Hari pernikahan pun tiba. Pagi-pagi sekali Emery dan Ruben sudah sarapan dan hendak pergi ke tempat resepsi pernikahan mereka. Setelah resepsi berakhir, mereka akan pergi berbulan madu ke Paris. Emery ingin sekali melihat Menara Eifel dan Ruben mengabulkan permohonannya.Satu jam kemudian, Emery dan Ruben tiba di gedung pernikahan. Mereka disambut meriah oleh staf wedding organizer. Emery dan Ruben masing-masing mendapatkan perlakuan istimewa dari mereka. Keduanya dibawa ke sebuah ruangan ganti pakaian.Emery menatap kembali gaun pernikahannya. Kedua matanya terlihat berkaca-kaca. Dia tidak menyangka hari bahagianya segera tiba. Tidak lama lagi dia akan menjadi istri dari dokter Ruben, sesuai dengan harapannya.“Nona, Anda cantik sekali,” puji staf wedding organizer pada Emery.“Benarkah? Terima kasih banyak,” ucap Emery. Dia tersenyum lebar dan tidak bisa menahan perasaan gembiranya.“Tuan Ruben beruntung sekali memiliki istri secantik Anda, Nona Emery.”Emery makin tersipu malu mend
Sebelumnya, Emery sudah mencari tahu lebih dulu tentang makanan khas Perancis melalui internet. Meskipun belum pernah mencicipinya, dia masih penasaran sekali dengan cita rasanya. Escargot merupakan makanan yang terbuat dari siput atau bekicot. Makanan itu memiliki beberapa nutrisi yang bagus untuk tubuh. Makan tersebut memiliki kandungan gizi protein, vitamin B2, dan asam amino.Sambil menunggu pesanan makanannya, Emery dan Ruben melihat-lihat jalanan sekitar kota Paris dari balik jendela kaca di restoran tersebut. Ruben meraih tangan Emery, menggenggamnya sangat erat. Lalu, dia mencium tangan Emery dengan mesra.***Setelah seharian berjalan-jalan dan mengunjungi tempat wisata di Paris, Emery dan Ruben menuju hotel. Mereka kelelahan sekali. Sudah waktunya pengantin baru itu beristirahat sebelum mereka kembali ke rutinitas awalnya sebagai seorang dokter.“Aku ingin berendam air hangat. Kamu mau menemaniku?” bisik Ruben. Dia menatap nakal ke arah Emery.Emery menoleh. “Berendam? Tanpa
“Apa maksudmu mereka pergi bersama?” Profesor Rudiana terkejut mendengar Ruben pergi dengan Emery ke Paris.“Setelah saya menyelidikinya, ternyata dokter Emery tidak ada di rumah orang tuanya, seperti yang diinformasikan pada pihak rumah sakit,” kata salah seorang pria suruhan profesor Rudiana melaporkan hasil temuannya.“Astaga! Anak nakal itu ….” Kalimat profesor Rudiana tiba-tiba terhenti dan kondisi tubuhnya makin memburuk.Profesor Rudiana mendadak terlihat kesakitan. Ada banyak dokter yang bergegas memeriksanya usai diberitahu oleh perawat yang menjaganya. Dokter-dokter senior itu berlarian menuju ruang inap profesor Rudiana. Sean yang kebetulan hendak menjenguknya terkejut seketika.“Ada apa dengan paman?” Sean lekas berlari dan mencari tahu.Ketika Sean hendak masuk ke ruang inap pamannya, dokter-dokter lainnya mencegahnya masuk. Sesuatu yang buruk terjadi pada profesor Rudiana. Mereka akan memeriksanya terlebih dahulu.Sean kalut sekali. Dia segera menghubungi Ruben untuk mem
