***
Lalu lintas Houston pada akhir minggu sudah pasti padat merayap. Tinggal di kota besar dan dikenal sebagai salah satu kota terbesar di Amerika menjadi tantangan tersendiri.
Isa Reyes, gadis dua puluh lima tahun yang cekatan itu, terburu-buru keluar dari salah satu bangunan sekolah elit yang saat ini menggunakan jasanya.
Isa bersiul dari pinggir jalan memanggil taksi. Hari ini dirinya tidak menyetir karena berencana langsung mengejar penerbangan setelah menyelesaikan pertemuan dengan pihak sekolah.
Satu taksi melewatinya. Isa menggeleng dan mulai tidak sabar. Ia kembali berkonsentrasi mencari taksi kosong.
Taksi kedua melewatinya kembali. Isa mulai mengumpat dan emosi jiwa.
Dari kejauhan, ia melihat taksi yang ketiga. Berdoa dalam hati, agar yang pilihan ketiga mengangkut dirinya segera. Masih gagal total. Isa pasrah.
Percobaan terakhir, taksi keempat yang dilihatnya. Isa mengangkat tangan kanannya.
Berharap taksi berwarna kuning itu akan berhenti dihadapannya. Harapannya terkabul. Meski sempat melewatinya beberapa meter lalu menurunkan penumpang.
Tidak buang waktu, Isa berlari kecil sambil menyeret koper.
***
Supir taksi melalui kaca spion melihat Isa yang tergesa berlari menuju taksinya. Ia lalu membuka bagasi belakang mobil dan membantu gadis itu mengangkat kopernya. Isa segera masuk ke kursi penumpang diiringi supir yang sudah siap siaga di belakang setir.
"Siang, miss. Kemana tujuan?"
"Bandara." Isa meraih nafasnya.
"Tolong ngebut, Sir! Jangan sampai saya ketinggalan pesawat!"
"Tancap!" Supir taksi segera memindahkan kopling dan menekan gas.
Mereka melaju dengan kecepatan menengah karena lalu lintas Houston pada akhir pekan sangat ramai.
***
Kalau saja Audrey bukan teman satu angkatan semasa kuliah, tentu permintaan rapat dadakan hari ini tidak akan dikabulkan olehnya. Isa bergumam dalam hati.
Pekerjaannya sebagai preschool photographer membuat Isa harus banyak bersabar memenuhi sederet permintaan pihak sekolah dan orangtua murid. Mengabadikan senyum anak-anak melalui kamera miliknya menjadi sebanding dengan segala kerja kerasnya.
Isa melirik jam tangan. Ia berharap masih cukup waktu untuk mengejar penerbangan menuju Cabo di San Lucas.
Perjalanan liburan ini atas undangan Reese, sahabat kesayangannya yang akan melangsungkan pernikahan disana. Meski ia tidak memiliki pasangan untuk dibawanya ke pesta, Isa lebih bersemangat dengan rencana berjemur dan bersantai habis-habisan dibawah matahari Karibia.
***
Supir berhasil mengantarkannya ke bandara dalam dua puluh menit. Perjalanan liburannya terselamatkan. Yes!
Setelah supir membantu menurunkan koper dari bagasi, Isa menghadiahinya lima puluh dolar, dua kali lipat dari ongkos seharusnya. Isa sedang berbaik hati karena harinya terselamatkan oleh supir yang cekatan.
Isa mulai menyeret koper dan memasuki pintu masuk bandara. Untungnya ia sudah melakukan web check-in sehingga tidak perlu mengantri untuk mendapatkan boarding pass.
Isa mengantri sebentar di konter bagasi dan menyerahkan kopernya pada petugas berjaga. Setelahnya, ia berjalan santai menuju ke business lounge untuk penerbangan kelas bisnis.
Namun, mendadak saja langkahnya dihentikan tiga orang lelaki tegap. Ketiganya berpakaian jas formal berwarna hitam senada dengan sepatu lengkap dengan earpiece yang menggantung di masing-masing telinga.
Isa mendongak pada salah satu lelaki yang berdiri paling depan. Ia hanya mengangkat alisnya.
"Selamat siang, Nona. Perkenalkan nama saya, Jett. Saya bertugas untuk mengawal anda kembali ke Dallas. Ini pesan langsung Nyonya Rivera." Pria itu bernama Jett itu mengenalkan dirinya pada Isa.
