lelaki dewasa menoleh serentak ke arah pagar. Kening Desta mengerut saat memperhatikan wajah papanya yang seperti menahan marah. Rahang pria dewasa itu mengeras dan menatap dua putranya dengan begitu lekat."Saya juga dipanggil gak, Pa?" tanya Desta yang ikut berdiri juga. "Nggak, ini khusus urusan duda nyeleneh kayak mas kamu ini! Udah, cepat, Gusti, keburu rumah kamu dibakar mama!""Waduh, rumah siapa yang kebakaran?" sela Rani alias Zia yang datang sambil memegang sapu. "Sebentar, saya ambil ember! ""Rani, apa yang mau kamu lakukan?" tanya Desta sambil menahan tawa. "Ambil ember bantuin memadamkan api beneran kan? Kalau api asmara saya gak tahu cara memadamkannya, hi hi hi.... " Rani melirik Gusti dengan sengaja. Ia memainkan bibir sambil menggigit manja di depan Gusti yang mencebik. "Gusti, cepat!" Pekik Pak Mus tak sabar. Gusti berbalik, lalu berjalan ke arah pagar. "Kuy, Pak Desta, kita bantuin padamkan api!" "Ya amp
"Rani, katakan yang jujur, Mas Gusti tidur sama kamu?" tanya Desta tak sabar. Namun, jangan panggil ia Zia, kalau tidak bisa berkelit. "Apa menurut Pak Desta, Mas Gusti mau tidur sama saya? Kalau begitu, kenapa saya harus dikirim ke penjara? Mas Gusti gak akan menyentuh saya, Pak. Lagian Bapak tadi gak dengar kalau Mas Gusti bilang, dia tidur sama wanita malam. Duh, saya bingung sama keluarga suami saya. Udah, ah, saya mau ke rumah Pak Desta saja." Desta belum lagi sempat menjawab sanggahan Rani, wanita itu sudah tidak ada di hadapannya dan kini tengah berjalan begitu cepat menuju rumahnya. Desta yang tidak mau ikut campur secara langsung pada urusan Gusti, hanya bisa tersenyum simpul. Ada banyak yang harus ia selesaikan setelah kakak iparnya meninggal, termasuk melindungi Zia dari Gusti yang semena-mena. Kembali ke dalam rumah. Baju kemeja dengan bercak darah tadi, kini sudah ada di tangan Gusti. Ia memandangi terus noda itu dengan mata yang sayu. Kenapa ia bisa sampai terjerumus
["Halo, Desta, apa kamu ada waktu siang ini? Temani aku ke kantor polisi."]["Mau apa, Mas? Mau menjarain siapa lagi? Rani?"]["Ish, bukan, aku mau konfirmasi ke kantor polisi, karena dari informan yang aku suruh, mengatakan bahwa Zia sudah dibebaskan dengan jaminan oleh seseorang, tepat di hari yang sama saat ia keluar dari rumah ini."]["Untuk apa konfirmasi? Orang Zia udah dibebaskan, kenapa Mas perlu konfirmasi? Penyelidikan tetap berlangsung walau Zia ga di rumah Mas lagi. Nanti juga di datang saat dimintai keterangan. Lagian, setahu saya Mas gak peduli dengan Zia. Sudah, biarkan saja dia pergi."]["Aku sih gak peduli dengan Zia, Des. Yang bikin aku penasaran itu, siapa lelaki yang membebaskan Zia. Bayar jaminan uangnya gak seratus dua ratus. Bisa puluhan juta kalau berurusan sama polisi. Berarti bukan orang sembarangan."]["Ya, terus? Mas bukannya gak peduli sama istri muda Mas itu. Udahlah, mungkin, diam-diam ada hot daddy yang senang sama Zia atau ada berondong yang bucin deng
POV Zia alias Rani"Apa-apaan, Mas Gusti? Aneh sekali tiba-tiba minta ditemani makan. Sama Mbak Hanin saja gak begitu amat. Mungkin saat mereka berdua iya, aku percaya. Lah, ini, dengan orang lain yang baru dikenal, sudah sok ngatur mintanya banyak. Masa gara-gara tidur bersama jadi sok ngatur. Ya ampun, mesum sekali ternyata suami jadi-jadianku itu!" Sekilas aku melirik pintu kamar. Berharap ia tidak mendobrak masuk dan kembali menyerangku. Walau tidak apa-apaan sebenarnya karena aku masih istrinya, tetapi tetap saja, Mas Gusti menganggapku pembantu Pak Desta. Orang lain yang tidur bersama. Tok! Tok! "Duh! Apa lagi ini orang?" aku menelan ludah sambil meraba dada yang berdebar karena pintu diketuk tiba-tiba olehnya. Lekas aku turun dari tempat tidur dan berjalan untuk membukakan pintu. "Ada apa, Pak?" tanyaku tanpa senyuman. "Mm... kamu gak ngapain gitu di luar?" "Hah? Ngapain apa?" aku menganga tidak mengerti maksud ucapannya yang absurd. "Koprol, kayang, yoga, pilates? Apa?!"
