~Semakin kita ingin tidak memikirkan sesuatu, maka sesuatu itu akan semakin terpikirkan~ Suasana kota malam itu terlihat cukup ramai. Hari libur pasti membuat banyak orang yang menghabiskan waktu untuk jalan-jalan bersama keluarga. Lampu-lampu jalan bulat kuning, seolah menjelma menjadi bulan-bulan kecil. Menemani induk utamanya. Bulan asli yang menggantung di langit.
Sagita memilih untuk melemparkan pandangan matanya ke arah sang bulan. Hari ini ada dua hal yang terpikirkan oleh benaknya, pertama tentang mertuanya dan kedua tentang teman lamanya Danar yang bernama Delia. Sudah ditahan oleh Sagita sebisanya, agar dia tidak bertanya lebih dalam tentang Delia. Namun terkadang memang begitu, rasa penasaran manusia tidak bisa teratasi dengan cepat. "Satu sate padang dan satu mie goreng seafood!" Seorang pelayan sebuah restoran menyediakan makanan di meja tempat dimana Danar dan Sagita duduk. Danar menyambut cepat semua makanan itu. Dia sudah cukup lapar. Berbelanja ternyata cukup menguras energi baginya. Tanpa menunggu lama, sajian nikmat itu sudah masuk ke dalam perut Danar. "Ayo makan Gita sayangku! Tunggu apa lagi?" "Mas! Jadi dulu kamu satu kelas sama yang namanya Delia itu?" "Lah, kamu masih penasaran sama dia?" "Iya. Soalnya dia cantik banget. Pengen jadi cantik banget kayak dia." "Kamu udah cantik kok. Jadi mau cantik gimana lagi?" "Bilang aja kamu takut aku minta tambahan uang buat perawatan, kan?" "Eh, enggak ya! Hahahah! Kamu itu udah cantik Git. Secantik nenek sihir." "Mana ada nenek sihir cantik? Nagarang!" "Yaudah! Secantik berang-berang." "Berang-berang juga enggak cantik Mas!" "Secantik tupai!" "Au ah! Gelap!" "Hahahah! Git-Git! Kamu lucunya kok enggak ketulungan. Delia udah cantik dari zaman SMA dulu. Jadi primadona sekolah. Teman-teman aku, Yoga sama Jidan misalnya. Mereka tuh fans berat Delia. Apalagi pas Delia main basket. Cowok satu sekolah matanya melotot ke lapangan basket. Bayangin aja cewek secantik Delia pakai baju basket. Cantiknya enggak main-main." "Berarti kamu juga ikut melotot dong, waktu Delia main basket?" "Iya dong! Tapi itukan dulu. Sebelum aku ketemu sama kamu Git. Pas ketemu sama kamu, jatuh cinta sama kamu. Semua wanita di muka bumi mukanya jadi rata di mataku." "Rata? Mirip hantu dong kalau mukanya rata?" "Heheheh! Iya dong!" "Gombal." "Ya enggak masalah dong ngegombalin istri sendiri, daripada ngegombalin istri orang?" Salah satu yang membuat Danar mudah dicintai oleh Sagita adalah rasa humornya yang cukup baik. Danar suka sekali membawa Sagita ke arah percakapan-percakapan ringan dan hangat. Membuatnya nyaman dan tidak sanggup berpaling dengan pria lain. Makan malam itu berjalan baik, sempurna. Sampai tiba handphone Danar berdering. "Hallo Pak? Oh iya iya Pak! Kita pulang sekarang. Udah selesai kok belanjanya tinggal jalan arah pulang aja. Waalaikumsalam." "Siapa Mas? Bapak?" "Iya. Kita disuruh cepat pulang. Ada tamu datang ke rumah." "Siapa?" "Yoga sama Jidan." "Mau apa bertamu malem-malem ke rumah?" "Ya mana Mas tahu! Kangen mungkin sama Mas. Suami kamu inikan emang ngangenin. Dikangenin sama semua orang. Termasuk sama teman-temannya." Sagita mengeluh kecil. Bukan perkara kehadiran dua teman suaminya yang jadi masalah. Dirinya sudah kenal akrab dan dekat sekali dengan Yoga dan Jidan. Keduanya bahkan pernah jadi pagar bagus di pernikahan mereka. Namun Sagita urung untuk kembali ke rumah. Bagi