Miranda mengembuskan napas kasar. Dia menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Tatapan Miranda terus menatap kesal layar ponselnya. Sejak tadi dia berusaha menghubungi nomor ponsel Athes, tapi tidak ada satu pun jawaban dari pria itu. Hanya tadi siang Athes mengirimkan pesan pria itu sibuk dengan pekerjaannya. Mau tidak mau Miranda harus berusaha mengerti. Walau tidak bisa dipungkiri Miranda begitu merindukannya.“Miranda.” Suara Helen memanggil Miranda dengan keras, membuat Miranda menghentikan lamunannya.“Helen? Kau sudah pulang?” Miranda mengalihkan pandangannya pada Helen yang baru saja pulang. Ya, hari ini Miranda begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sedangkan Helen disibukkan dengan belanja seharian. “Aku ingin memberitahumu sesuatu.” Helen meletakkan tasnya di atas meja. Lalu duduk di samping Miranda seraya mengambil bantal dan memangkunya.“Kau ingin memberi tahuku apa?” tanya Miranda seraya menatap Helen.“Tadi saat aku tengah berbelanja di butik, aku tidak sengaja melihat mobil
“A-Athes?”Miranda tampak begitu terkejut melihat Athes yang kini mendekat ke arahnya. Iris mata peraknya menatap raut wajah Athes yang tampak menahan amarah yang telah tersulut dalam dirinya. Bahkan Miranda melihat jelas geraman tertahan Athes. Miranda hanya menghela napas panjang melihat wajah kekasihnya itu. Ya, Miranda yakin Athes akan salah paham padanya.“Tuan Athes?” Marco menyapa kala Athes tiba di hadapannya.Athes hanya mengangguk singkat saat Marco menyapa dirinya. “Tuan Marco, apa yang membawamu ke sini? Apa kau memiliki janji makan siang bersama dengan Nona Miranda?” Dia berkata dengan formal, menambahkan kata ‘Nona’. Meski dirinya dipenuhi dengan api kemarahan, namun Athes tetap berusaha untuk tidak menunjukkannya. Karena memang Marco tidak mengetahui hubungannya dengan Miranda.“Ah, iya. Aku memiliki janji makan siang bersama Nona Miranda. Kami juga membahas tentang beberapa kerja sama kami.” Marco menjawab dengan nada yang terdengar santai. Namun tersirat penuh ketegas
Athes mengisap rokok dengan kuat dan mengembuskan ke udara. Pandangannya kosong dengan pikiran yang menerawang ke depan. Dia tidak menyangka beberapa jam lalu dirinya mengatakan kata cinta pada Miranda. Sebuah ungkapan yang tidak pernah diucapkan dalam hidupnya.Kini semua menjadi rumit. Dia sebentar lagi akan menikah dengan Valerie. Sedangkan dia tidak mungkin melepaskan Miranda. Jika saja Miranda tahu mengenai Valerie, wanita itu pasti akan membencinya. Tidak, Athes tidak akan membiarkan itu. Dia tidak akan membiarkan Miranda mengetahui semua ini. Dia harus mengambil keputusan sebelum semuanya terjadi.“Athes, apa yang kau pikirkan?” Suara lembut Miranda, membuyarkan lamunan Athes. Dia melangkah mendekat, tubuhnya masih terbalut oleh bathrobe dengan rambut yang dililit oleh handuk.“Kau sudah selesai mandi?” Athes tersenyum melihat Miranda di hadapannya.“Iya.” Miranda duduk di pangkuan Athes, lalu dia mengaitkan tangannya di leher pria itu. “Dress-ku robek akibat ulahmu. Apa kau su
Athes menyandarkan punggungnya di kursi seraya memejamkan mata lelah. Pikirannya terus memikirkan kejadian tadi malam. Dia tidak menyangka bisa mengendalikan dirinya. Bahkan, dia mampu menunggu hampir tiga puluh menit sampai Henrik datang. Harusnya, dia tidak mungkin bisa menahan hasrat ketika ada yang memasukkan obat dalam minumannya.Ya, Athes tidak pernah berpikir Valerie akan berani melakukan hal itu. Wanita itu memasukkan obat perangsang dengan dosis tinggi. Athes harus berendam di air dingin, mengurangi rasa sakit yang membakar seluruh tubuhnya. Beruntung, dia hanya menunggu tiga puluh menit. Entah apa yang terjadi jika dirinya menunggu harus lebih lama dari itu.“Tuan Athes.” Henrik melangkah masuk ke dalam ruang kerja Athes.“Kenapa kau di sini? Bagaimana perusahaan?” Athes menatap dingin Henrik yang berdiri di hadapannya. Pagi ini Athes memang memutuskan untuk tidak ke kantor. Dia memilih untuk bekerja di rumah. Pikirannya yang kacau membuat dirinya enggan datang ke kantor.“
