Sinta hanya memaku memandang kepergian Peter yang sangat terburu-buru, Dokter muda itu bahkan tidak menoleh dirinya. Sinta berjalan keluar dari area restoran itu, dia memperhatikan ternyata restoran itu terletak cukup jauh dari rumahnya.
Gadis itu berjalan menyeberangi jalan melewati keramaian yang lalu lalang di depannya, dia mengambil ponselnya yang dari tadi terus bergetar.
Sebuah panggilan masuk dari Aldi, teman Sinta yang satu ini terus memberikan perhatian kepada Sinta. Tapi, Sinta yang merasa sikap Aldi sebagai teman terlalu berlebihan.
Gadis itu memutuskan untuk mengabaikan telepon dari Aldi, dia bisa menebak jika Aldi akan menawarkan dirinya untuk mengantar Sinta pulang kerumah. Sinta ingin menaruh kembali ponselnya ke dalam tas, namun sebuah pesan masuk.
Ting ...
{ Sint, besok kan restoran kita tutup. Kita ketemuan di tempat biasa ya😬.}
{ Besok aku harus nemenin kakek di rumah sakit, Luna.🙏}
{ Nemenin kak
" What?"" Dia tidak pernah menanyakan, Lun. Dan, aku malu untuk meminta nomor ponselnya."Luna hampir tidak percaya mendengar perkataan Sinta jika mereka berdua tidak mengetahui nomor masing-masing. Selama ini Luna sering melihat Sinta sering menerima telepon dari seseorang, dia beranggapan pasti Peter yang menelepon Sinta." Sebenarnya, Lun. Aku tidak yakin kalau dia ingin menyatakan perasaannya padaku." Sinta menghela napasnya." Kalau begitu kamu yang harus menyatakan perasaan kamu padanya," ucap Luna sambil memegang tangan Sinta." Tidak ah, Lun. Mana ada cewek duluan yang mengungkapkan perasaannya. Lun, bagaimana kalau ini hanya cinta sepihakku saja," lanjut Sinta lagi." Jangan begitu, Sint, kita belum tahu. Lagi pula ini sudah abad ke 21, Sint. Cewek atau cowok duluan menyatakan cinta itu sama aja, Peter juga lama di luar negeri dia pasti biasa mendengar para wanita duluan yang menyatakan cintanya."Sinta tidak menanggap
Lalu, siapa yang menelepon Peter kemarin malam. Pikiran Sinta tak menentu dia cemas dan khawatir jika telah terjadi sesuatu hal yang buruk menimpa Peter.Sinta terus memikirkan Peter dia ingin tahu keadaan Peter, tapi bagaimana caranya dia sendiri tidak tahu nomor rumah atau ponsel Dokter muda itu." Bodoh, bodoh, kenapa aku tidak pernah menanyakan nomor handphonenya," gumamnya dalam hati.Lamunannya segera memudar ketika Luna memanggil namanya, sahabatnya itu memberitahu Sinta jika si kakek sudah selesai makan siangnya." Sint, bentar lagi suster kesini ngecek kesehatan kakek, kita makan di restoran yang tidak jauh dari rumah sakit ini." Sahabatnya itu mengelus-elus perutnya yang sudah berbunyi.Sinta melihat jam di dinding ruang itu yang telah menunjukkan jam dua siang. Meski pun, Sinta tidak berselira makan tapi melihat Luna yang telah lapar dia pun mengiyakan ajakan sahabatnya itu.Tidak berapa lama, seorang suster datang men
Sinta mencari kartu identitas laki-laki itu tidak butuh waktu yang lama dia menemukan apa yang dia cari."Roni Wilantara Chan." Sinta menyebutkan nama yang tertera di kartu nama yang ditemukannya.Sinta menunjukkan sebuah kartu nama dari perusahaan King Mansion Grup atas nama Roni Wilantara Chan kepada Luna, dia menyuruh Luna untuk segera menghubungi nomor yang tertera di kartu nama itu.Luna mengamati kartu nama perusahaan itu, dia sepertinya sudah tidak asing mendengar nama perusahaan King Mansion Grup.Beberapa menit kemudian dia ingat nama perusahaan itu, sebuah perusahaan yang selalu menjadi tranding pertama di majalah sebagai perusahaan terbesar edisi tahun ini yang memiliki cabang di luar negeri." Luna, cepat telep
