Athes merenggangkan dasi yang mengikat lehernya. Dia menggulung kemejanya. Sesaat dia memijat pelan pelipisnya. Ya, seharian ini banyaknya meeting membuat dia benar-benar lelah. Bahkan dia sampai tidak memberi kabar pada Miranda karena begitu banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan.“Tuan Athes.” Henrik melangkah masuk ke dalam ruang kerja Athes.“Ada apa?” tanya Athes dingin.“Tuan Ben tadi menghubungi Anda, tapi karena ponsel Anda tidak aktif, akhirnya dia menhubungi saya, Tuan,” jawab Henrik memberi tahu.Athes membuang napas kasar. “Apa yang dia katakan?”“Malam ini Tuan Ben mengadakan pesta di Qube Night klub. Dia meminta Anda untuk datang, Tuan,” ujar Henrik melaporkan pesan Ben, sahabat Athes yang menghubunginya itu.“Aku tidak bisa datang,” Athes menyandarkan punggungnya. Dia mengambil wine di hadapannya dan menyesapnya perlahan. “Hubungi Ben, aku tidak bisa ke sana.”“Maaf, Tuan. Tapi pesan terakhir Tuan Ben mengatakan dia memaksa Anda untuk datang. Jika tidak, dia sendiri
“Miranda, tunggu!” Athes berteriak kencang saat melihat Miranda masuk ke dalam mobil. Dia mengumpat kasar, dengan cepat dia hendak menuju mobilnya dan bergegas meninggalkan area parkir, mengikuti mobil Miranda.“Shit!” Athes memukul stir mobil, dia terus mengumpat saat mobil Miranda tidak lagi terlihat olehnya. Dia mengambil ponselnya, dan langsung menghubungi nomor Miranda. Namun, satu, dua, hingga lima kali dia menghubungi Miranda, tapi nomornya tidak aktif.Tidak ada pilihan lain, Athes langsung membelokkan mobilnya menuju rumah Miranda. Sepanjang jalan, Athes terus merutuki kebodohanya. Harusnya dia tidak membalas ciuman Esme. Sial, jika seperti ini Miranda pasti akan salah paham.Saat tiba di kediaman Spencer, Athes langsung memakirkan mobilnya sembarangan dan melompat turun dari mobil masuk ke dalam rumah itu.“Tuan Athes?” Darren terkejut saat dia hendak keluar rumah, dia berpapasan dengan Athes.“Tuan Darren, apa Nona Miranda ada di rumah?” Athes bertanya cepat tanpa basa basi
Athes menenggak vodka di tangannya dengan kasar. Sudah tiga hari sejak di mana Miranda mengungkapkan perasaan padanya, Athes tidak lagi bisa menghubungi Miranda.Beberapa kali Athes berusaha menghubungi Miranda, tapi wanita itu tidak menjawab satu pun telepon darinya. Bahkan saat meeting, Miranda sering meminta direktur perwakilan.Wanita itu tidak ingin bertemu dengan Athes. Dan ini benar-benar menyiksa Athes. Awalnya Athes pikir, dia akan biasa saja jika Miranda menghindar. Tapi kenyataannya, wanita itu telah berhasil membuat dirinya tidak bisa tenang.“Tuan Athes, apa Anda memanggil saya?” tanya Henrik saat memasuki ruang kerja Athes.“Ya, ada yang ingin aku tanyakan padamu,” jawab Athes dingin.“Ada apa, Tuan?” tanya Henrik sopan.“Apa kau pernah jatuh cinta? Dan apa kau pernah menyatakan perasaan cinta pada wanita?” Athes bertanya dengan raut wajah dingin, tanpa ekspresi dan pandangan lurus ke depan.Kening Henrik berkerut mendengar pertanyaan Athes. Dia tampak bingung dan tak me
“Nona Miranda.”Langkah Miranda terhenti kala dia baru saja keluar dari kamar, dia berbalik dan mengalihkan pandangannya, menatap pelayan yang berdiri tidak jauh darinya.“Ada apa?” tanya Miranda dingin.“Maaf, Nona. Tapi Tuan Ryhan baru saja kembali dari Singapore. Dia menunggu Anda di ruang kerjanya,” jawab sang pelayan memberi tahu.Miranda membuang napas kasar. “Katakan pada ayahku, aku harus ke kantor. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Nanti aku akan menghubunginya kalau aku sudah tiba di kantor.”“Nona, Tuan Ryhan tadi berpesan beliau ingin langsung Anda bertemu dengannya,” jawab sang pelayan itu lagi.Miranda berdecak tak suka. Hal yang membuat Miranda kesal adalah sifat ayahnya itu terlalu egois dan tidak suka dibantah. Seperti saat ini, dirinya harus ke kantor tapi mau tidak mau dirinya harus menemui ayahnya.Tanpa berkata apa pun, Miranda melangkahkan kakinya menuju ruang kerja ayahnya. Raut wajah kesal begitu terlihat. Masih banyak pekerjaan yang harus dia kerjaka
