“Aku tahu aku hari ini cantik, tapi aku takut orang mikirnya aku pakai pelet karena kamu dari tadi ngeliatin aku terus nggak berhenti-berhenti.”
Catra tertawa mendengar kata-kata yang meluncur dari bibir Padma. Perempuan itu memang selalu berhasil membuatnya tertawa bahkan dengan kalimat yang tidak mengandung humor sekalipun.
“Mungkin emang kamu pakai pelet ke aku,” kata Catra sambil berpura-pura memicingkan matanya. “Buktinya setelah kamu ngomong begitu pun, aku nggak bisa nengok ke arah lain.”
“Dasar gombal.”
Catra tertawa dan tak segan-segan mencium pipi perempuan yang kini sah menjadi istrinya tersebut.
Badai menimbang-nimbang rokok di tangannya dengan gamang.Seumur hidup, bisa dihitung dengan jari berapa kali ia merokok. Sejak pertama kali mencoba rokok saat SMA, Badai tak terlalu tertarik dengan batangan nikotin tersebut.Tapi hari ini, sepulangnya dari resepsi pernikahan Catra dan Padma, Badai mampir ke minimarket dan diam-diam membeli sekotak rokok tanpa sepengetahuan Anastasya.Pada akhirnya Padma bahagia. Harusnya aku senang, rapal Badai bagai mantra di dalam hatinya.Ia memang ikut senang dengan bagaimana Padma tersenyum sepanjang hari ini. Pernikahan itu jauh lebih baik daripada yang mereka siapkan dulu.Mungkin karena ada c
“Sayang, sepatu aku yang hitam ada garis putihnya di mana ya?”Tanpa menoleh, Padma menjawab, “Di rak sepatu depan, baris ketiga dari atas, Yang.”Catra terkekeh dan berjalan menghampiri Padma yang masih memasak sarapan untuk mereka. Ia mencium pipi istrinya hingga menimbulkan suara kecapan yang keras dan membuat Padma berjengit geli.“Ih, jorok deh. Pipi aku kena iler kamu gini,” gerutu Padma sambil menahan tawanya.Catra tersenyum jahil seraya memeluk pinggang Padma dari belakang. “Kok gitu sih? Itu hadiah buat istriku yang paling hebat sedunia.”“Hebat karena hafal di mana sepatu kamu ya?”“Iya.”“Yang, kamu tuh naruh se
“Kok lama sih sampainya? Nggak mampir dulu buat goyang-goyangin mobil kan?”Tuduhan itu membuat Padma tak segan-segan untuk memukul sahabat sekaligus calon adik iparnya. “Enak aja, sembarangan!”Catra tertawa kecil mendengar tuduhan Mili pada mereka. “Kamu kok langsung ada di depan? Nggak berani masuk kalau kita belum dateng ya?”“Skakmat!” seru Padma dengan bangga saat Mili hanya diam sambil merengut. Ia beralih pada Catra dan mencium pipi suaminya. “Thank you, Yang. Kamu emang fast learner kalau urusan membalikkan omongan orang.”“Aku belajar dari ahlinya,” kata Catra dengan bangga.
“Kamu ngeliatin Padma.”“Aku punya mata, Anas.”“Kamu ngeliatin Padma. Aku liat tadi.”“Itu nggak sengaja, Anas. Oke?”Anastasya menelan kembali kata-katanya ketika melihat tatapan Badai. Lelaki itu membaringkan Asa di ranjang setelah membuat benteng kecil dengan guling dan bantal yang ada di kamar Anastasya tersebut.“Kamu yang punya pikiran kamu sendiri, Anas. Kalau kamu terus berpikir yang buruk, maka yang buruklah yang terjadi. Kendalikan pikiran kamu, bukan kamu yang dikendalikan asumsi kamu sendiri.”Anastasya mengepalkan tangannya dengan kesal, namun ia tak mengatakan apa pun lagi. Badai lebih memilih untuk berkonsentr
“Yang, tadi Asa manggil aku Papa lho.”“Beneran?” Bukan hanya Padma yang terkejut, tapi Mili pun juga menatap Badai dengan tak percaya, meminta konfirmasi lelaki itu.“Iya.” Badai mengangguk senang sambil menggerakkan tangan Asa seperti sedang bertepuk tangan. “Aku dipanggil Baba, Asa dipanggil Papa.”“Gemes banget sih, Asaaa,” puji Mili yang langsung menggandeng tangan Asa dan menggerakkannya ke atas dan ke bawah, hingga anak itu tertawa senang.Walau suara tawanya pelan, tapi tawanya terdengar renyah dan menular pada orang-orang di sekitarnya. Padma dan Mili memilih untuk duduk di bangku taman yang ada di samping bangk
“Kalau kita nggak keluar lima menit lagi, kayaknya papaku bakal hancurin pintu mobil kamu deh.”“Nggak apa-apa, mobil kan bisa beli baru.”“Sombongnya,” kekeh Padma dengan geli, yang langsung berubah menjadi desahan saat tangan Catra berkelana di balik kemeja kerjanya.Padma jadi lupa kalau ia tadinya ingin mendorong suaminya supaya mereka bisa keluar dari mobil dan masuk ke rumah orangtuanya. Sekarang yang ia lakukan malah menekan kepala Catra yang sudah berhenti di belahan dadanya dan tengah meninggalkan jejak panas di sana.“Yang….”“Hmmm?”
