POV Gusti. Aku bolak-balik berjalan di kamar. Sebentar lagi, sehabis salat Isya, akan dilangsungkan pernikahan siriku dengan Rani. Sebenarnya aku juga tidak ingin seperti ini, karena hatiku masih berat dengan Hanin, tapi kecelakaan demi kecelakaan mesum, terus saja kulewati bersama Rani, hingga akhirnya hari ini, mau tidak mau, aku harus menikahinya. Kuraba cincin yang kusimpan di saku celana bahan. Cincin ini lebih kecil dari milik Hanin yang biasa aku belikan. Mungkin ukurannya sama dengan jari manis Zia. Ah, wanita itu entah berada di mana sekarang? Biarlah, urusan ini ku bereskan satu-satu, baru aku mengurus Zia. Kring! Aku menoleh saat ponsel berdering di atas ranjang. Aku menggigit bibir saat tahu kontak siapa yang muncul di sana. Pasti mama akan memarahiku habis-habisan perkara malam ini. Desta biang rumpi yang sama sekali tidak bisa disogok transferan. Pasti Desta yang telah memberitahu mamanya. Mama"Halo, assalamu'alaikum, ya, Ma.""Wa'alaykumussalam. Dah, langsung saj
"Tega sekali kamu, Gusti. Kuburan Hanin belum juga kering, tapi kamu malah mau menikah lagi. Apa yang ada di kepala kamu sebenarnya? Apakah ini aslinya menantu kesayangan kami? Suami yang selalu dibanggakan Hanin. Sampai-sampai ia menikahkan kamu dengan karyawannya sendiri. Bisa kamu bayangkan berapa besarnya cinta almarhumah untuk kamu, Gusti, tapi kamu malah begitu cepat berpaling. Sungguh tega kamu, tega!" Pekik Bu Isti; ibu dari almarhumah istriku. Jari telunjuknya ia tunjuk ke dada ini hingga sedikit terasa sakit. Aku salah, sakit ini memang tidaklah seberapa dibanding kekecewaan keluarga Hanin. "Tahan dulu, Bu, Pak, ayo, kita selesaikan ini di dalam rumah Gusti. Lihat warga semua sudah keluar dan menonton kita. Ayo, kita selesaikan di dalam. Lagian, Gusti belum jadi menikah karena wanitanya pergi." Pak RT menengahi. Kami semua dipaksa masuk oleh beliau ke dalam rumahku. Ada beberapa aparat lingkungan selain Pak RT. Ada juga ibu-ibu tetangga yang tadi hadir saat akan melihatku
POV AuthorTanpa menunggu lagi, Gusti langsung berlari ke IGD untuk melihat Zia. Jika benar adalah Zia yang dimaksud suster tadi adalah Zia istri sirinya. Seorang wanita bed satu, dua, dan tiga berisi oleh lelaki paruh baya yang ditemani anak dan istrinya. Gusti menyusuri satu per satu bed mencari sosok Zia. Punggung seorang wanita berambut pendek nampak di depan matanya. Kaki kanan wanita itu sangat bengkak tepat di bagian mata kaki, persis dengan luka Rani. "Zia," panggil Gusti pelan. Sontak Zia menoleh dan terbelalak melihat kehadiran suaminya. Bagaimana Mas Gusti bisa tahu aku di sini? Batin Zia. "Ada apa ya?" tanya Zia sembari menetralkan rada terkejutnya. "Kamu sakit?" tanya Gusti polos. Zia tertawa, lalu matanya mengarah pada kaki kanannya."Menurut Mas, apa saya baik-baik saja setelah kaki saya bertabrakan dengan batu besar di makam karena Mas yang menariknya dengan kasar?" Gusti diam sebentar. Lalu berjalan perlahan untuk memperhatikan Zia. Pakaian, rambut, dan wajahnya m
Zia benar-benar membuktikan ucapannya. Dibantu oleh Desta, Zia mendapatkan rumah kontrakan sederhana, model tiga petak. Awalnya Desta menawarkan Zia mengontrak satu rumah yang ada kamar tidur berpintu, ruang tamu, ruang makan, kamar mandi, tetapi Zia menolak dengan alasan malas bersih-bersih. Padahal Desta tahu, Zia termasuk wanita yang rajin beres-beres rumah. Namun, daripada wanita itu kabur lagi dan ia kehilangan jejak, maka Desta mengikuti maunya Zia. "Kamu yakin gak papa tinggal di kontrakan seperti ini?" tanya Desta sembari meletakkan kasur bisa tebal yang baru ia belikan, di ruang tengah kontrakan. "Gak papa, Pak. Ini juga Pak Desta sudah banyak banget menolong saya. Saya gak tahu harus balas seperti apa. Catat aja dulu ya, Pak, nanti kalau saya jadi istri Sultan, saya bayar utang." Desta tertawa pendek. "Kamu masih kakak ipar saya, Zia. Jadi gak papa kalau saya nolong kamu. Jangan anggap utang. Lagian kontrakan hanya lima ratus ribu per bulan." Desta keluar rumah, lalu ber
