~Dalam hidup terkadang kita memang harus dipertemukan dengan orang-orang yang tidak tahu diri. Maka nikmatilah!"
Pakaian di dalam lemari tersusun rapi. Susunannya sudah sesuai dengan keinginan Danar. Disusun berdasarkan warna dan kegunannya. Pakaian kerja dengan pakaian kerja, pakaian untuk santai sore, disatukan dengan pakaian untuk santai. Bahkan pakaian-pakaian itu juga sudah tersusun rapi berdasarkan gradasi warnanya. Kinerja Sagita dalam merapikan pakaian di lemari memang patut diacungi jempol. Malam itu, bukan hanya susunan pakaian itu saja yang rapi, tapi susunan rencana Danar juga sudah rapi. "Kamu boleh ikut juga kok Git! Kumpul-kumpul sama temen aku. Udah lama jugakan kita enggak ngecamp. Camping ke alam itu juga bagus buat kamu yang tiap hari hanya menghabiskan waktu di rumah." Sagita menarik napas dalam-dalam. Udara yang dihirupnya seolah tidak berisikan oksigen melainkan hanya berisi gas kekecewaan. Menghirupnya hanya membuat napas Sagita kian sesak. Jelas sekali tadi mereka berdua masih membahas soal rencana pindah rumah. Danar malah membelokkan topik pembicaraan ke rencana camping dengan teman-temannya. "Jangan mengalihkan pembicaraan Mas Danar! Aku cuman mau pindah rumah. Bagiku kalau kita sudah bisa pindah dari rumah ini, itu sudah lebih-lebih dari liburan camping di alam bebas. Aku bisa bebas sebebas-bebasnya. Bahkan jika aku sedikit kreatif aku bisa memasang tenda di dalam rumahku sendiri. Hei, siapa yang mau melarang? Tidak ada. Cuman kita berdua di rumah. Beda cerita kalau kita di rumah ini. Yang ada ibunya Mas akan meneriaki aku orang gila karena membuat tenda dalam rumah." "Kita enggak mungkin pindah sekarang, Git! Orangtua Mas belum setuju. Ya gimana lagi Git? Mas juga enggak mau kita terus-menerus sepeti ini." "Ya kalau enggak mau, kita pindah dong Mas. Apa susahnya tinggal pindah? Gampang kok kalau mau pindah Mas. Kita tinggal cari kontrakan yang dekat dengan tempat kerja kamu." "Git! Ayolah, ini udah malam. Mas bosan tiap hari harus membahas masalah pindah rumah. Rumah ini kurang nyaman apa coba? Kurang besar apa? Kamu udah satu tahun tinggal di sini. Seharunya udah bisa terbiasa dengan sikap orangtua Mas. Mas sadar jika terkadang orangtua Mas memang suka semberono kalau berbicara. Namun ya mau gimana lagi. Kita tetap harus menghormati mereka." Sagita hanya diam. Sebelah tangannya meremas bantal yang sedari tadi di pangkunya. Selalu begini, selalu menemui jalan buntu ketika mereka tengah membahas urusan pindah rumah. Seperti memang tidak ada celah untuk mereka keluar dari rumah itu. "Mas sudah mengiyakan ajakan teman-teman Mas untuk ikut kegiatan camping itu. Kamu sendirikan tahu kalau mas ini mantan anak MAPALA, Mahasiswa pecinta alam. Jadi enggak ada salahnya dong kita sekali-sekali menikmati suasana alam bersama teman-temannya Mas. Ayolah!" Sagita mengangguk. Dia tidak keberatan sebenarnya untuk urusan pergi camping bersama dengan teman-temannya Danar. Ini bukan kali pertama Sagita diajak oleh suaminya untuk berkemah bersama teman-temannya. Bebaerapa kali Sagita memang sering diajak. "Banyak teman perempuan Mas Danar yang ikut?" "Cuman dua. Itupun gebetannya mereka, Yoga sama Jidan. Nanti kamu tidur di tenda bareng sama mereka ya! Mas gabung bersama teman-temannya Mas yang laki-laki." "Oke! Enggak masalah Mas. Sagita ikut maunya Mas