Miranda menjatuhkan tubuhnya, terduduk di sofa kamar. Dia tampak kesal saat tadi dia menghubungi Athes, tapi pria itu langsung memutuskan sambungan telepon. Padahal dirinya belum selesai bicara. Dan karena hal itu juga langsung membuat mood Miranda berantakan hingga memutuskan untuk pulang ke rumah. Saat tadi dia menghubungi Athes, dirinya sudah berada di jalan menuju perusahaan pria itu. Namun, hanya penolakan yang didapatkannya.“Menyebalkan sekali.” Miranda menggerutu seraya menyandarkan punggungnya di sofa. Dia menengadahkan kepalanya, menatap langit-langit kamar. Perlahan, Miranda mulai memejamkan mata. Entah kenapa tubuhnya begitu lelah. Belakangan ini dia harus dibebankan pekerjaan, dan hampir setiap hari dia kesal pada Athes.“Miranda, kau sudah pulang?” Helen berdiri di ambang pintu, dia sedikit heran melihat Miranda berada di dalam kamar. Pasalnya tadi pagi sahabatnya itu sudah berangkat ke kantor.“Aku sedang malas di kantor,” jawab Miranda dingin. Dia masih memejamkan mata
Sudah lima hari Valerie keluar dari rumah sakit. Sebenarnya Dokter masih belum mengizinkan, tapi Valerie memaksa untuk tetap segera pulang. Dan tentu saja, alasannya karena dia ingin selalu berada di dekat Athes.Namun meski Valerie sudah pulang ke rumah, Athes masih meminta Dokter memeriksakan keadaan Valerie. Beruntung luka di pergelangan tangan Valerie, tidak sampai mengenai urat nadinya. Jadi tidak ada masalah yang berat dengan kesehatan wanita itu. Hanya saja, dia membutuhan perawatan untuk memulihkan kesehatannya.Selama Valerie sudah pulang ke rumah, dia selalu bersikap manja meminta Athes berada di sisinya. Awalnya Athes memarahi Valerie dengan sikap manja wanita itu, tapi karena kedua orang tua Athes memaksa Athes selalu menemani Valerie, tidak ada pilihan lain, terpaksa Athes menuruti selama Valerie sedang sakit.Seperti saat ini, Valerie tengah terbaring di ranjang dan Athes duduk di tepi ranjang.“Athes, kau harus tidur bersama denganku. Aku tidak mau kalau aku tidur sendi
“Miranda, kau sudah pulang?” Helen bertanya kala melihat Miranda masuk ke dalam kamar. Sesaat, dia mengerutkan keningnya menatap Miranda yang sejak tadi terus tersenyum. “Wajahmu menunjukkan kebahagiaan. Apa kau habis bertemu dengan Athes Russel?” tebaknya dengan yakin.Miranda menghela napas dalam mendengar perkataan Helen. Kini dia mendekat dan menjatuhkan tubuhnya di samping Helen seraya meletakkan tasnya ke atas meja. “Jangan membahas Athes ketika di rumah.”“Come on, Miranda. Ini di kamarmu. Tidak mungkin ada CCTV di kamarmu sendiri, bukan?” Helen mendengkus tak suka. Tatapannya menatap kesal Miranda. Bagaimana tidak? Sejak kemarin jika dirinya bertanya tentang hubungan sahabatnya itu dengan Athes. Miranda hanya mengatakan semuanya baik, dan tidak mau menceritakan lebih dalam lagi. Padahal Helen ingin mengetahui bagaimana kisah cinta sahabatnya itu dengan Athes hingga akhirnya mereka menjalin sebuah hubungan.Miranda berdecak pelan. “Kenapa kau selalu membahas tentang Athes?” tan
“Apa yang kau lakukan di sini, Valerie?”Suara Athes menegur Valerie terdengar begitu tajam dan menusuk. Sesaat, tatapan Athes teralih pada Valerie yang memegang ponselnya. Raut wajah kemarahan begitu terlihat di iris mata cokelat gelapnya. Athes langsung mendekat, dia menyambar ponsel miliknya yang ada di genggaman tangan Valerie.“Athes?” Valerie yang terkejut kala Athes mengambil ponsel yang ada di tangannya.“Sejak kapan kau berani membuka ponselku, Valerie!” seru Athes dengan tatapan yang kian menajam, menatap Valerie yang berdiri di hadapannya.“Aku memiliki hak di hidupmu, Athes! Jangan melarangku. Sudah cukup selama ini aku bersabar menghadapimu yang selalu bermain dengan jalang rendah! Kita akan menikah, Athes! Hentikan kegilaanmu yang berselingkuh dariku. Jika dulu aku hanya diam, karena aku pikir aku ingin kau puas menghabiskan hidupmu untuk bersenang-senang sebelum kita menikah nanti! Tapi sekarang tidak lagi! Aku tidak mau hanya diam ketika melihatmu berselingkuh di belak