***
Tok! Tok! Pintu kamar Isa diketuk pelan.
"Isa?" Tesh memanggilnya dari balik pintu.
"Madre."
"Kau sudah bangun?"
Isa mengangguk. "Ya."
Mata Isa tertuju pada perempuan pertengahan empat puluhan yang dia panggil Madre. Ibu. Panggilan hormatnya untuk Teresa Rivera. Pemimpin kartel narkoba terbesar di sepanjang pantai Amerika bagian selatan.
Tesh bergerak mendekati Isa yang berusaha duduk dan mengerjapkan matanya.
Untuk memberi efek drama, Isa memainkan peran tuan putri yang kelelahan untuk menarik simpati tantenya. Teresa meraih Isa dalam dekapan dan mencium puncak kepala keponakan tunggalnya dengan sayang.
"Aku tidak akan mengulang percakapan kita di telepon." Tesh sudah membuka kalimat pertama di antara mereka.
"Tapi, aku ..." Isa sudah ingin membantah. Teresa menggelengkan kepala.
Habis sudah dirinya tidak bisa menawar dan memainkan kartu manjanya, batin Isa.
"Tidak, Isa. Dengarkan aku. Situasi yang kita alami cukup gawat. Ini jarang terjadi, tapi aku sampai harus menyewa pihak lain untuk melindungimu. Ini aku lakukan untuk meminimalisir kemungkinan mata-mata yang mungkin saja sudah menyamar di kelompok kita."
Isa memperhatikan penjelasan Tesh dengan penuh perhatian.
"Lagipula, kau adalah alasanku untuk tetap hidup, Isa sayang. Tolong pahami, keputusanku. Aku melakukannya untuk melindungi satu-satunya orang paling penting dalam hidupku." Tesh yang memainkan kartu ibu padanya.
Sialan tantenya memang piawai memainkan perasaan!
"Bukankah kau biasanya sudah menyiapkan pasukan pengawal dan aku bebas melakukan apa saja yang aku mau? Lalu, apa yang berbeda kali ini? Kenapa harus ada pengawal lain untuk mengurusi hidupku?" Isa bertanya kembali pada Tesh.
Teresa memang selalu menyiapkan dua tiga pengawal yang mengikutinya kemana pun.
Mereka akan mengawasinya dari jauh dan tidak menampakkan diri. Bekerja seperti bayangan dan mengawasinya dua puluh empat jam.
Lalu, mengapa Tesh masih harus merekrut Marco dan anak buahnya? Kedua alis Isa berkerut meminta jawaban Tesh atas pertanyaan telepatinya.
"Salah satu pengawal yang biasanya bertugas untukmu, ditemukan meninggal. Ketiganya terlibat baku hantam. Serangan itu terjadi dua malam sebelum rencana keberangkatan liburanmu ke San Lucas."
Arghh, satu keping misteri terpecahkan!
"Lalu, saat itu pula, kau mengirim Marco si Manusia Gua untuk memaksaku pulang." Isa menggunakan intonasi bicara yang agak tegas meski ia tahu Tesh paling tidak suka disudutkan.
"Jaga bicaramu padaku, gadis manis!"
"Maaf, Tesh. Aku masih marah."
"Apa yang dilakukan Marco kemarin?"
"Jett dan dua anak buah lain masih bersikap sopan. Sedangkan, lelaki itu? Kau tahu apa yang dilakukannya?" Isa bergidik sebal.
Tesh menggeleng dan memberinya kesempatan untuk mengeluarkan kekesalannya.
"Lelaki bernama Marco itu, ia memang berbicara baik-baik awalnya. Ketika aku bersikeras menolak ikut dengannya, ia lalu menggendongku di pundaknya seperti karung beras. Marco membuat drama yang aku rasa tidak perlu di bandara! Aku malu, Tesh!"
Kalimat terakhir seolah menjadi curahan hati terdalam Isa.
***
Isa paham sebagai satu-satunya keluarga yang tersisa dari seorang Teresa Rivera. Hidupnya memang selalu diujung bahaya. Ia menyadari hal itu sejak kecil. Sejak orangtuanya meninggal dalam kecelakaan mobil, Teresa mengambil alih hak asuh dan merawatnya seperti orangtua tunggal. Melihat Tesh yang masih betah melajang membuat Isa bertanya-tanya alasan hidup selibatnya apa karena dirinya.