Isa merapikan letak kacamata hitamnya sambil mencerna apa yang sedang disampaikan pria bernama Jett itu. Kecurigaannya tidak langsung ditunjukkan.
Pria bernama Jett ini terlihat tampan. Meski demikian, tidak ada alasan baginya untuk segera mengikuti permintaan yang disampaikan pria tegap berbusana formal lengkap dengan kacamata hitam menghiasi wajahnya.
Jangan tergoda dengan ketampanan, siapa tahu pria ini pembunuh berantai yang sedang mengincar dirinya, begitu Isa berkata dalam hati.
***
Tanpa pikir panjang ia segera meraih ponsel dari dalam tas tangan dan menekan nomor Teresa Rivera, tantenya.
Drtttt! Belum sempat membuka kunci layar, ponselnya bergetar lebih dulu dengan nama Tesh muncul di layar ponsel.
“Isa.” Suara perempuan di ujung telepon menggelegar.
"Nyonya Rivera, bisa membantuku memahami situasi ini? Saat ini didepanku ada tiga lelaki yang menghadang perjalanan liburanku ke Cabo. Mereka menyuruhku pulang ke Dallas. Bagaimana kau bisa menjelaskan ini, Nyonya?" Suara Isa ketus dan wajahnya tegang.
“Penjelasan dirumah. Sekarang pulang!”
"Bagaimana mungkin aku pulang ke Dallas? Sedangkan, pesawatku menuju Cabo akan terbang dalam satu jam.” Isa mencoba menahan diri dan mengatur nafasnya, “Tesh, sahabatku akan menikah pada akhir minggu ini dan aku pengiringnya."
“Tidak ada alasan. Kau tidak memiliki banyak waktu. Terlalu berbahaya membiarkanmu pergi sendiri.”
Isa panik dan tidak berkutik. Jika Tesh sudah berkata A, maka semua orang wajib patuh terhadap keputusannya.
“Isa, listen to me! Pulang. Sekarang. Nyawamu taruhannya!”
Klik! Sambungan telepon diputus dengan sengaja oleh Tesh.
Belum sempat Isa membantah, pembicaraan sudah diputus sepihak.
Argh! Isa mendengus kesal. Rasanya ia ingin membanting ponsel dalam genggaman dan dengan sengaja melukai salah satu dari tiga kepala man in black yang sudah diutus Tesh untuk menjemputnya pulang.
***
Isa melirik smartwatch di pergelangan tangan kirinya. Tiga menit menguap begitu saja. Ia masih berdiri menghadap jendela besar yang menyuguhkan pemandangan landasan pacu pesawat. Terlihat tiga sampai empat pesawat yang sedang parkir dan hendak mengangkut penumpang.
Lima menit berlalu dan Isa masih menyusun rencana kabur. Ia tetap harus pergi ke Cabo sesuai rencana awal. Kemarahan Teresa Rivera—Pemimpin Kartel Wilayah Selatan yang terkenal kejam—akan dihadapi Isa setelah kepulangannya dari San Lucas minggu depan.
Sepasang matanya bergerak memperhatikan venue ruang tunggu eksekutif. Tersirat beberapa ide kabur yang dapat dilakukan Isa untuk mengelabui tiga utusan Tesh.
Ujung bibirnya tersenyum dan sambil menaruh ponsel ke dalam tas. Isi kepala sudah dipenuhi strategi kabur agar dirinya tetap bisa terbang ke San Lucas dan menghadiri pernikahan sahabatnya.
Isa memandang Jett dengan dingin. “Baiklah, Jett. Kita pulang." Isa berbalik menuju eskalator.
"Lewat sini, Nona." Jett mengangguk dan mempersilahkan Isa agar berjalan di depannya.***
Add this book to your library! Love and Vote!
*** Isa merasa strateginya akan berhasil dengan lancar. Ia sudah menyusun skenario untuk mengelabui Jett dan dua pengawal lain. Tok! Tok! Tok! Sepatu hak tingginya menderap lantai bandara dengan percaya diri. Andaikata, mitra kerjanya tahu bahwa sesungguhnya ia adalah satu-satunya pewaris Kartel Rivera. Sebagian besar dari mereka mungkin akan memutus kontrak dan tidak menggunakan jasa fotografinya di masa depan. Lagipula orang tua mana yang sudi membiarkan anak balitanya dipotret oleh orang dengan latar belakang keluarga seperti Isa? Alasan ini pula yang membuat Isa merahasiakan jati diri dan nama keluarga Ayahnya. Sejak kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan, Isa hanya mengenakan
*** Tok! Tok! Pintu kamar Isa diketuk pelan. "Isa?" Tesh memanggilnya dari balik pintu. "Madre." "Kau sudah bangun?" Isa mengangguk. "Ya." Mata Isa tertuju pada perempuan pertengahan empat puluhan yang dia panggil Madre. Ibu. Panggilan hormatnya untuk Teresa Rivera. Pemimpin kartel narkoba terbesar di sepanjang pantai Amerika bagian selatan. Tesh bergerak mendekati Isa yang berusaha duduk dan mengerjapkan matanya.