Sagita kembali ke rumah itu serasa kembali lagi menuju ke neraka. Sayangnya, Danar sudah menuju kasir untuk membayar tagihan makanan mereka. Itu artinya Sagita tidak bisa lagi memperlama aktivitas mereka di luar rumah. Mereka harus pulang. Benar saja, sesampainya di rumah. Yoga dan Jidan sudah ada di teras rumah. Wajah mereka terlihat senang begitu melihat Mas Danar. Yoga melambaikan tangan. Mereka lalu beranjak membantu kami mengangkat semua bahan belanjaan masuk ke dalam rumah. Keduanya memang ringan tangan untuk urusan membantu. "Mau minum apa?" tanya Sagita yang sadar jika Yoga dan Jidan belum dibuatkan minuman oleh mertuanya. "Kita dikasih apa aja juga diminum. Kalau bisa kopi. Ada rencana mau bergadang sama Danar. Eh, kamu enggak marah, kan Git, kami pinjam Danarnya? Maklumlah bujangan seperti aku dan Yoga ini memang kadang enggak ada kerjaan. Terpaksa kerjanya gangguin suami kamu. Hahahah!" "Enggak apa-apa Kak Jidan. Aku maklum. Sebelum menikah sama Mas Danar aku juga udah janji enggak akan melarang dia berteman dengan siapapun setelah kami menikah. Apalagi Mas Danar lebih dulu kenal kalian daripada aku. Aku rasa, aku punya hak buat ngelarang. Toh, kalian juga mainnya di rumah. Bukan dimana-mana." "Aduh! Danar beruntung banget sih punya istri seperti kamu. Pengertiannya enggak nanggung-nanggung!" Jidan berkata sambil menyolek bahu Danar. Sagita segera menuju dapur. Dia membuatkan kopi untuk 3 pria dewasa yang sekarang sedang asyik mengobrol di teras rumah. Sesekali terdengar suara gelak tawa mereka ke telinga orangtua Danar. Keduanya juga senang anak mereka dikunjungi oleh teman-temannya. "Jangan pelit! Kasih itu kudapan juga buat mereka," kata ibu mertua Sagita. "Iya Bu." "Itu gulanya jangan kebanyakan. Kamu buat kopi apa mau buat permen?" "Iya Bu." "Ngaduk kopinya jangan ke arah kanan, tapi ke arah kiri." "Iya Bu." Dalam situasi seperti ini, Sagita memang sudah terbiasa untuk hanya bilang iya. Tidak boleh bilang yang lainnya. Nanti urusan jadi tambah panjang. Sagita lalu memberikan minuman yang telah dia sajikan ke teman-teman suaminya. "Git! Duduk sini dululah! Gabung-gabung sama kita," pinta Jidan pada Sagita. "Emang boleh Mas?" mata Sagita menuju ke arah Danar. "Luar biasa! Mau duduk aja minta izin dulu. Yoga! Luh cari istri yang model gini dong. Patuh dan taat sama suami." "Iya Dan! Santai aja kamu! Nanti aku cari yang seperti Sagita ini. Empat sekaligus bila perlu." "Halah gaya empat! Satu aja kamu enggak dapet-dapet," celetuk Danar. Tawa seketika menjadi pecah. Yoga menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Kisah percintaan Yoga memang selalu gagal dan gagal. "Kamu duduk aja Sayang! Gabung sebentar cerita-cerita," kata Danar pada Sagita. "Sayang. Kapan aku bisa memanggil anak perempuan orang pakai kata-kata sayang, ya? Hahahah! Duh, jadi pengen cepat-cepat nikah aku!" Jidan menertawakan dirinya sendiri. "Eh! Kalian tahu? Aku tadi bertemu dengan seorang wanita yang paling kalian ingat seumur hidup kalian." "Siapa?" kompak Yoga dan Jidan bertanya pada Danar. "Delia." "Sumpah Danar? Enggak bohong kamu?" mata Yoga langsung membesar. "Tuh tanya sama istri aku." "Serius Git?" Jidan mengkonfirmasi. "Iya benar Jidan. Tadi kita ketemu di pusat perbelanjaan." "Whaaat? Eh! Bagi nomornya dong! Nomor handphonenya dia." "Enggak ada Yoga!" "Kamu enggak minta?" "Enggak. Ngapain aku minta nomor dia? Aku udah punya