Ayah Isa merupakan kakak satu-satunya Teresa. Sebelum meninggal, ayahnya adalah penerus tahta kartel Rivera. Warisan yang diturunkan dari kakeknya. Setelah meninggal, Teresa yang kemudian maju untuk menggantikan posisi ayahnya.
Usianya belum genap sepuluh tahun ketika kehilangan kedua orangtuanya. Sejak itu, Isa menggunakan nama belakang ibunya. Isa Reyes.
Isa dilarang menggunakan nama belakang Rivera untuk melindungi dirinya dari musuh-musuh ayah dan kakeknya, serta musuh Teresa. Saat ini tentu semakin banyak pihak yang memburunya. Semua kelompok atau keluarga yang memiliki dendam terhadap keluarganya, akan langsung menghabisinya begitu mereka memiliki kesempatan.
Isa tidak menginginkan semua ini. Kebebasan dan ketenangan dalam hidup. Itu adalah keinginannya. Sepanjang, nama belakangnya masih RIVERA, maka kedua poin tentang hidup diatas akan sulit dipenuhi.
***
"Oke, Tesh. Aku tidak akan banyak bertanya tentang urusanmu. Silahkan lakukan yang menurutmu perlu dilakukan! Tapi, tolong pecat Marco! Aku tidak mau melihat tampangnya lagi! Rekrut pengawal baru, aku tidak peduli asal bukan Marco."
Karena rasanya aku tidak akan tahan berlama-lama di dekatnya. Kalimat terakhir ini hanya menggantung dalam kepala Isa. Tentu saja ia tidak akan mengakui ketampanan Marco didepan Tesh.
Hei, bukankah sebagai Tuan Putri dan satu-satunya pewaris tahta dia bebas berbuat sesukanya termasuk memecat pengawal sialan itu, begitu batinnya.
"Satu lagi. Aku mau pulang ke Houston. Aku tidak mau tinggal disini sendiri. Ada apartemen dan setumpuk pekerjaan yang menungguku." Isa mengajukan permintaannya dengan sedikit merajuk.
Isa melanjutkan ucapannya, "Lagipula, rumah ini terlalu besar dan selalu membuatku sedih. Setiap sudutnya mengingatkanku pada ayah dan ibu. Lagipula kau kan tidak tinggal bersamaku disini. Untuk apa aku dipingit disini sendirian dan ditemani sekumpulan pengawal, please?"
Teresa belum merespon semua permintaannya. Pilihannya ada dua, antara semua dikabulkan atau justru ditolak mentah-mentah. Sulit membaca isi kepala Tesh.
"Baiklah, Isa. Ini yang akan aku tawarkan. Pertama, soal apartment kau boleh pindah kembali ke apartemen milikmu minimal bulan depan. Kita tunggu situasi stabil dan aman." Tesh menggeleng ketika Isa sudah akan membuka mulut untuk protes.
Tesh merapikan rambutnya yang masih acak-acakan lalu melanjutkan, "Kedua, soal Marco. Permintaan ini tidak bisa ditawar. Justru karena aku yang memintanya langsung untuk melindungimu. Hanya dia yang kupercaya, selain Pino dan Alvarez, orang kepercayaanku. Tidak ada orang lain yang aku andalkan untuk melindungi keselamatanmu, sayangku."
"T-tapi, ... " Isa setengah berteriak. Tesh meresponnya dengan mengangkat telunjuk yang diiringi gelengan kepala. Isa tahu respon final Tesh tidak mungkin dibantah atau disanggah.
"Aku bisa jaga diri. Lagipula, sejak kapan aku membutuhkan pengawalan seketat ini sampai harus mengungsi segala?" tegas Isa. Ia mencoba cara lain agar Tesh setidaknya mengganti si Marco Sialan. Isa sudah kepalang muak bahkan wajah tampan lelaki itu tidak meringankan kekesalannya.
Isa menguasai beberapa teknik beladiri, termasuk mengangkat senjata api. Jadi, ia tidak melihat signifikansi Marco dalam kesehariannya nanti.
