~Butuh waktu untuk bisa sampai ke puncak sebuah bukit, begitu juga untuk bisa sampai ke puncak cerita~ Begitu sampai puncak bukit, Danar, Jidan dan Yoga sigap dan cepat mendirikan tenda. Mereka harus bergegas agar bisa menikmati sunset dengan tenang nantinya. Ada 2 tenda yang harus mereka buat. Tenda pertama untuk rombongan pria dan tenda kedua untuk rombongan wanita.
Sagita memutuskan membantu suaminya Danar dalam menyiapkan segala sesuatu keperluan untuk mendirikan tenda. Sementara itu, Delia hanya mengamati dari sisi yang cukup berjarak. Semilir angin membuat rambutnya terbang dengan lembut. Lalang-lalang yang ada di sekitarnya menyentuh-nyentuh kaki jenjang itu. Risa dan Cika sendiri malah memilih untuk berbaring di atas rumput. Delia sadar jika pemandangan dari atas bukit ini cantik sekali. Pepohonan hijau, sungai yang meliuk-liuk bagai ular dan burung-burung yang wira-wiri. Semuanya tampak indah, komposisi alam yang pas dan mampu membuat mulut berdecak kagum. Sayangnya semua pemandangan itu tetap tidak bisa membuat Delia berhenti menoleh ke arah Sagita dan Danar. Suami istri itu jelas terlihat kompaknya. Sesekali Sagita memijat punggung Danar takut-takut jika suaminya itu kelelahan. Sementara Danar yang dipijat hanya tertawa-tawa saja. Sahut-menyahut suara Yoga dan Jidan menggoda Danar dan Sagita. Godaan itu dilontarkan sebab mereka iri pada Danar. Mereka juga ingin dipijat punggungnya sama seperti Danar. Namun tidak mungkin Yoga dan Jidan meminta Risa, Cika atau Delia yang melakukannya. Bisa-bisa wanita-wanita itu justru marah dan malah menggelindingkan mereka dari atas bukit. "Cik! Cik! Lihat deh matanya Kak Delia. Dari tadi memperhatikan Kak Danar dan Kak Sagita terus," kata Risa pada Cika. "Lah, terus kenapa? Emang enggak boleh kalau melihat Kak Danar sama Kak Sagita?" Cika bertanya heran sambil matanya terpejam menikmati lembutnya desiran angin. "Aneh aja gitu tatapan matanya. Seperti orang yang tidak suka. Seperti tatapan orang yang iri." "Tatapan iri gimana? Kamu jangan ngada-ngada ah! Kak Delia itu cantik banget tau. Seharusnya malah kita ini yang iri sama dia. Bayangin aja, udah cantik, dokter lagi. Kurang apa?" "Duh! Makanya itu mata kamu jangan merem terus. Dibuka dong Cik! Lihat itu tatapan mata Kak Delia. Seperti iri gitu." Cika memaksakan matanya terbuka lalu menatap ke arah Delia. Apa yang disampaikan Risa memang benar adanya. Tatapan mata Delia hanya tertuju pada Sagita dan Danar. Lalu Cika menoleh ke arah Danar dan Sagita. Sepasang suami istri itu sedang asyik bercanda. Sagita mencoba menggelitik telinga Danar dengan batang rumput kecil. Hal itu membuat Danar gemas dan sesekali mencubit pipi Sagita. "Iya ya Ris! Aneh! Kenapa tatapan Kak Delia begitu ya? Apa jangan-jangan..." "Jangan-jangan apa?" "Atau jangan-jangan, Kak Delia suka sama Kak Danar." "Hush! Maksud kamu, kamu mau bilang kalau Kak Delia itu mau jadi pelakor? Masa iya cantik-cantik jadi pelakor. Lagian ngapain juga Kak Delia mau sama Kak Danar. Tuh, ada dua jomblo nganggur!" Risa menunjuk ke arah Yoga dan Jidan. "Eh, beda tau. Kak Danar itu berbeda dari Kak Yoga sama Kak Jidan. Seperti ada kharisma terselubungnya." "Ah! Ngarang kamu! Sama aja! Sama-sama laki-laki." "Bedalah loh Risa! Kak Danar itu lebih tampan dari Kak Yoga dan Kak Jidan." "Hush! Udah ah! Jangan menggosipkan orang. Lebih baik kita berbaik sangka aja ya, kan? Berbaik sangka dengan Kak Delia." Tenda telah selesai ditegakkan. Hal itu bertepatan dengan memerahnya langit. Warna jingga bersemburat ke segela arah. Semua orang mengambil posisi duduk di tepian bukit. Menikmati suasana senja. Menunggu hingga