istri. Harus jaga perasaan istri aku dong! Masa iya aku minta nomor handphone perempuan lain di depan istri aku." Mendengar perkataan Danar, senyum Sagita mengembang. Dia tidak menyangka jika ternyata Danar sangat menjaga perasannya. Dan hal itu membuat Sagita sangat senang. Dia senang jika suaminya itu mengerti jika dia memang sedikit cemburu dengan yang namanya Delia itu. Namun Jidan dan Yoga justru terlihat kesal. "Aduh! Kamu seharusnya minta dong nomornya. Iyakan Yoga?" "Betul itu Danar! Seharusnya kamu minta. Kamu emang enggak butuh nomor Delia, kamu udah punya istri. Kami ini jelas butuh. Siapa tahu Delia mau jadi istri aku atau istrinya Jidan." "Mimpi!" Danar tergelak. Gelak tawa mereka terhenti seketika ketika suara ibunya Danar terdengar. "Git! Gita! Sini masuk Nak!" "Iya Bu." Gita segera lari menuju ibu mertuanya. Sesampainya di dekat ibu mertuanya Sagita harus menelan kecewa. "Sana masuk kamar kamu Gita! Perempuan kok enak-enakkan gabung-gabung sama laki-laki. Itu mereka pasti ngobrol tentang urusan laki-laki. Kamu jangan ikut campur." "Tapi Mas Danar ngasih izin..." "Ih, lihat deh mantu kamu ini Pak! Dibilangin malah ngeyel. Sana masuk ke kamar!" Sagita akhirnya mengalah. Dia memilih untuk segera masuk ke kamar. Hatinya kesal sekali, namun mau bagaimana lagi? Jika tidak dituruti, mertuanya pasti akan marah.~Dalam hidup terkadang kita memang harus dipertemukan dengan orang-orang yang tidak tahu diri. Maka nikmatilah!"Pakaian di dalam lemari tersusun rapi. Susunannya sudah sesuai dengan keinginan Danar. Disusun berdasarkan warna dan kegunannya. Pakaian kerja dengan pakaian kerja, pakaian untuk santai sore, disatukan dengan pakaian untuk santai. Bahkan pakaian-pakaian itu juga sudah tersusun rapi berdasarkan gradasi warnanya. Kinerja Sagita dalam merapikan pakaian di lemari memang patut diacungi jempol. Malam itu, bukan hanya susunan pakaian itu saja yang rapi, tapi susunan rencana Danar juga sudah rapi."Kamu boleh ikut juga kok Git! Kumpul-kumpul sama temen aku. Udah lama jugakan kita enggak ngecamp. Camping ke alam itu juga bagus buat kamu yang tiap hari hanya menghabiskan waktu di rumah."Sagita menarik napas dalam-dalam. Udara yang dihirupnya seolah tidak berisikan oksigen melainkan hanya berisi gas kekecewaan. Menghirupnya h
~Sekali api cemburu telah menyala, api itu akan sulit untuk dipadamkan~ Danar menggeleng. Tampaknya kondisi mobil itu memang tidak baik. Dia tidak bisa memperbaikinya. Mobil itu harus di derek ke bengkel atau paling tidaknya, Danar harus memanggil teknisi bengkel untuk datang. Sayangnya hari sudah malam. Orang bengkel terdekat tentu tidak akan mau datang jika sudah di atas jam sembilan malam. Danar tahu benar tabiat para orang bengkel di kawasan ini."Enggak bisa diperbaiki ya Dan? Kalau didorong dari belakang juga enggak bisa ya?" tanya Delia dengan wajah putus asa sambil menenteng segelas jus jeruk."Sepertinya gitu Del.""Aduh! Gimana dong? Aku harus segera pulang. Besok ada jadwal operasi di rumah sakit. Aku harus istirahat biar bisa fokus. Operasi bukan pekerjaan mudah, menyangkut hidup mati seseorang. Seharusnya aku dengerin kata Papa aku buat beli mobil baru. Bukannya malah mempertahankan mobil butut in
