“Gak apa-apa, Bu. Nisa hanya kesal karena baca buku aja,” kilah Nisa pada ibunya beralasan.
“Oh, ya sudah kalau memang kamu tidak kenapa-kenapa, ibu pikir kamu sedang marah sama orang,” sahut Ibu lagi, Nisa pun hanya nyengir lebar saja, agar tidak membuat ibunya curiga bahwa ia baru saja melakukan hal yang tak semestinya dilakukan dengan Dani. “Ya sudah kalau gitu kamu tidur, sana!” Ibunya menyuruh Nisa untuk masuk kembali ke kamarnya, dan Nisa pun hanya menganggukkan kepalanya juga. ***[Gimana, Bu? Kapan kita bisa bertemu?] tanya seorang lelaki melalui pesan singkat pada Nisa, yang memang sudah satu bulan ini keduanya menjalin hubungan komunikasi jarak jauh.Ya lebih tepatnya lelaki tersebut yang sepertinya memang tertarik kepada Nisa meski belum pernah saling bertemu secara langsung.Nisa menghela nafasnya panjang ketika mendapati pesan seperti itu dari Roni, lelaki yang dikenalkan oleh Deden kepadanya, akan tetapi sepertinya Nisa sama sekali tidak tertarik ia hanya sebatas membalas pesan yang memang perlu untuk dibalas saja.Sedangkan jika lelaki itu meminta untuk melakukan panggilan suara atau pun panggilan video, Nisa selalu menolaknya, wanita lugu itu selalu menunjukkan dengan jelas jika ia tidak suka kepada seseorang.“Eh, nanti dulu, ya! Aku masih belum sempat, maaf.” Nisa mengirimkan balasan pesan kepada lelaki tersebut, alasan yang sudah sangat klasik sekali, akan tetapi selalu dapat diterima oleh Roni, yang memang setia menunggu.[Oh, ya sudah kalau begitu. Aku akan terus menunggu Bu Nisa sampai kapan pun kok, karena aku setia, he he he.] balasnya lagi, akan tetapi Nisa sudah tidak lagi membalas isi pesan tersebut.Meski sudah dijelaskan oleh Deden, bahwa temannya itu cukup matang usianya dan juga mapan dalam segi ekonomi, akan tetapi tetap saja Nisa tidak tertarik, entahlah! Saat ini hatinya hanya milik satu orang saja, yaitu Dani. Dani Susanto, seorang lelaki usia 32 tahun, PNS, akan tetapi sudah memiliki istri dan dua orang anak, Nisa sendiri tidak pernah menyangka bahwa ia akan jatuh cinta untuk pertama kalinya kepada lelaki yang salah dan keliru.Sebab memang di usia Nisa yang terlambat sekali untuk puber, tentu saja lebih mengedepankan cinta dari pada kemapanan seseorang, padahal tentu saja cinta bukanlah satu-satunya hal yang mendasar pada pernikahan.“Awas, jangan ngelamun! Ayamku juga kemarin mati karena kebanyakan ngelamun. Ha ha ha.” Riri berkelakar yang diselingi dengan tawa setelah menggoda Nisa, sehingga wanita lugu itu kini hanya mengernyitkan dahinya saja dan bibir yang mengerucut.“Isshh! Apaan sih?” Nisa menjawabnya dengan tangannya yang sudah melemparkan gulungan kertas kepada Riri, akan tetapi berhasil ditepis oleh wanita tersebut.“Lagian, ya kamu ini kenapa sih ngelamun terus, padahal masih pagi, astaga! Kayak gak ada kerjaan aja!” Riri berseru dengan wajahnya yang penuh tanda tanya.Nisa terdiam sejenak lagi, ia menatap kosong ke depan, memikirkan nasib cintanya yang sepertinya memang akan berakhir dengan kandas, karena Dani, lelaki yang ia cinta dan sudah berhasil merebut hatinya, sama sekali tidak punya nyali untuk meresmikan hubungannya.“Masih mikirin si Mas?” Riri menebak, menatap Nisa, menunggu jawaban dari sahabatnya itu yang sebenarnya sudah ia tahu pula jawabannya.“Apaan sih Mas, Mas aja yang sejak kemarin dibahas. Mas siapa sih?” sambung Wahyu yang kini nimbrung dan menghempaskan tubuhnya di sofa dekat Riri.Sontak Nisa dan Riri kini menatap lelaki tersebut, lelaki yang bagi Nisa amat sangat menyebalkan akan tingkahnya yang konyol dan juga selengean.