aja." "Nah, gitu dong Git! Kamu tuh harus nurut kalau jadi istri. Kalau seperti inikan Mas senang. Memang rasanya Mas enggak salah pilih istri. Kamu istri yang paling tepat buat Mas." Danar mengedipkan matanya. "Iya okelah Mas. Enggak masalah juga sih kita pergi camping. Bila perlu yang lama sekalian. Biar aku bisa lama ninggalin neraka ini." Sagita sibuk berbicara dengan dirinya sendiri di dalam hati. Dia justru ingin cepat acara camping itu diadakan. Tentu agar dia bisa pergi menyegarkan pikiran. Melarikan diri dari kenyataan. Tok! Tok! Tok! Seseorang mengetuk pintu kamar Sagita dan Danar. Sagita melangkahkan kaki dengan cepat menuju pintu. Jika terlambat sedikit saja, bisa berbahaya. Mertuanya pasti akan marah. Pernah sekali dia sedikit lama untuk membuka pintu. Mertuanya langsung marah besar sampai membanting-banting barang di rumah. Hal itu yang membuat Sagita merasa trauma jika lama membuka pinta kamar. "Iya Pak! Ada apa ya?" tanya Sagita pada bapak mertuanya. "Danar mana? Itu ada perempuan di depan rumah. Mobilnya mogok, Bapak yakin itu mobil harus didorong dulu baru mesinnya bisa nyala. Bapak sudah tua, enggak kuat mendorong sendiri. Tetangga kita Pak Parman juga enggak di rumah. Kasihan perempuan itu. Mana sudah malam lagi ini." "Oh iya Pak! Sebentar!" Tidak menunggu lama. Danar segera keluar, ingin membantu mendorong mobil yang mogok itu. Sagita juga ikut keluar penasaran dengan situasinya. Sebuah mobil jenis sedan terparkir di sebuah jalan tepat di depan rumah. Seorang wanita dengan rok merah muda selutut dan baju kemeja putih sebahu terlihat sedang mengelap keringat di dahinya. Wajahnya jelas tampak cemas dengan kondisi mobil itu. Begitu melihat wanita itu, Danar langsung memekik. "Delia!" "Hei, Danar? Kok kamu ada di sini?" Delia mengerjapkan matanya seolah tidak percaya dirinya melihat Danar. Wajahnya terlihat sangat bahagia sekali. Sementara itu Sagita justru sebaliknya. Dia merasa ini sebuah kebetulan yang sangat menjengkelkan. "Rumah kamu di sini?" tanya Delia dengan nada setengah tidak percaya. "Iya Del. Aku tinggal di sini. Kamu sendiri ngapain malam-malam di sini Del? Terus ini mobil kamu kenapa?" "Aku tadi habis berkunjung dari rumah teman Dan. Dan enggak tahu ini mobil kenapa. Mau aku bawa ke bengkel, tapi bengkel terlalu jauh. Aku bingung harus minta tolong ke siapa." "Kamu tenang aja ya Delia! Ini mobil pasti bisa kok. Coba sebentar biar aku cek dulu kondisinya." "Kamu tahu soal mobil?" Delia bertanya dengan penuh harap. Berharap jika Danar paling tidak bisa membuat mobil itu berjalan sampai bengkel. "Tidak terlalu banyak tahu. Tapi coba aku periksa." "Loh! Kalian saling kenal ya?" Bapak bertanya. "Iya Pak! Ini Delia, teman lama Danar. Dulu kami satu SMA." "Oh gitu! Kalau gitu kamu coba benarin dulu ini mobilnya Danar. Kamu lihat apa yang salah. Delia masuk saja dulu di rumah. Istirahat. Wajah kamu terlihat lelah sekali. Git! Gita! Siapin minum buat Delia! Buruan! Kasihan perempuan cantik seperti dia ini malam-malam malah terlunta-lunta di jalan." "Gimana-gimana? Terlunta-lunta? Masih seger gitu kok!" Sagita berusaha untuk berdamai dengan hati kecilnya sendiri. Dia hanya mengangguk tipis untuk kemudian segera beranjak menuju dapur. "Hei Git! Kamu belum tanya ini Delia mau minum apa," ibu mertua Sagita berteriak. "Manawari mau minum apa? Masa