*** Marco mengakhiri rapatnya dengan Teresa setengah jam lalu. Sambil berjalan mengelilingi rumah dan setiap sudutnya, Marco kembali mengingat pertemuannya dengan Isa kemarin sore di Bandara. Tidak cukup mulus, tapi baiknya kini Tuan Putri akan mengingat siapa dirinya. Cara perkenalan yang sangat bukan mencerminkan dirinya. Marco tidak pernah seantusias itu untuk menaklukan seorang gadis. Apalagi itu adalah keponakan tunggal Teresa Rivera. Sang pewaris tunggal kartel Rivera. Kalau dirinya sudah cukup berbahaya, maka Isa Reyes Rivera adalah bahaya itu sendiri. Tapi, apalah artinya hidup kalau kau tidak melibatkan dirimu dalam suatu bahaya, Bung! Begitu percakapan Marco dengan dirinya sendiri. *** Sama seperti pertemuan mereka pagi ini, Marco bisa merasakan tatapan
*** Marco sudah menggulung lengan kemejanya. Setelan jasnya basah kuyup gara-gara gadis manja itu. Ia menghabiskan sepanjang hari di ruang kerja menilik hasil rekaman CCTV ketika tiga pengawal Isa diserang habis-habisan. Apa serangan pertama ini hanya sebuah peringatan pada keluarga Rivera? Belum ada setengah hari keduanya saling mencakar. Suara Isa kembali memecah keheningan di sepanjang lorong menuju ruang kerja Marco. "Marco, dimana kau?" teriak Isa dari ujung lorong. Marco meletakkan berkas yang sedari tadi dipelajarinya. Ia harus menyiapkan amunisi sebelum kembali bertarung dengan gadis manis itu. "Tunjukkan batang hidungmu! Dasar brengsek!" Umpatan Isa diakhiri dengan ketukan keras di pintu. Brukk! Brukkk! Bruukkk! "Marco!" Marco menunggu dua detik setelah teriakan
*** Marco memutuskan merebahkan kepalanya di punggung sofa sambil menghitung sisa waktu sebelum Teresa memburunya. Berkata hal sebaliknya hanya akan menjadi bumerang. Tidak ada kesempatan untuknya membela diri. Tok! Tok! Siapa lagi yang mengetuk ruang kerjanya. "Masuk." Marco duduk dan mengalihkan pandangnya ke arah pintu. Seketika sosok adik bungsunya masuk ruang kerjanya. "Hei, kak! Aku langsung menuju kesini begitu misi terakhir kita di Vermont tutup buku!" Zayden Fox menyapa dengan wajah antusias. Ada yang aneh dengan adiknya, Marco mencurigai sesuatu. Mengapa wajahnya terlihat sangat antusias? Padahal penerbangan Vermont menuju Dallas cukup menyita waktu. "Bagaimana perjalananmu?" Marco bertanya pada adiknya dengan kepeningan yang sedang dirasakannya akibat genc
*** Dua hari berlalu sejak konfrontasinya dengan Isa di ruang makan. Tidak ada interaksi berarti antara mereka selain tidak sengaja berpapasan. Keduanya bahkan menolak saling menyapa. Marco sengaja menyibukkan diri berjam-jam di ruang rapat bersama Jett, Ash dan Talon. Berusaha menelusuri dalang dibalik penyerangan pengawal dan ancaman penculikan terhadap Isa. Terdengar suara terbahak dari ruang makan. Marco yang sedang menuju ruang rapat menghentikan langkahnya di lorong. Sosoknya terlindungi pilar besar menuju area makan. Mengamati apa yang sedang terjadi disana. *** "Ayolah, Z! Hentikan, cukup! Geli, haha!" suara Isa terdengar kegelian. "Belum cukup, Putri. Ini tidak adil jika dibandingkan dengan apa yang sudah kau lakukan padaku." "Dasar pendendam kau, Z!
