***
Isa merasa strateginya akan berhasil dengan lancar. Ia sudah menyusun skenario untuk mengelabui Jett dan dua pengawal lain.
Tok! Tok! Tok! Sepatu hak tingginya menderap lantai bandara dengan percaya diri. Andaikata, mitra kerjanya tahu bahwa sesungguhnya ia adalah satu-satunya pewaris Kartel Rivera. Sebagian besar dari mereka mungkin akan memutus kontrak dan tidak menggunakan jasa fotografinya di masa depan.
Lagipula orang tua mana yang sudi membiarkan anak balitanya dipotret oleh orang dengan latar belakang keluarga seperti Isa?
Alasan ini pula yang membuat Isa merahasiakan jati diri dan nama keluarga Ayahnya. Sejak kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan, Isa hanya mengenakan nama belakang keluarga ibunya.
Menurut Teresa, keselamatan jiwanya akan lebih terlindungi jika ia menyembunyikan nama Rivera untuk sementara. Jika saatnya tiba, Tesh sendiri yang akan menyerahkan singgasana kepemimpinannya pada Isa.
Isa memutus ingatan masa lalu dan kembali pada masa kini. Satu hal pasti, ia harus bisa meloloskan diri dari tiga serdadu yang sedang mengawalnya dari belakang.
Strategi kaburnya akan dimulai saat ini.
Dengan gerakan mendadak, Isa menghentikan langkahnya. Jett hampir menabrak dari arah belakang.
"Ada apa lagi, Nona?" Jett berkata dengan kesabaran penuh.
"Jett, aku harus ke kamar mandi. Tidak bisa kutahan." Isa sedang bermain peran dan menunjuk arah pintu toilet perempuan.
"Baik, mari saya antar sampai kedepan pintu, Nona."
"Tidak perlu, Jett. Aku bisa sendiri."
"Kami hanya menjalankan perintah." Jett berkeras.
Isa tidak berkutik dan mengumpat pelan, "Sialan!”.
***
Isa masuk ke dalam toilet. Lima menit pertama, ia berdiri di depan wastafel sambil merapikan rambut dan riasan. Tidak ada siapapun di dalam toilet yang dapat dimintai tolong. Hingga salah satu pintu terbuka dan perempuan paruh baya keluar. Ia mencuci tangan dan tersenyum ramah pada Isa.
Aha! Seolah lampu ide mengetuk kepalanya yang bebal, Isa menunggu wanita itu selesai dengan urusannya dan segera menghampiri.
***
Isa menunggu lima menit setelah wanita paruh baya yang dimintai tolong olehnya keluar lebih dulu. Gadis itu mendongakkan kepala dan mengintip dari pintu masuk. Memeriksa situasi di balik pintu toilet perempuan.
Yes! Idenya memang jenius!
Kedua anak buah Jett masing-masing memapah wanita paruh baya itu. Entah, drama apa yang dimainkan olehnya sampai-sampai keduanya pria tegap tersebut terlihat prihatin dan melupakan tugas jaga mereka di depan pintu toilet. Wanita itu menjatuhkan tas tangannya, Jett terlihat enggan tapi tetap bergerak untuk mengambilnya. Keempatnya menuju salah satu kursi panjang di lorong.
Argh! Sekarang waktunya ia beraksi, begitu pikir Isa.
Dengan tetap siaga, Isa menyelinap keluar dari toilet. Gadis itu mengambil arah berlawanan, meski itu artinya ia harus memutar menuju gate pesawatnya nanti.
Duk! Isa menghentikan langkah sambil tetap memperhatikan Jett dan kedua anak buahnya yang masih sibuk oleh drama wanita paruh baya.
Gadis itu sempat terhuyung ke depan. Sepasang tangan besar menangkap pinggangnya. Isa tidak nyaman tapi tidak melakukan perlawanan hingga tangan itu menariknya berdiri.
Salah satu tangan Isa menahan dada bidang pemilik sepasang lengan kokoh itu. Ia dapat merasakan kekokohannya meski terbalut setelan gelap Armani.
"Ada tempat yang harus kau tuju, Miss Reyes?" Suara tegas maskulin menggema menyapa telinganya.
Ya Tuhan, siapa lagi ini.
***
Isa mendongak dan mencari sepasang mata pemilik suara bariton yang menggelitik rasa ingin tahunya. Kedua telapak tangannya masih menahan si dada bidang.