“Anak Papa udah ganteng!”“Baba!”“Iya, ganteng kayak Papa.” Badai tertawa gemas dan mencium pipi gembil Asa.“Baba, mam.”“Kamu kan tadi udah makan.” Badai mengerutkan keningnya.Karena hari ini ia libur dan tak berencana ke Red House atau The Clouds, maka Badai memutuskan untuk meliburkan babysitter yang biasa mengasuh anaknya. Hari ini ia ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan Asa selagi ada waktu.“Baba, mamam!”“Papa makan, maksudnya?” Badai menatap anaknya dan memasti
“Padma?”Padma tersenyum canggung karena setelah sekian lama sering datang ke makam Alkadri Tanaka dan istrinya, baru kali ini ia bertemu dengan Badai.“Hai,” sapa Padma. Kemudian tatapannya terpaku pada sosok Asa yang duduk tenang di pangkuan Badai. “Halo, Asa. Kita ketemu lagi nih.”Badai bergeser untuk memberi ruang pada Padma. Perempuan itu pun duduk di sebelahnya dan mulai berdoa untuk kedua orangtua Badai.Badai memperhatikan bagaimana Padma memejamkan matanya dan berdoa selama beberapa saat. Ia bisa merasakan bagaimana perempuan itu khusyuk berdoa, tak peduli siapa yang ada di sampingnya.Tanpa sadar ia terus memperhatikan Padma hingga Padma membuka matanya dan tatapan mereka bertemu.
“Iiih, Dek Mei udah pacaran ya?”“Kakak!!!” Dengan buru-buru, Meisie menempelkan ponselnya ke dada. Ia menoleh pada kakaknya dan langsung cemberut. “Kakak ngintip ya?”“Dikit,” jawab Ilana seraya tersenyum jahil. Anak kedua di keluarga Tanaka itu menaik-turunkan alisnya, menggoda Meisie yang kini wajahnya sudah semerah kepiting rebus. “Siapa sih yang chat terus sama kamu sejak kita turun dari pesawat? Kenalin dooong.”“Temen sekelas doang kok.” Meisie memilih memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebelum Ilana dengan kejahilannya akan mengambil ponselnya untuk melihat dengan siapa ia bertukar pesan seharian ini.“Cewek?”Meisie kembali merengut. Ia bisa dikatakan jarang berbohong. Jad
“Kamu nggak takut sama aku?”“Nggak.”“Kenapa? Semua orang takut sama aku?”“Ngapain takut? Kamu kan manusia.” Meisie tertawa begitu mendengar pertanyaan Dalvin yang konyol. “Kamu emangnya suka makan orang?”“Nggak.” Dalvin menggeleng dengan tegas. “Tapi semua anak di kelas ini takut denganku.”“Kenapa?”“Kamu nggak tahu?” Dalvin yakin Meisie tahu apa yang semua anak di kelas ini bicarakan mengenai dirinya.Dalvin si anak buangan. Dalvin si anak pembunuh.Juga masih banyak lagi julukan-julukan untuknya yang saking banyaknya, Dalvin tak ingat lagi.
“Inget, kalau disuruh macem-macem yang melanggar norma dan adab, kamu jangan mau, Dek Mei!” Dengan menggebu-gebu, Ilana si biang onar memberi nasehat kepada adiknya, yang hari ini resmi jadi murid SMA.“Jangan mau kalau disuruh sok-sok nembak kakak kelas. Itu sih karena mereka emang pengen dibilang ada yang naksir aja padahal aslinya nggak ada.”Asa melirik Ilana dengan geli. Karena Asa sudah bisa mengemudi dan punya SIM, juga ketika berusia 17 tahun dihadiahi mobil oleh sang ibu, kini hobinya adalah mengantar-jemput kedua adiknya—Ilana dan Meisie.“Katanya, kamu juga pas jadi panitia MOS banyak yang nembak, Dek. Itu beneran atau hoaks?”“Itu beneran. Tapi karena nggak ada yang mendekati kayak Abang atau Papa, kutolak semua deh.”
Malam itu Asa tidak keluar kamar untuk makan malam dan Padma membiarkannya. Ilana dan Meisie bertanya kenapa kakak mereka tidak ikut turun untuk makan malam bersama, mengingat ritual makan bersama adalah kegiatan yang pantang untuk dilewatkan bagi keluarga mereka.“Abang butuh istirahat. Kalau Abang ikut makan di sini, kalian pasti minta Abang suapin kalian deh.”Ilana dan Meisie langsung memberikan cengiran lebarnya. Kedua anak perempuan itu sangat manja pada Asa, hingga kadang-kadang Janar mengatakan pada Asa kalau Asa ditakdirkan untuk dikerjai seumur hidup oleh kedua adiknya.“Terus Abang nggak makan, Ma?” tanya Meisie yang langsung khawatir dengan kondisi kakaknya. “Aku bawain makanan aja buat Abang ya, Ma? Bolehkan kalau kali ini Abang makan di kamar? Masa Abang nggak makan sama sekali….”