["Zia, cepat bangunkan Desta! Tidak, katakan kalian sekarang ada di mana? Ingat, Zia, kamu itu masih berstatus istriku, jangan terlalu murahan dengan menjerat Desta!"]["Saya manusia, bukan tali! Siapa yang mau menjerat siapa? Saya istri siapa, hah? Siapa suami saya? Gak ada! Udah, tutup aja teleponnya! Marah? Saya mau dicerai? Cerai saja!"]"Aduh!" Desta tersentak saat mendengar teriakan Zia di dekatnya. Pria itu bangun sambil menggosok mata dengan ponsel yang sudah tergeletak di sampingnya. "Ada apa, Zia? Kamu ngagetin aku aja!" Zia meneteskan air matanya kembali. Inilah yang ia pikirkan tentang Gusti. Pasti suami jadi-jadiannya itu menganggap dirinya aji mumpung dan menggoda Desta. Ia bahkan dikataka murahan. "Bapak sekarang pulang ya. Gak enak saya dilihat orang sekitar. Bapak udah sampai malam di sini. Besok, atau beberapa hari ke depan, gak usah ke sini dulu ya. Saya gak mau timbul fitnah." Desta melihat kontak terakhir yang meneleponnya dan pasti Zia yang mengangkat karena
Zia merasa hidupnya aman dan tentram selama satu minggu ini. Gadis itu menutup sama sekali komunikasi dengan Desta maupun Gusti. Ia dapat bekerja dengan tenang tanpa diganggu oleh siapapun.Setiap pagi ia bangun dan beberes rumah. Ia juga memasak seadanya untuk sarapan dan juga makan siang. Jika teman-teman terapisnya banyak yang beli makan di warung padang atau rumah makan yang ada di sana, tetapi dirinya membawa bekal. Ada juga yang memang membawa bekal dari rumahnya dan rata-rata masakan ibu mereka, tidak seperti dirinya yang masak sendiri."Zia, dipanggil Bu Erina," kata Lutfi, teman sesama terapis."Oh, iya, sebentar saya ke atas." Zia menyimpan tasnya di dalam loker. Ia baru saja sampai dan ruko terapis masih sepi, belum banyak temannya yang datang."Semoga kabar baik," kata Lutfi lagi sambil tersenyum."Iya, aamiin, semoga gajian.""Mimpi, kamu baru aja masuk, masa udah mau gajian, ha ha ha.... " Lutfi dan Zia tertawa. Senang rasanya bertemu dengan beragam orang di tempat ia tr
"Tolong dinaikkan ya, Pak!" Zia berbalik badan. Gusti langsung menaikkan celana dalam yang sudah merosot sampai mata kaki. Wajah Gusti menghangat karena malu. Ia baru sadar, saat ini ia bukan bersama Rani, tapi Zia, walaupun keduanya nampak mirip, tapi Rani dan Zia dua orang yang sangat berbeda. "Sudah, Pak?" tanya Zia. "Sudah." Zia berbalik sambil bernapas lega melihat kain segita itu sudah terpasang dengan baik, walau bentuknya sedikit berbeda. Zia mencoba untuk profesional. Ia mengulurkan handuk besar pada Gusti. Tentu saja bagi pelanggan ruma terapi seperti Gusti, sudah tahu apa saja yang harus ia lakukan sebelum dipijat. Hanya saja otaknya tiba-tiba melemah saat menyadari terapisnya hari ini adalah istri mudanya yang belum pernah ia sentuh sama sekali. "Bapak Gusti, apakah Bapak mau dipijat sambil berdiri?" tegur Zia lagi sambil menggelengkan kepala. Sekian menit berlalu, Gusti masih berdiri mematung sambil terus memperhatikan Zia. "Tidak, saya berbaring," jawab Gusti canggun
"Silakan dipakai kembali pakaiannya, jika Bapak sudah bangun ya," kata Zia saat ia merasa batuk yang dikeluarkan Gusti terlalu mengada-ngada. Bukannya ia merasa Gusti seperti ingin menganggu, tapi batuk seperti itu bisa membuat orang salah sangka, mengira ada pasien covid nyasar ke tempat refleksi. Terdengar suara celana dipakai, karena ada suara kepala kepala gesper yang terdengar. Dilanjut dengan suara gesekan bahan pakaian. Zia bernapas lega saat mendengar Gusti sebentar lagi akan meninggalkan tempat kerjanya. "Mbak Zia, bisa saya bicara sebentar, saya mau berikan tip," kata Gusti dengan sedikit berbisik. Zia tidak menggubris perkataan Gusti, ia terus saja memijat punggung lelaki yang mengaku duda itu. "Mbak Zia, telinganya bermasalah ya, saya mau memberikan tip." Kali ini suara Gusti terdengar tidak senang. "Gak papa, Mbak, silakan temui dulu kustomernya tadi." Lelaki yang sedang dipijat itu pun akhirnya memberikan izin pada Zia. Jika ia tidak memberikan ijin, maka pelanggan l