“Bukan urusan kamu!” Riri menjawab dengan nada ketus karena memang hampir semua guru di sana sebal kepada Wahyu, dengan sikapnya yang masa bodoh dan terus menerus meninggalkan kewajibannya mengajar, maka menjadikan guru lain di sana ikut dongkol.“Iya, urusin saja sana anak-anak! Kalau ngajar tuh di sana, di kelas aja! Jangan asal main tinggalin aja anak-anaknya, cuma ngasih tugas, udah gitu keluar! Kalau gitu doang sih, anak SMP juga bisa jadi guru!” Nisa bersungut-sungut.Wanita polos itu bahkan kini habis-habisan memberikan komentar pedas kepada Wahyu, atas sikapnya yang memang abai terhadap tanggung jawabnya sendiri. Nisa sebenarnya wanita yang cukup lugu dan pendiam, akan tetapi ketika ia sudah kenal dekat dengan seseorang, tentu saja sifat naluriahnya sebagai wanita yang banyak omong akan keluar! Termasuk kepada Dani, yang sama sekali sudah tidak ada rahasia lagi.Nisa mencurahkan semua isi hatinya kepada Dani, termasuk dengan masalahnya, akan tetapi selama tiga bulan ini, komunikasinya yang terjalin antara keduanya sangat minim.Sebab Dani selalu saja meminta Nisa melayani nafsu bejadnya melalui sambungan video atau telephone. Dan mirisnya, Nisa yang memang sudah dibutakan oleh cinta, mau saja mengikuti kemauan lelaki tersebut.Apa memang cinta selalu membuat orang, hilang akal sehatnya?“Ha ha ha. Rasain tuh! Udah sana ke kelas lagi, anak-anak suka ribut kalau ditinggal gurunya ke luar,” timpal Riri yang kini ikut berkomentar pula atas ucapan Nisa.“Santai aja sih, Bu! Lagian, ya mereka itu biar belajar mandiri, harus dibiasakan sejak SMP ditinggal, biar nanti pas di SMA mereka bisa belajar sendiri!” Wahyu beralasan dengan santainya seraya ia memainkan ponselnya.Nisa menepuk dahinya pelan ketika mendengar jawaban dari Wahyu yang sama sekali tidak bijak dan lari dari tanggung jawab.“Belajar mandiri bukan seperti itu konsepnya, Pak Wahyu! Kalau ninggalin anak di kelas ketika jam mengajar namanya TIDAK BERTANGGUNG JAWAB.” Nisa menegaskan, bahkan menitikberatkan pada kalimat ‘tanggung jawab.’“Udahlah, Bu Nis! Santai aja sih! Yang penting aku akan tanggung jawab kalau Bu Nisa mau menikah dengan aku, he he he.” Dengan percaya diri Wahyu mengatakan demikian, padahal sudah jelas dan secara terang-terangan pula bahwa Nisa menolak.Bahkan wanita lugu itu kini merasa jijik ketika mendengar kalimat itu keluar dari mulutnya Wahyu, tubuh Nisa bergidik. “Gak usah mimpi, kamu Pak Wahyu! Nisa itu seleranya bukan kamu yang suka ninggalin tanggung jawab. Ha ha ha.” Riri kembali beraksi lagi menimpali ucapannya Wahyu yang memang terdengan sedikit menyebalkan.“Ya namanya juga nyareat, Bu! Siapa tahu dengan usaha keras aku ini, akhirnya Bu Nisa luluh juga, atau kalau memang nanti usaha kerasanya gagal, kan masih ada jalan pintas, he he he,” sambung Wahyu lagi yang masih saja percaya diri.Nisa hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja ketika ia mendengar kilahan dari Wahyu, sepertinya memang percakapannya itu dengan Wahyu harus segera dihentikan, sebab tidak akan ada habisnya.Nisa melangkahkan kakinya, meninggalkan kantor itu menuju ke luar, entah mau ke mana.“Eh, Bu! Mau ke mana? Aku belum selesai nih ngobrolnya!” Wahyu sedikit berteriak memanggil Nisa, akan tetapi tentu saja Nisa tidak menggubris lelaki itu sama sekali, ia hanya tetapo focus pada langkahnya di depan.“Ha ha ha.” Riri pun ikut tertawa dengan wajah sebal Wahyu ketika ditinggal oleh Nisa begitu saja.“Dih, jahat kamu malah mentertawakan aku!” Wahyu bersungut-sungut kepada Riri dengan wajah kesal yang saat ini malah terkekeh.“BUUUUUU, PAKKKKK,” terdengar suara teriakan anak-anak yang kini sudah berhamburan ke luar, bahkan sudah melapor juga ke kantor kepada Riri dan Wahyu yang memang saat itu sedang di kantor.