"Abang mau jadi jagoan atau gimana?”Angkasa menunduk saat ayahnya bertanya dengan dingin dan tajam seperti itu. Sesekali tangannya bergerak menyeka darah yang masih menetes dari sudut bibirnya yang robek.“Udah nggak ada nyali untuk kamu jawab pertanyaan Papa, Bang?”“B….” Padma menggeleng pelan saat melihat suaminya yang juga jadi emosi. Perempuan itu melihat ke sekelilingnya dan kembali menggeleng. “Kita bicarakan di rumah. Kamu mau balik ke kantor atau ikut pulang?”“Aku mana bisa kerja setelah ini, Hon.” Badai mendengus pelan, lalu berjalan lebih dulu dibanding istri dan anaknya.Padma menghela napas dan mendekat pada anak sulungnya, ia merapikan kerah kemeja Asa yang berantakan, lalu mengg
Ilana mengetuk pintu kamar orangtuanya dan yang keluar adalah sang ayah, Badai Tanaka.“Kakak kok belum tidur?” tanya Badai sambil mengusap puncak kepala Ilana.Ilana berpikir sebentar, lalu menarik tangan ayahnya hingga ayahnya keluar dari kamar. “Papa udah mau tidur?”“Belum.” Sejujurnya, Badai hampir tertidur karena ia baru sampai sore ini di Jakarta. Padma sendiri sedang di kamar mandi ketika Ilana mengetuk pintu kamar mereka.“Kakak laper,” adu Ilana pada sang ayah. “Bikin mie goreng yuk, Pa.”“Ayo, sini, Papa masakin,” kata Badai sambil tersenyum.Sambil bergandengan tangan, keduanya turun ke lantai satu yang sudah lengang karena semua orang sudah berada di ka
“Eh, eh, liat. Ada si anak tiri.”Ilana langsung merengut begitu mendengar bisik-bisik (yang tidak terlalu pelan sehingga Ilana bisa dengan jelas mendengarnya) tersebut.Dua meja dari meja yang ia. tempati dengan Asa dan Meisie, ada si tukang bully yang beberapa hari lalu menangis karena tak bisa bangkit dari kursinya.“Untung keluarganya kaya, jadi nggak dijadiin pembantu kayak di film-film,” sahut salah satu teman si tukang bully yang bertubuh sangat kurus, berbanding terbalik dengan si tukang bully yang gempal dan besar.Seperti Hulk, menurut Ilana.Ilana menghela napas dan berusaha tak mengabaikan ocehan laki-laki tukang gosip itu. Ia tak boleh membuat keributan lagi kalau tak mau diceramahi ibunya selama 25 jam.
“Abang, ini gimana sih cara pasangnya? Aku nggak bisa terus dari tadi.”Asa melihat bagaimana Ilana dengan dasinya yang belum tersimpul dengan benar dan wajahnya yang sudah merengut. “Sini, Abang pasangin.”“Nah, gitu dong, Bang, dari tadi.”Asa berdecak dan menjitak kening adiknya dengan pelan. “Makanya kalau Abang ajarin tuh dipraktekin dong.”“Kan ada Abang.”“Masa sampai SMA dasinya mau dipakein Abang terus?”“Biarin, wleee.”Asa tak bisa menahan tawanya melihat bagaimana Ilana menjulurkan lidah ke arahnya. Dengan cepat ia memasang dasi berwarna biru dongker tersebut hingga rapi di kerah kemeja putih adik
“Papa!”“Iya, Kakak?”“Kakak mau punya pacar juga!”Badai yang baru saja menelan jus wortel buatan Padma langsung tersedak mendengar ucapan Ilana, anak keduanya.Ilana tentu saja terkejut melihat reaksi ayahnya yang di luar dugaan. Maka ia langsung pindah ke samping sang ayah dan mengusap punggung tegap Badai dengan tangan mungilnya.“Kok Kakak ngomong gitu?” Badai bertanya setelah bisa bicara dengan benar dan efek dari tersedaknya hilang. “Kakak kan masih kecil, kok udah tahu soal pacar-pacaran?”“Kemarin Bang Janar bilang, Bang Asa udah punya pacar di sekolah,” cerita Ilana yang sudah masuk kelas 2 SD tersebut dengan polosnya. “Pas aku tanya pacar itu apa, katanya Bang Janar tanyain Papa aja.”Astaga, Shua, anakmu! gerutu Badai sambil menggeleng pelan. Namun, detik berikutnya ia sadar dengan apa yang diucapkan Ilana sebelumnya.“Apa? Abang udah punya pacar?”“Katanya Bang Janar.” Ilana mengangguk sambil merengut.“Haduh….” Badai hanya bisa mengusap keningnya. Bagaimana bisa anak kec