Teresa tetap menggeleng. "Tentu aku tahu kemampuanmu, Isa. Aku sendiri yang turun tangan mengajarimu. Perlu kau ketahui, musuhku kali ini tidak bisa ditebak dan sangat licin. Hingga aku harus meminta bantuan orang lain, termasuk Marco. Sebetulnya aku tidak ingin mengakui ini, tapi Marco adalah yang terbaik dari semua pilihan."
Isa tidak berminat mengajukan sanggahan kembali.
"Keputusanku sudah bulat. Marco sendiri yang akan langsung mengurus keamanan. Marco akan mengikuti kemana kau pergi. Tentu setelah melakukan koordinasi denganku lebih dulu."
Sebetulnya Isa ingin sekali berteriak dan menunjukkan ketidaksetujuannya secara terbuka, tapi yang dilakukannya hanya diam.
Percuma melawan tantenya saat ini. Ia akan menunggu beberapa waktu untuk bernegosiasi kembali di lain hari.
"Aku paham kau ingin meledak. Tapi, bayangkan posisiku juga, Isa. Aku tidak akan sanggup kehilanganmu. Kalau perlu akan kusediakan seratus pengawal untuk melindungimu. Kau sangat berharga bagiku, Isa." Teresa kembali membujuknya.
Isa mengalah dan memeluknya kembali. Isa juga tidak punya siapa-siapa selain tantenya sendiri.
Saat Isa sedang menyiapkan argumennya yang terakhir, pintu kamarnya diketuk dua kali.
"Ya." Teresa menjawab ketukan pintu.
Pintu kamar Isa dibuka dari luar dan Marco mendongakkan kepalanya. Matanya menyapu ruangan dan tertuju langsung pada wanita di sampingnya.
"Teresa, sudah waktunya. Kami sudah siap di ruangan. Menunggumu."
Teresa mengangguk pada Marco.
Marco lalu memandang matanya. Keduanya saling mengirimkan kilat mata. Rasa-rasanya Isa ingin melempar sesuatu yang tajam tepat di kepala Marco.
Sayang sekali, Marco sudah menutup pintu tepat sebelum Isa mengenggam pegangan lampu tidur.
"Ingat ya, jaga dirimu. Setelah pertemuan ini, aku akan langsung berangkat ke Houston. Mungkin dua tiga hari aku akan mengunjungimu kembali kesini. Jangan pulang ke Houston tanpa izinku. Aku sayang kau, Isa."
"Aku juga, Tesh." Isa memeluknya erat.
Isa sudah melepaskan pelukan dan Teresa mencium keningnya.
"Pesanku, jangan galak begitu! Berusahalah bekerja sama dengan Marco! Ini tidak akan berlangsung lama."
Teresa bangkit dan menuju pintu untuk membukanya. "Jaga dirimu, Sayang!"
Ia lalu menutup pintu. Suara heels miliknya bergema di lorong lantai kamarnya.
"Arghhh! Bangs*t!" Isa berteriak di balik bantal yang menutup setengah wajahnya.***
*** Marco mengakhiri rapatnya dengan Teresa setengah jam lalu. Sambil berjalan mengelilingi rumah dan setiap sudutnya, Marco kembali mengingat pertemuannya dengan Isa kemarin sore di Bandara. Tidak cukup mulus, tapi baiknya kini Tuan Putri akan mengingat siapa dirinya. Cara perkenalan yang sangat bukan mencerminkan dirinya. Marco tidak pernah seantusias itu untuk menaklukan seorang gadis. Apalagi itu adalah keponakan tunggal Teresa Rivera. Sang pewaris tunggal kartel Rivera. Kalau dirinya sudah cukup berbahaya, maka Isa Reyes Rivera adalah bahaya itu sendiri. Tapi, apalah artinya hidup kalau kau tidak melibatkan dirimu dalam suatu bahaya, Bung! Begitu percakapan Marco dengan dirinya sendiri. *** Sama seperti pertemuan mereka pagi ini, Marco bisa merasakan tatapan
*** Marco sudah menggulung lengan kemejanya. Setelan jasnya basah kuyup gara-gara gadis