Setelah berjam-jam menikmati perjalanan udara, Ruben dan Emery pun tiba di rumah sakit. Ruben segera berlarian mencari tahu keadaan ayahnya. Sementara, Emery ditinggal sendirian di dalam taksi.Emery tidak jadi turun karena takut mengundang curiga rekan-rekannya di sana. Jika dia datang bersama Ruben. Akhirnya, dia memilih untuk melanjutkan perjalanan pulang ke rumahnya saja. Taksi yang ditumpanginya segera melaju meninggalkan rumah sakit.Sesampainya di ruang inap ayahnya, Ruben menghampiri profesor Rudiana yang masih terbaring lemah di tempat tidurnya.“Bagaimana keadaan ayahku, Dokter Daniel?” tanya Ruben pada dokter Daniel.“Pneumonia dapat menyebabkan kantung paru berisi cairan bahkan nanah apabila sudah semakin parah. Abses biasanya bisa diobati dengan antibiotik. Namun, sejumlah kondisi membuat abses paru perlu ditangani dengan pembedahan atau drainase menggunakan jarum panjang untuk mengeluarkan nanah,” jelas dokter Daniel.“Astaga!” Ruben terpukul sekali mendengar penjelasan
“Baik, aku akan segera ke sana setelah berganti pakaian,” kata Emery berpesan pada perawat itu.Hari ini ada pasien yang ingin diperiksa oleh Emery. Pasien itu sudah melakukan janji terlebih dahulu pada saat Emery tidak bekerja dua hari kemarin. Setelah diberitahu, Emery bergegas ke ruangannya. Dia akan berganti pakaian mengenakan jas putih kebanggaannya.Ketika hendak pergi menemui pasien, usai berganti pakaian, teleponnya berdering. Ada panggilan masuk dari Tuan Milano. Emery segera menjawab panggilan teleponnya. Dia tidak mungkin mengabaikan panggilan dari pemilik rumah sakit yang sudah mempekerjakannya kembali.“Tuan Milano, selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” sapa Emery duluan.“Dokter Emery, hari Sabtu besok bisakah kamu datang ke rumahku? Ada acara penting yang harus kamu hadiri,” kata Tuan Milano memberitahunya.“Benarkah? Terima kasih sudah mengundang saya Tuan Milano,” ucap Emery. Dia berterima kasih karena Tuan Milano sudah mengundangnya secara pribadi.Emery tidak cur
Ruben diam saja seraya menundukkan pandangannya. Dia tidak bisa menyembunyikan lagi masalah ini di depan Emery.“Aku tidak ingin kamu dijodohkan dengan anak itu. Aku mencintaimu begitu juga kamu, bukan? Aku tidak pernah rela pria lain menyentuh apalagi memilikimu.”Emery tersenyum sambil menatap suaminya penuh haru. Dia tidak menyangka jika alasan pernikahan mendadaknya ini disebabkan oleh perjodohan yang sudah direncanakan oleh Tuan Milano.Emery meraih tangan Ruben. “Kamu tenang saja. Aku tidak akan pernah dimiliki pria lain selain kamu. Karena kamu adalah suamiku. Kita sudah berjanji akan hidup bersama,” hiburnya.“Ya, kamu benar. Karena itulah aku memintamu untuk tidak datang ke acara itu. Aku takut sekali jika kamu menolaknya di hadapan semua orang, mereka akan mengusut pernikahan rahasia kita.”“Aku akan berbicara dengan Tuan Milano. Jika memang benar acara itu seperti yang kamu kira selama ini, maka aku akan menolaknya secara baik-baik. Dia atasan kita, Sayang. Kita bekerja di