“Eh, ada apa?” tanya Riri yang langsung saja terkesiap ketika mendengar teriakan dari muridnya.[Hallo, sayang. Kamu apa kabar?] sebuah pesan singkat yang masuk pada ponsel milik Nisa, yang saat ini sedang berada di kantor, baru saja selesai mengajar. Nisa terbelalak ketika melihat siapa yang mengirimkan pesan itu kepadanya, ia hanya mengernyitkan keninganya saja meski di dalam hatinya ada rasa bahagia yang menyeruak begitu saja. Itu adalah pesan dari Dani, lelaki berdarah Jawa, yang berhasil menaklukan hatinya Nisa. Nisa yang memang belum sepenuhnya bisa melupakan lelaki tersebut, tentu saja ia langsung membalas pesannya, meski awalnya ragu, baru satu minggu Nisa dan Dani tidak saling memberi kabar, selepas kejadian Rika yang melabrak Nisa di lapangan sekolah. Sebenarnya, Nisa ingin sepenuhnya menjauh dari lelaki itu, akan tetapi hatinya selalu berkata lain, ia selalu tidak mampu untuk menolak Dani ketika datang kepadanya lagi, ia selalu tidak bisa menolaknya. Apa mungkin karena rasa cintanya kepada Dani? Atau memang hanya sebatas nafsu belaka saja?
“Memangnya istrinya Pak Dani kemarin ngedatangin Bu Nisa di sekolahnya untuk apa?” tanya Bu Siti, guru honorer yang usianya sudah mencapai angka 29, akan tetapi masih jomblo, kini ia bertanya kepada Dani, penasaran dengan apa yang terjadi sebenarnya. Yaa, Bu Siti memergoki Rika mendatangi Nisa di lapangan sekolah tempat Nisa mengajar, kebetulan saat itu situasainya sepi, anak-anak dan guru yang lainnya sudah pulang, termasuk Bu Siti yang tidak sengaja memergokinya juga ketika menuju rumahnya untuk pulang. Dani sempat diam beberapa saat, dan menoleh ke arah Bu Siti ketika mengatakan demikian, hal yang tak pernah ia duga bahwa akan ada orang yang melihat ketika istrinya mendatangi Nisa. “Eh, kata siapa, Bu?” tanya Dani pura-pura tidak tahu dengan berusaha menyembunyikan rasa kikuknya dari Siti, bersikap biasa saja. “Kemarin ketika saya mau pulang ke rumah, karena rumah saya melewati sekolah SMP tempat Bu Nisa mengajar ‘kan,” jawab Bu Siti menjelaskan kepa
“Mas, jangan!” Nisa memelas, wajahnya pias penuh ketakutan jika ketahuan orang lain, pasrah, Nisa sama sekali tidak menghentikan tangan kekar milik Dani, yang kini sudah menjalar pada balik baju Nisa sehingga menjadikan wanita itu melenguh, dan sebuah desahan lepas dari mulutnya. “Aahh.”“Lembut sekali, sayang,” ucapnya berkomentar ketika tangannya itu sudah meremas lembut dada Nisa, yang posisi wanita itu ada di jok belakang, merebahkan dirinya, sedangkan Dani, ada di jok depan, tanpa menatap atau mengarah kepada Nisa, Dani juga menikmati aksinya dengan tangan menjulur ke belakang.Meski Nisa menolak apa yang dilakukan oleh Dani saat ini, akan tetapi ia tetap menikmatinya, terlebih memang ini adalah pertama kalinya bagi Nisa disentuh bagian tubuhnya dengan langsung. Ternyata rasanya sangat menggairahkan, bahkan nafsunya memberontak, menuntut untuk terus disentuh lagi, dan lagi. Wanita lugu itu merasakan sensasi yang begitu mendebarkan, bahkan menjadikan dirinya
“Ihh apaan sih, Mas? Mana mungkin aku suka sama Pak Andri, astaga! Dia lebih pantas menjadi bapakku dari pada pasangan.” Nisa menolak tuduhan Dani bersungut-sungut, bahkan kini membuat lelaki itu cekikikan.Dani memang suka sekali membuat Nisa seperti itu, menggodanya, dan bersifat manja kepadanya, itu artinya ia telah berhasil menjadikan Nisa takluk dalam kungkungannya, bukankah memang demikian adanya, bahwa seorang wanita akan nampak lebih manja kepada lelaki yang sudah membuatnya nyaman?“Dasar! Malah ketawa lagi!” ucap Nisa lagi, di antara malam yang semakin larut saja."Lagi pula kenapa juga sih sampai bertanya begitu sama aku? Memangnya kamu tadi ketemu sama orang yang kegeeran tersebut?” tanya Nisa lagi penasaran.“Iya, tadi ketemu di warung kopi sebrang jalan sana! Kayaknya dia suka sama kamu, Nis! Bahkan dia begitu percaya diri, mengira kamu pun ada rasa juga kepadanya,” jawab Dani lagi menjelaskan dengan detail.Berbeda dengan Nisa yang kini