Siang itu sang mentari tampak cemberut, bermuram durja. Sang mentari yang tadinya tampil gagah perkasa, pelan-pelan bersembunyi di balik awan yang mulai berubah menjadi gelap.Hujan pun turun lebat, tak terelakkan. Membasahi bumi yang tampak gersang seperti bunga yang tak terawat, dibiarkan mengering begitu saja.Di dalam restoran, Sinta dan Luna serta rekan-rekan kerjanya masih sibuk melayani pengunjung yang datang. Hujan yang deras membuat para pengunjung makin betah berlama-lamaan menikmati menu makanan mereka, rasanya mereka enggan beranjak dari tempat duduknya." Lun, sepertinya pengunjungnya makin rame mungkin hari ini kita tidak bisa datang ke rumah sakit," ucap Sinta setengah berbisik kepada Luna." Iya, Sint. Tumben ya hari ini pengunjung restoran kita terus berdatangan, tapi nanti aku coba izin sama Ayah."Sinta hanya mengangguk pelan, lalu dia berlalu dari hadapan Luna. Mereka berdua melanjutkan pekerjaan masing-masing, yang mana Luna be
Marco hanya tertunduk mendengar kata-kata Roni itu, dia beranjak dari tempat duduknya. Pemuda itu melihat keluar gedung rumah sakit dengan pandangan yang hampa.
Marco meminta maaf atas tindakan cerobohnya kepada Detektive Lucas, sang detektive pun memaklumi tindakan Marco tersebut.Mereka berempat mengatur sebuah strategi yang jitu agar rencana mereka berhasil, dengan menggabungkan hasil diskusi sebelumnya mereka pun sepakat untuk tidak menunda rencana tersebut.Sesuai dengan rencana yang telah mereka susun agar Marco bisa berbicara dengan Louisa tanpa diketahui oleh siapa pun, maka Roni dan Jons akan berus
Roni dan adik Maggie yang akan memperhatikan Ricard, sementara tugas Maggie mengajak Louisa ke suatu tempat yang mana Marco menunggu kedatangannya.Maggie setuju dengan rencana Detective Lucas dia dengan senang hati membantu Marco agar bisa bertemu lagi dengan Louisa. Tentu saja, Maggie bahagia jika kedua sahabatnya itu bisa kembali bersama seperti dulu.Maggie mengatakan syarat yang diharuskan tamu yang datang ke resepsi pernikahan, yaitu menggunakan setelan jas, dia melirik Roni yang kalah itu hanya memakai kaos.Detective Lucas yang mengerti maksud Maggie dengan cepat dia melepas jas yang dipakainya, lalu menyuruh Roni untuk memakainya." Lebih baik kita segera masuk, acaranya akan segera dimulai," ucapnya melihat jam di ponselnya." Let's go," ucap Roni yang telah memakai jas Detective Lucas yang pas di badannya.Mereka pun masuk ke gedung resepsi itu tanpa mengalami hambatan, sementara kedua detective itu akan menunggu di dalam mo
" Louisa, ini aku." Louisa terdiam mendengar suara itu, suara yang sungguh familiar di telinganya. Suara yang selalu menyapa di pagi harinya, suara yang dirindukannya. Jantungnya berdetak kencang, aliran darahnya mengalir deras menjalar di setiap nadi-nadinya. Louisa membalikkan badannya, matanya menatap sesosok tubuh kekar dengan rupa yang rupawan. " Marco ..." ucapnya lirih. " Iya Louisa, lama tidak berjumpa" Keempat mata itu saling menatap satu sama lain, tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut mereka. Tatapan itu seolah-olah telah menyampaikan segala ungkapan yang ada di hati mereka, Marco berjalan lebih dekat lagi dengan Louisa. Pemuda itu memeluk tubuh Louisa dalam dekapan tubuhnya yang berotot, gadis itu tak kuasa untuk menolak pelukan hangat darinya. " Aku sangat merindukanmu, Louisa." Bisiknya di daun telinga gadis itu. Marco secara pelan-pelan melonggarkan pelukannya, dia menatap Louisa da