Miranda menatap wajah Athes yang tengah tertidur pulas. Rahang tegas, hidung mancung, alis tebal milik pria itu benar-benar membuatnya sangat tampan.Ya, Miranda mengakui tidak ada wanita yang tidak luluh dengan wajah tampan Athes. Pria itu mampu membuat para wanita berdesir kala di dekatnya. Di usia yang sudah matang, membuat sosok Athes Russel banyak dikagumi para kaum wanita.Miranda membawa tangannya menelusuri wajah tampan Athes. Senyum di bibir Miranda terukir kala dia mengingat percintaan panas yang telah mereka lakukan. Dia mengingat Athes meginginkannya lagi dan lagi. Bahkan Miranda tidak akan lupa saat Athes memuja setiap inchi tubuhnya. Namun ketika Miranda hendak menurunkan tangannya, dia terkejut tiba-tiba Athes menarik tangannya, dan mengeratkan tubuhnya ke dalam dekapan pria itu.“Athes, kau sudah bangun?” Miranda mendengkus kesal melihat Athes yang pura-pura tertidur. Jika seperti ini, dirinya akan malu. Terlebih tadi dia membayangkan apa yang terjadi sebelumnya. Astag
“Miranda, kau dari mana? Aku sudah menunggu di kantormu berjam-jam.”Suara Helen berseru kala melihat Miranda masuk ke dalam ruang kerja. Ya, sudah sejak tadi dia menunggu sahabatnya itu. Tapi dia tidak kunjung datang. Hampir saja dia ingin pergi, karena terlalu kesal menunggu lama.“Helen? Kau di sini?” Miranda terkejut melihat Helen berada di ruang kerjanya. Terlebih dia menatap wajah kesal Helen yang membuatnya tersenyum. Kini Miranda mendekat, dan langsung duduk di hadapan Helen.Helen mendengkus tak suka. “Iya! Aku di sini! Kenapa kau tidak menjawab teleponku! Menyebalkan sekali!”“Ada yang harus aku selesaikan,” jawab Miranda seraya menyandarkan punggungnya di kursi.“Apa yang kau selesaikan?” Helen bertanya dengan tatapan penuh selidik.“Aku membahas kerja sama dengan Tuan Athes Russel,” jawab Miranda lagi.“Kau selalu membahas kerja sama dengan Tuan Athes. Atau jangan-jangan kau memiliki hubungan khusus dengan Tuan Athes Russel?” Helen memicingkan matanya, menatap curiga. Ya,
Miranda mematut diri di cermin. Dia memoles wajahnya dengan makeup sedikit tebal namun tidak berlebihan. Pagi yang cerah, dia memilih memakai dress berwarna merah dengan tali spaghetti dipadukan dengan lipstick merah yang membuat semua orang melihatnya akan terpesona pada penampilan Miranda hari ini.“Well, Nona Miranda. Kau ingin menggoda para investor yang datang ke perusahaanmu hingga kau berpenampilan begitu memukau hari ini?”Suara Helen berseru dari arah belakang. Dia berdiri di ambang pintu kamar Miranda. Sejak tadi tatapannya terus teralih pada Miranda yang tengah berias.“Kau sudah datang?” Miranda menatap Helen dari pantulan cermin. Dia tidak menanggapi perkataan konyol sahabatnya itu.“Sudah. Aku tidak mau melewatkan sarapan dengan keluargamu.” Helen mendekat, dengan santai dia duduk di atas meja. “Terutama kakakmu itu. Tadi aku berpapasan dengannya,” tambahnya dengan dengan senyuman di wajahnya.Miranda menghela napas dalam. Kemudian dia membalikkan tubuhnya menatap Helen.
Miranda mengembuskan napas kasar. Dia menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Tatapan Miranda terus menatap kesal layar ponselnya. Sejak tadi dia berusaha menghubungi nomor ponsel Athes, tapi tidak ada satu pun jawaban dari pria itu. Hanya tadi siang Athes mengirimkan pesan pria itu sibuk dengan pekerjaannya. Mau tidak mau Miranda harus berusaha mengerti. Walau tidak bisa dipungkiri Miranda begitu merindukannya.“Miranda.” Suara Helen memanggil Miranda dengan keras, membuat Miranda menghentikan lamunannya.“Helen? Kau sudah pulang?” Miranda mengalihkan pandangannya pada Helen yang baru saja pulang. Ya, hari ini Miranda begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sedangkan Helen disibukkan dengan belanja seharian. “Aku ingin memberitahumu sesuatu.” Helen meletakkan tasnya di atas meja. Lalu duduk di samping Miranda seraya mengambil bantal dan memangkunya.“Kau ingin memberi tahuku apa?” tanya Miranda seraya menatap Helen.“Tadi saat aku tengah berbelanja di butik, aku tidak sengaja melihat mobil