💚💚💚 Marco menghabiskan cangkir ketiga kopi hitamnya untuk pagi ini. Ia menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan. Tidurnya semalam bertahan hanya tiga jam. Bayangan gadis yang saat ini serumah dengannya mengusik lelapnya. ***Isa menghampirinya dengan balutan gaun biru muda yang membuat mata coklatnya semakin kentara. Menyentuh lengannya lembut dan berakhir pada mengaitkan jemari dalam genggamannya. Ia tahu ini merupakan bagian bunga tidur tapi mengapa Isa terasa begitu nyata. Suara merdunya berbisik, "Memohonlah padaku dan hasratmu akan kupuaskan!" Marco menelan ludah dan menarik Isa kedalam pelukannya. Gadis itu balas memeluknya dan membenamkan wajahnya ke sela leher Marco. Ia me
*** “Sudah awasi semua kamera pengawas menuju bandara?” Marco mengajukan sederet pertanyaan pada anak buahnya. Mereka sedang mempersiapkan diri berangkat menuju San Lucas. "Sudah." "Area penerbangan, clear?" "Noted, bos!" "Periksa awak pesawat dan landasan?"
PS: Part ini full dari sudut pandang Isa saat Marco menyatakan cinta. Extra Part untuk menjelaskan mengapa Isa alergi dengan tiga kata ajaib dan menolak pernyataan cinta Marco.***Seharian ini, Marco terlihat aneh. Ketika Isa menangkap pandangannya, Marco lalu akan mengalihkan tatapannya ke arah lain. Bergurau dengan adiknya. Meski tidak lucu. Tapi, itulah yang menarik dari Marco. Kau akan ikut tertawa dengannya.Pasti ada yang sedang disembunyikan lelaki di hadapannya! Jika Isa bertanya langsung, tentu Marco akan mengelak. Lagipula, kalau ada sesuatu yang penting ia akan langsung menjelaskan padanya tanpa perlu diminta."Kapan kau akan pulang, Zayden?" Marco mengangkat alisnya.Ini adalah pertanyaan ketiganya dalam dua jam
***Hampir menuju petang, akhirnya Marco bisa mengusir pulang adik bungsunya keluar dari rumah. Zayden kadang suka lupa diri kalau Marco dan Isa memiliki ruang privatnya sendiri.Ketika Isa memutuskan untuk mandi, Marco menyiapkan kejutan yang sudah disiapkannya semalaman.Untuk mengalihkan perhatian Isa sementara, Marco menyiapkan bath tub yang sudah dipenuhi air hangat dan aroma coklat kesukaan gadisnya. Rencana petang ini hampir batal karena Zayden menolak beranjak dan terlihat masih betah dirumahnya. Sia*lan!Marco tidak lupa menyetel sederet playlist agar Isa nyaman menikmati waktunya didalam. Bahkan, ia sempat mengunci kamar mandi dari luar saking paniknya kalau-kalau Isa menyelesaikan sesi berendamnya dan kel
***Bagaimana seseorang memandang kekuasaan menjadi menarik ketika Marco menggandeng tangan Isa memasuki ruangan luas ini.Marco merasa ia menjadi lelaki paling berkuasa di ruangan ini.Tepat, dia, Marco Fox, Sang Pengawal Pribadi Tuan Putri. Lelaki terpilih itu. Lelaki yang mengamit jemari sang Tuan Putri untuk mengantarnya menuju singgasananya.Malam ini Isa mengenakan setelan bodysuit berbahan sintetis kulit berwarna hitam yang mencetak tubuh ranumnya. Atasan yang membalut tubuhnya hanya waistcoat dengan belahan dada yang sangat rendah. Perhiasan choker berlian menghiasi lehernya yang jenjang. Dengan heels yang cukup tinggi, Isa nampak nyaman dengan pakaian yang dipilihnya.Tesh mengirimkan gaun yang diantar anak bua
***"Ayolah, Princess! Aku melarangmu melakukan pertunjukkan selama kalian masih berada di sekitar keponakan kecilku." Suara Gio memecah aktivitas Marco dan Isa.Marco mengeluarkan suara protes. Isa menengadahkan kepalanya dan menangkap sepasang wajah jenaka Gio yang sangat dikenalnya sejak remaja. Sejak Brie dan Mischa kembali dalam hidupnya, Gio terlihat lebih ceria dan menyenangkan."Gio." Isa menyapanya meski masih berada dalam dekapan