Maniknya berhasil menangkap raut tampan lelaki yang usianya mungkin pertengahan tiga puluh. Matang.
Kerongkongan Isa mendadak kering dan lidahnya kelu. Ia dapat merasakan ujung bibirnya seolah ditarik dan membentuk seulas senyum. Berusaha menahan diri mati-matian untuk tidak menunjukkan ketertarikan dan rasa penasaran.
Rambut hitam bergelombang seakan mengundang Isa untuk menyurainya dengan jari. Berani taruhan, si tampan ini akan memberi banyak hal menyenangkan dalam beberapa adegan potongan imajinasi liarnya.
Pandangannya lalu turun tepat di bawah hidung. Menatap bibirnya yang juga menggoda. Isa menatap balik sepasang mata yang kini sedang menawannya. Ada kesan mendalam yang telah menyapa relung hatinya. Membayangkannya saja sudah membuat Isa meleleh.
Perasaan apa ini? Isa bertanya pada dirinya sendiri.
"Nona Reyes." Jett memotong imajinasinya dan sudah berada diantara mereka berdua.
"Jett." Lelaki di depannya bersuara.
"Marco."
Oh, jadi nama lelaki ini Marco. Isa mengalihkan pandangan dan memandang wanita paruh baya yang berjalan melewatinya dengan segar bugar dan mengedipkan sebelah matanya. Sambil mengucap kata "I’m sorry!" dari mulutnya tanpa mengeluarkan bersuara.
Mungkin wanita paruh baya itu sudah membongkar rencana jeniusnya pada Jett dan dua pengawal lain.
Ketika ia mengulur waktunya di kamar mandi, Isa meminta bantuan perempuan tua itu. Dengan sedikit bumbu dramatis, ia mengatakan bahwa nyawanya saat itu terancam karena ada tiga pria berjas hitam yang sedang menunggunya di depan toilet. Ketiga pria itu berniat menculiknya. Ha!
Kemudian wanita itu berinisiatif membantu dengan mengalihkan perhatian tiga men in black, memberi kesempatan pada Isa untuk menyelinap kabur dan menyelamatkan diri. Nahas, nasibnya masih belum beruntung karena men in black terakhir muncul dihadapannya.
Rencana terakhir gagal total! Isa masih memutar otak dan mencari cara lain agar lolos dari kepungan para pengawal bayaran ini.
"Miss Reyes, saya Marco Fox. Anda harus segera pulang ke Dallas, silakan ikuti kami!" jelas Marco sambil menyentuh lengannya.
Isa langsung merasa disetrum. Dress selutut berwarna hitam tanpa lengan yang dikenakannya hari ini menjadi penghantar listrik keduanya. Isa tidak berniat menepikan tangan Marco. Ia hanya memandangnya penuh berani sambil menahan batuk tertahan.
Ehem!
"Maaf, Miss Reyes." Marco melepaskan pegangannya pada lengan Isa dan melanjutkan, "Mari ikuti saya." Marco memberi jalan agar ia jalan lebih dulu.
Isa menolak bergerak. "Tidak. Aku akan tetap naik pesawat. Silahkan langsung sampaikan pesan pada Nyonya Rivera. Katakan padanya, aku baru akan pulang dalam dua minggu."
"Tidak bisa, Miss Reyes. Anda harus ikut kami."
"Silakan paksa aku, kalau kau memang bernyali." Isa menantang Marco.
Tanpa diminta dua kali, Marco langsung menggendongnya dengan gaya bridal style.
Menolak pesona lelaki yang-memang-diakui-cukup-tampan itu, Isa menurunkan tubuhnya dengan paksa.
Beberapa pasang mata mulai memperhatikan ketika Isa mencoba melepaskan diri dari gendongan Marco.
Ketika menjejakkan sepasang heels miliknya ke lantai, Isa hampir jatuh tergelincir. Dengan kekuatan cahaya, dengan tangkas Marco menangkap pinggangnya kembali dan menariknya lebih dekat.
Isa merasa wajahnya mulai hangat dan bersemu merah. Mungkin karena malu. Rasanya ingin mendorong Marco untuk menjauh ke ujung lorong. Ia tidak bisa, ada tiga pasang mata lain yang sekarang berjaga membelakanginya.
Tatapan Marco juga sama sekali tidak meringankan tugasnya, tubuhnya seakan memancarkan sesuatu yang kuat.