"Terima kasih sudah mau menerimaku kembali," bisik Galih; menghentikan gerakan tangannya. Melepas keintiman ciuman itu sesaat untuk menatap lekat sangat Istri yang wajahnya sudah bersemu merah. Ditambah riasan bibir yang sudah amat berantakan karena ulahnya. Mata Dia pun berkaca-kaca. Berada dalam kamar pengantin sangat bagus bersama dengan lelaki yang selalu ia cintai sepanjang hidupnya, tentu saja tidak berani ia mimpikan, tetapi kali ini, kenyataan manis sedang ia hadapan bersama sang pujaan hati. "Terima kasih sudah berusaha sejauh ini untuk kebahagiaan saya dan anak-anak," balas Zia sambil menunduk. Tetes air matanya jatuh tepat di punggung tanganku Gusti. Pria ia mengangkat dagu Zia dengan lembut. Menghapus air mata di pipi istrinya dengan bibirnya. Bergantian, kanan dan kiri. Suasana baru itu hanya sesaat, karena kemudian Gusti sudah menghujani Zia dengan ciuman. Ciuman kali ini berbeda dari ciuman yang pernah mereka lakukan sebelumnya, bahkan dalam gairah yang meluap-luap. C
Pov Desta"Mbak kapan sampai? Mana Mas Gusti? Hilmi gak ikut?" tanyaku pada wanita yang sedang duduk di ruang tengah rumahku.Hari ini memang Mas Gusti berencana datang ke Jogja untuk urusan pekerjaan. Ada proyek yang harus ia pantau untuk beberapa hari di sekitar Jogya. Tentu saja aku tidak keberatan jika Mas Gusti menginap di rumahku, apalagi aku sudah lama tidak berbincang dengannya. Namun aku tidak tahu kalau Mas Gusti ke rumah bersama Mbak Hanin. Pria itu sama sekali tidak memberitahu perihal Mbak Hanin yang turut serta."Satu jam yang lalu. Aku bawa makanan tuh! Kata Mas Gusti, kamu jarang masak, makanya dari rumah udah aku masakin, tinggal dipanaskan saja," jawab Mbak Hanin sambil tersenyum manis. Senyuman yang selalu membuat hati ini berdebar. Aku tahu tidak boleh ada debar di jantung ini terhadap Mbak Hanin, tetapi aku tidak bisa menahannya. Dari pada jantungku tidak berdebar, malah lebih repot lagi."Terima kasih, Mbak, saya mau mandi dulu baru makan ya." Tanpa menunggu bala
Semua berkas sudah diurus oleh keduanya. Tanggal pun sudah didapatkan untuk melaksanakan hari bahagia antara Zia dan Gusti. Persiapan pun mulai dikerjakan dengan benar-benar mengerahkan bantuan dari sanak-saudara. Wedding organizer ter-the best juga sudah dipesan Gusti. Ia memang sudah berjanji akan memberikan pernikahan terbaik untuk Zia. Sebagai penebus dosa masa lalu yang sangat berat.Zia yang awalnya menolak karena menurutnya semua terlalu mewah, sedangkan kehidupan pernikahan itu panjang. Ia ingin Gusti sedikit berhemat, tetapi Gusti menolak. Undangan sedang di design dan akan dicetak sebanyak lima ratus lembar. Belum lagi undangan virtual bagi saudara yang jauh dan kiranya tidak bisa dikunjungi untuk diberikan undangan.Mungkin akan ada sekitar seribu undangan yang akan hadir nanti."Zia, sini sebentar!" Panggil Gusti saat Zia tengah berada di ruang makan. Menata makan sore untuk keluarganya. Bik Desi pulang lebih awal karena tidak enak badan, sehingga tidak bisa membantunya s