iya pakai acara ditawari segala. Terserah aku dong mau buatin dia minuman apa. Syukur dikasih minum." "Kak Delia mau minum apa?" tanya Sagita pada Delia yang sudah duduk di atas kursi teras rumah. "Jus jeruk kalau ada ya! Gulanya jangan banyak ya. Udah gitu pakai es. Esnya juga sekedar aja. Jangan terlalu dingin tapi juga jangan terlalu normal suhu airnya. Oh iya, peras jeruknya juga hati-hati ya! Jangan sampai ada biji jeruknya yang termasuk ke gelas. Biji jeruk itu rasanya pahit. Saya enggak suka yang pahit-pahit." "Whaaat? Kok akhlakless banget ini orang! Enggak ada akhlak! Masih untung aku mau buatin minum. Malah minta yang enggak-enggak. Kurang ajar! Enggak aku kasih racun tikus aja minuman kamu itu udah syukur! Makhluk macam apa dia ini?" Tanpa senyum Gita segera beranjak menuju dapur. Tangannya gatal sekali seperti ingin memukul-mukul sesuatu. Dia ingin melampiaskan kekesalannya. Sayangnya Sagita tidak tahu harus melampiaskan kekesalannya kemana. Jadilah malam itu adalah malam yang menyebalkan bagi Sagita.~Sekali api cemburu telah menyala, api itu akan sulit untuk dipadamkan~ Danar menggeleng. Tampaknya kondisi mobil itu memang tidak baik. Dia tidak bisa memperbaikinya. Mobil itu harus di derek ke bengkel atau paling tidaknya, Danar harus memanggil teknisi bengkel untuk datang. Sayangnya hari sudah malam. Orang bengkel terdekat tentu tidak akan mau datang jika sudah di atas jam sembilan malam. Danar tahu benar tabiat para orang bengkel di kawasan ini."Enggak bisa diperbaiki ya Dan? Kalau didorong dari belakang juga enggak bisa ya?" tanya Delia dengan wajah putus asa sambil menenteng segelas jus jeruk."Sepertinya gitu Del.""Aduh! Gimana dong? Aku harus segera pulang. Besok ada jadwal operasi di rumah sakit. Aku harus istirahat biar bisa fokus. Operasi bukan pekerjaan mudah, menyangkut hidup mati seseorang. Seharusnya aku dengerin kata Papa aku buat beli mobil baru. Bukannya malah mempertahankan mobil butut in
~Siapa nyaman dengan siapa? Siapa berjodoh dengan siapa? Biar waktu yang menjawab~Sreeet! Sreeet!Danar sibuk mengunci tas ransel yang akan dibawa untuk kegiatan camping. Semetara itu Sagita sibuk merapikan beberapa barang bawaan yang juga tidak boleh tertinggal. Tempat minum khusus, senter kecil, sarung tangan dan sepatu juga disiapkan oleh Sagita. Keberangkatan mereka menuju ke kegiatan berkemah akan dimulai nanti sore. Titik kumpul berada di rumah Yoga. "Kenapa sih, kamu harus mengajak Delia juga Mas?" keluh Sagita sambil tangannya memperbaiki tali sepatu Danar."Biar Yoga sama Jidan senang. Mereka loh yang pengen banget deket sama Delia.""Tapi aku enggak suka Mas kalau Delia itu ikut. Aku cemburu Mas!"Tidak ada basa-basi bagi Sagita. Dia langsung jujur dan terus terang pa
~Setiap perjalanan akan mengukir sebuah cerita. Apalagi perjalanan menuju bukit cinta~Mendekati arah bukit yang mereka tuju, rumah-rumah mulai jarang. Rumah-rumah dan jajaran gedung-gedung mulai tergantikan pemandangan pepohonan yang rapat. Pohon-pohon ini mulai menyejukkan mata. Bukit yang mereka tuju bernama Bukit Cinta. Sebuah bukit yang cukup tinggi dan terkenal di kawasan ini. Konon katanya, bukit ini merupakan tempat untuk mencari cinta sejati. Setelah berkunjung ke bukit ini, orang-orang akan menemukan cinta sejatinya. Namun itu hanya sebatas konon. Sagita tidak terlalu percaya. Kalaupun benar juga untuk apa? Toh cinta sejati Sagita juga sudah ditemukan, yaitu Mas Danar.Sagita satu mobil dengan Mas Danar dan juga Delia. Sementara itu, Risa dan Cika satu mobil dengan Yoga dan juga Jidan. Mobil mereka terparkir di salah satu tempat penitipan mobil yang tidak jauh dari kaki bukit. Danar, Jidan dan Yoga sibuk menurunkan semua baran