Hingga pada akhirnya, Marco membuka suara duluan.
"Maafkan jika saya harus bersikap agak kasar, Miss Reyes. Mengingat, waktu kita terbatas. Saya akan melakukan cara terakhir."
Marco berdeham dan tanpa aba-aba mengangkat kembali Isa seperti karung beras. Pria itu memberikan komando pada Jett dan kedua anak buahnya yang lain untuk membuka jalan duluan. Memberi isyarat agar mereka mengalihkan perhatian petugas security yang berjaga di pintu keluar.
"Lepaskan aku! Aku ingin turun!" teriak Isa sambil memukul-mukul pundak Marco.
Pukulan yang dilayangkan Isa malah membuat Marco menegang. Hal yang sama juga dirasakannya ketika memandang Isa untuk pertama kali ketika mereka hampir bertabrakan.
Marco berusaha mengatur nafas.
Jantungnya berdentum kencang. Dada gadis itu menekan bahunya. Pinggang mungil dan bagian belakang yang dimilikinya seolah menyeimbangkan seluruh bagian tubuh Tuan Putri yang saat ini sedang diangkat olehnya. Hanya satu kata yang bisa ia gambarkan tentang fisik gadis ini, she is perfect!
Belum lagi bawahan dress yang terangkat sedikit karena gendongannya memperlihatkan betis yang mulus dan tanpa cela.
Marco tahu situasi ini tidak etis. Tapi, Tuan Putri ini harus diselamatkan begitu titah sabda pandita Ratu. Nyawanya berada dalam mara bahaya. Setidaknya, selama masih dalam pengawasannya, Tuan Putri akan aman dan selamat.
"Turunkan aku!"
Isa bergerak ke segala arah. Mencoba melepaskan diri. Marco tidak percaya pada perempuan muda ini. Tiga anak buahnya sudah diperdayai.
Marco akan melakukan hal terakhir yang akan membuatnya diam dan taruhan mungkin bukan hanya dirinya yang juga menikmatinya.
Setidaknya aku sudah mencoba, kalau Tuan Putri marah akan kuhadapi nanti, Marco menimbang.
Tidak perlu banyak berpikir, mari lakukan saja, Bung!
Marco menepuk pelan paha mulus Tuan Putri.
Argh! Isa ingin marah dan harga dirinya terkoyak.
"Jangan bergerak terus, Anda harus ikut perintah, Nona. Ini langsung dari Nyonya Rivera. Anda harus pulang. Dengan kami," tegas Marco dengan intonasi yang berusaha terlihat profesional.
Tapi, apa yang profesional dari menepuk bagian privat milik seorang perempuan mungil yang baru pertama kali ditemui sambil menggendongnya? Tindakan manusia gua, tepatnya. Marco sibuk dengan percakapannya sendiri.
Isa menegang. Pukulan kecil itu seakan menjadi stop kontak lampu. Mendiamkannya seketika. Tidak berteriak. Tidak bergerak. Tidak memaksa turun. Sentuhan itu membangunkan setiap sel tubuhnya. Mengalirkan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Marco merasakan ketegangan yang sama. Andai saja, mereka tidak sedang dalam keramaian.***
Add this book to your library! Love and Vote!
*** Tok! Tok! Pintu kamar Isa diketuk pelan. "Isa?" Tesh memanggilnya dari balik pintu. "Madre." "Kau sudah bangun?" Isa mengangguk. "Ya." Mata Isa tertuju pada perempuan pertengahan empat puluhan yang dia panggil Madre. Ibu. Panggilan hormatnya untuk Teresa Rivera. Pemimpin kartel narkoba terbesar di sepanjang pantai Amerika bagian selatan. Tesh bergerak mendekati Isa yang berusaha duduk dan mengerjapkan matanya.