“Duh, sayang, jangan parno begitu dong! Iya, kemarin malam aku mimpiin kamu di sana karena saking kangennya, makanya aku ketika datang ke rumah, udah gak tahan lagi ingin minta jatah sama kamu, he he he.” Dani mencoba menjelaskan.Akan tetapi Rika masih memasang wajah menyelidik, seolah ia tidak begitu saja percaya kepada ucapan suaminya itu.“Serius, sayang! sumpah deh, kemarin malam itu aku mimpiin kamu!” Dani menegaskan lagi agar istrinya percaya.“Ayo dong, sayang! aku udah gak kuat nih, pengin dipuasin sama kamu di ranjang, apa kamu gak kangen gitu dengan punyaku yang besar dan perkasa ini?” Dani menggoda Rika, yang memang alat kelelakiannya itu cukup besar dan panjang, menyesuaikan dengan postur tubuh yang tinggi dan pola hidup sehat dengan olah raga.“Aku juga udah kangen dengan service kamu yang selalu bisa membuatku puas, merem melek.” Dani tak habis-habisnya merayu Rika agar lelaki itu mendapat kepuasan seks yang kemarin malam terangsang oleh Nisa.
“Kamu kenapa sih, sayang? tiba-tiba jadi merajuk begini?” tanya Dani tak mengerti dengan apa yang terjadi kepada istrinya, tiba-tiba saja Rika marah kembali ketika menjemput Dani di sekolah, bahkan rencana untuk makan siang di luar pun batal.Rika masih memalingkan wajah dari suaminya itu, tanpa berkata sekali pun, padahal baru saja ia luluh dua hari lalu, setelah diberikan hadiah gelang emas sebagai kado ulang tahunnya.“Kalau kamu hanya diam saja seperti itu, mana aku tahu alasannya, ayo dong, sayang, cerita, dan beritahu aku kenapa kamu malah marah tiba-tiba saja begini? Padahal aku sama sekali tidak membuat salah kepada kamu, bukan?” Dani masih saja bersungut-sungut, belum tahu apa yang menjadikan istrinya marah, lelaki itu bertanya berulang kali kepada Rika, seraya matanya kembali focus ke depan, pada jalan, karena memang saat ini Dani sedang mengemudikan mobil yang sebelumnya dibawa oleh Rika ke sekolah.“Dan kamu yakin acara makan siang kita dibatalk
“Eh, dari mana kamu tahu masalah itu?” tanya Dani kepada Rika setelah beberapa saat tadi hening, dan wajahnya pias. “Kamu sudah berbohong kepada aku, Mas!” sahut Rika lagi pada suaminya itu seraya menatapnya dengan tajam. “Aku sama sekali tidak berbohong, sayang, aku sudah memblokir nomor kontaknya, dan jika kemarin di perkemahan bertemu, itu artinya hanya tidak sengaja saja.” Dani masih membela dirinya sendiri, padahal sudah jelas ketangkap basah oleh Rika. Rika tak langsung menjawab, ia masih menahan emosinya untuk tidak meluap, ia tahu bahwa apa yang baru saja ia lakukan tadi pada ponsel milik Dani dengan memasang CCTV dan juga menyadap ponselnya sudahlah cukup. “Lagi pula aku sudah tidak bisa lagi berbohong, karena kamu sudah memasang alat pelacak dan juga penyadap di HPku,” ucap Dani mulai melembut lagi mencoba untuk menenangkan hati istrinya. Rika menghela nafas lagi, lalu mengembuskannya, wanita itu sedang mencoba untuk mengontrol emosinya,