~Butuh waktu untuk bisa sampai ke puncak sebuah bukit, begitu juga untuk bisa sampai ke puncak cerita~Begitu sampai puncak bukit, Danar, Jidan dan Yoga sigap dan cepat mendirikan tenda. Mereka harus bergegas agar bisa menikmati sunset dengan tenang nantinya. Ada 2 tenda yang harus mereka buat. Tenda pertama untuk rombongan pria dan tenda kedua untuk rombongan wanita.Sagita memutuskan membantu suaminya Danar dalam menyiapkan segala sesuatu keperluan untuk mendirikan tenda. Sementara itu, Delia hanya mengamati dari sisi yang cukup berjarak. Semilir angin membuat rambutnya terbang dengan lembut. Lalang-lalang yang ada di sekitarnya menyentuh-nyentuh kaki jenjang itu. Risa dan Cika sendiri malah memilih untuk berbaring di atas rumput.Delia sadar jika pemandangan dari atas bukit ini cantik sekali. Pepohonan hijau, sungai yang meliuk-liuk bagai ular dan burung-burung yang wira-wiri. Semuanya tampak indah, komposisi alam yang pas dan mampu
~Api unggun menghangatkan suasana malam yang dingin. Berbeda dengan api cintamu yang hanya akan membakar hubungan asmara orang lain~Nyala api unggun tidak terlalu besar. Warna jingga dari mentari yang tenggelam barusan digantikan dengan warna api unggun yang mulai menjilat ranting-ranting kering. Yoga sudah siap dengan gitar di tangannya. Gitar itu memang sengaja disiapkan sebagai senjata andalan. Senjata andalan merayu Risa atau boleh jadi juga untuk merayu Delia.Jreng...Jreng...Jreeeng..."Sayang, aku cinta padamu. Lihatlah aku dengan mata indahmu. Sayang akan kusebrangi laut Cina Selatan, asal kau bisa kumiliki ...""Halah Yoga, Yoga! Gaya sekali lagumu itu. Boro-boro mau menyebrangi laut Cina Selatan. Aku masih ingat waktu kau pacaran dengan si Sumi dulu. Disuruh datang ke rumahnya pas gerimis saja kau tidak mau. Takut basah, takut demam, takut batuk, takut pilek. Gaya kali lagumu itu.""Danar! Danar! Ak
~Dalam hidup, ada perasaan yang harus diungkapkan dan ada yang sebaiknya disembunyikan~"Makasih banyak ya Danar, udah kasih izin aku buat duduk di sini sama kamu.""Apa-apaan sih Del? Kalau mau duduk ya tinggal duduk aja. Siapapun bebas buat duduk-duduk di sini. Kamu belum mau berpisah sama suasana malam yang bagus ini ya?"Delia mengangguk. Suasana malam itu memang bagus sekali. Langit penuh bintang, angin malam tidak bertiup kencang dan suasana yang hening membuat siapa saja betah berlama-lama di samping api unggun itu."Kamu tahu Danar? Ada beberapa hal yang aku sesalkan ketika dulu kita masih SMA.""Apa? Apa yang harus kamu sesalkan Del? Bukannya kamu melewati masa-masa SMA dengan sangat baik? Kamu jadi idola di sekolah. Idola karena kamu pintar dan satu-satunya siswa yang berhasil lulus ke fakultas kedokteran. Selain diidolakan karena pintar, kamu juga banyak diidolakan karena ketangkasan kamu dalam