Zia yang tidak diperbolehkan keluar dari kamar, akhirnya memutuskan mandi untuk menyegarkan tubuh dan kepalanya. Baju daster lama favorit ia pakai walau sudah sobek bagian ketiak. Ia merasa tidak perlu khawatir akan pakaian itu karena tidak mungkin juga ia mau mengangkat tangan sampai kelihatan ketiaknya. Suara riuh-ramai di luar kamar menandakan anak-anak sudah pulang dari sekolah. Mungkin mereka sudah langsung bercengkerama dengan Desta, sedangkan ia masih dipingit di kamar.Menurutnya Gusti terlalu lebay dengan melarangnya bertemu Desta tanpa ditemani dirinya. Padahal jika ingin jujur, ia pun rindu pada Desta. Bukan rindu layaknya pasangan lawan jenis, tetapi rindu sebagai saudara. Zia pun akhirnya tertidur setelah lama menunggu di atas kasur. Wanita itu tidak tahu bahwa suaminya sudah pulang dan langsung masuk ke dalam kamar. Ia berbaring terlentang dengan kedua tangan berada di atas kepala, hingga terlihatlah lubang pada baju dasternya, tepat di bagian ketiak. Gusti terkekeh.
"Alhamdulillah, Mama senang lihat kamu dan Gusti sudah akur," kata Bu Nadia sambil mengusap rambut Zia. "Maafkan Gusti atas kesalahannya yang dulu. Mama saat mengetahui Hanin dan Desta... " Bu Nadia tak sanggup meneruskan ucapannya. "Sudah, Ma, jangan diingat lagi ya. Mbak Hanin juga sudah tiada. Kasihan jika kita terus saja mengingat hal buruk tentang Mbak Hanin, padahal almarhumah melakukan itu karena rasa cintanya yang luar biasa pada Pak Gusti. Saya mengerti sekali posisi Mbak Hanin yang merasa serba salah." Tanpa terasa, air bening sudah menggenang di pelupuk matanya. Bagi seorang Zia, Hanin adalah layaknya kakak, ibu, yang tidak akan pernah tergantikan posisinya. Ia menyayangi Mbak Hanin seperti saudara sendiri. Jadi apapun yang dikatakan orang tentang wanita itu, Zia sudah tutup mata. Hanin adalah pribadi yang baik, hanya saja ia menghalalkan segala cara untuk menyenangkan hati suaminya. "Mungkin ini takdir. Mama berkali-kali bilang begitu sama Gusti. Dua belas tahun merek
"Saya belum mengantuk. Bagaimana kalau kita diskusi tentang pernikahan saja?" tanya Gusti saat mereka sudah berbaring di ranjang. Zia menoleh dengan tatapan bingung. Pernikahan apa lagi? Kenapa ia tidak pernah bisa memahami apa maksudnya Gusti? "Pernikahan siapa, Pak?" tanya Zia. Wanita itu menoleh ke samping dengan datar. "Pernikahan kita.""Maksudnya?" Zia semakin tidak paham. "Saya ingin kita menikah kembali secara resmi. Biar punya buku nikah dan anak-anak juga memiliki akte lahir." Zia terdiam. Perasaanya campur aduk antara senang dan juga bimbang. Ia belum yakin sepenuhnya bahwa Gusti sudah berubah. Bisa saja lelaki di sampingnya ini sedang merencanakan sesuatu. "Kenapa, gak mau ya?" tanya Gusti yang kini sudah berbaring miring menatap Zia. "Lurus aja tidurannya bisa gak, Pak?" Zia mendorong Gusti hingga lelaki itu tidur kembali dengan posisi lurus menatap langit-langit kamar. Pria itu tertawa, tetapi ia menurut. Posisinya kembali seperti semula. "Zia, saya serius. Saya ma
