“Kau memang wanita yang licik, Marcella!” Bayu menggeram di antara kabut panas kental yang telah menguasai tubuhnya.
“Sebutlah aku sesuai maumu. Jangan lupa menyebutkan namaku dalam euforiamu.” Marcella berbisik tepat di dekat daun telinga bayu. Bibirnya menyentuh telinga Bayu dan membuat pria muda itu kehilangan semua yang seharusnya bisa dia kendalikan.
Pikiran yang mulai kalut membuat Bayu sulit untuk mencerna semua yang Marcella katakan. Itu seperti undangan. Semua terdengar seperti ancaman. Ada ketakutan dan juga kenikmatan yang dijanjikan. Jauh di dalam hatinya, Bayu tahu tidak ada keuntungan di masa depan.
Logikanya menolak untuk bekerja. Keinginan pria telah mengambil alih kendali dalam dirinya. Jika ini arti dari merobek harga diri. Inilah yang akan Bayu lakukan!
Tangan kekarnya meraih pinggang Marcella. Dia mengambil alih keadaan. Membawa tubuh Marcella terbaring ke sofa. Wanita sombong itu terlihat sangat mungil di bawah tubuh Bayu yang kekar. Panas menyengat hingga ke ujung kakinya.
“Kau menginginkan terlalu banyak, Marcella. Jangan pernah menyesali apa yang akan terjadi.” Bayu menggeram di telinga Marcella.
“Kau terdengar marah dan berlebihan, Bayu.” Marcella berusaha mengatur nafas sebelum melanjutkan kalimatnya. “Hubungan kita bukan pelangi dan matahari. Lupakan tentang perasaan.”
“Semua seperti yang aku pikirkan. Kau memang satu dari wanita-wanita jalang itu. Apa yang kau harapkan sebenarnya? Kepuasan? Kau mau membayar kesenangan dengan uang?”
“Kau sedang menghakimi? Kita berdua sama-sama tidak butuh penjelasan. Aku dan kamu berjalan dalam perjanjian. Selama itu saling menguntungkan, mari kita menutup mata.” Telapak tangan Bayu mengusap rambut Marcella dan turun ke wajahnya.
Semburat warna merah segera menyebar di kulit Marcella. Ini menjadi tidak mudah untuk dikendalikan lagi.
Bara dalam diri Marcella menyala. Dia muak dengan pria yang berada di atasnya. Rambut Bayu yang terjatuh di dahi, membuat wajahnya terlihat praktis sempurna. Itu adalah pesona yang sulit untuk diabaikan.
Namun ingatan bahwa Bayu rela melakukan apa pun demi uang, menumbuhkan rasa jijik di hati Marcella. Pria muda yang hanya tahu cara bersenang-senang. Dia yang miskin tapi ingin bergaya metropolitan.
Wajah Bayu perlahan turun untuk bertemu dengan bibir Marcella. Tepat di detik sebelum semua berubah menjadi lahar panas. Marcella menarik lengan bajunya sendiri dan merobeknya!
Mata Bayu terbelalak, “Apa yang kau lakukan?!”
“Itu adalah jaminan!” Marcella mendorong tubuh Bayu menjauh.
Senyum liciknya timbul saat dia berdiri dan membenahi pakaiannya. Semoga itu cukup untuk meredam ‘api’ yang berkobar akibat kedekatan mereka barusan.
“Staff IT dan securityku akan senang hati melihat rekaman adegan tadi sebagai upaya percobaan pemerkosaan. Ruangan ini memiliki beberapa CCTV. Artinya, semua yang terjadi terekam dengan sempurna. Sedikit pemotongan adegan dan editing bisa membuat orang melihat dari cara yang berbeda.”
“Kau menjebakku? Wanita licik!” Mata Bayu melebar dan wajahya seketika memerah karena marah.
Dia tidak menyangka bahwa Marcella baru saja menjebaknya. Ternyata apa yang terjadi beberapa detik lalu bukan karena Marcella menginginkannya. Wanita itu hanya butuh beberapa adegan untuk menjadi senjata yang semakin membuat Bayu tidak bisa melarikan diri dari cengkeramannya.