~Jangan pernah berdua-duaan dengan seseorang yang bukan muhrim, sebab bisa dipastikan, jika yang ketiganya adalah setan~ Udara segar merasuk ke dalam relung jiwa-jiwa yang tengah berbahagia. Sepagi itu, terlihat tiga orang wanita tengah bercengkrama dan bersendau gurau di atas bukit. Siapa lagi ketiganya jika bukan Sagita, Risa dan Cika. Mereka memang meninggalkan Delia yang masih tidur di dalam tenda. Delia yang tidur paling akhir, sehingga wajar saja jika dia juga yang bangun paling akhir pula."Kak! Ayo mandi ke bawah air terjun yang ada di sebalah sana!" Cika mengajak Sagita."Yakin? Sepagi ini mandi di situ apa enggak dingin?""Enggak kok Kak Git! Justru seger badan kita jadinya. Mumpung itu yang di dalam tenda laki-laki belum pada bangun." Risa berkata sambil mengedipkan mata."Terus Delia gimana?" tanya Sagita sambil menunjuk ke arah tenda."Tinggal aja Kak. Kasihan masih ngant
~Penyesalan memang selalu datang terlambat~Wajah Jidan dan Yoga tertekuk ke bawah. Mata mereka sama-sama hanya tertuju pada tanah. Sementara Cika dan Risa malah menangis karena panik. Jidan mengusap wajahnya yang kelu, mencoba untuk berdamai dengan situasi. Dengan sedikit menggigit bibirnya Jidan berusaha untuk menegakkan kepalanya."Kita harus bertanggungjawab." Jidan memecah keheningan sejenak yang mereka ciptakan sendiri."Maksudmu apa Jidan?" Yoga tidak mengerti."Yoga! Kita yang merencanakan kegiatan camping ini. Kita yang mengajak Danar dan Sagita untuk bergabung. Sekarang semuanya jadi berantakan.""Aku tahu Jidan! Tapi ini jelas bukan salah kita. Ini salah Danar. Gila dia itu. Apa isi otaknya? Bisa-bisanya dia melakukan tindakan kotor di atas bukit ini. Dan Delia? Coba jelaskan padaku gimana bisa wanita secantik dia melakukan tindakan kotor? Mesum dengan suami orang. Jenis wanita macam apa dia i
~Setiap cerita selalu memiliki akhir, entah itu akhir yang menyenangkan atau menyedihkan. Apapun akhir ceritanya, sebuah cerita tetaplah cerita. Itu adalah alur terbaik untuk setiap tokohnya~Gaun putih itu memang cantik. Namun tetap saja kecantikannya bertambah berkali-kali lipat karena digunakan oleh Sagita. Risa dan Cika juga tidak kalah cantik, mereka ada di barisan paling depan sebagai pagar ayu. Di sisi seberang sana juga tidak kalah luar biasanya. Ada pagar bagus yang dipimpin oleh Dino dan Doni. Ini adalah hari pernikahan Sagita dan Jidan.Pernikahan mereka memang sempat tertunda selama beberapa Minggu hingga Sagita benar-benar bisa pulih. Namun begitu bisa pulih, Sagita dan Jidan langsung menyelenggarakan pernikahan di kebun milih Jidan."Kamu cantik Sagita." Jidan berbisik pada Sagita yang ada di sebelahnya. Mereka sesaat lagi akan sah menjadi suami istri. Tuan penghulu sudah ada di depan Jidan dan siap menjabat tangan Jidan. Jidan
~Dosa paling mengerikan yang dilakukan manusia adalah membunuh sesamanya sendiri~"Sagita..." Jidan memanggil Sagita. Sagita berusaha untuk membuka matanya pelan-pelan. Bagaimanapun ceritanya obat bius itu masih bekerja. Sagita melihat Jidan di depannya, dengan senyum mengembang dan mata yang berkaca-kaca."Kak," Sagita berkata lemah.Yoga, Dino dan Doni menarik napas lega. Satu kabar baik terbit. Sagita sudah sadar dan dokter bilang jika ia akan baik-baik saja. Hanya saja memang Sagita butuh waktu untuk bisa pulih."Terima kasih banyak Sagita. Terima kasih banyak kamu sudah bertahan." Jidan berkata pada Sagita sambil menatap mata Sagita lekat-lekat. Sungguh pandangan mata itu sangat romantis."Apa aku ada di surga?" Sagita bertanya pada sekitarnya."Ini masih di dunia Sagita. Ini masih di dunia. Ini masih di dunia yang sama tempat dimana orang-orang tega memperlakukan kamu dengan kejam. Walau aku berusaha me