sunset turun. Tak lupa sejenak tadi mereka melaksanakan sholat Maghrib dipimpin Danar. "Indahnya!" Cika berkata sambil merentangkan tangannya. "Iya indah! Sama seperti kisah cinta kita!" Jidan menyela. Plaaak! "Aduh! Sakit Yoga! Itu tangan kamu ringan banget mukul-mukul pipi orang." "Biar kamu sadar! Sadar kalau kamu salah. Sempet-sempetnya ngegombalin anak orang. Udah nikmatin aja suasananya." Risa dan Cika tertawa kecil melihat pertengkaran antara Yoga dan Jidan. Sementara itu, Delia bukannya menghabiskan waktu menatap pemandangan senja tua itu. Justru matanya beralih ke wajah Danar. Wajah Danar yang diterpa cahaya jingga. Bagi Delia wajah Danar sempurna, tampan. "Kak Delia, kenapa dari tadi melihat ke arah Kak Danar?" tanya Risa pelan mulai penasaran. Cika menginjak kaki Risa, takut-takut Risa bertanya hal-hal yang bisa membuat Delia marah. "Kenapa emangnya enggak boleh?" "Kan Kak Danar udah punya istri Kak. Nanti kalau Kak Sagita tahu kakak melihat Kak Danar dengan tatapan seperti itu, dia bisa marah loh." Delia menatap ke arah Sagita dan Risa secara bergantian. Obrolan mereka memang tidak terdengar oleh yang lainnya. Namun, saat itu Delia mengucapkan kata-kata yang membuat Risa dan Cika resah. "Risa, Cika! Dengerin Kak Delia ya! Dalam hidup ini kita tidak pernah bisa mengatur kita akan suka dan jatuh cinta pada siapa. Cinta tidak pernah jatuh di tempat yang salah. Siapapun berhak untuk kita cintai, bahkan suami orang sekalipun. Ingat itu baik-baik." Cika melotot. Risa menggelengkan kepalanya dengan kencang. Lirih saja Delia berkata seperti itu. Namun hal itu sangat membekas pada ingatan Cika dan Risa. Entah kenapa seketika wajah Delia yang sangat cantik berubah menjadi seperti monster bagi Cika dan Risa. Risa menarik tangan Cika menuju ke belakang tenda. Mereka harus bicara empat mata. "Tuh! Kamu denger Cik? Apa aku bilang? Tatapan mata Kak Delia memang aneh. Itu karena dia suka dan jatuh cinta sama Kak Danar." "Terus gimana Ris? Apa kita harus peringatkan Kak Sagita? Kasihan kalau sampai ada pelakor di antara hubungan Kak Danar dan Kak Sagita." Cika dan Risa saling tatap-tatapan. Namun napas mereka tercekat seketika ketika mengetahui jika di samping mereka sudah berdiri Delia. Delia melipat tangannya di depan Dada. Untuk kemudian, mendekat pada Risa dan Cika. "Risa, Cika! Dengar Kakak ya! Kalau kalian berpikir kakak ini akan menjadi pelakor, kalian akan salah besar. Kakak bukan pelakor. Kakak hanya sekedar suka pada Kak Danar itu saja. Selebihnya bagaimana kisah ini berjalan, biar takdir dan waktu yang akan menjawabnya. Jadi tolong kalian jangan bertindak gegabah. Ingat, sekali saja kalian bilang pada Sagita kalau kakak suka pada Danar, maka kalianlah yang merusak rumah tangga mereka." Delia berlalu begitu saja. Bagi Risa dan Cika itu terdengar seperti sebuah ancaman. Risa menyalahkan dirinya sendiri kenapa dia harus menyadari sikap aneh Delia terhadap Danar. Seharusnya dia masa bodoh saja, daripada harus menjadi masalah. Namun di satu sisi, mereka juga sadar jika Sagita ada dalam masalah. "Cika! Risa! Kalian dimana?" jerit Yoga. "Di sini!" Cika menjawab. "Hei! Ngapain kalian sembunyi di balik tenda? Nanti digigit nyamuk. Ayo gabung ke depan, kita pasang api unggun. Bakar-bakar jagung." "Jagung aja yang dibakar, kak?" tanya Cika yang kurang suka jagung. "Jadi mau bakar apa lagi? Mau bakar hati pakai api asmara? Nanti aja. Tunggu kita jadian dulu." "Dasar buaya bukit!" kompak Cika dan Risa memekik.