manja itu. Ia menghabiskan sepanjang hari di ruang kerja menilik hasil rekaman CCTV ketika tiga pengawal Isa diserang habis-habisan. Apa serangan pertama ini hanya sebuah peringatan pada keluarga Rivera? Belum ada setengah hari keduanya saling mencakar. Suara Isa kembali memecah keheningan di sepanjang lorong menuju ruang kerja Marco. "Marco, dimana kau?" teriak Isa dari ujung lorong. Marco meletakkan berkas yang sedari tadi dipelajarinya. Ia harus menyiapkan amunisi sebelum kembali bertarung dengan gadis manis itu. "Tunjukkan batang hidungmu! Dasar brengsek!" Umpatan Isa diakhiri dengan ketukan keras di pintu. Brukk! Brukkk! Bruukkk! "Marco!" Marco menunggu dua detik setelah teriakan
*** Marco memutuskan merebahkan kepalanya di punggung sofa sambil menghitung sisa waktu sebelum Teresa memburunya. Berkata hal sebaliknya hanya akan menjadi bumerang. Tidak ada kesempatan untuknya membela diri. Tok! Tok! Siapa lagi yang mengetuk ruang kerjanya. "Masuk." Marco duduk dan mengalihkan pandangnya ke arah pintu. Seketika sosok adik bungsunya masuk ruang kerjanya. "Hei, kak! Aku langsung menuju kesini begitu misi terakhir kita di Vermont tutup buku!" Zayden Fox menyapa dengan wajah antusias. Ada yang aneh dengan adiknya, Marco mencurigai sesuatu. Mengapa wajahnya terlihat sangat antusias? Padahal penerbangan Vermont menuju Dallas cukup menyita waktu. "Bagaimana perjalananmu?" Marco bertanya pada adiknya dengan kepeningan yang sedang dirasakannya akibat genc
*** Dua hari berlalu sejak konfrontasinya dengan Isa di ruang makan. Tidak ada interaksi berarti antara mereka selain tidak sengaja berpapasan. Keduanya bahkan menolak saling menyapa. Marco sengaja menyibukkan diri berjam-jam di ruang rapat bersama Jett, Ash dan Talon. Berusaha menelusuri dalang dibalik penyerangan pengawal dan ancaman penculikan terhadap Isa. Terdengar suara terbahak dari ruang makan. Marco yang sedang menuju ruang rapat menghentikan langkahnya di lorong. Sosoknya terlindungi pilar besar menuju area makan. Mengamati apa yang sedang terjadi disana. *** "Ayolah, Z! Hentikan, cukup! Geli, haha!" suara Isa terdengar kegelian. "Belum cukup, Putri. Ini tidak adil jika dibandingkan dengan apa yang sudah kau lakukan padaku." "Dasar pendendam kau, Z!
ššš Marco menghabiskan cangkir ketiga kopi hitamnya untuk pagi ini. Ia menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan. Tidurnya semalam bertahan hanya tiga jam. Bayangan gadis yang saat ini serumah dengannya mengusik lelapnya. ***Isa menghampirinya dengan balutan gaun biru muda yang membuat mata coklatnya semakin kentara. Menyentuh lengannya lembut dan berakhir pada mengaitkan jemari dalam genggamannya. Ia tahu ini merupakan bagian bunga tidur tapi mengapa Isa terasa begitu nyata. Suara merdunya berbisik, "Memohonlah padaku dan hasratmu akan kupuaskan!" Marco menelan ludah dan menarik Isa kedalam pelukannya. Gadis itu balas memeluknya dan membenamkan wajahnya ke sela leher Marco. Ia me
*** āSudah awasi semua kamera pengawas menuju bandara?ā Marco mengajukan sederet pertanyaan pada anak buahnya. Mereka sedang mempersiapkan diri berangkat menuju San Lucas. "Sudah." "Area penerbangan, clear?" "Noted, bos!" "Periksa awak pesawat dan landasan?"