~Dalam gelap sekalipun akan tetap ada cahaya harapan walau hanya setitik~Gelap, Sagita hanya melihat gelap, tidak ada cahaya sama sekali. Ia hanya bisa mendengar duru napas dan detak jantungnya. Sagita pasrah, ia merasa mungkin kini ia telah mati. Ia merasa jika ia hanya tinggal mendengar malaikan Izrail berseru. Benar saja, beberapa saat kemudian, Sagita melihat cahaya putih. Cahaya itu terang dan terasa lembut mengenai mata, tidak menyilaukan sama sekali. Cahaya itu mendekati Sagita, seolah punya kaki. Lalu cahaya terang tersebut menggumpal dan membentuk wajah dan tubuh manusia. Sagita menarik napas dalam-dalam. Ia seperti itu wajah siapa."Ayah, Ibu." Sagita memanggil nama itu. Cahaya itu menjelma menjadi wajah ayah dan ibunya Sagita. Kedua cahaya itu saling pandang dan lalu merentangkan tangannya ke arah Sagita. Sagita tersenyum dan berusaha untuk bangkit menyambut cahaya itu. Sudah lama ia menahan rindu pada ayah dan ibunya. Sudah lama seka
~Manusia dari zaman ke zaman tetap seperti itu tabiatnya, mereka saling menyakiti satu sama lain~Rumah itu cek. Jidan, Yoga dan yang lain memerika rumah itu dengan cermat. Hancur hati Jidan begitu melihat ada darah di lantai. Ia ngeri membayangkan bagaimana jika ternyata itu adalah darah Sagita."Jendela ini dibuka paksa dari luar. Itu artinya Sagita pasti melarikan diri lewat jendela ini. Hei, mereka menemukan jejak di sebalah sana. Ayo kita ikuti jejak itu dan mulai mencari dimana keberadaan Sagita. Kalian jangan ada yang tangan kosong. Bawa minilam pisau. Dan jangan jauh-jauh dari polisi karena mereka punya senjata. Kita tidak pernah tahu apa yang dibawa oleh Danar. Bisa jadi Danar memiliki senjata api. Dan itu bisa membahayakan kita semua. Kamu juga jangan gegabah Jidan. Jangan karena menuruti rasa khawatir kamu lalu kamu jadi lemah." Yoga memberikan pengarahan panjang lebar. Dan semua orang segera menuju ke arah jejak yang dikatakan oleh Yo
~Menyelamatkan seseorang dari bahaya adalah sebuah kebaikan besar~Hujan deras turun disertai angin kencang. Hal ini membuat perjalanan Jidan dan semua tim penyelamat untuk Sagita benar-benar terhambat. Yoga mau tidak mau bahkan harus mengurangi kecepatan mobilnya. Apalagi saat ini mereka melalui jalan yang berkelok-kelok dan kanan kirinya berbatasan dengan jurang."Kita harus lebih cepat Yoga." Jidan mendesak."Lebih cepat bagaimana? Mobil Doni yang ada di depan kita saja mengurangi kecepatan. Kamu enggak liat apa hujan segini derasnya? Jarak pandang terbatas Jidan. Kita memang akan menyelamatkan Sagita tapi bukan berarti kita yang jadi tidak selamat. Tenanglah!""Bagaimana aku bisa tenang membayangkan Sagita kehujanan di luar sana. Dengan hujan sederas ini dan tanpa tahu apa yang sedang ia hadapi sekarang. Bagaimana aku bisa tenang?""Ya Tuhan, kenapa jadi seperti ini? Apa hikmah di balik ini semua ya Allah. Per