Marcella tersenyum penuh kemenangan. “Tenanglah! Rekaman itu hanya akan digunakan jika diperlukan. Itu hanya sebuah jaminan bahwa kau akan melakukan semua keinginanku dan tidak membuka mulutmu sembarangan tentang kesepakatan kita.”
“Kau bisa melupakan kerjasama ini jika tidak ada kepercayaan di antara kita.” Tatapan Bayu ‘membakar’ Marcella yang kembali duduk di kursi hitam besarnya. Bajunya yang sobek di bagian bahu memperlihatkan kulit seputih susu Marcella. Itu membuat Bayu menelan ludah karena keindahan yang disajikan.
“Jangan main-main denganku, Bayu. Aku sudah mengirimkan seratus juta untukmu. Sekarang pergilah! Sampai jumpa tiga hari lagi di altar pernikahan. Staffku akan mengurus semua yang kau butuhkan.” Marcella lalu mengambil ponselnya Jarinya mulai sibuk memeriksa beberapa email yang masuk.
Marcella seolah mengabaikan keberadaan Bayu yang masih berdiri bingung di ruangannya. Bayu memberikan tatapan setajam pisau pada kesombongan Marcella. Lalu dia membalikkan badan dan keluar dari ruang kerja Marcella.
Pintu ruangan yang tertutup setelah kepergian Bayu menjadi saksi tangisan Marcella. Memikirkan gereja, altar, buku nikah dan ikatan, nyaris membuatnya gila. Semua itu adalah bentuk lain dari ketakutannya.
‘Ini demi kebahagiaan Ayah.’ Itulah mantra sakti yang Marcella rapalkan untuk dirinya sendiri.
Satu keyakinan Marcella bahwa ini hanyalah sementara. Setelah keadaan membaik, dia dan Bayu bisa berpisah. Ini hanya sebuah sandiwara, tidak ada perasaan, cinta dan emosi di dalamnya. Dia akan baik-baik saja, jika semua berjalan seperti keinginannya!
Masih terbayang oleh Marcella bagaimana hinaan yang dia terima di pertemuan keluarga beberapa hari yang lalu. Ketika dia dan kedua orang tuanya diundang hanya untuk dihina. Sebenarnya itu bukanlah hal baru, Marcella sudah sering mendapatkan nyinyiran seperti itu.
“Cella, karena kamu Tante lihat gak laku-laku, Tante mau kenalin kamu, nih. Ini namanya Mas Antony. Dia salah satu pengusaha yang cukup sukses di Indonesia.” Sambil mendorong lembut tubuh Marcella, tantenya menyapa pria asing di depannya
Marcella menyapu pandangannya pada pria bertubuh gempal di hadapannya. Rambutnya yang botak, serta senyumnya yang menjijikkan membuat Marcella seketika merasa tak nyaman. Namun, berusaha bersikap baik, Marcella mengulurkan tangan.
“Marcella.”
Antony menyambut dengan senyum mesum. “Antony” ucap Antony memperkenalkan diri. Matanya dengan berani menyusuri tubuh Marcella dari atas ke bawah.
Meski baju hitam yang Marcella kenakan cukup sopan, tapi tatapan buas Antony membuat Marcella semakin merasa aneh. Segera dia melepaskan jabat tangan. Ibu dan ayah Marcella hanya bisa diam. Mereka bingung melihat kejadian di depan mereka.
“Kamu cantik sekali. Tepat seperti yang Andara katakan. Jadi kau masih single?” Antony memuji dan bertanya pada Marcella.
Andara segera mengambil alih kendali karena melihat Marcella bersiap beranjak pergi. Tangannya mencengkeram lengan Marcella.
Dia tersenyum merajuk pada Antony. “Iyalah, Mas. Makanya, saya tawarkan Marcella pada Mas Antony. Ah, betapa beruntungnya keponakanku ini.
Kata-kata Andara tak pelak membuat Marcella dan kedua orang tuanya ternganga. Mereka masih berusaha mencerna, apa maksud Andara dengan kata-kata ‘menawarkan’. Marcella bahkan mulai berpikir apakah dirinya seburuk itu hingga harus ditawarkan seperti dagangan?
Menyadari bahwa dia mengucapkan kata-kata yang salah, Andara dengan cerdas mengalihkan situasi.
