["Zia, cepat bangunkan Desta! Tidak, katakan kalian sekarang ada di mana? Ingat, Zia, kamu itu masih berstatus istriku, jangan terlalu murahan dengan menjerat Desta!"]["Saya manusia, bukan tali! Siapa yang mau menjerat siapa? Saya istri siapa, hah? Siapa suami saya? Gak ada! Udah, tutup aja teleponnya! Marah? Saya mau dicerai? Cerai saja!"]"Aduh!" Desta tersentak saat mendengar teriakan Zia di dekatnya. Pria itu bangun sambil menggosok mata dengan ponsel yang sudah tergeletak di sampingnya. "Ada apa, Zia? Kamu ngagetin aku aja!" Zia meneteskan air matanya kembali. Inilah yang ia pikirkan tentang Gusti. Pasti suami jadi-jadiannya itu menganggap dirinya aji mumpung dan menggoda Desta. Ia bahkan dikataka murahan. "Bapak sekarang pulang ya. Gak enak saya dilihat orang sekitar. Bapak udah sampai malam di sini. Besok, atau beberapa hari ke depan, gak usah ke sini dulu ya. Saya gak mau timbul fitnah." Desta melihat kontak terakhir yang meneleponnya dan pasti Zia yang mengangkat karena
Zia merasa hidupnya aman dan tentram selama satu minggu ini. Gadis itu menutup sama sekali komunikasi dengan Desta maupun Gusti. Ia dapat bekerja dengan tenang tanpa diganggu oleh siapapun.Setiap pagi ia bangun dan beberes rumah. Ia juga memasak seadanya untuk sarapan dan juga makan siang. Jika teman-teman terapisnya banyak yang beli makan di warung padang atau rumah makan yang ada di sana, tetapi dirinya membawa bekal. Ada juga yang memang membawa bekal dari rumahnya dan rata-rata masakan ibu mereka, tidak seperti dirinya yang masak sendiri."Zia, dipanggil Bu Erina," kata Lutfi, teman sesama terapis."Oh, iya, sebentar saya ke atas." Zia menyimpan tasnya di dalam loker. Ia baru saja sampai dan ruko terapis masih sepi, belum banyak temannya yang datang."Semoga kabar baik," kata Lutfi lagi sambil tersenyum."Iya, aamiin, semoga gajian.""Mimpi, kamu baru aja masuk, masa udah mau gajian, ha ha ha.... " Lutfi dan Zia tertawa. Senang rasanya bertemu dengan beragam orang di tempat ia tr
"Tolong dinaikkan ya, Pak!" Zia berbalik badan. Gusti langsung menaikkan celana dalam yang sudah merosot sampai mata kaki. Wajah Gusti menghangat karena malu. Ia baru sadar, saat ini ia bukan bersama Rani, tapi Zia, walaupun keduanya nampak mirip, tapi Rani dan Zia dua orang yang sangat berbeda. "Sudah, Pak?" tanya Zia. "Sudah." Zia berbalik sambil bernapas lega melihat kain segita itu sudah terpasang dengan baik, walau bentuknya sedikit berbeda. Zia mencoba untuk profesional. Ia mengulurkan handuk besar pada Gusti. Tentu saja bagi pelanggan ruma terapi seperti Gusti, sudah tahu apa saja yang harus ia lakukan sebelum dipijat. Hanya saja otaknya tiba-tiba melemah saat menyadari terapisnya hari ini adalah istri mudanya yang belum pernah ia sentuh sama sekali. "Bapak Gusti, apakah Bapak mau dipijat sambil berdiri?" tegur Zia lagi sambil menggelengkan kepala. Sekian menit berlalu, Gusti masih berdiri mematung sambil terus memperhatikan Zia. "Tidak, saya berbaring," jawab Gusti canggun