~Mau tidak mau, suka tidak suka, rasa luka memang sakit~Danar mendengar suara panggilan dari bapak dan ibunya. Ia menuju ke sumber suara itu. Dan mendapati bapak dan ibunya yang tengah ketakutan. Danar justru menggelengkan kepala. Melihat ada Danar di bawah sana, Sagita semakin takut. Ia berpegangan dengan erat pada batang pohon dengan kuat."Pak Bu. Ngapain di sini? Kenapa malah cuman duduk, bukan malah bantu Danar cari Sagita. Apaan sih? Kalian enggak mau Sagita cepat ketemu apa?""Aduh Danar. Bapak ini bukan enggak mau bantu kamu. Kami tentu mau bantu kamu. Tapi lihat cuaca saat ini! Kamu lihat tidak. Hujan akan turun. Kita belum tentu bisa menemukan Sagita. Justru sebaliknya, kita bahaya saat ada di hutan hujan deras begini. Kita sebaiknya balik ke rumah Nak. Itu saran Bapak.""Apa? Balik tanpa hasil? Tidak Pak. Buruanku masih ada di luar sini. Justru cuaca yang seperti ini sangat menguntungkan kita. Sagita tidak akan b
~Berdoalah untuk kebaikan jangan untuk kejahatan~"Seberapa genting situasinya?" Yoga bertanya pada Jidan."Tadi Doni menjelakan. Katanya mereka dikejar dengan senjata dan orang yang mengejar mereka adalah Danar. Jelas sudah jika prediksi kita benar, Danar bedebah itu adalah dalang dari semuanya.""Apa aku bilang Jidan? Tidak mungkin salah lagi. Jadi apa si Arif temannya Doni itu bisa kembali dihubungi?""Tidak. Handphonennya mati.""Ah, sial. Mereka mungkin sengaja mematikan handphonenya karena sedang bersembunyi atau apa. Apa temannya Doni sendiri?""Iya. Dia sendiri. Terpisah dari rombongannya.""Hmmm. Mereka harus bertahan sendiri. Kita akan butuh waktu untuk bisa sampai ke sana tepat waktu. Tempat itu cukup jauh Jidan. Danar terlalu pintar mencari tempat yang susah dijangkau. Belum lagi kita harus jalan kaki ke dalamnya."Jidan mengangguk. Perjalanan mereka memang akan sangat
~Siapkan senjata terbaikmu, saat berada dalam bahaya~Danar berang. Tadi begitu tahu Sagita sudah tidak di tempatnya ia segera membangunkan ibu dan bapaknya. Danar merasa kecolongan. Ia tahu jika Sagita tidak mungkin bisa lolos sendiri. Siapapun yang membanti Sagita bagi Danar harus diberi pelajaran."Haduh bagaimana ini Danar? Kenapa bisa kita kecolongan? Siapa yang membantu Sagita? Kok bisa anak itu keluar dari rumah bahkan tanpa kita tahu? Pasti sudah ada yang bantu? Apa Jidan yang menemukan? Apa Yoga? Apa jangan-jangan polisi?""Tenanglah Bu. Kita harus mencari. Ibu dan Bapak ke arah sana dan saya akan cari ke arah sana. Kita harus menemukan Sagita. Siapapun yang membantu Sagita, tampaknya dia sendirian. Buktinya dia tidak berani menyerang kita dan hanya fokus menyelamatkan Sagita. Tapi kita harus waspada, sepertinya dia punya senjata atau bahkan sesuatu yang bisa dibuat untuk menghajar kita. Lihat saja dia bisa dengan mudah
~Terkadang orang asing juga bersedia membntu~"Dino, bangun, bangun Dino!" Doni membangunkan Dino yang sedang tertidur lelap. Dino yang merasa sangat mengantuk dan lelah karena mencari Sagita seharian tersentak mendengar jeritan dari Doni."Ada apa Don? Ada apa? Ada gempa? Kebakaran? Atau apa? Hah? Ada apa?""Kak Sagita. Arif menemukan Kak Sagita. Kita harus ke sana. Ke tempat mereka. Cepat, Din.""Arif? Arif mana? Arif siapa? Hah?""Arif. Teman aku yang polisi hutan itu. Dia menemukan Sagita di hutan. Di salah satu rumah yang ada di hutan. Katanya kondisinya cukup mengenaskan.""Apa? Mengenaskan? Tapi Kak Sagita masih hidupkan?""Masih. Masih hidup. Tapi lemah. Mungkin sudah lebih dulu disiksa. Kita harus segera memberi kabar ini pada Kak Jidan, Risa dan yang lainnya. Jadi ayo kamu harus bangun. Kita harus bergerak cepat."Doni langsung menuju ke garasi mobil. Dino ke kamar mandi