~Api unggun menghangatkan suasana malam yang dingin. Berbeda dengan api cintamu yang hanya akan membakar hubungan asmara orang lain~Nyala api unggun tidak terlalu besar. Warna jingga dari mentari yang tenggelam barusan digantikan dengan warna api unggun yang mulai menjilat ranting-ranting kering. Yoga sudah siap dengan gitar di tangannya. Gitar itu memang sengaja disiapkan sebagai senjata andalan. Senjata andalan merayu Risa atau boleh jadi juga untuk merayu Delia.Jreng...Jreng...Jreeeng..."Sayang, aku cinta padamu. Lihatlah aku dengan mata indahmu. Sayang akan kusebrangi laut Cina Selatan, asal kau bisa kumiliki ...""Halah Yoga, Yoga! Gaya sekali lagumu itu. Boro-boro mau menyebrangi laut Cina Selatan. Aku masih ingat waktu kau pacaran dengan si Sumi dulu. Disuruh datang ke rumahnya pas gerimis saja kau tidak mau. Takut basah, takut demam, takut batuk, takut pilek. Gaya kali lagumu itu.""Danar! Danar! Ak
~Dalam hidup, ada perasaan yang harus diungkapkan dan ada yang sebaiknya disembunyikan~"Makasih banyak ya Danar, udah kasih izin aku buat duduk di sini sama kamu.""Apa-apaan sih Del? Kalau mau duduk ya tinggal duduk aja. Siapapun bebas buat duduk-duduk di sini. Kamu belum mau berpisah sama suasana malam yang bagus ini ya?"Delia mengangguk. Suasana malam itu memang bagus sekali. Langit penuh bintang, angin malam tidak bertiup kencang dan suasana yang hening membuat siapa saja betah berlama-lama di samping api unggun itu."Kamu tahu Danar? Ada beberapa hal yang aku sesalkan ketika dulu kita masih SMA.""Apa? Apa yang harus kamu sesalkan Del? Bukannya kamu melewati masa-masa SMA dengan sangat baik? Kamu jadi idola di sekolah. Idola karena kamu pintar dan satu-satunya siswa yang berhasil lulus ke fakultas kedokteran. Selain diidolakan karena pintar, kamu juga banyak diidolakan karena ketangkasan kamu dalam
~Jangan pernah berdua-duaan dengan seseorang yang bukan muhrim, sebab bisa dipastikan, jika yang ketiganya adalah setan~ Udara segar merasuk ke dalam relung jiwa-jiwa yang tengah berbahagia. Sepagi itu, terlihat tiga orang wanita tengah bercengkrama dan bersendau gurau di atas bukit. Siapa lagi ketiganya jika bukan Sagita, Risa dan Cika. Mereka memang meninggalkan Delia yang masih tidur di dalam tenda. Delia yang tidur paling akhir, sehingga wajar saja jika dia juga yang bangun paling akhir pula."Kak! Ayo mandi ke bawah air terjun yang ada di sebalah sana!" Cika mengajak Sagita."Yakin? Sepagi ini mandi di situ apa enggak dingin?""Enggak kok Kak Git! Justru seger badan kita jadinya. Mumpung itu yang di dalam tenda laki-laki belum pada bangun." Risa berkata sambil mengedipkan mata."Terus Delia gimana?" tanya Sagita sambil menunjuk ke arah tenda."Tinggal aja Kak. Kasihan masih ngant
~Penyesalan memang selalu datang terlambat~Wajah Jidan dan Yoga tertekuk ke bawah. Mata mereka sama-sama hanya tertuju pada tanah. Sementara Cika dan Risa malah menangis karena panik. Jidan mengusap wajahnya yang kelu, mencoba untuk berdamai dengan situasi. Dengan sedikit menggigit bibirnya Jidan berusaha untuk menegakkan kepalanya."Kita harus bertanggungjawab." Jidan memecah keheningan sejenak yang mereka ciptakan sendiri."Maksudmu apa Jidan?" Yoga tidak mengerti."Yoga! Kita yang merencanakan kegiatan camping ini. Kita yang mengajak Danar dan Sagita untuk bergabung. Sekarang semuanya jadi berantakan.""Aku tahu Jidan! Tapi ini jelas bukan salah kita. Ini salah Danar. Gila dia itu. Apa isi otaknya? Bisa-bisanya dia melakukan tindakan kotor di atas bukit ini. Dan Delia? Coba jelaskan padaku gimana bisa wanita secantik dia melakukan tindakan kotor? Mesum dengan suami orang. Jenis wanita macam apa dia i