“Dih, awas kamu, Bu Nisa! Aku jampi-jampi, baru tahu rasa kamu!” Wahyu bersungut-sungut seraya menjalankan sepeda motor bebeknya karena baru saja diusir oleh Nisa. Sebenarnya memang bukan salah Nisa, dia sendiri yang salah karena datang begitu saja ke rumah Nisa, tanpa memberi kabar terlebih dulu, sedangkan Nisa sudah menjelaskan kepadanya di sekolah bahwa ia tidak pernah menerima tamu lelaki. Itu pulalah alasannya kenapa Wahyu datang tanpa memberi kabar terlebih dulu kepada Nisa, sebab yang ada tentunya akan dilarang, akan tetapi siapa sangka meski sudah datang ke rumahnya pun, ia diusir, meski dengan cara lembut, tentu saja pengusiran tetaplah menyakitkan. “Sombong kamu itu, Bu Nisa!” gerutu Wahyu lagi, seolah ia sedang berbicara langsung dengannya, padahal hanya berbicara dengan angin saja selama tiga puluh menit, melajukan sepeda motornya. Lelaki itu kini memarkirkan sepeda motornya di sebuah rumah, yang tak lain adalah rum
“Nisa menolak, Neng. Dan kedua orang tuanya pun sudah tidak bisa lagi membujuknya, karena Nisa sudah memberikan peringatan kepada kedua orang tuanya untuk tidak lagi ikut campur dengan urusannya, apa lagi yang menyangkut masa depannya, bahkan Nisa akan meninggalkan rumah jika bapak dan ibunya tetap memaksakan kehendak.”Bu Wawat panjang lebar memberikan penjelasan kepada Eneng dan suaminya yang ada di sana, termasuk Reza, seketika wajah ketiganya pun kini berubah menjadi muram, hanya kekecewaan saja yang terpancar.“Kamu yang sabar, ya Reza! mungkin memang sudah sebaiknya kita harus introspeksi diri atas apa yang pernah kita lakukan pada Nisa, Bunda juga menyesal, Za, sungguh menyesal, gak kebayang jika anak perempuan bunda pun akan diperlakukan seperti Nisa oleh ibu mertuanya…“Yang jelas Bunda sebagai orang tua, akan membawa kembali si Anggi ke rumah jika ia diperlakukan tidak baik oleh suami dan mertuanya.” Eneng panjang lebar, ia kini sudah sadar, ya sepenuhnya, sudah menga
“Eh, Bu Wawat,” seru Bu Aisyah ketika tahu bahwa yang bertamu ke rumahnya itu adalah Bu Wawat, entah mau apa? Apa mungkin ada kaitannya dengan pesan yang dikirimkan oleh Erma kepada Nisa tadi malam? Begitu pikir Bu Aisyah di dalam hatinya. “Ayok silakan masuk, Bu!” Bu Aisyah mempersilakan Bu Wawat untuk masuk ke dalam rumahnya. Duduk di ruang tamu dengan sofa yang sudah pudar warnanya, kusam, akan tetapi di atas meja itu sudah ada air mineral gelas dan toples berisi kue kering, sehingga Bu Aisyah tidak pelru repot-repot lagi membuatkan minum untuk tamu yang datang. “Mohn maaf nih, Bu, kalau pagi-pagi udah ke sini, he he.” Bu Wawat basa-basi kepada bu Aisyah, sebelum akhirnya mengatakan tujuan dan maksudnya datang ke rumahnya. “Gak apa-apa, Bu. Saya sudah beres semuanya kok, Nisa juga udah berangkat sekolah,” sahut Bu Aisyah seraya masih tersenyum juga. “Sebenarnya saya datang ke sini untuk minta maaf, dengan kabar dua hari lalu yang saya berikan, mengenai pernikahan Reza, terny
“Nis, saya mau tanya sama kamu, boleh?” Erma mengirimkan pesan kepada Nisa atas permintaan ibunya sendiri, Bu Wawat, bahkan wanita paruh baya itu pun masih di sana menunggu balasan Nisa.“Gimana, Er? Udah ada balasan dari Nisa belum?” tanya Bu Wawat tidak sadar kepada anaknya itu,yang masih setia menunggu.“Belum, Mah. Sabar dulu, kan baru dikirim tadi pesannya juga,” jawab Erma kepada Mamahnya yang memang sudah tidak sabaran lagi, lalu kini Bu Wawat hanya diam saja, seraya matanya kini focus kembali pada TV, karena ia sedang menonton acara sinetron kesukaannya.“Tapi kalau Nisa nolak, kenapa Mamah gak bujuk orang tuanya aja kayak kemarin, aku rasa Nisa akan nurut aja kalau orang tuanya yang minta,” celetuk Erma memberikan saran jika memang nanti Nisa menolak untuk diajak rujuk oleh Reza.Bu Wawat terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh anaknya itu, mengenai saran untuk membujuk orang tuanya Nisa saja, yang menurut Erma lebih efektive.“Eh, iya juga, ya.