*** Marco mengakhiri rapatnya dengan Teresa setengah jam lalu. Sambil berjalan mengelilingi rumah dan setiap sudutnya, Marco kembali mengingat pertemuannya dengan Isa kemarin sore di Bandara. Tidak cukup mulus, tapi baiknya kini Tuan Putri akan mengingat siapa dirinya. Cara perkenalan yang sangat bukan mencerminkan dirinya. Marco tidak pernah seantusias itu untuk menaklukan seorang gadis. Apalagi itu adalah keponakan tunggal Teresa Rivera. Sang pewaris tunggal kartel Rivera. Kalau dirinya sudah cukup berbahaya, maka Isa Reyes Rivera adalah bahaya itu sendiri. Tapi, apalah artinya hidup kalau kau tidak melibatkan dirimu dalam suatu bahaya, Bung! Begitu percakapan Marco dengan dirinya sendiri. *** Sama seperti pertemuan mereka pagi ini, Marco bisa merasakan tatapan
*** Marco sudah menggulung lengan kemejanya. Setelan jasnya basah kuyup gara-gara gadis manja itu. Ia menghabiskan sepanjang hari di ruang kerja menilik hasil rekaman CCTV ketika tiga pengawal Isa diserang habis-habisan. Apa serangan pertama ini hanya sebuah peringatan pada keluarga Rivera? Belum ada setengah hari keduanya saling mencakar. Suara Isa kembali memecah keheningan di sepanjang lorong menuju ruang kerja Marco. "Marco, dimana kau?" teriak Isa dari ujung lorong. Marco meletakkan berkas yang sedari tadi dipelajarinya. Ia harus menyiapkan amunisi sebelum kembali bertarung dengan gadis manis itu. "Tunjukkan batang hidungmu! Dasar brengsek!" Umpatan Isa diakhiri dengan ketukan keras di pintu. Brukk! Brukkk! Bruukkk! "Marco!" Marco menunggu dua detik setelah teriakan
*** Marco memutuskan merebahkan kepalanya di punggung sofa sambil menghitung sisa waktu sebelum Teresa memburunya. Berkata hal sebaliknya hanya akan menjadi bumerang. Tidak ada kesempatan untuknya membela diri. Tok! Tok! Siapa lagi yang mengetuk ruang kerjanya. "Masuk." Marco duduk dan mengalihkan pandangnya ke arah pintu. Seketika sosok adik bungsunya masuk ruang kerjanya. "Hei, kak! Aku langsung menuju kesini begitu misi terakhir kita di Vermont tutup buku!" Zayden Fox menyapa dengan wajah antusias. Ada yang aneh dengan adiknya, Marco mencurigai sesuatu. Mengapa wajahnya terlihat sangat antusias? Padahal penerbangan Vermont menuju Dallas cukup menyita waktu. "Bagaimana perjalananmu?" Marco bertanya pada adiknya dengan kepeningan yang sedang dirasakannya akibat genc
*** Dua hari berlalu sejak konfrontasinya dengan Isa di ruang makan. Tidak ada interaksi berarti antara mereka selain tidak sengaja berpapasan. Keduanya bahkan menolak saling menyapa. Marco sengaja menyibukkan diri berjam-jam di ruang rapat bersama Jett, Ash dan Talon. Berusaha menelusuri dalang dibalik penyerangan pengawal dan ancaman penculikan terhadap Isa. Terdengar suara terbahak dari ruang makan. Marco yang sedang menuju ruang rapat menghentikan langkahnya di lorong. Sosoknya terlindungi pilar besar menuju area makan. Mengamati apa yang sedang terjadi disana. *** "Ayolah, Z! Hentikan, cukup! Geli, haha!" suara Isa terdengar kegelian. "Belum cukup, Putri. Ini tidak adil jika dibandingkan dengan apa yang sudah kau lakukan padaku." "Dasar pendendam kau, Z!
💚💚💚 Marco menghabiskan cangkir ketiga kopi hitamnya untuk pagi ini. Ia menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan. Tidurnya semalam bertahan hanya tiga jam. Bayangan gadis yang saat ini serumah dengannya mengusik lelapnya. ***Isa menghampirinya dengan balutan gaun biru muda yang membuat mata coklatnya semakin kentara. Menyentuh lengannya lembut dan berakhir pada mengaitkan jemari dalam genggamannya. Ia tahu ini merupakan bagian bunga tidur tapi mengapa Isa terasa begitu nyata. Suara merdunya berbisik, "Memohonlah padaku dan hasratmu akan kupuaskan!" Marco menelan ludah dan menarik Isa kedalam pelukannya. Gadis itu balas memeluknya dan membenamkan wajahnya ke sela leher Marco. Ia me
*** “Sudah awasi semua kamera pengawas menuju bandara?” Marco mengajukan sederet pertanyaan pada anak buahnya. Mereka sedang mempersiapkan diri berangkat menuju San Lucas. "Sudah." "Area penerbangan, clear?" "Noted, bos!" "Periksa awak pesawat dan landasan?"