***"Marco." Marco memperkenalkan diri dan bersalaman dengan Hayden, calon suami Reese, sahabat Isa yang akan menikah besok. Mereka kini sudah berada di restoran resort dan akan menikmati undangan makan malam.Marco mengetatkan rangkulan dan mengecup sisi kepala Isa. Sesekali melempar pandangan pada seisi venue semi terbuka ini. Menyisir beberapa titik untuk memastikan anak buahnya berada di posisinya masing-masing.Ia bahkan melihat Jett dengan seragam catering sambil membawa nampan makanan kecil dan melayani para tamu, kerja bagus Jett!"Halo, Marco. Pantas saja Isa menyembunyikanmu di sudut lemari bajunya. Mungkin ia khawatir beberapa teman wanita kami yang lain akan mencakarmu tanpa permisi lebih dulu." Reese mengatakannya dengan santai sambil men
***"Bagaimana kondisi sejauh ini?" Marco sedang mengadakan rapat dengan anak buah keesokan paginya."Tenang saja, bos. Latar belakang para tamu yang akan hadir sudah clear."Jett menjelaskan laporannya, "Sekitar seratusan tamu akan menghadiri pemberkatan khususnya pihak keluarga dan sahabat kedua mempelai saja. Tamu yang hadir pada acara resepsi mungkin akan lebih banyak tapi tidak signifikan. Sedangkan, kondisi tamu pada acara after party sudah pasti jauh lebih berkurang.""Tetap harus diperhatikan, Jett!""Baik, bos.""Bagaimana dengan hasil rekaman kamera pengawas ketika penyerangan terhadap pengawal sebelumnya? Sudah dapat diverifikasi kelompok mana yang melakukannya?"
PS: Part ini full dari sudut pandang Isa saat Marco menyatakan cinta. Extra Part untuk menjelaskan mengapa Isa alergi dengan tiga kata ajaib dan menolak pernyataan cinta Marco.***Seharian ini, Marco terlihat aneh. Ketika Isa menangkap pandangannya, Marco lalu akan mengalihkan tatapannya ke arah lain. Bergurau dengan adiknya. Meski tidak lucu. Tapi, itulah yang menarik dari Marco. Kau akan ikut tertawa dengannya.Pasti ada yang sedang disembunyikan lelaki di hadapannya! Jika Isa bertanya langsung, tentu Marco akan mengelak. Lagipula, kalau ada sesuatu yang penting ia akan langsung menjelaskan padanya tanpa perlu diminta."Kapan kau akan pulang, Zayden?" Marco mengangkat alisnya.Ini adalah pertanyaan ketiganya dalam dua jam
***Hampir menuju petang, akhirnya Marco bisa mengusir pulang adik bungsunya keluar dari rumah. Zayden kadang suka lupa diri kalau Marco dan Isa memiliki ruang privatnya sendiri.Ketika Isa memutuskan untuk mandi, Marco menyiapkan kejutan yang sudah disiapkannya semalaman.Untuk mengalihkan perhatian Isa sementara, Marco menyiapkan bath tub yang sudah dipenuhi air hangat dan aroma coklat kesukaan gadisnya. Rencana petang ini hampir batal karena Zayden menolak beranjak dan terlihat masih betah dirumahnya. Sia*lan!Marco tidak lupa menyetel sederet playlist agar Isa nyaman menikmati waktunya didalam. Bahkan, ia sempat mengunci kamar mandi dari luar saking paniknya kalau-kalau Isa menyelesaikan sesi berendamnya dan kel
***Bagaimana seseorang memandang kekuasaan menjadi menarik ketika Marco menggandeng tangan Isa memasuki ruangan luas ini.Marco merasa ia menjadi lelaki paling berkuasa di ruangan ini.Tepat, dia, Marco Fox, Sang Pengawal Pribadi Tuan Putri. Lelaki terpilih itu. Lelaki yang mengamit jemari sang Tuan Putri untuk mengantarnya menuju singgasananya.Malam ini Isa mengenakan setelan bodysuit berbahan sintetis kulit berwarna hitam yang mencetak tubuh ranumnya. Atasan yang membalut tubuhnya hanya waistcoat dengan belahan dada yang sangat rendah. Perhiasan choker berlian menghiasi lehernya yang jenjang. Dengan heels yang cukup tinggi, Isa nampak nyaman dengan pakaian yang dipilihnya.Tesh mengirimkan gaun yang diantar anak bua
***"Ayolah, Princess! Aku melarangmu melakukan pertunjukkan selama kalian masih berada di sekitar keponakan kecilku." Suara Gio memecah aktivitas Marco dan Isa.Marco mengeluarkan suara protes. Isa