~Siapa nyaman dengan siapa? Siapa berjodoh dengan siapa? Biar waktu yang menjawab~Sreeet! Sreeet!Danar sibuk mengunci tas ransel yang akan dibawa untuk kegiatan camping. Semetara itu Sagita sibuk merapikan beberapa barang bawaan yang juga tidak boleh tertinggal. Tempat minum khusus, senter kecil, sarung tangan dan sepatu juga disiapkan oleh Sagita. Keberangkatan mereka menuju ke kegiatan berkemah akan dimulai nanti sore. Titik kumpul berada di rumah Yoga. "Kenapa sih, kamu harus mengajak Delia juga Mas?" keluh Sagita sambil tangannya memperbaiki tali sepatu Danar."Biar Yoga sama Jidan senang. Mereka loh yang pengen banget deket sama Delia.""Tapi aku enggak suka Mas kalau Delia itu ikut. Aku cemburu Mas!"Tidak ada basa-basi bagi Sagita. Dia langsung jujur dan terus terang pa
~Setiap perjalanan akan mengukir sebuah cerita. Apalagi perjalanan menuju bukit cinta~Mendekati arah bukit yang mereka tuju, rumah-rumah mulai jarang. Rumah-rumah dan jajaran gedung-gedung mulai tergantikan pemandangan pepohonan yang rapat. Pohon-pohon ini mulai menyejukkan mata. Bukit yang mereka tuju bernama Bukit Cinta. Sebuah bukit yang cukup tinggi dan terkenal di kawasan ini. Konon katanya, bukit ini merupakan tempat untuk mencari cinta sejati. Setelah berkunjung ke bukit ini, orang-orang akan menemukan cinta sejatinya. Namun itu hanya sebatas konon. Sagita tidak terlalu percaya. Kalaupun benar juga untuk apa? Toh cinta sejati Sagita juga sudah ditemukan, yaitu Mas Danar.Sagita satu mobil dengan Mas Danar dan juga Delia. Sementara itu, Risa dan Cika satu mobil dengan Yoga dan juga Jidan. Mobil mereka terparkir di salah satu tempat penitipan mobil yang tidak jauh dari kaki bukit. Danar, Jidan dan Yoga sibuk menurunkan semua baran
~Butuh waktu untuk bisa sampai ke puncak sebuah bukit, begitu juga untuk bisa sampai ke puncak cerita~Begitu sampai puncak bukit, Danar, Jidan dan Yoga sigap dan cepat mendirikan tenda. Mereka harus bergegas agar bisa menikmati sunset dengan tenang nantinya. Ada 2 tenda yang harus mereka buat. Tenda pertama untuk rombongan pria dan tenda kedua untuk rombongan wanita.Sagita memutuskan membantu suaminya Danar dalam menyiapkan segala sesuatu keperluan untuk mendirikan tenda. Sementara itu, Delia hanya mengamati dari sisi yang cukup berjarak. Semilir angin membuat rambutnya terbang dengan lembut. Lalang-lalang yang ada di sekitarnya menyentuh-nyentuh kaki jenjang itu. Risa dan Cika sendiri malah memilih untuk berbaring di atas rumput.Delia sadar jika pemandangan dari atas bukit ini cantik sekali. Pepohonan hijau, sungai yang meliuk-liuk bagai ular dan burung-burung yang wira-wiri. Semuanya tampak indah, komposisi alam yang pas dan mampu
~Api unggun menghangatkan suasana malam yang dingin. Berbeda dengan api cintamu yang hanya akan membakar hubungan asmara orang lain~Nyala api unggun tidak terlalu besar. Warna jingga dari mentari yang tenggelam barusan digantikan dengan warna api unggun yang mulai menjilat ranting-ranting kering. Yoga sudah siap dengan gitar di tangannya. Gitar itu memang sengaja disiapkan sebagai senjata andalan. Senjata andalan merayu Risa atau boleh jadi juga untuk merayu Delia.Jreng...Jreng...Jreeeng..."Sayang, aku cinta padamu. Lihatlah aku dengan mata indahmu. Sayang akan kusebrangi laut Cina Selatan, asal kau bisa kumiliki ...""Halah Yoga, Yoga! Gaya sekali lagumu itu. Boro-boro mau menyebrangi laut Cina Selatan. Aku masih ingat waktu kau pacaran dengan si Sumi dulu. Disuruh datang ke rumahnya pas gerimis saja kau tidak mau. Takut basah, takut demam, takut batuk, takut pilek. Gaya kali lagumu itu.""Danar! Danar! Ak