“Tidak apa-apa, aku mengerti posisimu.”“Apa pekerjaanmu sudah selesai?”“Sudah dari tadi. Aku menunggumu sambil makan roti dan minum kopi.”“Maafkan aku, ya. Kamu jadi kesal karena sudah lama menungguku di sini.”Emery tersenyum seraya menghibur suaminya yang merasa tidak enakan karena telat datang menjemputnya. Meskipun dia sudah memaafkannya, tetap saja Ruben merasa bersalah dan ingin sekali menebusnya langsung pada istrinya.“Apa kamu mau pulang sekarang?” tawar Ruben. Emery menggeleng.“Aku ingin jalan-jalan dulu. Kamu mau menemaniku, kan?” pinta Emery setengah merajuk.“Jalan-jalan ke mana?” tanya Ruben meminta pendapat Emery.“Kita jalan-jalan di taman kota saja,” kata Emery mengusulkan.“Baiklah. Ayo kita pergi!” ajak Ruben. Dia meraih tangan Emery, menggandengnya dengan mesra.Emery dan Ruben berjalan-jalan di taman kota. Mereka bergandengan sambil melihat-lihat pemandangan kota di malam hari. Suasananya begitu romantis. Keduanya terlihat begitu bahagia dengan pernikahan raha
“Infeksi paru membutuhkan perawatan yang tepat dan rutin dengan obat dan tindakan. Namun, bukan dalam bentuk operasi. Operasi akan dilakukan jika terjadi komplikasi seperti serangan jantung atau gagal ginjal,” jelas dokter Daniel.“Aku mengerti.” Ruben terlihat murung setelah mendengar penjelasan dari dokter Daniel.“Doakan terus ayahmu. Hanya kamu satu-satunya keluarga ayahmu,” dokter Daniel menasihatinya.“Terima kasih, Dokter Daniel,” ucap Ruben.***Pesta ulang tahun Adrian segera dimulai. Ada banyak sekali tamu yang berdatangan ke rumah Tuan Milano. Ada banyak sekali staf dan petinggi di rumah sakit yang menghadiri pesta tersebut. Termasuk Ruben dan Sean.Ruben meminta Emery untuk tidak datang ke pesta itu. Namun, sudah beberapa kali Adrian menelpon Emery, memintanya untuk hadir di pestanya. Emery jadi dilema. Tidak hanya Adrian yang meneleponnya, Tuan Milano juga menghubunginya secara langsung.“Bagaimana ini? Haruskah aku hadir di pesta itu?” Emery membuka isi lemari dan mengel
“Iya, aku tahu itu. Kamu nggak usah ngegas gitu, Ruben,” balas Sean. “Tidak diberitahu pun aku sudah tahu.”“Aku hanya mengingatkanmu aja, Sean. Barangkali kamu sudah lupa. Kalau Emery hanya milikku seorang,” kata Ruben dengan bangga.“Cuih! Seenaknya saja ngaku-ngaku dia milikmu. Jika dia milikmu lantas kenapa kamu melepasnya pergi. Bodoh!” ejek Sean.“Aku tidak melepasnya. Dianya aja yang banyak pertimbangan,” Ruben membela diri.“Terang aja dia banyak pertimbangan. Sikapmu aja kayak bunglon, sering berubah-ubah nggak karuan.”“Sudah hentikan! Aku nggak mau kita bertengkar.”“Lalu, kamu menelponku hanya untuk menanyakan hal ini aja?”“Sean, aku mohon sama kamu. Bantu aku untuk mengawasinya. Cuma kamu satu-satunya keluargaku yang bisa kuandalkan di sana. Kamu mau, kan, membantuku?” pinta Ruben dengan nada memelas.&ldquo
“Sean?” Emery membuka kaca mobil dan berbincang sebentar dengan Sean.“Apa kamu sedang terburu-buru? Aku ingin mentraktirmu minum kopi. Gimana?” tawar Sean.“Aku minta maaf, Sean. Aku harus segera menjemput Ben di daycare. Lain kali saja, oke?” tolak Emery dengan ramah.“Oh, oke. Tidak apa-apa. Hati-hati saat berkendara!” Sean menasihati. Emery mengangguk mantap.Tak lama setelah berpamitan dengan Sean, Emery melajukan mobilnya meninggalkan gedung rumah sakit.***“Kamu yakin tidak ingin ikut denganku?” Ruben memastikannya kembali. Siapa tahu Emery berubah pikiran di saat-saat terakhir mereka berpisah di bandara.“Aku akan menunggumu,” kata Emery.“Kamu yakin bisa menungguku?” Ruben takut sekali. “Kamu tidak akan berpaling dan jalan sama pria lain, kan?”“Pria lain, siapa maksudmu?” Emery tersinggung dengan ucapan