Pukul setengah tujuh pagi, anak-anak berangkat sekolah dengan diantar oleh Gusti. Semuanya sarapan dengan penuh suka cita karena pagi ini, pagi pertama bagi Zia menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya. Ada roti bakar, sosis, dan juga baso bakar. Ada juga nasi goreng ikan teri, jus buah, dan juga susu untuk Gina. Gina lebih suka susu jika pagi hari, dibandingkan dengan segelas jus. Tentu saja ia tidak mengerjakannya sendirian, ada Bik Desi yang membantunya memasak. Wanita setengah baya itu sangat baik dan juga lemah lembut saat bertutur kata. Pantas saja Gusti mempercayakan kunci rumah pada wanita itu."Biar saya yang cuci piring, Bu. Kata bapak, Ibu hanya boleh di dapur saat bikin sarapan saja. Untuk makan siang dan pekerjaan rumah lainnya biar saya yang kerjakan. Ibu tenang saja, saya gak merasa kerepotan karena sudah terbiasa sejak muda." Bik Desi menahan tangan Zia, saat wanita itu sudah memegang sponge cuci piring. "Gak papa, Bik, saya bingung kalau gak ngapa-ngapain ma
"Ada rahasia apa, Pak? dan kenapa harus diceritakan pada saya?" Zia masih menatap suaminya dengan penuh tanda tanya. "Sebelumnya saya mau minta maaf sama kamu, karena sudah menuduh kamu penyebab Hanin terpeleset dan akhirnya menjnggal." Gusti kembali menarik napas. Ia berusaha untuk tidak mengeluarkan air mata jika sudah berhubungan dengan Hanin. "Padahal, bukan salah kamu. Hilmi yang bermain kain pel sehingga Hanin terpeleset. Hilmi juga saat itu tidak sengaja karena ia berniat membantu kamu katanya. Saya dapat ceritanya dari Hilmi dua tahun setelah kamu pergi, saat kami berziarah ke makam Hanin. Maafkan saya, Zia. Kamu terlalu sayang dengan Hilmi sehingga menutupi kejadian yang sebenarnya padahal kamu juga dibuat susah oleh saya." Air mata Gusti akhirnya tumpah. Pria dewasa itu meraih tangan Zia untuk ia genggam erat. Zia menarik tangannya dengan kuat, tetapi tidak bisa. Gusti menggenggamnya benar-benar erat. Zia pun ikut berkaca-kaca. Akhirnya, Tuhan membuka sendiri tabir kenyat
Bertahun-tahun sejak Hanin meninggal, baru kali ini lagi ranjangnya ada orang lain selain dirinya. Suara napas Zia yang turun naik dengan teratur membuat Gusti tersenyum. Bisa-bisanya Zia pulas padahal di sampingnya ada buaya. Gusti yang awalnya berbaring miring memunggungi Zia, kini sudah berbalik menatap istrinya tanpa berkedip. Dengan bertumpu pada siku, Gusti meletakkan kepalanya di telapak tangan. Menatap Zia dengan berjuta perasaan di hatinya. Kembali Gusti menghela napas sambil memperhatikan wajah Zia yang sebenarnya manis, tetapi kulitnya saja yang gelap. Bukan karena dasar kulitnya gelap, tetapi karena terbakar sinar matahari. Puas melihat Zia, Gusti merapikan selimut istrinya yang sempat melorot hingga perut. Setelah dirasa nyaman dan pas, Gusti pun ikut berbaring telentang; bersiap untuk menikmati malam bersama dengan istrinya. Pukul setengah lima pagi, Zia terbangun. Suara senandung sholawat dari pegeras suara di masjid, membuat Zia membuka matanya perlahan. Rasanya ini