~Dalam hidup, ada perasaan yang harus diungkapkan dan ada yang sebaiknya disembunyikan~"Makasih banyak ya Danar, udah kasih izin aku buat duduk di sini sama kamu.""Apa-apaan sih Del? Kalau mau duduk ya tinggal duduk aja. Siapapun bebas buat duduk-duduk di sini. Kamu belum mau berpisah sama suasana malam yang bagus ini ya?"Delia mengangguk. Suasana malam itu memang bagus sekali. Langit penuh bintang, angin malam tidak bertiup kencang dan suasana yang hening membuat siapa saja betah berlama-lama di samping api unggun itu."Kamu tahu Danar? Ada beberapa hal yang aku sesalkan ketika dulu kita masih SMA.""Apa? Apa yang harus kamu sesalkan Del? Bukannya kamu melewati masa-masa SMA dengan sangat baik? Kamu jadi idola di sekolah. Idola karena kamu pintar dan satu-satunya siswa yang berhasil lulus ke fakultas kedokteran. Selain diidolakan karena pintar, kamu juga banyak diidolakan karena ketangkasan kamu dalam
~Jangan pernah berdua-duaan dengan seseorang yang bukan muhrim, sebab bisa dipastikan, jika yang ketiganya adalah setan~ Udara segar merasuk ke dalam relung jiwa-jiwa yang tengah berbahagia. Sepagi itu, terlihat tiga orang wanita tengah bercengkrama dan bersendau gurau di atas bukit. Siapa lagi ketiganya jika bukan Sagita, Risa dan Cika. Mereka memang meninggalkan Delia yang masih tidur di dalam tenda. Delia yang tidur paling akhir, sehingga wajar saja jika dia juga yang bangun paling akhir pula."Kak! Ayo mandi ke bawah air terjun yang ada di sebalah sana!" Cika mengajak Sagita."Yakin? Sepagi ini mandi di situ apa enggak dingin?""Enggak kok Kak Git! Justru seger badan kita jadinya. Mumpung itu yang di dalam tenda laki-laki belum pada bangun." Risa berkata sambil mengedipkan mata."Terus Delia gimana?" tanya Sagita sambil menunjuk ke arah tenda."Tinggal aja Kak. Kasihan masih ngant
~Setiap cerita selalu memiliki akhir, entah itu akhir yang menyenangkan atau menyedihkan. Apapun akhir ceritanya, sebuah cerita tetaplah cerita. Itu adalah alur terbaik untuk setiap tokohnya~Gaun putih itu memang cantik. Namun tetap saja kecantikannya bertambah berkali-kali lipat karena digunakan oleh Sagita. Risa dan Cika juga tidak kalah cantik, mereka ada di barisan paling depan sebagai pagar ayu. Di sisi seberang sana juga tidak kalah luar biasanya. Ada pagar bagus yang dipimpin oleh Dino dan Doni. Ini adalah hari pernikahan Sagita dan Jidan.Pernikahan mereka memang sempat tertunda selama beberapa Minggu hingga Sagita benar-benar bisa pulih. Namun begitu bisa pulih, Sagita dan Jidan langsung menyelenggarakan pernikahan di kebun milih Jidan."Kamu cantik Sagita." Jidan berbisik pada Sagita yang ada di sebelahnya. Mereka sesaat lagi akan sah menjadi suami istri. Tuan penghulu sudah ada di depan Jidan dan siap menjabat tangan Jidan. Jidan
~Dosa paling mengerikan yang dilakukan manusia adalah membunuh sesamanya sendiri~"Sagita..." Jidan memanggil Sagita. Sagita berusaha untuk membuka matanya pelan-pelan. Bagaimanapun ceritanya obat bius itu masih bekerja. Sagita melihat Jidan di depannya, dengan senyum mengembang dan mata yang berkaca-kaca."Kak," Sagita berkata lemah.Yoga, Dino dan Doni menarik napas lega. Satu kabar baik terbit. Sagita sudah sadar dan dokter bilang jika ia akan baik-baik saja. Hanya saja memang Sagita butuh waktu untuk bisa pulih."Terima kasih banyak Sagita. Terima kasih banyak kamu sudah bertahan." Jidan berkata pada Sagita sambil menatap mata Sagita lekat-lekat. Sungguh pandangan mata itu sangat romantis."Apa aku ada di surga?" Sagita bertanya pada sekitarnya."Ini masih di dunia Sagita. Ini masih di dunia. Ini masih di dunia yang sama tempat dimana orang-orang tega memperlakukan kamu dengan kejam. Walau aku berusaha me