"Silakan dipakai kembali pakaiannya, jika Bapak sudah bangun ya," kata Zia saat ia merasa batuk yang dikeluarkan Gusti terlalu mengada-ngada. Bukannya ia merasa Gusti seperti ingin menganggu, tapi batuk seperti itu bisa membuat orang salah sangka, mengira ada pasien covid nyasar ke tempat refleksi. Terdengar suara celana dipakai, karena ada suara kepala kepala gesper yang terdengar. Dilanjut dengan suara gesekan bahan pakaian. Zia bernapas lega saat mendengar Gusti sebentar lagi akan meninggalkan tempat kerjanya. "Mbak Zia, bisa saya bicara sebentar, saya mau berikan tip," kata Gusti dengan sedikit berbisik. Zia tidak menggubris perkataan Gusti, ia terus saja memijat punggung lelaki yang mengaku duda itu. "Mbak Zia, telinganya bermasalah ya, saya mau memberikan tip." Kali ini suara Gusti terdengar tidak senang. "Gak papa, Mbak, silakan temui dulu kustomernya tadi." Lelaki yang sedang dipijat itu pun akhirnya memberikan izin pada Zia. Jika ia tidak memberikan ijin, maka pelanggan l
Saya akan ke tempat kamu bekerja nanti sore. Ada yang mau saya bicarakan. GustiZia menghela napas. Ada masalah apa lagi? Bukankah ia sangat membenciku dan ingin menceraikanku? tetapi kenapa selalu saja ia menganggu? Zia memasukkan ponselnya ke dalam saku celana panjang. Hari ini ia harus berangkat lebih pagi karena ia naik angkutan umum. Seminggu ia training, ia menggunakan ojek online untuk sampai di tempat kerja tepat waktu, tetapi kini, dompetnya semakin tipis. Ia harus mengirit karena tidak akan ada yang memberikan uang bulanan lagi padanya jika ia tidak bekerja. Saat masih ada Mbak Hanin, maka setiap tanggal satu, ia akan mendapat gaji satu juta untuk mengurus rumah yang dikatakan Mbak Hanin itu adalah nafkah dari Mas Gusti, tapi Zia yakin tidak, itu adalah gajinya sebagai ART rangkap istri muda. Untunglah tidak hanya itu saja, ia juga gajian ditanggal lima belas yaitu tujuh ratus lima puluh sebagai karyawan butik baju muslim milik Mbak Hanin. Bekal sudah, kunci rumah pun su
Sudah jatuh, masih tertimpa tangga pula. Begitu nasib Zia saat ini. Setelah ia kecopetan semua uangnya, berikut ponselnya, ia juga benar-benar ditalak Gusti. Sekarang, tubuhnya menggigil demam. Salat subuh pun ia tidak berlama-lama dan langsung masuk ke dalam selimut. Ia pasrah dengan apa yang terjadi. Jika saja Tuhan mengambil nyawanya, maka ia ikhlas, tetapi ada anak yatim-piatu bernama Hilmi yang harus ia jaga, sesuai amanah Mbak Hani. Sampai siang hari, ia tidak bisa bangun dari tempat tidur karena muntah dan sakit kepala yang luar biasa. Muntahnya sudah ia tampung dalam plastik, tetapi belum ada tenaga untuk membuangnya ke dapur. Tok! Tok! "Zia, buka pintu! Zia!" gadis itu tidak mampu menyahut panggilan dari Desta. Ia hanya membuka kelopak mata sekilas, lalu menutupnya kembali. Brak! Suara pintu didobrak paksa. Zia dapat mendengarnya, tetapi ia tidak bisa melakukan apapun. "Zia, ya ampun, kamu kenapa? Duh, badan kamu panas sekali. Kita ke dokter." Tubuh ini hanya bisa meras
"Zia, kamu kenapa? Apa kata dokter? Apa penyakit kamu serius?" cecar Desta yang baru tiba setelah dokter selesai memeriksa Zia. Pemuda itu sempat berpapasan saat melewati meja suster jaga, tetapi Desta tidak tahu bahwa dokter yang baru saja berpapasan dengannya adalah dokter yang memeriksa Zia. Begitu pemuda itu membuka kamar perawatan VIP Zia, gadis itu tengah menangis sambil berbaring miring. "Zia, sabar ya. Apapun sakitnya kamu, pasti sembuh kok." Desta mencoba menguatkan Zia yang terlihat begitu rapuh. Namun, Zia malah semakin tersedu, hingga Desta bingung harus melakukan apa. Ia pun memberikan waktu pada Zia agar luapan sedih wanita keluar semua. Desta bungkam, tetapi ia tetap duduk di samping brangkar Zia. Setengah jam berlalu, Zia akhirnya kembali tertidur. Desta tersenyum penuh kelembutan dan rasa iba. Zia, aku berjanji akan menjaga kamu dan Hilmi, jadi kamu gak perlu risau. Urusan kamu dengan Mas Gusti sudah selesaikan? Kalian akan baik saja dalam penjagaanku.Gadis itu t