“Ah! Hampir saja Tante lupa. Mas Antony bawa hadiah untuk kamu. Hadiah perkenalan.” Andara berharap kali ini Marcella bisa bersikap lebih manis. Wanita selalu menyukai hadiah dan Marcella pasti juga sama.
“Hadiah apa?” Marcella bergumam.
Tanpa menunggu persetujuan, Andara menarik lengan Marcella menuju ke salah satu ruangan yang ada di ujung lorong rumah mewah miliknya. Sementara kedua orang tua Marcella berdiri bingung dan terpaku di tempat mereka karena Andara bergerak sangat cepat. Bersamaan itu, salah satu keluarga jauh menyapa keduanya sehingga mereka hanya bisa melihat Marcella, Andara dan Antony menghilang di ujung lorong pesta.
Mereka sampai di ruangan yang cenderung sepi dan jauh dari jangkauan tamu undangan. Tidak ada jalur dimana para tamu mungkin bisa melintas di sana. Itu adalah ruang kerja, mungkin milik Andara atau suaminya.
Andara datang sembari membawa sebuah kotak bludru berwarna biru gelap. “Nah, Cella. Ini hadiah dari Mas Antony. Buka deh!”
“Tante, Cella tidak perlu ini.” Marcella mendorong perlahan kotak yang disodorkan Andara tepat di depan wajahnya.
Andara memutar bola matanya. “Cella! Apakah ibumu tidak pernah mengajarkan cara bersikap sopan?” Andara memaksa dan menyodorkan kotak itu semakin dekat pada Marcella.
Tidak ingin berdebat dengan Andara di depan Antony, Marcella menerima kotak itu. Dia ingin semua ini segera selesai dan kembali ke ruang pesta dimana ayah ibunya berada.
Dahi Marcella berkerut ketika dia mendapati sebuah kalung bermata biru. Itu adalah kalung berlian yang Marcella lihat beberapa waktu lalu di sebuah majalah fashion. Tentang harga, tidak perlu diragukan lagi jumlahnya.
“Nah… bagus kan? Makanya jangan buru-buru menolak. Mas Antony pesan ini khusus buat kamu, lho. Hadiah yang menandai pertemuan pertama kalian. Duh… romantisnya!” Andara bahkan terlihat seratus kali lebih antusias daripada Marcella.
Andara mengambil kalung berlian itu. “Sini Tante pakaikan. Semua mata akan melihatmu di ruang pesta itu nanti. Kamu akan jadi yang paling berkilau!”
Saat Andar bersiap untuk memasangkan kalung itu pada Marcella, seorang pelayan muncul di pintu.
“Nyonya Andara, suami anda memanggil. Ada tamu penting yang ingin bertemu.”
Andara mengerutkan kening karena merasa terganggu. “Hmm… ok. Katakan pada Tuan, saya segera ke sana.”
“Baik, Nyonya.”
Andara melihat sedih pada kalung berlian di tangannya. “Mas Antony, tolong ya, Mas saja yang pasangkan di leher Marcella. Aku harus pergi dulu. Aku segera kembali, ok.”
Setelah memberikan kalung itu pada Antony, Andara melangkah cepat meninggalkan ruangan. Betapa terkejutnya Marcella karena Andara menutup rapat pintu ruangan ketika dia keluar. Marcella spontan berdiri untuk membuka pintu atau meninggalkan ruangan atau berlari, apapun! Dia merasa sebuah bahaya sedang menyelimutinya.
“Cella… tunggu, Mas pasangkan dulu kalungnya. Setelah itu kita kembali ke ruang pesta.” Antony berdiri dengan cepat menahan bahu Marcella agar tetap di posisinya.
Pria itu lalu berjalan mengelilingi barisan kursi dan berdiri di belakang Marcella. Dia melingkarkan kalung itu di leher jenjang mulus Marcella. Gerakan perlahan dan sesekali jari Antony menyentuh kulit leher membuat Marcella tegang. Instingnya berkata untuk segera menjauh dari pria itu.
“Kamu cantik, Cella. Berlian mewah ini membuat kecantikanmu jutaan kali lebih terlihat.” Antony mendekatkan hidungnya di telinga dan leher Marcella. Dia bahkan bisa merasakan hangat nafas Antony yang beraroma vodka. “Ah… aromamu, ini sangat menuntut! Kau memberiku sensasi berlebihan, Sayang.”