~Putus asa bukan jalan bagi hati-hati yang luka~ Sagita terus berlari menuruni bukit yang bagi Sagita namanya bukan lagi bukit cinta melainkan bukit pengkhianatan. Sepanjang menuruni bukit, Sagita terus menangis. Tidak dipedulikannya lagi lelah kaki ketika menuruni bukit pengkhianatan itu. Sagita hanya ingin pergi dari sana, pergi jauh dan menangis sepuasnya. Hanya saja Sagita lupa satu hal, sejauh apapun dirinya mencoba lari dan pergi, dia tetap tidak bisa lari dari sebuah kenyataan pahit. Kenyataan jika Mas Danar kesayangannya telah mengkhianati."Tega kamu Mas! Jahat kamu Mas! Apa salah Gita sama kamu Mas? Bisa-bisanya kamu berciuman dengan Delia sebegitu mesranya? Apa yang sebelumnya telah kalian lakukan sebelum adegan ciuman itu? Apa adegan ciuman yang kulihat tadi hanya sebagai ciuman penutup? Jahat kamu Mas!"Sagita tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Dia terus berbicara dengan hatinya sendiri. Me
~Bunuh diri bukan solusi, karena mati bukan akhir dari sebuah perjalanan~"Sagitaaa! Jangan lompat!" Jidan berteriak kencang begitu melihat Sagita berdiri di tepi jurang sambil menangis. Tangisnya memang tidak mengeluarkan air mata lagi. Air mata itu sudah kering. Jantung Yoga berdebar kencang. Matahari sebentar lagi akan terbenam. Orang-orang yang membantu mencari Sagita juga bingung harus apa. Tadi mereka sudah sempat mendekat ke arah Sagita. Namun Sagita justru mau melompat. Maka jadilah mereka tidak berani mendekat."Bunuh diri bukan solusi Sagita. Kenapa? Karena mati bukan akhir dari semua perjalanan. Kamu hanya akan melakukan dosa besar." Jidan berteriak lagi."Ke, ke, kenapa Mas Danar tega?" suara Sagila lirih terisak.Yoga berusaha menyingkirkan orang-orang yang ada di sekitar bukit itu. Dia ingin memberikan waktu dan ruang bagi Sagita agar mau bercerita pada dirinya dan Jidan. Mungkin dengan demikian, Sagita akan
~Kenyataan tetaplah kenyataan, suka atau tidak, semua yang terjadi harus ditelan~"Tuh, trouble makernya dateng." Yoga menunjuk ke arah Danar yang berjalan tergopoh-gopoh melewati lorong rumah sakit. Jidan menghela napas. Tanpa ia sadari, tangan kanannya sudah terkepal. Rasa ingin meninju Danar."Kamu mau nonjok Danar?" Yoga ternyata memperhatikan kepalan tangan Jidan."Melihat Sagita semenderita ini, hatiku juga sakit. Coba bayangkan kalau apa yang menimpa Sagita juga menimpa kakak atau adik perempuanmu Yoga.""Amit-amit jabang bancet! Jangan sampe. Jauh-jauhlah dari kayak begituan. Buaya-buaya gini, aku mana mungkin tega."Napas Danar masih terengah-engah begitu ia sampai di hadapan Jidan. Yoga cepat-cepat berdiri menjauhkan Danar dari Jidan. Sontak, Jidan merasa heran."Kenapa?" tanya Danar."Jidan lagi emosi. Pengen nonjok kamu. Jadi tolong jaga jarak dari dia.""Aku udah enggak peduli. Kalau kalian masih geram den
~Sebenarnya di kala badai datang, manusia tidak pernah sendirian. Selalu ada siapapun yang rela membantu. Cukup menyadari keberadaan mereka~"Cika, Cika apa yang jago nyanyi?" Yoga bertanya sambil menaikkan alisnya sebelah. Wajahnya mengarah ke arah Cika. Cika menggeleng. Risa mengangkat bahu. Sementara Sagita masih duduk dengan tenang di atas tempat tidur pasien. Pagi itu, Cika, Risa, Yoga dan Jidan memang datang menjenguk Sagita.Ckrekk! Pintu terbuka. Jidan datang membawa satu keranjang buah segar. Ia segera meletakkan buah itu di samping ranjang Sagita."Kak Jidan. Cika apa yang jago nyanyi?" Cika bertanya pada Jidan."Lah, mana kakak tau. Kan kamu yang namanya Cika. Kamu jago nyanyi enggak?" Jidan balik bertanya."Mana ada Cika jago nyanyi Kak. Cika jagonya cuman merepet. Ngambek paling." Jawaban Risa membuat semua orang tertawa, kecuali Sagita. Sagita hanya tersenyum tipis. Itupun hanya demi kesopanan belaka. Menghargai usaha semua o