Sehari setelah keluar dari rumah sakit, Zia belum bisa melakukan banyak perkerjaan rumah tangga. Paling hanya mencuci pakaian, menjemurnya, lalu mengangkat serta melihatnya. Untuk ke warung sayuran atau memasak, Zia belum mampu melakukannya karena kepalanya masih sakit dan juga tubuhnua yang lemas. Apakah ini efek ia hamil muda? Batin Zia. Sampai kapan akan bisa kututupi kehamilan ini dari Pak Desta? Pada waktunya, Pak Desta harus tahu keadaan dan kejadian yang sebenarnya. Kring! KringDengan malas, Zia mengangkat telepon rumah Desta. "Halo, assalamu'alaikum, siapa ini?""Halo, Zia, kamu lagi apa? Udah enakan? Jangan terlalu capek karena kamu baru sembuh. Aku sudah pesan soto ayam bening untuk makan siang kamu ya. Sudah di jalan. Sudah aku bayar juga. Ingat, jangan kerjakan apapun kalau kamu belum mampu. Nanti saja kalau sudah sehat.""Panjang banget pesannya, Pak, he he... Saya sedang melipat pakaian di depan televisi. Iya, saya gak kerja berat, nyuci ada mesin, saya tinggal jemuri
"Terima kasih sudah mau menerimaku kembali," bisik Galih; menghentikan gerakan tangannya. Melepas keintiman ciuman itu sesaat untuk menatap lekat sangat Istri yang wajahnya sudah bersemu merah. Ditambah riasan bibir yang sudah amat berantakan karena ulahnya. Mata Dia pun berkaca-kaca. Berada dalam kamar pengantin sangat bagus bersama dengan lelaki yang selalu ia cintai sepanjang hidupnya, tentu saja tidak berani ia mimpikan, tetapi kali ini, kenyataan manis sedang ia hadapan bersama sang pujaan hati. "Terima kasih sudah berusaha sejauh ini untuk kebahagiaan saya dan anak-anak," balas Zia sambil menunduk. Tetes air matanya jatuh tepat di punggung tanganku Gusti. Pria ia mengangkat dagu Zia dengan lembut. Menghapus air mata di pipi istrinya dengan bibirnya. Bergantian, kanan dan kiri. Suasana baru itu hanya sesaat, karena kemudian Gusti sudah menghujani Zia dengan ciuman. Ciuman kali ini berbeda dari ciuman yang pernah mereka lakukan sebelumnya, bahkan dalam gairah yang meluap-luap. C
Pov Desta"Mbak kapan sampai? Mana Mas Gusti? Hilmi gak ikut?" tanyaku pada wanita yang sedang duduk di ruang tengah rumahku.Hari ini memang Mas Gusti berencana datang ke Jogja untuk urusan pekerjaan. Ada proyek yang harus ia pantau untuk beberapa hari di sekitar Jogya. Tentu saja aku tidak keberatan jika Mas Gusti menginap di rumahku, apalagi aku sudah lama tidak berbincang dengannya. Namun aku tidak tahu kalau Mas Gusti ke rumah bersama Mbak Hanin. Pria itu sama sekali tidak memberitahu perihal Mbak Hanin yang turut serta."Satu jam yang lalu. Aku bawa makanan tuh! Kata Mas Gusti, kamu jarang masak, makanya dari rumah udah aku masakin, tinggal dipanaskan saja," jawab Mbak Hanin sambil tersenyum manis. Senyuman yang selalu membuat hati ini berdebar. Aku tahu tidak boleh ada debar di jantung ini terhadap Mbak Hanin, tetapi aku tidak bisa menahannya. Dari pada jantungku tidak berdebar, malah lebih repot lagi."Terima kasih, Mbak, saya mau mandi dulu baru makan ya." Tanpa menunggu bala
