Enam bulan adalah waktu yang cukup baginya untuk mempersiapkan dan memantapkan hatinya untuk hal yang lima menit lalu baru ia lakukan.
“Kamu serius?” tanya Padma dengan mata yang berpindah-pindah, menatap sesuatu di hadapannya yang berkilauan karena cahaya lampu mobil, lalu berganti menatap lelaki di hadapannya.
“Aku serius—kamu tahu kan, aku hampir selalu serius.”
“Aku tahu.” Kali ini Padma tertawa. “Kadang aku kasihan sama para standup comedian yang videonya nggak bisa bikin kamu ketawa.”
“Bukan salah mereka, waktu pembagian selera humor sebelum lahir, aku telat datengnya.”
“Kenapa dulu Papa bisa setuju untuk jodohin aku sama Badai?”Refaldy harusnya tahu dari mana asal gen gemar bertanya dan suka bertanya mendadak tanpa paragraf pengantar terlebih dulu di diri anaknya, Padma.Meskipun ia sudah sering menghadapinya bertahun-tahun (dari sang istri dan Padma), tetap saja Refaldy seakan tak pernah siap untuk mendapati pertanyaan yang di luar perkiraannya.“Kamu kenapa nanyain hal itu?”“Pengen tahu aja.”Refaldy tak langsung menjawab. Ia mengamati Padma yang tengah duduk menyamping dan menunggu jawabannya.Sudah jadi rutinitas mereka di hari Mi
PadmaHardjaja: The best night in my life.Badai tersenyum saat membaca sederet kata yang ditulis Padma sebagai caption foto langit malam, yang ia unggah di akun Instagram-nya.Foto itu hanya merupakan langit malam yang gelap. Kalau orang lain hanya melihatnya secara sekilas, foto itu seakan tak ada artinya. Mungkin hanya sebuah foto yang diunggah untuk melengkapi feeds akun perempuan itu, pikir mereka.Tapi ketika Badai tak sengaja melihat komentar yang ditulis Catra, Badai tahu kalau foto itu memiliki arti.Banyak arti.
“Aku tahu aku hari ini cantik, tapi aku takut orang mikirnya aku pakai pelet karena kamu dari tadi ngeliatin aku terus nggak berhenti-berhenti.”Catra tertawa mendengar kata-kata yang meluncur dari bibir Padma. Perempuan itu memang selalu berhasil membuatnya tertawa bahkan dengan kalimat yang tidak mengandung humor sekalipun.“Mungkin emang kamu pakai pelet ke aku,” kata Catra sambil berpura-pura memicingkan matanya. “Buktinya setelah kamu ngomong begitu pun, aku nggak bisa nengok ke arah lain.”“Dasar gombal.”Catra tertawa dan tak segan-segan mencium pipi perempuan yang kini sah menjadi istrinya tersebut.
Badai menimbang-nimbang rokok di tangannya dengan gamang.Seumur hidup, bisa dihitung dengan jari berapa kali ia merokok. Sejak pertama kali mencoba rokok saat SMA, Badai tak terlalu tertarik dengan batangan nikotin tersebut.Tapi hari ini, sepulangnya dari resepsi pernikahan Catra dan Padma, Badai mampir ke minimarket dan diam-diam membeli sekotak rokok tanpa sepengetahuan Anastasya.Pada akhirnya Padma bahagia. Harusnya aku senang, rapal Badai bagai mantra di dalam hatinya.Ia memang ikut senang dengan bagaimana Padma tersenyum sepanjang hari ini. Pernikahan itu jauh lebih baik daripada yang mereka siapkan dulu.Mungkin karena ada c
“Sayang, sepatu aku yang hitam ada garis putihnya di mana ya?”Tanpa menoleh, Padma menjawab, “Di rak sepatu depan, baris ketiga dari atas, Yang.”Catra terkekeh dan berjalan menghampiri Padma yang masih memasak sarapan untuk mereka. Ia mencium pipi istrinya hingga menimbulkan suara kecapan yang keras dan membuat Padma berjengit geli.“Ih, jorok deh. Pipi aku kena iler kamu gini,” gerutu Padma sambil menahan tawanya.Catra tersenyum jahil seraya memeluk pinggang Padma dari belakang. “Kok gitu sih? Itu hadiah buat istriku yang paling hebat sedunia.”“Hebat karena hafal di mana sepatu kamu ya?”“Iya.”“Yang, kamu tuh naruh se
“Kok lama sih sampainya? Nggak mampir dulu buat goyang-goyangin mobil kan?”Tuduhan itu membuat Padma tak segan-segan untuk memukul sahabat sekaligus calon adik iparnya. “Enak aja, sembarangan!”Catra tertawa kecil mendengar tuduhan Mili pada mereka. “Kamu kok langsung ada di depan? Nggak berani masuk kalau kita belum dateng ya?”“Skakmat!” seru Padma dengan bangga saat Mili hanya diam sambil merengut. Ia beralih pada Catra dan mencium pipi suaminya. “Thank you, Yang. Kamu emang fast learner kalau urusan membalikkan omongan orang.”“Aku belajar dari ahlinya,” kata Catra dengan bangga.
“Kamu ngeliatin Padma.”“Aku punya mata, Anas.”“Kamu ngeliatin Padma. Aku liat tadi.”“Itu nggak sengaja, Anas. Oke?”Anastasya menelan kembali kata-katanya ketika melihat tatapan Badai. Lelaki itu membaringkan Asa di ranjang setelah membuat benteng kecil dengan guling dan bantal yang ada di kamar Anastasya tersebut.“Kamu yang punya pikiran kamu sendiri, Anas. Kalau kamu terus berpikir yang buruk, maka yang buruklah yang terjadi. Kendalikan pikiran kamu, bukan kamu yang dikendalikan asumsi kamu sendiri.”Anastasya mengepalkan tangannya dengan kesal, namun ia tak mengatakan apa pun lagi. Badai lebih memilih untuk berkonsentr
“Yang, tadi Asa manggil aku Papa lho.”“Beneran?” Bukan hanya Padma yang terkejut, tapi Mili pun juga menatap Badai dengan tak percaya, meminta konfirmasi lelaki itu.“Iya.” Badai mengangguk senang sambil menggerakkan tangan Asa seperti sedang bertepuk tangan. “Aku dipanggil Baba, Asa dipanggil Papa.”“Gemes banget sih, Asaaa,” puji Mili yang langsung menggandeng tangan Asa dan menggerakkannya ke atas dan ke bawah, hingga anak itu tertawa senang.Walau suara tawanya pelan, tapi tawanya terdengar renyah dan menular pada orang-orang di sekitarnya. Padma dan Mili memilih untuk duduk di bangku taman yang ada di samping bangk