Emery mulai menyadari perhatian dari kedua pria tersebut, yang masing-masing menunjukkan rasa cinta dengan cara yang berbeda. Ruben adalah sosok romantis yang penuh tekad. Meski terkadang, dia sangat menyebalkan dengan sikap plin-plannya yang seperti bunglon, sering berubah-ubah.Sementara, Adrian adalah pribadi yang tenang dan suportif. Seperti katanya, dia selalu ada setiap kali Emery membutuhkan pertolongan atau teman untuk bercerita. Kali ini, Emery benar-benar mengalami dilema. Dia berada diposisi sulit karena harus memilih antara dua pilihan. Impian masaa depan bersama Ruben atau kenyamanan emosional yang ditawarkan oleh Adrian.“Nak, kamu akan memilih yang mana seandainya kamu menjadi Ibu?” tanya Emery saat dia memerhatikan bayi Ben yang sedang menyusui.Bayi Ben hanya tersenyum menanggapi cerita Emery. Seolah-olah balita mungil itu mengerti bahwa yang bisa menjawab pertanyaan itu adalah ibunya sendiri.“Sekarang, kamu juga membua
“Beri aku waktu!” pinta Emery.“Apa? Waktu?” Ruben membelalak.Emery mengangguk mantap. “Aku masih mempertimbangkannya. Jika aku menikah sekarang, lalu bagaimana dengan Ben Joshua, anak kita?”“Memangnya kenapa dengan dia?” Ruben agak heran. “Bukankah itu bagus untuk perkembangan dia? Dia memiliki keluarga yang lengkap ada orang tua yang akan merawat dia.”“Maksudku, jika Ben dibawa ke luar negeri, aku khawatir dia belum bisa beradaptasi,” kata Emery beralasan.“Dia anak yang pintar. Aku tahu itu. Dia akan lebih cepat beradaptasi di sana. Aku yakin itu,” Ruben berpendapat.Emery kehabisan ide. Bagaimana caranya dia harus menjawab pertanyaan Ruben soal lamaran itu?“Emery ….” Ruben meraih tangan Emery dan coba membujuknya kembali.“Aku ingin melihatmu membuktikan lagi cintamu. Kamu tahu, kan, sejak kamu meragukan kehamilanku hatiku sangat sakit. Saat itu aku berpikir, aku tidak bisa lagi bersama orang yang selalu berprasangka buruk padaku. Apalagi menuduhku yang tidak-tidak,” jelas Eme
“Jangan menggangguku! Aku mau tidur,” balas Emery yang tidak mau berbalik ke arah Ruben.“Sayang, kamu mengabaikan aku?” Ruben protes. Dia tidak terima Emery bersikap tidak peduli lagi kepadanya.“Ayolah!” bujuk Ruben.Emery tidak bermaksud seperti itu. Dia hanya kelelahan setelah seharian mengurus bayi Ben. Dia butuh banyak istirahat.“Sudah kubilang, jika kamu terus menggangguku, aku terpaksa menendangmu dari kamarku. Kamu mau aku melakukannya?” ancam Emery meski kedua matanya terpejam.Ruben pun akhirnya menyerah. Jika itu yang diinginkan Emery, dia memilih untuk mengalah saja. Dia tidak mau ambil risiko seandainya Emery marah hanya karena masalah sepele seperti itu. Dia turun dari ranjang Emery dan kembali ke sofa bed tempatnya tidur.‘Malam ini kelabu sekali bagiku,’ ujar Ruben dalam hati.***Beberapa bulan kemudian, Emery pergi ke rumah sakit tempat dia bekerja