Semua berkas sudah diurus oleh keduanya. Tanggal pun sudah didapatkan untuk melaksanakan hari bahagia antara Zia dan Gusti. Persiapan pun mulai dikerjakan dengan benar-benar mengerahkan bantuan dari sanak-saudara. Wedding organizer ter-the best juga sudah dipesan Gusti. Ia memang sudah berjanji akan memberikan pernikahan terbaik untuk Zia. Sebagai penebus dosa masa lalu yang sangat berat.Zia yang awalnya menolak karena menurutnya semua terlalu mewah, sedangkan kehidupan pernikahan itu panjang. Ia ingin Gusti sedikit berhemat, tetapi Gusti menolak. Undangan sedang di design dan akan dicetak sebanyak lima ratus lembar. Belum lagi undangan virtual bagi saudara yang jauh dan kiranya tidak bisa dikunjungi untuk diberikan undangan.Mungkin akan ada sekitar seribu undangan yang akan hadir nanti."Zia, sini sebentar!" Panggil Gusti saat Zia tengah berada di ruang makan. Menata makan sore untuk keluarganya. Bik Desi pulang lebih awal karena tidak enak badan, sehingga tidak bisa membantunya s
Zia yang tidak diperbolehkan keluar dari kamar, akhirnya memutuskan mandi untuk menyegarkan tubuh dan kepalanya. Baju daster lama favorit ia pakai walau sudah sobek bagian ketiak. Ia merasa tidak perlu khawatir akan pakaian itu karena tidak mungkin juga ia mau mengangkat tangan sampai kelihatan ketiaknya. Suara riuh-ramai di luar kamar menandakan anak-anak sudah pulang dari sekolah. Mungkin mereka sudah langsung bercengkerama dengan Desta, sedangkan ia masih dipingit di kamar.Menurutnya Gusti terlalu lebay dengan melarangnya bertemu Desta tanpa ditemani dirinya. Padahal jika ingin jujur, ia pun rindu pada Desta. Bukan rindu layaknya pasangan lawan jenis, tetapi rindu sebagai saudara. Zia pun akhirnya tertidur setelah lama menunggu di atas kasur. Wanita itu tidak tahu bahwa suaminya sudah pulang dan langsung masuk ke dalam kamar. Ia berbaring terlentang dengan kedua tangan berada di atas kepala, hingga terlihatlah lubang pada baju dasternya, tepat di bagian ketiak. Gusti terkekeh.
"Alhamdulillah, Mama senang lihat kamu dan Gusti sudah akur," kata Bu Nadia sambil mengusap rambut Zia. "Maafkan Gusti atas kesalahannya yang dulu. Mama saat mengetahui Hanin dan Desta... " Bu Nadia tak sanggup meneruskan ucapannya. "Sudah, Ma, jangan diingat lagi ya. Mbak Hanin juga sudah tiada. Kasihan jika kita terus saja mengingat hal buruk tentang Mbak Hanin, padahal almarhumah melakukan itu karena rasa cintanya yang luar biasa pada Pak Gusti. Saya mengerti sekali posisi Mbak Hanin yang merasa serba salah." Tanpa terasa, air bening sudah menggenang di pelupuk matanya. Bagi seorang Zia, Hanin adalah layaknya kakak, ibu, yang tidak akan pernah tergantikan posisinya. Ia menyayangi Mbak Hanin seperti saudara sendiri. Jadi apapun yang dikatakan orang tentang wanita itu, Zia sudah tutup mata. Hanin adalah pribadi yang baik, hanya saja ia menghalalkan segala cara untuk menyenangkan hati suaminya. "Mungkin ini takdir. Mama berkali-kali bilang begitu sama Gusti. Dua belas tahun merek
"Saya belum mengantuk. Bagaimana kalau kita diskusi tentang pernikahan saja?" tanya Gusti saat mereka sudah berbaring di ranjang. Zia menoleh dengan tatapan bingung. Pernikahan apa lagi? Kenapa ia tidak pernah bisa memahami apa maksudnya Gusti? "Pernikahan siapa, Pak?" tanya Zia. Wanita itu menoleh ke samping dengan datar. "Pernikahan kita.""Maksudnya?" Zia semakin tidak paham. "Saya ingin kita menikah kembali secara resmi. Biar punya buku nikah dan anak-anak juga memiliki akte lahir." Zia terdiam. Perasaanya campur aduk antara senang dan juga bimbang. Ia belum yakin sepenuhnya bahwa Gusti sudah berubah. Bisa saja lelaki di sampingnya ini sedang merencanakan sesuatu. "Kenapa, gak mau ya?" tanya Gusti yang kini sudah berbaring miring menatap Zia. "Lurus aja tidurannya bisa gak, Pak?" Zia mendorong Gusti hingga lelaki itu tidur kembali dengan posisi lurus menatap langit-langit kamar. Pria itu tertawa, tetapi ia menurut. Posisinya kembali seperti semula. "Zia, saya serius. Saya ma