“Iya, Teh, rujuk, Reza ingin rujuk dengan Nisa, dan Neng pun kini sadar dengan kesalahan Neng, bahwa gak ada lagi memang yang bisa menerima Reza selain Nisa, makanya Neng ingin agar Reza kembali rujuk dengan Nisa.” Eneng menjelaskan lagi.Bu Wawat hanya menghela nafasnya saja pelan ketika mendengar penjelasan dari adiknya itu, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak menyangka bahwa adiknya saat ini bisa mengakui kesalahan dirinya sendiri, tidak seperti biasanya, yang selalu keras kepala.“Tapi kalau Nisa menolak gimana? Kok kalian bisa sih semudah itu berpikir kalau Nisa mau menerima begitu aja setelah apa yang kalian lakukan?” Bu Wawat tidak mengerti dengan jalan pikiran adiknya itu, ya meskipun Eneng itu adalah adiknya sendiri, akan tetapi setelah tahu dengan kejadian yang sebenarnya terjadi, seperti apa yang Nisa katakan pada Bu Rini dan Bu Ineu pada beberapa bulan lalu, maka ia faham dan mengerti bahwa adik dan keponakannya itu salah.“Ya, siapa tahu, karena setahu Neng
“Tuh, kan Bun! benar apa kataku juga, gak ada wanita yang mau menerimaku selain Nisa,” keluh Reza atas nasib yang menimpanya, ya selama satu tahun perceraian ini, sudah 3 kali ia dikenalkan dengan anak dari teman Ayah dan Bundanya.Akan tetapi, pada pertemuan kedua atau ketiga setelah perkenalan, sang wanita akan mundur dengan teratur, karena menganggap bahwa Reza bukanlah lelaki yang baik untuk dijadikan suami.Ya meskipun pengakuan Eneng dan Toni adalah bahwa Reza bercerai karena ditinggalkan oleh istrinya yang tidak bertanggung jawab. Akan tetapi ternyata perlahan, semuanya terbuka, siapa yang sebenarnya bersalah dalam perceraian tersebut.“Sabar, Reza! teman Ayah dan Bunda masih banyak yang punya anak single, kamu tenang aja dulu, ya. Baru juga nyoba tiga kali, kamu jangan bosan!” Eneng meyakinkan anaknya itu bahwa suatu saat nanti akan ada wanita yang mau menerimanya sebagai suami.“Tapi, Bun, aku yakin gak akan mudah, coba aja dulu kalau aku gak bercerai dengan Nisa, k
Hari berganti menjadi minggu, begiut pula dengan minggu kini sudah berganti menjadi bulan, kondisi Nisa saat ini sudah jauh lebih baik, tidak ada lagi penyerangan yang terjadi dari keluarga mantan suaminya. Mungkin sudah bosan juga.“Nisa belum menikah lagi, Bu Aisyah? Kalau Reza Alhamdulillah udah menikah lagi, dapat istri PNS (pegawai negeri sispil)” ungkap Bu Wawat ketika bertemu dengan ibunya Nisa, ya lebih tepatnya sengaja mendatangi rumahnya Nisa ketika Nisa sedang di sekolah, entah untuk apa, hanya sekadar untuk memberikan informasi tidak jelas saja.“Oh begitu, ya syukur kalau Reza sudah menikah lagi, kalau Nisa belum, kayaknya dia masih belum siap juga,” jawab Bu Asiyah kikuk, meski di dalam hatinya menggerutu, ‘untuk apa juga bilang itu ke saya? Apa Cuma mau pamer aja kalau setelah lepas dari Nisa bisa langsung nikah lagi?’Bu Wawat mangguk-mangguk saja ketika mendengar jawaban dari Bu Aisyah itu mengenai responnya kepada Reza.“Ya sudah kalau begitu, saya pamit dul