***"Marco." Marco memperkenalkan diri dan bersalaman dengan Hayden, calon suami Reese, sahabat Isa yang akan menikah besok. Mereka kini sudah berada di restoran resort dan akan menikmati undangan makan malam.Marco mengetatkan rangkulan dan mengecup sisi kepala Isa. Sesekali melempar pandangan pada seisi venue semi terbuka ini. Menyisir beberapa titik untuk memastikan anak buahnya berada di posisinya masing-masing.Ia bahkan melihat Jett dengan seragam catering sambil membawa nampan makanan kecil dan melayani para tamu, kerja bagus Jett!"Halo, Marco. Pantas saja Isa menyembunyikanmu di sudut lemari bajunya. Mungkin ia khawatir beberapa teman wanita kami yang lain akan mencakarmu tanpa permisi lebih dulu." Reese mengatakannya dengan santai sambil men
PS: Part ini full dari sudut pandang Isa saat Marco menyatakan cinta. Extra Part untuk menjelaskan mengapa Isa alergi dengan tiga kata ajaib dan menolak pernyataan cinta Marco.***Seharian ini, Marco terlihat aneh. Ketika Isa menangkap pandangannya, Marco lalu akan mengalihkan tatapannya ke arah lain. Bergurau dengan adiknya. Meski tidak lucu. Tapi, itulah yang menarik dari Marco. Kau akan ikut tertawa dengannya.Pasti ada yang sedang disembunyikan lelaki di hadapannya! Jika Isa bertanya langsung, tentu Marco akan mengelak. Lagipula, kalau ada sesuatu yang penting ia akan langsung menjelaskan padanya tanpa perlu diminta."Kapan kau akan pulang, Zayden?" Marco mengangkat alisnya.Ini adalah pertanyaan ketiganya dalam dua jam
***Hampir menuju petang, akhirnya Marco bisa mengusir pulang adik bungsunya keluar dari rumah. Zayden kadang suka lupa diri kalau Marco dan Isa memiliki ruang privatnya sendiri.Ketika Isa memutuskan untuk mandi, Marco menyiapkan kejutan yang sudah disiapkannya semalaman.Untuk mengalihkan perhatian Isa sementara, Marco menyiapkan bath tub yang sudah dipenuhi air hangat dan aroma coklat kesukaan gadisnya. Rencana petang ini hampir batal karena Zayden menolak beranjak dan terlihat masih betah dirumahnya. Sia*lan!Marco tidak lupa menyetel sederet playlist agar Isa nyaman menikmati waktunya didalam. Bahkan, ia sempat mengunci kamar mandi dari luar saking paniknya kalau-kalau Isa menyelesaikan sesi berendamnya dan kel
***Bagaimana seseorang memandang kekuasaan menjadi menarik ketika Marco menggandeng tangan Isa memasuki ruangan luas ini.Marco merasa ia menjadi lelaki paling berkuasa di ruangan ini.Tepat, dia, Marco Fox, Sang Pengawal Pribadi Tuan Putri. Lelaki terpilih itu. Lelaki yang mengamit jemari sang Tuan Putri untuk mengantarnya menuju singgasananya.Malam ini Isa mengenakan setelan bodysuit berbahan sintetis kulit berwarna hitam yang mencetak tubuh ranumnya. Atasan yang membalut tubuhnya hanya waistcoat dengan belahan dada yang sangat rendah. Perhiasan choker berlian menghiasi lehernya yang jenjang. Dengan heels yang cukup tinggi, Isa nampak nyaman dengan pakaian yang dipilihnya.Tesh mengirimkan gaun yang diantar anak bua
***"Ayolah, Princess! Aku melarangmu melakukan pertunjukkan selama kalian masih berada di sekitar keponakan kecilku." Suara Gio memecah aktivitas Marco dan Isa.Marco mengeluarkan suara protes. Isa menengadahkan kepalanya dan menangkap sepasang wajah jenaka Gio yang sangat dikenalnya sejak remaja. Sejak Brie dan Mischa kembali dalam hidupnya, Gio terlihat lebih ceria dan menyenangkan."Gio." Isa menyapanya meski masih berada dalam dekapan Marco."Isa.""Gio" Marco sudah berdiri tegak menghadap pria berbahaya pemimpin gangs terbesar di