Marco."Isa.""Gio" Marco sudah berdiri tegak menghadap pria berbahaya pemimpin gangs terbesar di Chicago."Fox." Gio menganggukkan kepalanya pada Marco. "Bukankah ada kode etik atau semacamnya yang menjabarkan kau dilarang melahap Tuan Pu
***"Marco." Isa mendekati Marco yang sedang menikmati sarapan setelah keduanya menyelesaikan ronde pagi bersama. Isa menyandarkan tubuhnya di sudut meja makan."Uhm.""Jika aku punya satu permintaan, apa kau akan mengabulkannya?""Tentu saja, Tuan Putri." Marco menggeser kursinya. Marco mendudukkannya di atas meja dan wajahnya sejajar dengan paha gadisnya."Bawa aku kabur.""Kemana?" Marco mengelus betis Isa yang kini diraihnya agar bertumpu di atas pahanya."Entahlah. Kau pernah mengatakan akan membawaku kabur jika Tesh tidak merestui hubungan kita." Isa mengacak rambut bergelom
***[Makan malam bersama Tesh.]Marco mengenggam erat tangan Isa sambil menaiki undakan tangga batu menuju meja semi outdoor yang sudah disiapkan Tesh. Pelayan mengawal keduanya dan menunjukkan meja untuk tiga orang yang menghadap pada pemandangan dermaga yang indah pada malam hari.Lampu-lampu kecil berpendar kekuningan menyelimuti keduanya. Malam ini akan menjadi sangat romantis, jika tidak ingat bahwa kedatangan Marco dan Isa adalah untuk memenuhi tugas negara menemui Tesh, sang pemimpin kartel terkejam di sepanjang wilayah Amerika Selatan.Pelayan menggeser kursi untuk Isa dan mempersilahkannya duduk. Marco meraih kursi disisinya. Mereka masih harus menunggu kehadiran Tesh.
***Setelah kepulangan Zayden, mereka kembali berdua. Keduanya sedang menikmati sisa petang di balik sofa di ruang tengah."Kau masih belum ingin pulang, Princess?" Marco mengelus paha Isa yang sedang ditumpangkan di pahanya.Isa menggeleng."Kau tidak nyaman tinggal di rumah besar itu atau kau belum siap bertemu Tesh untuk sementara waktu ini?" Marco membidik pertanyaannya langsung."Tesh." Isa menjatuhkan jawaban dengan tegas."Kau sudah sempat menghubunginya sejak kemarin?"Isa menggeleng. "Tesh menghubungiku tadi siang ketika aku sedang menyusuri
***Tirai tipis di jendela kamar Marco yang berhadapan langsung dengan laut berkibar mengikuti angin sepoi. Isa masih memejamkan mata dan dengkurnya perlahan menjadi melodi pagi hari untuk Marco.Sinar matahari mulai memasuki dan menghangatkan suasana kamarnya yang minimalis. Dengan nuansa cat dinding dan furniture yang didominasi warna putih dengan kesan minimalis dan modern.Marco merasa hidupnya sudah lebih dari cukup. Ujung bibir gadisnya tidak lagi merenggut seperti dua malam terakhir. Kelegaan menjalar di hatinya.Luka hati dan rasa bersalah akan selalu mengikuti gadisnya. Peristiwa penculikannya kemarin pasti sangat membekas di sanubari Isa. Inilah adalah konsekuensi berat dari nama belakang keluarga yang harus disandang seseorang. Takdir yang tidak bisa dipilih s
***Dengan segera, Isa selesai diperiksa oleh Doc dan diberi sedikit obat penahan nyeri untuk beberapa memar di leher sebagai akibat cekikan Vargas. Marco tidak memiliki pilihan selain membawa pujaan hatinya pulang ke rumah peristirahatannya di Pantai Timur. ‘‘Entah mengapa, Isa menolak pulang ke kediamannya sendiri.’Marco bersyukur bahwa Isa hanya mengalami cedera ringan pasca perang terbuka dengan Vargas. Tapi persoalannya, meski hanya luka ringan Isa menunjukkan tanda-tanda yang kurang baik. Pandangan kosong yang membayang di kedua mata indah itu menjadi alasan utama mengapa Marco tidak berminat bergeming sedikit pun dari sisi Isa.Ketika mereka sampai di rumah Marco pada penghujung sore, Isa bahkan tidak mengeluarkan suara. Gadis muda itu