~Dalam gelap sekalipun akan tetap ada cahaya harapan walau hanya setitik~Gelap, Sagita hanya melihat gelap, tidak ada cahaya sama sekali. Ia hanya bisa mendengar duru napas dan detak jantungnya. Sagita pasrah, ia merasa mungkin kini ia telah mati. Ia merasa jika ia hanya tinggal mendengar malaikan Izrail berseru. Benar saja, beberapa saat kemudian, Sagita melihat cahaya putih. Cahaya itu terang dan terasa lembut mengenai mata, tidak menyilaukan sama sekali. Cahaya itu mendekati Sagita, seolah punya kaki. Lalu cahaya terang tersebut menggumpal dan membentuk wajah dan tubuh manusia. Sagita menarik napas dalam-dalam. Ia seperti itu wajah siapa."Ayah, Ibu." Sagita memanggil nama itu. Cahaya itu menjelma menjadi wajah ayah dan ibunya Sagita. Kedua cahaya itu saling pandang dan lalu merentangkan tangannya ke arah Sagita. Sagita tersenyum dan berusaha untuk bangkit menyambut cahaya itu. Sudah lama ia menahan rindu pada ayah dan ibunya. Sudah lama seka
~Manusia dari zaman ke zaman tetap seperti itu tabiatnya, mereka saling menyakiti satu sama lain~Rumah itu cek. Jidan, Yoga dan yang lain memerika rumah itu dengan cermat. Hancur hati Jidan begitu melihat ada darah di lantai. Ia ngeri membayangkan bagaimana jika ternyata itu adalah darah Sagita."Jendela ini dibuka paksa dari luar. Itu artinya Sagita pasti melarikan diri lewat jendela ini. Hei, mereka menemukan jejak di sebalah sana. Ayo kita ikuti jejak itu dan mulai mencari dimana keberadaan Sagita. Kalian jangan ada yang tangan kosong. Bawa minilam pisau. Dan jangan jauh-jauh dari polisi karena mereka punya senjata. Kita tidak pernah tahu apa yang dibawa oleh Danar. Bisa jadi Danar memiliki senjata api. Dan itu bisa membahayakan kita semua. Kamu juga jangan gegabah Jidan. Jangan karena menuruti rasa khawatir kamu lalu kamu jadi lemah." Yoga memberikan pengarahan panjang lebar. Dan semua orang segera menuju ke arah jejak yang dikatakan oleh Yo
~Menyelamatkan seseorang dari bahaya adalah sebuah kebaikan besar~Hujan deras turun disertai angin kencang. Hal ini membuat perjalanan Jidan dan semua tim penyelamat untuk Sagita benar-benar terhambat. Yoga mau tidak mau bahkan harus mengurangi kecepatan mobilnya. Apalagi saat ini mereka melalui jalan yang berkelok-kelok dan kanan kirinya berbatasan dengan jurang."Kita harus lebih cepat Yoga." Jidan mendesak."Lebih cepat bagaimana? Mobil Doni yang ada di depan kita saja mengurangi kecepatan. Kamu enggak liat apa hujan segini derasnya? Jarak pandang terbatas Jidan. Kita memang akan menyelamatkan Sagita tapi bukan berarti kita yang jadi tidak selamat. Tenanglah!""Bagaimana aku bisa tenang membayangkan Sagita kehujanan di luar sana. Dengan hujan sederas ini dan tanpa tahu apa yang sedang ia hadapi sekarang. Bagaimana aku bisa tenang?""Ya Tuhan, kenapa jadi seperti ini? Apa hikmah di balik ini semua ya Allah. Per