[“Jadi benar dengan kabar yang tersebar, Nis? Kamu sudah resmi bercerai?”] isi pesan yang dikirimkan oleh Dani kepada Nisa pada siang hari itu, ketika Nisa sedang berada di kantor sekolah, seperti biasanya.Nisa diam sejenak ketika mendapati isi pesan dari Dani yang kini tiba-tiba datang kembali setelah beberapa bulan ini menghilang, seperti biasaya, datang dan pergi begitu saja karena memang ada istrinya pula yang harus dijaga.Wanita muda itu kini menghela nafasnya panjang, berat, ia tahu dengan kondisinya saat ini jika membalas pesan Dani hanya akan membuat suasananya semakin kacau saja, akan ada salah faham antara Dani dan istrinya lagi.“Kenapa? Kayaknya gabut banget?” tanya Riri kepada Nisa kini sedang menyandarkan tubuhnya itu di sandaran kursi.Nisa tak menjawab, ia tak ingin Riri tahu bahwa dirinya baru saja mendapat pesan dari Dani, ia tak ingin Riri tahu juga jika Dani kembali mengirim pesan, karena memang tak ada gunanya juga, untuk saat ini Nisa ingin menjauhi Da
“Wah, Nis, gila tahu gossip kamu rame banget, emangnya gimana tadinya sampe debat gitu sama Bu Ineu dan Bu Rini si ratu gossip?” tanya Riri kepada Nisa ketika di sekolah, seperti biasa, penasaran, karena memang Riri yang jarak rumahnya hanya sekitar 500 m saja, tentu sudah dapat mendengar desas desus apa yang terjadi kepada Nisa.Nisa hanya mengerutkan dahinya saja, tidak langsung menjawabnya. Dan membuat Riri harus bertanya untuk kedua kalinya.“Dih, kamu kebiasaan deh kalau aku nanya, pasti gak langsung dijawab, harus dua kali nanya aja,” keluh Riri, menggerutu, tidak suka dengan kebiasaan Nisa. Nisa terkekeh saja, sebelum akhirnya ia menjawab.“Ya, merekanya duluan yang lebih dulu marah-marah gak jelas di depan rumah orang, ya aku lawanlah, sekalian orang model begitu harus dikasih pelajaran, biar kapok, mereka pikir, aku akan diam aja kali, ya, gak bakal ngelawan,”“Ha ha ha. Iya juga sih, benar. Banyak yang bilang ibu-ibu, katanya lu adalah orang yang paling berani melaw
“Gimana, Teh? Aman kan semuanya? Udah beres?” baru saja Bu Ineu sampai di rumah Eneng, akan tetapi sang pemilik rumah sudah memberondongi tanya kepadanya, menanyakan hal yang memang ia tugaskan kepada Tetehnya itu untuk menyebarkan gossip mengenai Nisa.Akan tetapi orang yang ditanya kini malah menghempaskan tubuhnya pada sandaran sofa, lalu menghela nafas berat, dan diam saja untuk beberapa saat sehingga menjadikan Eneng bertanya-tanya.“Kok lemas gitu sih, Teh? Ada apa memangnya?” tanya Eneng lagi penasaran dengan tetehnya itu, yang ia harapkan tentunya mendapat kabar baik mengenai nama baiknya itu di kampung, meski pada faktanya bertolak belakang dengan keinginan wanita tersebut.“Kenapa kamu gak bilang kalau si Reza itu impoten, Neng?” Bu ineu bertanya langsung saja pada masalah intinya, sehingga menjadikan Eneng tersentak dan hanya membulatkan matanya saja, sempurna, tidak percaya dengan pertanyaan yang dilayangkan oleh tetehnya itu.“Lho kok Teh Ineu malah nanya itu sih