Pukul setengah tujuh pagi, anak-anak berangkat sekolah dengan diantar oleh Gusti. Semuanya sarapan dengan penuh suka cita karena pagi ini, pagi pertama bagi Zia menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya. Ada roti bakar, sosis, dan juga baso bakar. Ada juga nasi goreng ikan teri, jus buah, dan juga susu untuk Gina. Gina lebih suka susu jika pagi hari, dibandingkan dengan segelas jus. Tentu saja ia tidak mengerjakannya sendirian, ada Bik Desi yang membantunya memasak. Wanita setengah baya itu sangat baik dan juga lemah lembut saat bertutur kata. Pantas saja Gusti mempercayakan kunci rumah pada wanita itu."Biar saya yang cuci piring, Bu. Kata bapak, Ibu hanya boleh di dapur saat bikin sarapan saja. Untuk makan siang dan pekerjaan rumah lainnya biar saya yang kerjakan. Ibu tenang saja, saya gak merasa kerepotan karena sudah terbiasa sejak muda." Bik Desi menahan tangan Zia, saat wanita itu sudah memegang sponge cuci piring. "Gak papa, Bik, saya bingung kalau gak ngapa-ngapain ma
"Ada rahasia apa, Pak? dan kenapa harus diceritakan pada saya?" Zia masih menatap suaminya dengan penuh tanda tanya. "Sebelumnya saya mau minta maaf sama kamu, karena sudah menuduh kamu penyebab Hanin terpeleset dan akhirnya menjnggal." Gusti kembali menarik napas. Ia berusaha untuk tidak mengeluarkan air mata jika sudah berhubungan dengan Hanin. "Padahal, bukan salah kamu. Hilmi yang bermain kain pel sehingga Hanin terpeleset. Hilmi juga saat itu tidak sengaja karena ia berniat membantu kamu katanya. Saya dapat ceritanya dari Hilmi dua tahun setelah kamu pergi, saat kami berziarah ke makam Hanin. Maafkan saya, Zia. Kamu terlalu sayang dengan Hilmi sehingga menutupi kejadian yang sebenarnya padahal kamu juga dibuat susah oleh saya." Air mata Gusti akhirnya tumpah. Pria dewasa itu meraih tangan Zia untuk ia genggam erat. Zia menarik tangannya dengan kuat, tetapi tidak bisa. Gusti menggenggamnya benar-benar erat. Zia pun ikut berkaca-kaca. Akhirnya, Tuhan membuka sendiri tabir kenyat
Bertahun-tahun sejak Hanin meninggal, baru kali ini lagi ranjangnya ada orang lain selain dirinya. Suara napas Zia yang turun naik dengan teratur membuat Gusti tersenyum. Bisa-bisanya Zia pulas padahal di sampingnya ada buaya. Gusti yang awalnya berbaring miring memunggungi Zia, kini sudah berbalik menatap istrinya tanpa berkedip. Dengan bertumpu pada siku, Gusti meletakkan kepalanya di telapak tangan. Menatap Zia dengan berjuta perasaan di hatinya. Kembali Gusti menghela napas sambil memperhatikan wajah Zia yang sebenarnya manis, tetapi kulitnya saja yang gelap. Bukan karena dasar kulitnya gelap, tetapi karena terbakar sinar matahari. Puas melihat Zia, Gusti merapikan selimut istrinya yang sempat melorot hingga perut. Setelah dirasa nyaman dan pas, Gusti pun ikut berbaring telentang; bersiap untuk menikmati malam bersama dengan istrinya. Pukul setengah lima pagi, Zia terbangun. Suara senandung sholawat dari pegeras suara di masjid, membuat Zia membuka matanya perlahan. Rasanya ini