~Mau tidak mau, suka tidak suka, rasa luka memang sakit~Danar mendengar suara panggilan dari bapak dan ibunya. Ia menuju ke sumber suara itu. Dan mendapati bapak dan ibunya yang tengah ketakutan. Danar justru menggelengkan kepala. Melihat ada Danar di bawah sana, Sagita semakin takut. Ia berpegangan dengan erat pada batang pohon dengan kuat."Pak Bu. Ngapain di sini? Kenapa malah cuman duduk, bukan malah bantu Danar cari Sagita. Apaan sih? Kalian enggak mau Sagita cepat ketemu apa?""Aduh Danar. Bapak ini bukan enggak mau bantu kamu. Kami tentu mau bantu kamu. Tapi lihat cuaca saat ini! Kamu lihat tidak. Hujan akan turun. Kita belum tentu bisa menemukan Sagita. Justru sebaliknya, kita bahaya saat ada di hutan hujan deras begini. Kita sebaiknya balik ke rumah Nak. Itu saran Bapak.""Apa? Balik tanpa hasil? Tidak Pak. Buruanku masih ada di luar sini. Justru cuaca yang seperti ini sangat menguntungkan kita. Sagita tidak akan b
~Berdoalah untuk kebaikan jangan untuk kejahatan~"Seberapa genting situasinya?" Yoga bertanya pada Jidan."Tadi Doni menjelakan. Katanya mereka dikejar dengan senjata dan orang yang mengejar mereka adalah Danar. Jelas sudah jika prediksi kita benar, Danar bedebah itu adalah dalang dari semuanya.""Apa aku bilang Jidan? Tidak mungkin salah lagi. Jadi apa si Arif temannya Doni itu bisa kembali dihubungi?""Tidak. Handphonennya mati.""Ah, sial. Mereka mungkin sengaja mematikan handphonenya karena sedang bersembunyi atau apa. Apa temannya Doni sendiri?""Iya. Dia sendiri. Terpisah dari rombongannya.""Hmmm. Mereka harus bertahan sendiri. Kita akan butuh waktu untuk bisa sampai ke sana tepat waktu. Tempat itu cukup jauh Jidan. Danar terlalu pintar mencari tempat yang susah dijangkau. Belum lagi kita harus jalan kaki ke dalamnya."Jidan mengangguk. Perjalanan mereka memang akan sangat
~Siapkan senjata terbaikmu, saat berada dalam bahaya~Danar berang. Tadi begitu tahu Sagita sudah tidak di tempatnya ia segera membangunkan ibu dan bapaknya. Danar merasa kecolongan. Ia tahu jika Sagita tidak mungkin bisa lolos sendiri. Siapapun yang membanti Sagita bagi Danar harus diberi pelajaran."Haduh bagaimana ini Danar? Kenapa bisa kita kecolongan? Siapa yang membantu Sagita? Kok bisa anak itu keluar dari rumah bahkan tanpa kita tahu? Pasti sudah ada yang bantu? Apa Jidan yang menemukan? Apa Yoga? Apa jangan-jangan polisi?""Tenanglah Bu. Kita harus mencari. Ibu dan Bapak ke arah sana dan saya akan cari ke arah sana. Kita harus menemukan Sagita. Siapapun yang membantu Sagita, tampaknya dia sendirian. Buktinya dia tidak berani menyerang kita dan hanya fokus menyelamatkan Sagita. Tapi kita harus waspada, sepertinya dia punya senjata atau bahkan sesuatu yang bisa dibuat untuk menghajar kita. Lihat saja dia bisa dengan mudah
~Terkadang orang asing juga bersedia membntu~"Dino, bangun, bangun Dino!" Doni membangunkan Dino yang sedang tertidur lelap. Dino yang merasa sangat mengantuk dan lelah karena mencari Sagita seharian tersentak mendengar jeritan dari Doni."Ada apa Don? Ada apa? Ada gempa? Kebakaran? Atau apa? Hah? Ada apa?""Kak Sagita. Arif menemukan Kak Sagita. Kita harus ke sana. Ke tempat mereka. Cepat, Din.""Arif? Arif mana? Arif siapa? Hah?""Arif. Teman aku yang polisi hutan itu. Dia menemukan Sagita di hutan. Di salah satu rumah yang ada di hutan. Katanya kondisinya cukup mengenaskan.""Apa? Mengenaskan? Tapi Kak Sagita masih hidupkan?""Masih. Masih hidup. Tapi lemah. Mungkin sudah lebih dulu disiksa. Kita harus segera memberi kabar ini pada Kak Jidan, Risa dan yang lainnya. Jadi ayo kamu harus bangun. Kita harus bergerak cepat."Doni langsung menuju ke garasi mobil. Dino ke kamar mandi