Chicago."Fox." Gio menganggukkan kepalanya pada Marco. "Bukankah ada kode etik atau semacamnya yang menjabarkan kau dilarang melahap Tuan Pu
***"Marco." Isa mendekati Marco yang sedang menikmati sarapan setelah keduanya menyelesaikan ronde pagi bersama. Isa menyandarkan tubuhnya di sudut meja makan."Uhm.""Jika aku punya satu permintaan, apa kau akan mengabulkannya?""Tentu saja, Tuan Putri." Marco menggeser kursinya. Marco mendudukkannya di atas meja dan wajahnya sejajar dengan paha gadisnya."Bawa aku kabur.""Kemana?" Marco mengelus betis Isa yang kini diraihnya agar bertumpu di atas pahanya."Entahlah. Kau pernah mengatakan akan membawaku kabur jika Tesh tidak merestui hubungan kita." Isa mengacak rambut bergelom
***[Makan malam bersama Tesh.]Marco mengenggam erat tangan Isa sambil menaiki undakan tangga batu menuju meja semi outdoor yang sudah disiapkan Tesh. Pelayan mengawal keduanya dan menunjukkan meja untuk tiga orang yang menghadap pada pemandangan dermaga yang indah pada malam hari.Lampu-lampu kecil berpendar kekuningan menyelimuti keduanya. Malam ini akan menjadi sangat romantis, jika tidak ingat bahwa kedatangan Marco dan Isa adalah untuk memenuhi tugas negara menemui Tesh, sang pemimpin kartel terkejam di sepanjang wilayah Amerika Selatan.Pelayan menggeser kursi untuk Isa dan mempersilahkannya duduk. Marco meraih kursi disisinya. Mereka masih harus menunggu kehadiran Tesh.
***Setelah kepulangan Zayden, mereka kembali berdua. Keduanya sedang menikmati sisa petang di balik sofa di ruang tengah."Kau masih belum ingin pulang, Princess?" Marco mengelus paha Isa yang sedang ditumpangkan di pahanya.Isa menggeleng."Kau tidak nyaman tinggal di rumah besar itu atau kau belum siap bertemu Tesh untuk sementara waktu ini?" Marco membidik pertanyaannya langsung."Tesh." Isa menjatuhkan jawaban dengan tegas."Kau sudah sempat menghubunginya sejak kemarin?"Isa menggeleng. "Tesh menghubungiku tadi siang ketika aku sedang menyusuri
***Tirai tipis di jendela kamar Marco yang berhadapan langsung dengan laut berkibar mengikuti angin sepoi. Isa masih memejamkan mata dan dengkurnya perlahan menjadi melodi pagi hari untuk Marco.Sinar matahari mulai memasuki dan menghangatkan suasana kamarnya yang minimalis. Dengan nuansa cat dinding dan furniture yang didominasi warna putih dengan kesan minimalis dan modern.Marco merasa hidupnya sudah lebih dari cukup. Ujung bibir gadisnya tidak lagi merenggut seperti dua malam terakhir. Kelegaan menjalar di hatinya.Luka hati dan rasa bersalah akan selalu mengikuti gadisnya. Peristiwa penculikannya kemarin pasti sangat membekas di sanubari Isa. Inilah adalah konsekuensi berat dari nama belakang keluarga yang harus disandang seseorang. Takdir yang tidak bisa dipilih s
***Dengan segera, Isa selesai diperiksa oleh Doc dan diberi sedikit obat penahan nyeri untuk beberapa memar di leher sebagai akibat cekikan Vargas. Marco tidak memiliki pilihan selain membawa pujaan hatinya pulang ke rumah peristirahatannya di Pantai Timur. ‘‘Entah mengapa, Isa menolak pulang ke kediamannya sendiri.’Marco bersyukur bahwa Isa hanya mengalami cedera ringan pasca perang terbuka dengan Vargas. Tapi persoalannya, meski hanya luka ringan Isa menunjukkan tanda-tanda yang kurang baik. Pandangan kosong yang membayang di kedua mata indah itu menjadi alasan utama mengapa Marco tidak berminat bergeming sedikit pun dari sisi Isa.Ketika mereka sampai di rumah Marco pada penghujung sore, Isa bahkan tidak mengeluarkan suara. Gadis muda itu