menengadahkan kepalanya dan menangkap sepasang wajah jenaka Gio yang sangat dikenalnya sejak remaja. Sejak Brie dan Mischa kembali dalam hidupnya, Gio terlihat lebih ceria dan menyenangkan."Gio." Isa menyapanya meski masih berada dalam dekapan Marco."Isa.""Gio" Marco sudah berdiri tegak menghadap pria berbahaya pemimpin gangs terbesar di Chicago."Fox." Gio menganggukkan kepalanya pada Marco. "Bukankah ada kode etik atau semacamnya yang menjabarkan kau dilarang melahap Tuan Pu
***"Marco." Isa mendekati Marco yang sedang menikmati sarapan setelah keduanya menyelesaikan ronde pagi bersama. Isa menyandarkan tubuhnya di sudut meja makan."Uhm.""Jika aku punya satu permintaan, apa kau akan mengabulkannya?""Tentu saja, Tuan Putri." Marco menggeser kursinya. Marco mendudukkannya di atas meja dan wajahnya sejajar dengan paha gadisnya."Bawa aku kabur.""Kemana?" Marco mengelus betis Isa yang kini diraihnya agar bertumpu di atas pahanya."Entahlah. Kau pernah mengatakan akan membawaku kabur jika Tesh tidak merestui hubungan kita." Isa mengacak rambut bergelom
***[Makan malam bersama Tesh.]Marco mengenggam erat tangan Isa sambil menaiki undakan tangga batu menuju meja semi outdoor yang sudah disiapkan Tesh. Pelayan mengawal keduanya dan menunjukkan meja untuk tiga orang yang menghadap pada pemandangan dermaga yang indah pada malam hari.Lampu-lampu kecil berpendar kekuningan menyelimuti keduanya. Malam ini akan menjadi sangat romantis, jika tidak ingat bahwa kedatangan Marco dan Isa adalah untuk memenuhi tugas negara menemui Tesh, sang pemimpin kartel terkejam di sepanjang wilayah Amerika Selatan.Pelayan menggeser kursi untuk Isa dan mempersilahkannya duduk. Marco meraih kursi disisinya. Mereka masih harus menunggu kehadiran Tesh.
***Setelah kepulangan Zayden, mereka kembali berdua. Keduanya sedang menikmati sisa petang di balik sofa di ruang tengah."Kau masih belum ingin pulang, Princess?" Marco mengelus paha Isa yang sedang ditumpangkan di pahanya.Isa menggeleng."Kau tidak nyaman tinggal di rumah besar itu atau kau belum siap bertemu Tesh untuk sementara waktu ini?" Marco membidik pertanyaannya langsung."Tesh." Isa menjatuhkan jawaban dengan tegas."Kau sudah sempat menghubunginya sejak kemarin?"Isa menggeleng. "Tesh menghubungiku tadi siang ketika aku sedang menyusuri
***Tirai tipis di jendela kamar Marco yang berhadapan langsung dengan laut berkibar mengikuti angin sepoi. Isa masih memejamkan mata dan dengkurnya perlahan menjadi melodi pagi hari untuk Marco.Sinar matahari mulai memasuki dan menghangatkan suasana kamarnya yang minimalis. Dengan nuansa cat dinding dan furniture yang didominasi warna putih dengan kesan minimalis dan modern.Marco merasa hidupnya sudah lebih dari cukup. Ujung bibir gadisnya tidak lagi merenggut seperti dua malam terakhir. Kelegaan menjalar di hatinya.Luka hati dan rasa bersalah akan selalu mengikuti gadisnya. Peristiwa penculikannya kemarin pasti sangat membekas di sanubari Isa. Inilah adalah konsekuensi berat dari nama belakang keluarga yang harus disandang seseorang. Takdir yang tidak bisa dipilih s
***Dengan segera, Isa selesai diperiksa oleh Doc dan diberi sedikit obat penahan nyeri untuk beberapa memar di leher sebagai akibat cekikan Vargas. Marco tidak memiliki pilihan selain membawa pujaan hatinya pulang ke rumah peristirahatannya di Pantai Timur. ‘‘Entah mengapa, Isa menolak pulang ke kediamannya sendiri.’Marco bersyukur bahwa Isa hanya mengalami cedera ringan pasca perang terbuka dengan Vargas. Tapi persoalannya, meski hanya luka ringan Isa menunjukkan tanda-tanda yang kurang baik. Pandangan kosong yang membayang di kedua mata indah itu menjadi alasan utama mengapa Marco tidak berminat bergeming sedikit pun dari sisi Isa.Ketika mereka sampai di rumah Marco pada penghujung sore, Isa bahkan tidak mengeluarkan suara. Gadis muda itu