“Ruben, hentikan!” tegas Emery. “Aku tidak mau berdebat soal ini.”“Kenapa? Jadi, sekarang kamu lebih mementingkan jabatan di rumah sakit itu dibandingkan kebahagiaan kita berdua dan anak kita?” Ruben sewot.“Aku belum memutuskan apa-apa,” gumam Emery.“Lalu, kenapa kamu mengangguk? Itu sama artinya kamu menyetujui tawaran dari Adrian.”“Itu hanya gerakan refleks saja,” sangkal Emery.“Kamu tidak bisa dipercaya.” Ruben melangkah pergi karena tidak puas mendengar jawaban dari Emery.Ruben pergi sambil mendengkus kesal. Dia meninggalkan rumah dan lekas menyalakan mesin mobil. Tak lama waktu berselang, mobilnya melaju kencang meninggalkan kediaman Emery.“Dia masih sama seperti dulu. Pemarah dan emosinya sangat labil. Dia tidak pernah bisa mendengarkan penjelasanku,” keluh Emery sembari mengelus dada.Terkadang keragu-raguan itu yang me
Pagi tiba. Ruben terbangun dari tidurnya. Dia mendapati dirinya tengah berbaring di atas sofa, di ruang tamu rumah Emery.“Apa semalam aku ketiduran di sini, ya?” Ruben lupa-lupa ingat. Yang dia ingat semalam … hanya kecupan dan bisa mencuri-curi waktu bermesraan dengan Emery dikala putranya tertidur pulas.Ruben senyum-senyum sendiri mengingat kejadian semalam. Tanpa disadarinya, Emery keluar dari kamarnya dan hendak membawa putranya meninggalkan rumah.“Emery, kamu mau ke mana dengan Ben Joshua?” tanya Ruben. Dia bangkit dari sofa.“Aku mau ke klinik dokter anak. Hari ini jadwal imunisasi anakku,” sahut Emery.“Pagi ini?” Ruben memastikannya. Emery mengangguk.“Tunggu sebentar! Beri aku waktu lima menit untuk mandi. Setelah itu, aku akan mengantarmu ke klinik.” Ruben segera beranjak dari sofa dan lekas ke kamar mandi.Emery dibuatnya melongo dengan sikap Ruben yang m
“Aku … tadi sedang menyusui putraku. Jadi, aku tidak memegang ponsel,” kata Emery beralasan.“Tapi, setidaknya kamu bisa memberitahuku terlebih dahulu, kan? Jangan membuatku cemas!” Emosi Ruben meledak-ledak saking khawatir dengan keadaan Emery.“Sejak kapan kamu peduli padaku?” sindir Emery.“Aku selalu peduli sama kamu, kamunya saja yang tidak peka terhadap perasaanku,” ketus Ruben seraya memalingkan wajah. Sesekali dia melirik Emery karena mantan istrinya itu tidak memberi respon apa pun.“Masuklah! Udara di luar sangat dingin,” kata Emery mempersilakan Ruben masuk. “Lagian hujan-hujan begini dan sudah larut malam malah datang bertamu, memangnya nggak bisa besok pagi saja?” gerutunya sambil menutup pintu setelah Ruben masuk ke ruang tamu.Tiba-tiba, kedua tangan Ruben melingkar di pinggang Emery. Pria itu memeluk Emery dari belakang dengan sangat erat.“A
Keesokan paginya, Ruben terbangun dari tidurnya. Ketika dokter akan kembali memeriksa bayi Ben Joshua. Ajaibnya, demam Ben Joshua langsung menurun drastis. Emery makin terharu dengan apa yang telah dilakukan Ruben pada Ben Joshua.“Demamnya sudah turun. Terima kasih banyak, Dokter Ruben. Anda sudah melakukannya dengan baik. Hanya seorang ayahlah yang mampu melakukannya,” puji dokter itu dengan bangga.“Terima kasih. Anda juga sudah melakukan yang terbaik untuk putra saya,” balas Ruben. Secara tidak langsung dia mengakuinya di hadapan semua orang. Termasuk Emery.“Hari ini bayi Ben Joshua boleh pulang. Tapi, perhatikan perkembangannya lagi. Jangan sampai dia demam kembali,” saran dokter.Emery dan Ruben mengangguk bersamaan. Mereka terlihat kompak sekali saat ini. Setelah itu, dokter pergi meninggalkan ruang inap Ben Joshua. Bayi tampan itu masih tertidur pulas saat Emery memindahkannya ke ranjang pasien.Sementara itu, Ruben mengambil kemejanya. Lalu, dia memakainya kembali sambil mem